dua puluh empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Oliv memandang cermin dan mendongak sedikit, membuat pantulan dirinya menatap balik dengan wajah angkuh. Apalagi dengan rambut hitam - dia selalu diminta kembali ke warna rambut asli untuk pemotretan brand ini - yang kali ini ditata ikal.

"Never thought I will look good in black," ucap Oliv, membuat Bagas yang juga ada di ruang ganti Oliv, tertawa pelan. Tawanya membuat penata rias Oliv spontan menoleh dan ikut tertawa pelan.

"Kamu selalu kelihatan cantik dengan warna hitam. Hitam membuat mata kamu kelihatan sangat jernih," puji penata riasnya dalam bahasa Inggris.

"Kode banget ya, pengen dipuji?" ledek Bagas dalam bahasa Indonesia.

"Nggak mau. Ngapain Bang Bagas muji aku? Ntar naksir lho."

"Hmm.. Kayaknya itu ide bagus. Kamu mau nggak nikah sama abang?"

"Ogah!" tolak Oliv cepat, membuat Bagas tertawa senang, karena Oliv tidak berhasil membalas bercandaannya dengan ledekan lagi.

"Iya, Abang tahu kok. Kamu kan sudah ada yang di Jakarta... Ada dua pula. Atau yang di sini?" goda Bagas lagi, dan Oliv langsung bete.

Sayang dia tidak bisa menunjukkan wajah bete, karena sedang dirias.

"Aku baru tahu Bang Bagas suka gosip juga."

"Nggak kok. Abang cuma suka cari tahu semua tentang kamu, supaya Abang bisa benar-benar jagain kamu."

Oliv tidak berhasil mencegah senyum senang mengulas bibirnya.

"Ih, ternyata Abang lebih so sweet dibanding dua abang aku. Tukar tambah aja boleh? Eh nggak jadi deh. Bang Bagas terlalu seram. Eh, tapi Bang Leon seram juga. Ah, jadi galau."

Bagas terbahak-bahak.

Sudah dua hari Bagas menemani sekaligus menjaga Oliv di negara tempat Oliv menjalani photoshoot. Bahkan, Bagas bertindak seperti asisten Oliv, menggantikan tugas Ayu yang tidak bisa ikut menemani Oliv.

Tapi, karena ini pertama kalinya Oliv ditemani laki-laki - apalagi Bagas tergolong pria menarik yang punya aura dominan - hampir semua kru dan model yang lain tidak menyangka kalau Bagas hanya penjaga Oliv.

Pintu ruang ganti Oliv diketuk dan pintu dibuka, menunjukkan wajah salah satu model pria kulit hitam yang sering bekerja sama dengan Oliv, Fernando Silvera.

"Are you done? They're waiting for you."

"Ah, yes," ucap Oliv sambil berdiri. Spontan, Oliv melepas bathrobe yang dia kenakan, memperlihatkan dirinya yang hanya berbalut pakaian dalam, sementara salah satu kru mengambil pakaian untuknya.

Secara otomatis juga, Bagas memejamkan matanya.

"Astaga, Liv. Lupa, ada abang di sini?"

"Eh, iya. Lupa, Bang," jawab Oliv sambil tertawa. Oliv membiarkan kru membantunya memakai pakaian untuk photoshoot berikutnya.

Sebagai model, Oliv sudah terbiasa menunjukkan tubuhnya di depan kru atau model lain. Jika sedang fashion show, para model akan berganti pakaian di satu ruangan besar yang sama, dibantu oleh para kru, tidak peduli pria atau wanita, semua diperlakukan sama. Ada banyak pakaian yang harus mereka tampilkan, jadi mereka harus cepat berganti pakaian. Tidak ada waktu untuk memperhatikan orang lain dan merasa malu. Semua berjalan dengan cepat dan profesional.

Untungnya, kalau photoshoot seperti ini, apalagi jika ada Brand ambassador atau non-model yang ikut, biasanya mereka dapat ruang ganti sendiri-sendiri.

Oliv mengancingkan jeans yang dia kenakan, lalu berlenggang keluar, menghampiri Fernando yang masih menunggunya di depan pintu.

"Let's go."

***

"Nice! Olivia, chin up! Junee, move your left hand a little.. Ok! Nando, look at Oliv.. Good! Luca, put your hand on Junee's shoulder.. Ok! Ok, done! Good job everyone!"

Oliv menjauh sedikit dari posisinya yang terapit di antara Fernando dan Luca Matthew, model yang lain, dan tersenyum pada Junee yang membungkuk sopan pada semua kru sambil berterima kasih.

"Let's have dinner together after this," ajak Oliv, dan Junee mengangguk. Nando merangkul Oliv, walaupun sambil bicara dengan Junee, menanyakan jadwal flight Junee pulang ke Korea.

"Hei, kamu sekarang punya pacar, ya?" tanya Nando dalam bahasa Inggris, tiba-tiba, dan Oliv spontan menoleh pada Nando, bingung.

"Aku? Sudah kubilang, Bagas bukan pacarku, dia-"

"Bukan Bagas, pria di sebelahnya. Sebentar lagi sepertinya kepalaku akan berlubang ditatap seperti itu."

Oliv menoleh, dan mulutnya sontak menganga.

Di sebelah Bagas, Hansen berdiri diam, menatap tajam ke arahnya.

Ngapain Hansen ke sini?!

***

Hansen turun dari pesawat, tangan kanannya menggeret koper kabin sementara tangan kirinya memegang ponsel. Sebaris alamat tercetak di layar ponselnya, dengan nama Bagas sebagai pengirim pesan.

Dia tahu tindakannya impulsif dan terlalu buru-buru. Namun dia tidak mau menyesal. Dia membuang terlalu banyak waktu berandai-andai. Kali ini, dia akan berusaha sebaik mungkin. Kalau pada akhirnya Oliv tidak memilihnya, setidaknya dia tahu, dia sudah berjuang meskipun nyaris terlambat.

Dia keluar dari bandara dan menaiki salah satu taksi. Hansen memberikan alamat kepada sopir taksi, dan taksi pun melaju, meninggalkan area bandara.

Selama perjalanan, Hansen menatap keluar jendela taksi, sementara pikirannya melayang.

Apa Oliv akan terkejut melihatnya?

Apa Oliv akan marah?

Nggak, dia tidak akan marah. Ngambek, mungkin. Marah, sepertinya tidak.

Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dari Bagas.

Hansen : landed

Bang Bagas : ok. Kabari kl sdh sampai. Sy jmpt.

Hansen : ok. Thx Bang.

Bang Bagas : ok.

Hansen menarik nafas panjang, dan menghembuskannya perlahan.

Lo udah sampai di sini, Hans. Nggak ada jalan mundur lagi.

***

Bagas menjemput Hansen di lobi gedung dan membawanya masuk ke studio tempat photoshoot berlangsung.

Tidak sembarang orang diizinkan masuk, tapi Bagas sudah mengatur izin untuk Hansen masuk sebagai salah satu asisten Olivia.

Mereka berdiri di area belakang, jauh dari area photoshoot, bersama para asisten dan manajer model yang lain. Namun Hansen masih bisa melihat dengan jelas.

Dia tahu pria berkulit hitam yang berdiri di sebelah Oliv. Mereka pernah digosipkan berkencan. Dia satu-satunya pria yang pernah dikencani Oliv selama dia di Amrik. Mereka sempat jalan beberapa kali, namun tidak berlanjut karena merasa lebih cocok berteman. Dari mana Hansen tahu itu semua? Tentu saja dari si ember Sigit.

Apanya yang merasa lebih cocok berteman? batin Hansen sinis, saat melihat betapa kasualnya rangkulan pria itu pada Oliv begitu photoshoot selesai. Oliv tampak tidak menyadarinya, atau merasa itu biasa saja, karena dia tetap asik mengobrol dengan gadis Korea di depannya.

Melihat betapa dekat pria itu dengan Oliv, Hansen tidak yakin pria itu hanya menganggap Oliv teman biasa. Munafik.

Halah. Lo sampai minggu lalu juga begitu. Munafik. Sok-sokan mau temenan sama Oliv, padahal cuma hasil denial bertahun-tahun.

Pria itu menoleh, dan matanya bertatapan dengan Hansen sebelum dia berbisik pada Oliv.

Apa yang mereka bicarakan?

Lalu Oliv menoleh, dan menatap Hansen terkejut.

Melepaskan diri dari rangkulan Fernando, Oliv berjalan menghampiri Hansen dengan wajah bingung.

"Lo ngapain ke sini?"

"Lo emang sengaja pamer garis celana dalam ya?" tanya Hansen tanpa menjawab pertanyaan Oliv. Oliv mengikuti pandangan Hansen yang terarah pada pinggulnya, dan berdecak kesal.

"Ya, kan yang dipamerin emang merek celana dalamnya. Gimana sih, lo? Nih, bra-nya juga," ucap Oliv sambil mengangkat crop top, memperlihatkan sport bra abu tua dengan list nama brand yang mengontraknya itu.

Hansen secara otomatis menarik crop top Oliv turun.

"Tutup, Liv."

Oliv berdecak.

"Apa sih? Kok lo jadi sok protektif gini?"

"Bukan gitu-"

"Di sini nggak ada yang peduli, gue telanjang sekalipun, Hans. Di sini gue cuma alat buat pamerin produk mereka."

"Tapi itu ada mantan lo."

"Hah? Mantan?"

Oliv langsung tertawa.

"Nggak usah sok cemburu gitu deh. Aneh, tahu? Lo kok bisa ke sini? Yuk, ikut dinner. Gue kenalin lo entar ke Junee, siapa tahu lo diajak agensinya colab. Lumayan, kan? Gue kenalin lo juga deh, sama orang yang lo bilang mantan gue. Ada-ada aja deh lo."

Oliv langsung menarik Hansen yang tidak sempat menjawab, mendekati kerumunan model itu.

***

Acara makan malam berlangsung menyenangkan. Hansen dengan cepat berbaur dengan para model dan kru, yang sangat ramah dan hangat menyambutnya.

Hansen baru menyadari, dia hanya tahu sedikit tentang dunia modelling Oliv. Lebih tepatnya, dia tidak tahu dunia Oliv di luar keluarga dan geng mereka.

Mereka baru berpisah di lorong hotel, masuk ke kamar masing-masing yang berada di lantai yang sama. Hansen yang datang belakangan, tidak punya pilihan selain mengambil kamar di lantai yang berbeda.

Namun Hansen justru mengekori Oliv masuk ke kamarnya, diiringi tatapan penuh arti oleh yang lain.

Yang lain jelas tahu, kenapa pria yang Oliv bilang BFF-nya ini mendadak menyusul Oliv dari Indonesia dan menempeli Oliv semalaman seperti lintah.

"Kok lo ngikutin gue?" tanya Oliv bingung.

"Gue masih pengen ngobrol sama lo. Boleh kan?" ucap Hansen polos.

Oliv menoleh pada Bagas yang masih berdiri di depan pintu kamarnya, mengamati keduanya. Bagas hanya mengangguk, memberi kode dengan menunjuk ponsel dan tangan yang ditempel di telinga.

Pokoknya, kalau ada apa-apa, telepon abang.

Oliv mengangguk, dan mempersilakan Hansen masuk.

***

"Gue tahu pasti Sigit yang cerita-cerita soal Nando," ucap Oliv sambil membuka botol air mineral. Oliv sudah mandi dan mengenakan pakaian santai, duduk bersila di atas sofa.

Hansen menyender nyaman di sebelahnya, tangannya memegang kaleng soft drink yang sudah terminum setengahnya.

"Jadi sekarang lo sama dia nggak ada apa-apa?"

"Dari dulu juga nggak ada apa-apa. Orangnya asik sih, soft banget juga. Tapi ternyata ciumannya nggak bikin spark. Jadi gue tahu, ya emang nggak ada rasa."

Hansen yang sedang menenggak minumannya, langsung tersedak.

"Lo pernah ciuman sama dia?! Ciuman beneran?!"

"Dih, ngegas. Emangnya itu hal besar ya?" ucap Oliv sewot.

"Lo nggak pernah pacaran sama dia dan lo ciuman?!"

"Emangnya harus pacaran baru boleh ciuman? Dulu lo cium gue, kita nggak pacaran."

"Itu kan gue nggak sengaja. Lo juga, pake acara jatuh ke gue. Atau jangan-jangan lo sengaja?"

Wajah Oliv sontak memerah.

"Nggak ya, ngaco! Gue beneran kesandung kaki gue sendiri!"

"Iya, iya, gue percaya," ucap Hansen kalem, yang justru terdengar seperti meledek Oliv.

Oliv langsung memukul Hansen.

"Rese lo!"

"Aww! Liv, sakit! Barbar banget sih!"

Hansen berusaha menghindari pukulan Oliv dan menahan tangannya, membuat Oliv mendongak dan menemukan Hansen sedang menatapnya.

Seketika, suasana berubah. Oliv terdiam, menatap Hansen yang menatapnya intens, membuat jantungnya berdebar tak terkendali.

Cengkeraman Hansen di lengannya terasa kuat, namun tidak menyakitkan. Justru, yang Oliv rasakan adalah panas.

Gue harus menjauh. Kalau nggak, gue bisa gila.

"Hans, lepasin tangan gue -"

"Lo bilang, lo bisa tahu lo ada rasa, kalau ada spark waktu lo ciuman kan?"

Hah?

"Technically, gue nggak ngomong kayak gitu, tapi -"

"Gue boleh cium lo?"

HAH?!

"Woah, tunggu dulu -"

Oliv terdiam saat merasakan bibir Hansen menyentuh pipinya, nyaris mengenai sudut bibirnya. Ciuman itu lembut, hanya terjadi sedetik sebelum Hansen menarik wajahnya. Namun dia tidak menjauh.

Hidungnya nyaris bersentuhan dengan hidung Oliv, dan matanya yang coklat madu menatap Oliv intens, menilai reaksi Oliv. Oliv bisa melihat keraguan dan harapan di mata Hansen, dan untuk pertama kalinya, Oliv bisa melihat binar itu.

Binar mata yang sedang jatuh cinta.

Jantung Oliv langsung berulah.

This is what she's waiting for.

Persetan semuanya.

Oliv memajukan wajahnya dan menyentuhkan kedua bibir mereka.

***

Hansen tahu dia bertaruh terlalu jauh.

Jika Oliv marah dan merasa dilecehkan, habislah semuanya.

Hansen masih berusaha mencari tahu reaksi Oliv karena ciumannya yang tiba-tiba itu, saat Oliv menyentuhkan bibirnya di bibir Hansen.

Selama beberapa detik, Hansen hanya mampu terdiam.

Otaknya berusaha memproses apa yang terjadi.

Oliv sungguh-sungguh menciumnya?

Belum sempat Hansen meresapi apa yang terjadi, Oliv menarik bibirnya dari Hansen.

Sayangnya, bagi Hansen, itu belum cukup.

Hansen maju, mempertemukan kedua bibir mereka kembali.

Dan kali ini, dia tidak tinggal diam.

Jantungnya berdebar kencang tak terkendali, namun Hansen tidak peduli. Yang dia pedulikan sekarang adalah dia ingin merasakan Oliv.

Hansen membuka bibirnya, dan memagut bibir Oliv perlahan. Menggodanya, dan sesekali menggigit bibir bawah Oliv pelan.

Batin Hansen bersorak girang saat merasakan Oliv membalas pagutannya.

Jantungnya berdebar kian keras, saat Hansen menggoda bibir Oliv agar membuka.

Dia menginginkan lebih, dan Oliv membuka bibirnya, memberi akses pada Hansen untuk menjelajah lebih dalam.

Hansen mungkin masih perjaka, tapi dia sudah berpengalaman. Batas keintiman antara dia dan Astrid saat masih bersama hanya sebatas ciuman bibir, jadi Astrid selalu meminta itu setiap mereka bertemu dulu.

Ditambah lagi, Hansen cukup sering melakonkan pasangan di layar lebar. Entah sudah berapa adegan ciuman dia lakukan.

Tapi, ini berbeda.

Cinta membuatnya merasa seperti remaja yang baru belajar ciuman. Debaran jantungnya menggila, dan pikirannya hanya terfokus pada Oliv.

Tanpa sadar, Hansen sudah menarik Oliv duduk di pangkuannya, sembari terus menciuminya.

Dia baru melepaskannya saat Oliv mendorongnya karena kehabisan nafas.

Kedua tangan Hansen melingkari pinggang Oliv, sementara tangan Oliv tanpa sadar sudah berada di bahu Hansen.

"Hei," panggil Hansen serak, belum pulih sepenuhnya dari ciuman mereka barusan.

Oliv bergumam pelan dengan nafas terengah, masih berusaha menetralkan nafasnya yang memburu.

"Give me a chance, Liv. Give us a chance. Gimana kalau kita mulai dengan kamu pacaran denganku?"

***

Oliv bersidekap, dia menatap Hansen dengan perasaan terkhianati.

"Katanya nggak mau pacaran. Pacaran buat apa. Nggak penting. Ngapain pacaran."

Hansen menghela nafas panjang. Saat ini hanya ada mereka berdua di kamar. Sigit sudah pulang karena panti asuhannya ada jam malam, sementara Oliv belum dijemput.

"Ya itu kan waktu SMP. Sekarang kita sudah SMA. Wajar dong kalau pacaran."

"Tetap aja. Bisa-bisanya kamu pacaran duluan dibanding aku. Kan kamu kayak bocah."

Hansen berdecak.

"Kamu tuh yang masih kayak bocah. Hobinya ngambek. Nggak tinggi-tinggi juga."

"Heh!! Aku tinggi ya!! Aku udah seratus tujuh puluh senti!!"

"Tapi kamu lebih pendek dari aku sekarang," ledek Hansen dengan nada kalem, membuat Oliv makin naik pitam.

Padahal, dia paling tinggi di kelasnya. Ada anak cowok yang bahkan lebih pendek darinya.

Heran, cowok ini kenapa tumbuhnya kelewatan begini sih?!

"Lihat saja, nanti aku pasti lebih tinggi dari kamu!!" ucap Oliv sambil meninjit, supaya terlihat lebih tinggi.

Hansen semakin bersemangat mengejek Oliv.

"Udahlah, kamu udah nggak bisa tinggi lagi. Terima aja nasibmu lebih pendek dari aku."

"Nggak!! Aku pasti bisa lebih tinggi -"

"Oliv!!"

Oliv yang masih meninjit, tersandung saat berusaha mendekati Hansen, dan menimpa Hansen. Hansen secara spontan mengulurkan tangannya dan memeluk Oliv.

Untungnya, mereka terjatuh di atas karpet. Namun wajah mereka berbenturan, dan kedua bibir mereka bertemu.

Keduanya saling membelalak, dan buru-buru menjauhkan diri.

"Ah!! Ciuman pertama Oliv!!!" jerit Oliv tidak terima.

"Sialan, ciuman pertama aku juga hilang!"

Oliv langsung merengek.

"Yah, kan aku mau ciuman pertama pas habis baca vow. Gara-gara kamu, batal!!"

"Harusnya aku yang marah dong! Kamu yang kesandung, kamu yang cium aku!"

"Aku nggak cium kamu!"

Tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan ibu Hansen muncul, membuat keduanya sontak terdiam.

"Ada apa kalian ribut-ribut?"

Keduanya dengan serempak menggeleng.

Malu kalau ketahuan mereka sama-sama kehilangan ciuman pertama mereka.

Ibu Hansen hanya geleng-geleng kepala.

"Ya udah. Oliv, tuh udah dijemput."

"Iya, Ayi."

Oliv mengambil tasnya, dan berpamitan pada ibu Hansen, sengaja tidak memedulikan Hansen dan buru-buru keluar kamar, diikuti ibu Hansen.

Baru setelah pintu tertutup dan Hansen sendirian, dia menyentuh bibirnya.

Tanpa sadar dia tersenyum.

Tbc

Sorry for typos

Kalau ada yang kurang, silakan komen di sini. Nggak perlu komplen aku lama nggak update karena aku sudah sadar diri, tidak perlu diingatkan, tidak perlu disindir juga. Aku sadar kok.

Maaf ya...

Semoga feelnya dapat ya. Aku sedang berusaha kembali on track tapi susah banget.

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro