dua puluh enam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Satu minggu terlewat begitu saja tanpa ada hal yang berarti, dan Hansen berpikir, cukup sudah.

Dia berusaha mengerti jika Oliv perlu waktu mencerna semuanya, tapi satu minggu sudah lebih dari cukup.

Oliv tidak bisa menghindari Hansen selamanya, dan Hansen juga tidak mau itu terjadi. Tidak setelah dia menyadari perasaannya pada Oliv, dan yakin Oliv juga membalas perasaannya.

Jadi di sinilah dia, duduk di ruang tamu kediaman orang tua Oliv, menunggu dengan jantung berdebar-debar sementara asisten rumah tangga pergi memanggil Oliv.

Sepuluh menit yang rasanya seperti setengah abad kemudian, asisten rumah tangga itu kembali sendirian.

"Non Oliv bilang, kalau dia tidak ada di rumah," ucapnya sopan. Hansen mengerutkan kening mendengar info dari asisten rumah tangga yang kelihatan masih muda itu.

Ini Oliv yang salah ngasih info apa asistennya yang terlalu lugu?

"Lho? Hansen?"

Hansen dan asisten itu serentak menoleh, dan menemukan Hari Barata dalam setelan kerja, berjalan bersama sang istri menuju ke arah mereka.

"Bang Hari, Kak Mitha," sapa Hansen.

"Mau ketemu Oliv ya? Di mana dia tadi, Yang?" tanya Hari, pertama pada Hansen, lalu menoleh pada istrinya.

"Dari semalam sih di home theater. Terakhir aku cek, habis mandi dia balik lagi ke sana."

"Tuh, langsung ke sana aja, Hans. Ntar kalau Oliv ngomel, bilang aja Abang yang suruh," ucap Hari, lalu menoleh ke asisten rumah tangganya.

"Kalau Oliv ngomel, bilang saya yang suruh. Sekarang kamu tolong bilang ke Pak Udin, panaskan mobil, ya."

"Baik, Tuan."

Asisten itu mengangguk dan keluar dari rumah meninggalkan mereka.

Bang Hari menggerakkan kepalanya, menyuruh Hansen pergi, dan Hansen mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih dan berpamitan, Hansen pergi menuju home theater, meninggalkan pasangan muda itu, yang saling bertatapan penuh arti.

***

Oliv menggigit semangkanya dengan emosi.

Drama berseri yang dia tonton sejak semalam mendadak tidak menarik lagi karena berita barusan.

Ngapain dia ke sini sih? Gue kan belum siap ketemu dia.

Lagipula, promosi film baru akan dimulai minggu depan, kira-kira lima hari lagi.

Gue masih punya waktu untuk persiapan mental.

Oliv kembali menggigit semangkanya, membayangkan itu adalah popcorn penuh butter yang sangat kuning dan berlemak itu.

Sialan. Saat moodnya jelek, dia masih saja tidak boleh makan makanan kesukaannya.

Biasanya saat-saat seperti ini yang membuatnya mempertanyakan keputusannya untuk menjadi model, dan ujung-ujungnya membuat dia menjadi semakin kesal.

Oliv akhirnya memencet tombol pause di remote, tahu tidak ada gunanya melanjutkan nonton karena moodnya sudah telanjur berantakan.

Oliv menyenderkan kepalanya, menghadap langit-langit ruangan sembari mengunyah semangka.

Apa sih rasanya pacaran dengan Hansen? Dibucinin sama Hansen?

Tapi...

Kalau ini ternyata nggak berhasil, apa gue masih bisa balik temenan sama Hansen?

Apa gue masih bisa berusaha temenan sama Hansen, setelah gue tahu gimana rasanya dibucinin sama dia?

Oliv menghela nafas panjang.

Sekarang lo juga udah nggak bisa balik temenan sama Hansen, kan? Setelah lo tahu rasanya dicium sama Hansen?

Lo pengen lebih kan? Ngaku aja, Liv.

Iblis dalam hatinya berbisik, daripada lo galau, mendingan lo ambil apapun yang bisa lo ambil. Manfaatin kesempatan ini. Mumpung Hansen lagi cinta sama lo.

Kalau perlu, bikin dia nggak bisa lepas dari lo.

Oliv meringis, menggelengkan kepalanya.

Tapi gue nggak mau begitu. Gue bukan Astrid. Gue nggak akan maksa Hansen.

Itu namanya nggak maksa, Liv. Itu namanya memanfaatkan keadaan.

Oliv mengibaskan tangannya di atas kepala, berusaha mengusir pikiran buruk dari atas kepalanya.

Nggak, dia nggak akan memaksa Hansen.

Tapi...

Sial. Ide untuk melihat sejauh mana Hansen akan menuruti kemauannya itu sangat menggoda Oliv.

Oliv buru-buru menggelengkan kepalanya.

Nggak, nggak. Kalau gue kayak gitu, apa bedanya gue dengan Astrid?

Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunan Oliv, dan Oliv menoleh tepat saat pintu terbuka.

***

Hansen masuk sambil tersenyum canggung, menemukan Oliv yang duduk termangu, menatapnya terkejut.

Oliv hanya mengenakan pakaian rumah, rambutnya diikat asal di atas kepala, dengan wajah tanpa riasan, walaupun Hansen bisa melihat bercak kemerahan di sekitar bibir Oliv. Pelakunya, separuh semangka di pangkuan Oliv, dengan sendok dan isi yang nyaris kosong, membuat Hansen tergoda untuk tertawa, namun dia menahan diri.

Walaupun begitu, Hansen tetap melihat Oliv sangat menarik.

Sejak dulu, bahkan saat Oliv masih lebih tinggi darinya, berkawat gigi, dan berjerawat karena puber, Oliv tetap saja menarik di matanya.

Sayangnya sekarang dia baru menyadarinya.

"Kok lo masuk?!" seruan Oliv membuyarkan lamunannya.

"Gue disuruh naik sama Bang Hari."

Oliv langsung melontarkan makian panjang.

"Bang Hari pengkhianat! Adeknya itu lo apa gue sih? Tukaran abang, Yuk!"

"Liv," potong Hansen, sembari mendekati Oliv. "Kita perlu bicara. Lo nggak bisa menghindari gue selamanya."

Oliv memalingkan wajahnya dan merengut.

"Gue tahu. Tapi gue nggak bisa jawab lo."

"Kenapa? Lo masih ragu sama gue?"

Hansen berlutut di depan Oliv yang masih duduk bersila di atas sofa, tangannya mengambil alih semangka di pangkuan Oliv dan menaruhnya si meja.

Oliv membiarkannya, walaupun matanya masih menghindari Hansen.

"Menurut lo? Aneh banget nggak sih, kalau gue pacaran sama lo? Kita udah temenan lama banget. Lo udah tahu boroknya gue, gue juga tahu semua kejelekan lo. Sekarang, tiba-tiba, lo suka sama gue, dan ngajak gue pacaran. Gimana kalau ini nggak berhasil? Kita bakal canggung banget. Lalu persahabatan kita gimana? Sigit, Theo, Ayu gimana?"

Hansen menggenggam tangan Oliv, dan Oliv menegang kaku. Wajahnya sontak merona, apalagi Hansen membawa tangan Oliv ke bibirnya dan mengecup punggung tangannya lembut.

"Gimana kalau ini ternyata berhasil, Liv? Kita, yang kenal udah lama dan udah tahu plus minus masing-masing? Kita, yang bisa jadi pasangan sekaligus sahabat? Punya lingkungan pergaulan yang hampir sama? Lo kenal sahabat gue, gue kenal sahabat lo? Semua yang lo khawatirkan, itu bisa jadi kelebihan buat kita, Liv."

Oliv terdiam, mulai ragu. Dan Hansen tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu.

Salah satu tangannya melepaskan tangan Oliv dan menyentuh dagunya lembut, meminta Oliv menoleh ke arahnya.

"Lihat gue, Liv."

Oliv, masih dengan wajah merengut dan pipi merona, akhirnya menatap Hansen.

"Lo masih sayang sama Mak Lampir itu?" tanya Oliv tiba-tiba, membuat Hansen mengernyit bingung.

"Kenapa kita jadi ngomongin Astrid?"

"Karena lo nggak akan melirik gue kalau lo nggak putus sama dia."

Hansen menghela nafas panjang.

Jadi ini masalahnya.

"Lo setengah benar, setengah salah," jawab Hansen, memutuskan untuk jujur. Setelah beberapa bulan terakhir tanpa Astrid, Hansen berusaha menelaah perasaannya sendiri. Beberapa kali dia salah menafsirkan perasaannya, tapi saat ini, dia sudah yakin.

"Gue udah nggak ada perasaan sama Astrid. Mungkin sejak awal, gue nggak ada perasaan cinta ke dia. Itu hanya.. Lo tiba-tiba pindah ke Malaysia, lalu cewek yang mau temenan sama gue pas SMA hanya Astrid. Dia... kelihatan kuat dari luar, tapi aslinya rapuh. Kayak lo. Jadi, begitulah."

Hansen menarik nafas panjang, sebelum melanjutkan, "tapi, lo benar. Gue nggak akan mengakui perasaan gue ke lo, kalau gue nggak putus dari Astrid. Mungkin gue tidak akan menyadari perasaan gue sendiri, kalau gue masih sama dia. Gue tetap akan mengira gue mencintai Astrid. Yes, I'm stupid, I know."

Hening sesaat, lalu Hansen tersentak kaget karena tiba-tiba Oliv berteriak.

"EMANG! Bagus lo nyadar lo bego! Bisa-bisanya diperbudak sama nenek lampir itu, dan sekarang lo bilang lo baru sadar lo ternyata nggak benar-benar cinta sama dia? Oh my God, ada nggak sih orang yang lebih bodoh dari lo?!"

Hansen terpana mendengar omelan Oliv yang tiba-tiba itu. Belum sempat Hansen menanggapi, Oliv kembali bicara.

"Sial, kayaknya gue terpaksa harus jadian sama lo. Gue harus melindungi lo dari diri lo sendiri. Gimana kalau lo ketemu cewek manipulatif lain dan dibodohi lagi? No no no, bahaya."

Hansen masih terdiam mendengar omelan Oliv, makin terkejut. Dia tidak salah dengar kan?

Tidak, dia tidak salah dengar.

Apalagi dia bisa melihat wajah Oliv yang kian memerah, dan matanya kembali menolak menatap Hansen, Hansen tahu dia tidak salah dengar.

Perlahan senyumnya terbit, lalu menjadi tawa kecil.

"Kenapa lo ketawa?!" omel Oliv tersinggung.

"Lo lucu. Lo nggak mau ngaku lo suka sama gue juga?"

"Nggak, siapa yang suka sama lo? Kegeeran," elak Oliv, namun telinganya memerah, mengkhianati kata-katanya.

Hansen kembali tertawa.

Ternyata Oliv sangat menggemaskan.

Hansen berdiri, lalu mencondongkan tubuhnya mendekati Oliv dan mengecup pipinya.

Oliv menoleh kaget, dan Hansen mendaratkan satu kecupan di bibirnya.

"Ciuman pertama setelah official," kata Hansen sambil tersenyum, dan memiringkan kepalanya sebelum kembali mencium Oliv, lebih dalam.

Bibir Oliv basah, dan terasa segar seperti semangka. Terlepas dari ucapan Oliv yang 'terpaksa' menerima Hansen, bibir Oliv membuka dengan sukarela dan membalas ciuman Hansen.

Setelah ini, semangka akan jadi buah favoritnya.

Tbc

Selamat Natal buat yang merayakan

Selamat libur buat yang liburan

Semangat buat yang masih harus masuk kerja

Ini nggak terlalu panjang, tanggung pas habisin bagian mereka jadian. Hehe

Idk if it's true or not, tapi aku merasa aku agak kehilangan gaya penulisan aku yang biasa. Ada yang ngerasa nggak? Atau merasa biasa aja? Apa karena cerita ini ringan banget, beda sama cerita aku yg lain?

Sorry for typos

Sampai ketemu di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro