dua puluh tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kediaman Barata dibangun di atas tanah seluas 2200 meter persegi, terdiri dari tiga lantai dan total delapan kamar tidur dan delapan kamar mandi, tidak termasuk toilet. Di bagian luar rumah, selain ada garasi yang mampu menampung kurang lebih delapan mobil, kebun yang terawat, serta kolam renang berukuran 10x5 meter, terdapat pavilliun untuk para pegawai Barata tinggali.

Dengan ukuran rumah sebesar itu, tidak heran banyak sekali ruangan yang tidak lazim ada di rumah biasa, ada di sana. Mereka bahkan punya dua ruang tamu, satu untuk tamu yang formal dan tidak terlalu dekat. Satu lagi untuk tamu yang lebih akrab, seperti teman, atau rekan kerja yang sudah biasa bertemu.

Mereka juga punya ballroom yang sangat luas, di lantai dua, dengan grand piano putih dan chandelier sebagai dekorasi. Benar-benar dekorasi, karena chandelier-nya tidak pernah dipakai, dan pianonya lebih sering menganggur daripada dimainkan. Alasannya, tidak ada satupun anak-anak Barata yang berhasil lulus dari les piano. Oliv hanya bisa main twinkle twinkle little star dengan beres. Bang Hari dan Leon lebih parah lagi. Lewat hari pertama, mereka tidak mau datang lagi ke tempat les. Untungnya sekarang, Maisie, putri kecil Bang Hari, tampaknya berbakat musik dan mau les piano. Jadi pianonya tidak terlalu menganggur lagi karena dipakai Maisie latihan.

Ruangan yang paling Oliv sukai, dan dibuat karena permintaan Oliv, adalah home theater. Salah satu kamar yang menganggur di lantai tiga, dirombak besar-besaran sebagai hadiah ulang tahun Oliv yang ke tujuh belas. Dua set sofabed yang luas dan nyaman disusun depan belakang, dengan posisi yang belakang lebih tinggi. Di bagian dinding sebelah kanan diletakkan rak dan lemari es yang dipenuhi berbagai jenis kudapan dan minuman.

Ini bukan pertama kalinya Oliv mengajak Hansen nonton bareng di ruangan ini, tapi baru kali ini mereka nonton hanya berdua.

Walaupun rasanya agak aneh dan canggung, setidaknya ini rumah gue, zona gue, batin Oliv menenangkan dirinya sendiri.

Oliv langsung mengambil alih bungkusan di tangan Hansen dan menuju rak untuk mengambil mangkuk.

"Lo pilih sendiri minumnya deh, di kulkas," kata Oliv, dan Hansen menurutinya, walaupun mulutnya tetap saja menggoda Oliv.

"Nggak jadi kasih gue whiskey?"

"Kagak. Ntar lo mabok, gue yang repot."

Hansen tertawa pelan. Dia mengeluarkan dua botol air mineral dingin, lalu meletakkannya di meja samping sofabed, diikuti Oliv.

Film yang mereka pilih adalah film action terbaru Keanu Reeves, yang merupakan sekuel yang mereka ikuti tapi belum sempat nonton yang terbaru.

Oliv duduk bersila dengan selimut membungkus kakinya, dan mangkuk edamame diatas selimut. Hansen duduk tepat di sebelah Oliv, menyandar nyaman dengan kaki diluruskan.

Oliv tahu ini seharusnya biasa saja, posisi mereka juga hanya bersebelahan, tanpa saling bersentuhan. Suhu udara pun cukup dingin, karena AC menyala di suhu delapan belas derajat celsius. Tapi dia merasakan hawa panas dari sebelah kanannya. Jantungnya pun berdegup tak karuan. Dia tidak bisa menahan godaan untuk sesekali melirik kaki Hansen, atau tangan Hansen yang memegang botol air. Beberapa kali Oliv bahkan melirik wajah Hansen yang tampak serius menonton.

Dalam hatinya, Oliv terus memaki jantung bodohnya yang jelas-jelas gagal total.

Move on my ass, batin Oliv keki. Duduk sebelahan doang aja udah bikin ketar ketir begini. Jantung bego.

Lalu, tiba-tiba saja, Hansen menoleh dan menatap Oliv bingung.

"Lo nggak nonton? Kenapa lo liatin gue?"

"Gu-gue nggak liatin lo! Gue mau minta tolong ambil air gue!" elak Oliv buru-buru.

Untung saja ruangan itu gelap, jadi Hansen tidak mungkin sadar kalau wajah Oliv sudah merah semerah-merahnya.

Bego banget, Liv, ketahuan gitu. Untung udah belajar ngeles sekarang, maki Oliv dalam hati.

Hansen mengambil botol air mineral di meja, lalu membuka tutupnya sebelum menyodorkannya ke Oliv.

"Ngomong dong. Eh, edamame lo udah habis?"

"Belum. Gue kenyang. Thanks," ucap Oliv sambil mengambil botol itu dan meneguk isinya.

Hansen mengambil mangkuk di pangkuan Oliv, lalu meletakkannya di atas meja. Begitu Oliv selesai minum, Hansen otomatis mengambil alih botol airnya dan menutupnya sebelum menaruhnya kembali di atas meja.

Lalu, tiba-tiba saja, Hansen bergeser mendekati Oliv, membuat bahu mereka bersentuhan.

Jantung Oliv kembali berulah.

"Liv, bagi selimut dong. Dingin."

"Apaan sih lo? Dari tadi nggak ada ngeluh dingin."

"Nggak tahu juga, tiba-tiba dingin."

Hansen menarik pelan selimut Oliv, dan Oliv membiarkannya walaupun mulutnya terus menggerutu.

"Selimut masih ada lho, di sana," gerutu Oliv. "Ambil lagi lah, jangan ambil punya gue."

"Nggak, ah. Kayak musuhan aja, pake masing-masing. Pake bareng aja, lebih hangat."

Oliv berdecak kesal, namun membiarkan Hansen menyelimuti kaki mereka berdua.

Nih orang benar-benar jadi aneh. Kerasukan apaan sih? Batin Oliv kesal.

Oliv berjengit kaget saat Hansen tiba-tiba menyentuh rambutnya, yang warna marunnya sudah mulai luntur.

"Kalau lihat lo sekarang, lo mirip banget sama Aerith."

Oliv melotot sejadi-jadinya.

Seperti Oliv yang jatuh cinta setengah mati dengan karakter Final Fantasy bernama Squal Leonhart, Hansen si culun tukang main game itu juga menyukai salah satu karakter di Final Fantasy VII, gadis cantik berambut coklat muda dan berkepang bernama Aerith Gainsborough.

Seperti Oliv yang sesumbar kalau Squal adalah ayang honey bunny sweety-nya, Hansen juga berkata kalau Aerith itu tipe idealnya.

Hansen bisa mengulang permainan FF VII CD pertama berkali-kali, hanya demi melihat Aerith. Dulu, di kamarnya, ada poster besar Aerith tertempel. Tidak hanya satu, tapi tiga. Mending posenya beda, tapi ini sama semua.

Kalau bukan karena paksaan Oliv, Hansen pasti lebih memilih main FF VII daripada VIII.

Walaupun akhirnya mereka berdua, setelah remaja, sadar kalau karakter yang mereka cintai itu tidak nyata, dan berhenti berhalusinasi akan menikahi karakter itu.

Tapi Oliv terkejut saat Hansen tiba-tiba berkata seperti ini.

Aerith Gainsborough sangat berkebalikan dengan Olivia Barata. Aerith gadis penjual bunga yang mungil, manis, periang. Sementara Oliv -

Tangan Hansen mengusap kepalanya dengan gemas, membuat Oliv tersadar, dan melihat Hansen yang tersenyum geli.

"Nonton, Liv. Jangan liatin gue terus. Gila ya, untung kita nonton di rumah lo. Kalau di bioskop, kita pasti udah kena tegur. Berisik banget dari tadi."

"Lah, siapa yang berisik? Lo tuh yang dari tadi ngomong melulu."

"Ya udah, nonton, nonton," ucap Hansen, masih sambil tersenyum, seraya merangkul Oliv supaya menyender ke arahnya.

"Ih, kok lo rangkul-rangkul gue?"

"Biar hangat. Ah, lo juga dulu biasanya nempel-nempel ke gue."

"Itu pas jaman kita SMP, Bambang! Pas temen gue cuma lo!"

"Ya udahlah, anggap aja sekarang gantian."

"Gantian my ass."

"Sttt, udah bagian seru nih."

Oliv berdecak, namun kepalanya kembali mengarah pada layar, walaupun jantungnya masih saja berdegup kencang.

***

Oliv meregangkan tubuhnya begitu film selesai. Dalam hatinya merutuk, gue kayaknya harus nonton ulang. Nggak konsen sama sekali ternyata, nonton bareng Hansen. Sial.

Oliv beranjak untuk menyalakan lampu serta mematikan layar proyektor, sementara Hansen otomatis melipat selimut dan merapikan meja samping sofa.

"Tinggalin aja, Hans, entar juga ada yang beresin," kata Oliv begitu melihat Hansen sibuk memisahkan kulit edamame untuk dibuang.

"Nggak apa-apa. Gue nggak tahu mau ngapain sambil nungguin lo."

"Kalau gitu, sekalian nyapu aja."

Lalu keduanya tertawa.

Hansen kembali merebahkan dirinya di sofabed, diikuti Oliv yang sudah mematikan proyektor.

"Asik juga ya, punya home theater. Gue jadi pengen bikin juga."

"Ya kan, asik kan. Apalagi sekarang tinggal langganan aplikasi nonton. Series-nya juga seru-seru. Kalau nggak ingat mesti kerja, gue bisa mendekam di sini, nonton seharian. "

"Kalau gue jadi bikin, lo bantuin gue desain dan pilih furniture, ya."

"Oke."

"Eh, Liv," panggil Hansen tiba-tiba.

"Kalau lo disuruh milih, lo lebih milih tinggal di rumah tapak atau apartemen?"

Oliv langsung menoleh bingung, tapi Hansen sama sekali tidak menatap Oliv. Matanya menerawang, menatap ke langit-langit, tampak seperti berpikir. Tapi Oliv tahu, Hansen jarang bertanya untuk basa-basi. Jadi, Oliv menjawabnya walau masih bingung.

"Rumah tapak dong. Apartemen kekecilan. Gue pengen rumah minimal dua lantai, ada taman besar buat nyantai, rooftop buat barbekyu, home theater, perpustakaan mini-"

Oliv terdiam begitu menyadari tatapan Hansen sudah beralih ke arahnya.

Hampir dua puluh tahun berteman dengan Hansen, baru kali ini Hansen menatapnya dengan lembut dan penuh perhatian seperti ini.

Maksudnya, selama ini - tentu saja kecuali masa-masa Hansen pacaran dengan Astrid - Hansen selalu perhatian dengan Oliv. Tapi tidak pernah dengan tatapan seperti ini.

Hansen kenapa makin aneh? Batin Oliv dengan jantung yang kembali berulah.

Kalau gue nggak kenal Hansen, gue pasti mengira dia naksir gue.

"Lho? Kok diam? Terusin dong," ucap Hansen.

"Ya, lo liatin gue aneh gitu. Kenapa, naksir ya?" tembak Oliv asal.

Itu benar-benar ucapan asal yang dicetuskannya karena grogi.

Lagian Hansen kesambet apa sih? Aneh banget sumpah.

Oliv mengira Hansen akan tertawa, lalu mengejek Oliv kegeeran. Tapi Hansen malah diam, dan matanya tetap menatap Oliv. Senyum tipis tersungging dari bibirnya, tapi itu bukan senyum meledek.

Oliv langsung salah tingkah.

Kenapa sekarang dia malah diam sih?!

"Kalau gue bilang iya, lo percaya nggak?" tanya Hansen tiba-tiba, membuat Oliv menganga.

Kalau tadi jantungnya hanya berdegup kencang, kali ini ucapan Hansen berhasil membuat jantung Oliv salto di tempat.

Oliv secara otomatis menjauhkan dirinya dari Hansen, dan menatap Hansen tidak percaya.

"Wah, lo sih bercandanya kelewatan lho. Ya kali beneran lo naksir gue. Serem banget, Hans," jawab Oliv sambil tertawa gugup.

Dia mengira kali ini Hansen akan menjawabnya dengan ledekan atau tawa juga. Lalu Hansen bakal bilang, "ya ampun, Liv. Gue nggak serius kali. Santai aja, lah."

Lagi-lagi Oliv salah.

Hansen justru menjawab, "kenapa serem? Biasa aja kali. Gue cowok single, lo cewek single, yang jelas-jelas menarik banget. Wajar banget kalau gue naksir lo."

Mulit Oliv kembali menganga.

Hansen tersenyum geli melihat ekspresi Oliv, lalu mendorong rahang Oliv pelan.

"Mangap aja lo, ntar dilaletin lho."

Oliv seketika tersadar, lalu buru-buru menepis tangan Hansen.

"Becanda lo sama sekali nggak lucu, Hans."

"Gue sama sekali nggak bercanda, Liv."

"Iya, kayak gue bakal percaya aja," ucap Oliv sambil mendengus. "Lo yang dari awal koar-koar kita sahabatan, nggak bakalan saling naksir, sekarang tiba-tiba bilang naksir gue. Ngelawak ya lo?"

Hansen angkat bahu.

"Mungkin gue ngomong gitu karena gue nggak mau ketahuan naksir sama lo?"

"Hah?!"

Oliv melotot sejadi-jadinya.

Sumpah, ini salah satu jenis percakapan yang bahkan Oliv tidak pernah mimpi akan pernah terjadi. Mengkhayalkannya saja tidak pernah.

Oliv sama sekali tidak tahu harus menanggapi seperti apa.

Menghadapi Hansen yang terus menerus membuatnya patah hati jauh lebih mudah. Dia tinggal mengomeli Hansen saja.

Bercanda dengan Hansen tentu saja lebih mudah lagi. Dia tinggal bicara seenak jidatnya dan tertawa bersama Hansen.

Tapi ini? Hansen secara tidak langsung mengakui dia naksir Oliv, dan Oliv tidak tahu harus menanggapi seperti apa.

Tertawa? Tapi Hansen membuatnya salah tingkah. Bagaimana caranya dia tertawa di saat seperti ini?

Apa dia harus mengomel saja?

Tapi apa yang harus dia omeli?

Hansen masih tersenyum tipis saat melihat Oliv yang tampak benar-benar kebingungan.

"Jangan terlalu dipikirkan, Liv. Biasa aja ke gue."

"Gimana caranya gue biasa aja ke lo, tapi lo ngomongin hal yang nggak biasa ke gue?!" omel Oliv tanpa sadar, dan Hansen meloloskan tawa kecil dari mulutnya.

Dia sudah khawatir Oliv akan bersikap canggung padanya, melihat dari ekspresi Oliv yang terus berubah-ubah sedari tadi.

Tapi, mendengar Oliv tiba-tiba mengomel, Hansen merasa lega.

Setidaknya, Oliv masih bisa mengomelinya.

"Sorry, Liv. Gue-"

Baru saja Hansen berniat menjelaskan, ponselnya bergetar di atas meja.

Keduanya serentak menoleh pada asal getar, dan Hansen mengambilnya.

"Nyokap gue. Video call."

"Oh, angkat dong. Gue kangen sama Ayi."

Hansen menggeser tombol hijau, dan wajah wanita yang sebaya ibu Oliv muncul di layar.

"Ayiiii!!!" panggil Oliv penuh semangat, dan senyum wanita di seberang telepon langsung merekah lebar.

"Oliv, ya? Ya ampun, cantik banget kamu. Apa kabar?"

"Baik, Ayi!! Ayi apa kabar? Acek mana?"

"Puji Tuhan baik. Acek ada nih, lagi nonton berita. Kamu lagi jalan sama Hans?"

"Nggak, Mi. Aku di rumah Oliv, kita habis nonton bareng," jawab Hansen.

"Oh... Kalian pacaran?"

"Nggak!" jawab Oliv cepat, dan ibu Hansen tertawa di seberang telepon.

"Ya ampun, kalian ini masih sama aja kayak dulu - "

Lalu tawa ibu Hansen perlahan memudar, saat menyadari ada yang berbeda kali ini.

Biasanya, mereka berdua akan mengelak. Tapi kali ini, pertama kalinya Hansen tidak membantah.

Oliv juga menyadari hal yang sama, dan menoleh pada Hansen dengan tatapan kesal campur bingung. Matanya seakan menyiratkan, lo kenapa nggak ngomong apa-apa? Ntar nyokap lo curiga kita ada apa-apa gimana?

Hansen sama sekali tidak menoleh pada Oliv, tertawa pelan menimpali ibunya. Dia masih tertawa pelan meskipun ibunya sudah berhenti tertawa, dan justru sekarang tersenyum menatap mereka.

Sebenarnya beliau ingin menelepon untuk membahas masalah Hansen dan mantan pacarnya, tapi kedua insan di seberang telepon membuat wanita itu berubah pikiran.

Keduanya mungkin bersikap akrab dan berisik, sama seperti waktu mereka kecil, tapi beliau tidak bisa dibohongi.

Rasa yang sudah ada sejak keduanya remaja, masih ada di sana. Diam, menunggu.

Lain kali saja, batin beliau. Tidak perlu membicarakan masalah tidak penting itu sekarang.

"Kok Hans diam? Ada rencana pacaran, ya?" goda beliau.

Hansen tertawa, sementara Oliv menyikut Hansen keras.

"Kok lo diam sih?!" Oliv buru-buru menoleh pada Ibu Hansen dan menggeleng.

"Nggak ada, Yi. Ayi kapan ke Jakarta, nih? Kangen banget sama Ayi," tanya Oliv berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Belum tahu, nih. Acek belum keluar suara kapan mau jalan, Ayi nggak berani janji. Gimana kalau kalian saja yang ke Medan?"

"Ahhh... Mau banget... Kangen Medan..."

Pembicaraan mereka terus berlanjut, tanpa kembali lagi ke topik awal.

Tapi Ibu Hansen, Yenny Wijaya tentu saja tidak lupa.

Setelah telepon ditutup, beliau berbalik kepada suaminya yang masih asik menonton berita.

"Gimana Hansen?" tanya Yusak Wijaya tanpa mengalihkan pandangan dari televisi.

"Baik-baik saja. Dia juga kelihatan lebih happy."

"Jadi, yang Astrid bilang benar? Hansen putus dengannya karena Oliv?"

"Aku belum tanya. Tapi kok aku lebih suka Hansen sama Oliv saja ya, dari pada sama Astrid?"

Yusak bergumam pelan, namun Yenny tahu, suaminya pun setuju dengan pemikirannya.

Mereka tidak tahu alasan Hansen dan Astrid putus. Namun, mereka tidak terlalu peduli.

Karena, sebagai orang tua, keduanya sebenarnya tidak terlalu menyukai mantan kekasih Hansen itu. Mereka hanya menghargai keputusan Hansen. Astrid juga selalu bersikap baik pada mereka, sehingga tidak ada alasan untuk menolak gadis itu. Bahkan sampai sekarang, Astrid masih sering menghubungi dan menanyakan kabar mereka.

"Sudahlah, biar itu jadi urusan anak muda. Kita cukup hanya mengamati, dan memberi pendapat. Sisanya, biar Hansen yang putuskan," kata Yusak pelan. Beliau mematikan televisi dan menoleh kepada istrinya.

"Jadi kapan kita akan ke Jakarta?"

Tbc

Haiiiiiiiiiiiiiii

Sorry for typos

Byeeeeeeeeeeee

#kabursebelumdiomelinkarenalamatidakupdate

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro