dua puluh dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Oliv dan Ayu mengucapkan terima kasih pada trainer kelas pilates privat mereka pagi itu, sebelum pelayan mengarahkan trainer itu keluar dari ruang latihan di rumah Oliv.

Ayu merebahkan tubuhnya di atas yoga matt, sementara Oliv duduk di sebelahnya sambil mengelap keringat dengan handuk.

"Asyik kan, olahraga pagi?"

"Capek banget. Tapi boleh lah, kapan-kapan gue ikut lo olahraga lagi," kata Ayu, dan Oliv nyengir lebar.

"Kalau bisa ikut, ikut aja. Gue harus rutin nih, mungkin tiap hari. Dua minggu lagi udah terbang. Eh, lo nggak bisa ikut, ya?"

Ayu merengut.

"Nggak bisa. Bayi besar ngomel. Lo mestinya dengar pas semalam gue kasih tahu dia gue mau ikut lo ke Amrik." Ayu meniru nada bicara Sigit saat dia melanjutkan keluhannya, "seminggu? Nggak, Yu. Sehari aja nggak boleh. Mau seminggu pula. Aku nggak bisa tidur kalau nggak ada kamu. Padahal biasanya gue selesai mandi, dia udah ngorok. Halah."

Oliv tertawa ngakak.

"Bukannya lo yang nggak bisa tidur kalau nggak ada dia?"

Ayu mengibaskan tangannya.

"Bisa-bisain aja. Kalau capek gue pasti tidur juga kok. Mana kuat begadang seminggu. Palingan lo dengerin gue teleponan mesra aja sama Sigit."

Oliv tertawa makin keras.

"Najis, ogah gue dengerin lo mesra-mesraan di telepon. Untung aja lo nggak ikut kalau gitu."

Ayu ikut tertawa ngakak.

Setelah tawa keduanya reda, Ayu bertanya pada Oliv.

"Jadi lo pergi sama siapa? Lo jangan pergi sendiri lho. Mana cukup lama kan lo di sana?"

"Lumayan sih. Semingguan kalau nggak salah. Gue udah kasih tahu abang gue sih, jadinya gue berangkat berdua sama Bang Bagas."

"Oh. Aman deh kalau gitu. Ini lo nggak photoshoot sendiri kan?" tanya Ayu.

"Nggak. Rame-rame. Biasanya se-tim berlima-berenam gitu."

"Padahal gue pengen lihat," keluh Ayu lagi. "Si aktor Yamazaki Rei masih jadi brand ambassador?"

"Masih, tapi gue nggak kebagian sama dia. Lo ingat idol cewek Korea yang ngehits banget lima tahun terakhir ini kan? Nah, gue kebagiannya sama dia. Udah dua tahun gue bareng dia melulu."

"Oh, kayaknya gue tahu. Junee BirdPlane, ya?"

Oliv mengangguk.

"Ada siapa lagi? Yang gue tahu? Ehhhh....."

Ayu bangkit dan duduk bersila menghadap Oliv, wajahnya tampak serius, namun matanya berkilat iseng.

"Cowok itu ada?"

Oliv langsung menampakkan wajah malas.

"Ada."

Ayu langsung tertawa.

"Ah, lo bikin gue makin pengen ikut. Mau lihat lo sama dia awkward nggak."

Oliv ikut tertawa.

"Sialan. Biasa aja kali. Orang gue sama dia baik-baik aja. Media doang yang lebay."

Ponsel Oliv tiba-tiba berdering, dan Oliv mengernyit melihat nama yang berkedip di layar.

"Halo? Kenapa, Hans?"

"Lo hari ini sibuk nggak?"

"Nggak sih. Kenapa?"

"Keluar, yuk. Gue mau nonton. Ntar gue ajak lo ngafe deh."

Oliv menghela nafas panjang.

"Yah... Gue lagi diet..."

"Diet? Kenapa lo diet?"

"Dua minggu lagi gue ada photoshoot."

Hening sesaat, tampaknya Hansen sedang berpikir di seberang sana.

Ayu melempar pandang pada Oliv, yang dibalas Oliv dengan mengangkat bahu. Lalu senyum Ayu terbit, ekspresinya seakan menggoda Oliv, membuat Oliv berdecak.

"Oh, yang brand besar itu? Kapan lo berangkat?"

"Jumat depan."

"Oh..."

Oliv mengernyit, tiba-tiba merasa tidak enak. Dia melempar pandang pada Ayu yang ikut mengernyit, seakan bertanya lewat tatapannya.

Menurut lo, mending gue iya in atau nggak?

Terserah lo, lah, batin Ayu sambil mengangkat bahu.

"Err... Tapi nonton doang nggak apa-apa sih. Gue bisa kalau nonton. Gue bisa bawa makanan gue sendiri juga."

Ayu menutup mulutnya untuk menahan tawa.

Niat banget lo, ledek Ayu tanpa menyembunyikan kilat ledekan dari kedua matanya.

Diam lo, omel Oliv dengan tatapan matanya dan kerucutan bibir, membuat cengiran Ayu semakin lebar.

"Lo nggak apa-apa? Jangan lah. Gue main ke rumah lo aja boleh? Lo keberatan nggak?"

"Lho? Lo bukannya mau nonton?"

"Ya, bisa nonton yang lain. Biar lo nggak ribet juga. Gue numpang nonton palingan, di tempat lo. Atau lo mau di rumah gue aja?"

"Hmm... Rumah gue aja deh," putus Oliv.

Bukannya apa, tapi dia ingat rumah Hansen kan hanya ada Hansen dan ART-nya. Kalau di rumah ini, ramai. Palingan Oliv jadi bahan ledekan si abang kalau ketahuan.

Halah, kenapa lo jadi canggung gitu sih, Liv. Biasa juga main nyelonong masuk rumah Hansen.

Ya habisnya Hansen lagi aneh. Kan gue jadi canggung.

Percakapan mereka via telepon ini saja, walaupun sebenarnya cukup normal, tapi feeling Oliv merasakan ada yang janggal. Entah apa.

"Oke, satu jam lagi gue sampe ya. Oh iya, lo boleh makan edamame?"

"Boleh. Lo mau bawain?"

"Kalau lo mau."

Oliv tanpa sadar tersenyum lebar.

"Mau."

"Oke, see you."

Oliv memutus sambungan telepon, lalu meledaklah tawa Ayu.

"Niat banget lo!!"

"Diem aja bawel," omel Oliv.

"Kayaknya dekat sama Ron nggak membantu banyak ya."

Oliv langsung menjatuhkan tubuhnya di atas matt sambil menghela nafas panjang.

"Tadinya sangat membantu. Tapi Hansen mendadak aneh sejak gue dan dia ketemu Astrid kemarin."

Lalu Oliv bercerita pada Ayu tentang kejadian di basement waktu itu.

Ayu diam mendengarkan dengan dahi yang kian lama kian mengernyit.

Selesai Oliv bercerita, Ayu langsung bertanya, "habis itu, lo belum ketemu Hansen lagi?"

Oliv menggeleng.

"Belum. Baru hari ini lagi. Gue juga belum janjian ketemu Ron lagi minggu ini. Dia lagi sibuk. Tapi masih rutin telepon sih..."

"Oh..."

Oliv menghela nafas lagi.

"Suka sama Ron itu sebenarnya gampang banget. Tapi gue langsung ngaco kalau Hansen jadi aneh. Gue merasa bersalah sama Ron."

"Ya. Dari awal, ini emang nggak fair buat Ron. Proyek pelarian nggak pernah adil buat orang ketiga."

"Kesal banget gue... Padahal menurut logika, harusnya gue udah nggak terpengaruh sama perubahan suasana hati Hansen. Gue sama dia kan cuma sahabat."

"Masalahnya, urusan hati siapa yang bisa ngatur, Liv? Tapi tindakan lo nggak selalu harus sesuai hati lo kok. Kalau logika sama hati lo bertentangan, lo bisa kok, berusaha supaya mereka bisa saling toleransi. Walaupun susah tapi bukannya nggak mungkin."

"Toleransi?"

"Iya. Walaupun hati lo mau banget, tapi kalau menurut logika lo itu hal bodoh, ya jangan dilakukan. Kira-kira begitu. Soalnya kita kan belum tahu kenapa Hansen jadi aneh. Jadi, lo boleh baper, tapi lo sebaiknya jangan tenggelam dalam kebaperan lo."

"Lo ngomong kok kayak pengalaman banget? Dulu sama Sigit gitu ya?" ledek Oliv, dan Ayu tertawa.

"Iya lah. Kalau dari awal gue nggak pasang boundaries ke hati gue dan ke Sigit, bisa-bisa gue cuma dijadiin mainan sama Sigit. Amit-amit."

Oliv, alih-alih tertawa, malah bangun dan memeluk Ayu.

"Untung lo kuat, Yu. Gue nggak bisa bayangin kalau si mantan manusia berengsek itu cuma mainin lo."

"Ya, palingan gue jadi depresi, terus Sigit udah tinggal nama doang," jawab Ayu masih sambil tergelak. Tangannya bergerak balas memeluk Oliv.

"Oh iya. Udah pasti itu. Gue pasti bantuin Theo buat mutilasi Sigit."

"Percayalah, gue pasti bakal ikutan," kata Ayu, dan Oliv ikut tertawa.

***

Begitu Ayu pulang, Oliv langsung pergi mandi dan bersiap. Dia memilih mengenakan overall denim selutut dengan t-shirt putih. Walaupun dia tidak keluar rumah, Oliv tidak suka kelihatan kucel dan tidak niat.

Setelah memakai skin care, Oliv merapikan alis dan mengoleskan lipgloss. Dia tidak mau menggunakan make up, mumpung di rumah. Yang penting wajahnya tetap glowing, tidak kucel. Toh, Hansen sudah pernah melihatnya bare face.

Rambutnya yang masih berwarna marun - Oliv harus ganti warna rambut tapi dia belum niat ke salon - dikepang asal.

Oliv memperhatikan penampilannya lewat cermin dan tersenyum puas, sebelum menyadari sesuatu.

Gue terlalu niat nggak sih? Batin Oliv bingung.

Nggak lah ya. Ini standar doang. Gue selalu harus rapi dan representable kapanpun dan di manapun, sangkal Oliv dalam hati, berusaha membela diri.

Oliv merapikan anak rambut yang membingkai wajahnya sebelum menarik nafas panjang.

Oke, ayo turun sekarang. Hansen harusnya bentar lagi sampai. Ayo lihat, apa Hansen masih seaneh kemarin atau nggak, batin Oliv.

***

Oliv menemukan Hansen ada di ruang tamu, sedang mengobrol dengan Hari Barata dan Bagas.

Hansen yang pertama menyadari keberadaan Oliv, langsung tersenyum.

"Hai, Liv."

"Hai, Hans. Udah lama?"

"Belum, baru aja sampai."

"Oh... Kok ada Abang? Nggak kerja?"

"Ini baru mau berangkat," ucap Hari sambil berdiri.

"Siang amat, mentang-mentang bosnya ya?" ledek Oliv, dan Hari mencibir.

"Abang pergi dulu. Kamu jangan aneh-aneh ya, dek. Ingat, kalau berduaan, yang ketiga itu setan," balas Hari, dan Oliv mencebik.

"Ih, nggak aneh-aneh kok. Pergi aja deh Bang, sana kerja yang bener, cari duit buat anak istri."

"Iya, bawel. Oh iya, kamu nggak keluar kan, hari ini? Bagas abang pinjam dulu ya."

"Sip. Bye Abang, bye Bang Bagas."

Hari pergi meninggalkan mereka, diikuti Bagas yang hanya tersenyum penuh arti pada Oliv, yang dibalas Oliv dengan cebikan.

Melihat senyum Bagas, Oliv yakin abangnya yang rese itu sudah memberi tahu Bagas perihal hubungannya dengan Hansen.

Sepertinya, sebelum seluruh dunia tahu, Bang Hari nggak bakalan berhenti deh, batin Oliv keki.

Begitu tinggal mereka berdua, Oliv baru mengalihkan pandangannya ke Hansen, yang sudah berdiri sambil menenteng kantong kertas.

Hansen tampil kasual dengan kaus oblong dan celana denim selutut. Rambutnya hanya disisir rapi, jatuh membingkai wajahnya yang agak tirus. Secara garis besar, penampilan Hansen seperti anak SMA atau anak yang baru masuk kuliah. Ditambah lagi, tubuhnya yang tinggi itu terhitung kurus. Bahunya cukup lebar, tapi pinggang dan kakinya ramping sekali, tipikal kaki yang cocok dipakaikan skinny jeans.

Siapa yang sangka dengan postur tubuh selangsing ini, dia menyembunyikan roti sobek di baliknya? batin Oliv, tanpa sadar tersenyum geli mengingat kejadian dia memelototi perut Hansen dulu.

"Kenapa lo senyum-senyum sendiri? Muka lo merah juga," tanya Hansen tiba-tiba, membuat Oliv tersadar. Dia buru-buru menggeleng sambil memegang wajahnya.

Muka gue jadi merah? Ah masa sih?

Ih malu-maluin banget deh. Mana lagi mikirin perut dia lagi.

"Nggak kok. Yuk, nonton. Lo mau nonton apa? Mana kacangnya? Lo mau minum apa? Gue cuma boleh minum air putih sekarang. Tapi di rumah lagi ada jus. Apel, mangga, melon, sirsak-"

Hansen menutup mulut Oliv yang mulai mengoceh tidak terkendali untuk menutupi rasa malunya. Senyum geli tersungging dari bibirnya, sementara mulutnya berucap, "satu-satu, Liv. Ada dua film yang katanya bagus, lo pilih deh mau yang mana. Gue minum apa aja."

Oliv kali ini bisa merasakan wajahnya memanas. Jantungnya langsung berulah, merasakan tangan Hansen di wajahnya, dan senyum Hansen-

Hansen masih aneh!!! batinnya, panik.

Nggak, gue nggak boleh terpengaruh, batinnya, berusaha menguatkan diri.

Hansen mau aneh atau nggak, gue harus biasa-biasa aja. Bodo amat jantung ini mau meledak atau gimana. Dasar jantung pengkhianat. Ngeselin banget.

Oliv menarik tangan Hansen untuk menjauhi wajahnya, dan menatap Hansen dengan cengiran iseng - semampunya.

"Apa aja, beneran? Gue kasih lo whisky juga boleh?"

"Lo mau gue nginap di sini?" tanya Hansen, dengan wajah bingung tanpa rasa bersalah, membuat Oliv ikut bingung.

"Hah? Kenapa lo jadi nginap sini?"

"Ya, lo kasih gue whisky. Gue pasti mabuk, nggak bisa nyetir pulang."

Oliv langsung mencebik.

"Halah, minum whisky aja mabok. Lemah."

"Liv... Perlu gue ingetin, siapa manusia yang cuma minum setengah gelas udah ketawa sendiri kayak kuntilanak?"

"Siapa ya?" tanya Oliv balik, pura-pura tidak tahu. Sebelum Hansen menjawab, Oliv langsung melanjutkan, "ayolah. Nonton sekarang. Lelet banget lo."

Oliv langsung berbalik dan melangkah meninggalkan Hansen yang tersenyum geli melihat kelakuan Oliv.

"Malu, ya?"

"Lo ngomong apa ya? Gue nggak denger."

"Cie, yang malu."

"Buruan, Hans. Nonton, nonton."

***

(keterangan : ini flashback sebelum Oliv kenal Theo. Sama Ayu juga belum kenal. Masih temenannya sama Hansen dan Sigit doang. Tapi Hansen udah pacaran sama Astrid.)

"Akhirnya, bintang utama kita datang juga!!" seru Sigit, begitu melihat wajah Oliv muncul.

Oliv yang baru saja masuk ke ruang keluarga rumah Hansen mengernyit bingung.

Di hadapannya hanya ada dua sahabat laki-lakinya, Hansen dan Sigit, dan meja penuh penganan dan satu botol whiskey.

Hansen berdiri dan menyerahkan sebuket besar bunga pada Oliv.

"Congratulation, Liv."

"Cie, yang udah jadi sarjana," seru Sigit, dan Oliv tergelak sembari menerima buket dari tangan Hansen.

"Thank you. Ya ampun, gue terharu."

"Bisa-bisanya lo sarjana duluan dibanding gue," keluh Sigit, dan Oliv memeletkan lidahnya.

"Siapa suruh lo keasikan cuti? Kelarin dululah, kuliah lo. Masa masih nggak cukup duitnya?"

"Udah cukup sih. Tapi kerja lebih asik. Lebih gampang dapet cewek juga. Tahu gitu, dari dulu gue jadi anak Band aja."

Oliv mendekati Sigit dan memukul kepalanya.

"Lo tinggal 2 semester lagi sarjana, odong! Kelarin dulu!!"

"Bagus, Liv. Omelin aja. Gue udah capek ngomelin dia," kata Hansen mengompori.

"Iya, iya gue beresin. Anjir, Liv. Galak banget dah. Untung cowok yang deketin lo nggak tahu lo segalak ini."

"Sialan."

"Sorry kita nggak datang ke wisuda lo," ucap Hansen, membuat perhatian mereka teralih.

"Ih, nggak apa-apa. Malah repot kalau lo berdua datang."

"Gosipnya belum kelar ya?" tanya Sigit.

Oliv dan Hansen serempak menggeleng.

"Kita udah bilang ke agensi, dan udah dikasih tahu juga ke media kalau kita berdua temenan dari kecil. Tapi fansnya dia nih, masih suka jodohin gue sama dia," tuduh Oliv pada Hansen.

"Lho? Kok salah fans gue? Malah bagus dong, daripada lo dimusuhin?" kata Hansen, tidak terima.

"Ya nggak bagus, Bambang. Gue emang nggak diteror fans lo, tapi cewek lo! Gue udah sampai berbusa kasih tahu dia kalau gue sama lo cuma temenan. Gila, gue nggak perlu minum racun buat berbusa. Ngomong sama cewek lo aja udah cukup. Makanya untung lo nggak dateng. Pasti jadi gosip lagi."

"Heran, kok mereka nggak gosipin lo sama gue ya? Padahal gue kan selalu ada pas kalian kepergok keluar bareng," tanya Sigit.

"Itu juga pertanyaan gue...." ucap Oliv frustasi. "kenapa gue kena gosip sama Hansen, padahal lo selalu ada di sana. Bisa-bisanya lo selalu keluar dari frame jadi gue kayak jalan berdua sama Hansen. Tapi gue juga nggak mau digosipin sama lo. Gila lo, baru setahun jadi anggota Petir, udah setengah lusin rekan model gue pernah lo tidurin."

Sigit, tanpa rasa bersalah, malah terbahak.

"Ya udah, daripada stres, yok minum."

Sigit membuka botol whiskey dan menuangnya ke tiga gelas berbeda.

Oliv menghela nafas panjang, sebelum duduk di salah satu kursi. Dia menyerahkan ponselnya pada Hansen.

"Fotoin."

"Lho? Nggak mau foto bareng?" tanya Sigit.

"Mau. Foto sendiri dulu. Yang bareng selfie aja."

"Lo mau post?" tanya Hansen, sembari membidik Oliv, yang sudah bergaya macam-macam dengan buketnya.

"Iya dong. Tapi yang sendiri aja. Gue juga bakal private supaya cewek lo nggak bisa lihat, in case dia nyadar backgroundnya ini rumah lo," jawab Oliv, lalu mengambil balik ponselnya.

Oliv menyetelnya menjadi mode kamera depan, lalu mengajak dua sahabatnya foto bareng dengan berbagai gaya, sambil tertawa-tawa.

***

Oliv menatap ngeri gelas di depannya. Dia sama sekali belum mulai minum, padahal Sigit dan Hansen sudah menenggak gelas ketiga mereka. Piring yang tadinya penuh dengan berbagai jenis sushi roll sudah nyaris kosong, hanya tinggal sepiring ravioli yang baru termakan sedikit.

Nggak sesuai lidah kampung gue, itu kata Sigit.

"Minum Liv, astaga. Ini acara minum-minum buat rayain wisuda lo, malah lo yang belum minum," omel Sigit.

"Takut mabuk gue," jawab Oliv sambil geleng-geleng kepala. "Gue belum pernah minum whiskey. Takut."

"Ya, kan lo sama kita-kita. Mabok juga mabok aja, nggak apa-apa," jawab Sigit enteng, dan Oliv langsung mendelik.

"Gila ya lo, lo berdua kan cowok. Gue cewek sendirian. Takutlah, gue. Kalau amit-amit lo berdua mabok terus lo lupa gue teman lo, gue nggak bisa lawan karena gue mabok juga, gimana?"

Sigit dan Hansen saling bertatapan, lalu tersenyum lebar.

Hansen menunjuk arah dapur, dan berkata, "kita juga kepikiran itu. Jadi kita udah kasih tahu Mbak Marni buat sesekali ngecek kita, kalau ada yang aneh, kayak lo hilang dengan salah satu dari kita berdua, atau kita berdua ngapa-ngapain lo, dia bakal langsung telepon satpam buat nolongin lo."

"Walaupun agak meragukan sih, secara gue selalu nganggep lo kayak adek gue, jadi lo yang cantik ini nggak bikin gue tertarik sama lo secara seksual, aman lah. Dan si Hansen ini, toleransinya gede. Dia pernah minum sebotol sendirian, baru mulai pusing."

"Itu karena lo main nenggak-nenggak aja, dodol. Minum beginian harus santai. Jangan buru-buru."

"Tetap aja, toleransi lo gede banget," balas Sigit, lalu menoleh pada Oliv. Sigit memberi senyum menenangkan, dan berkata, "jadi, nggak usah khawatir. Kita berdua bakal jagain lo. Kalau kita berdua mendadak bodoh dan lupa jagain lo, ada Mbak Marni dan para satpam."

Oliv menatap kedua sahabatnya, lalu gelas di hadapannya dengan bimbang.

"Satu gelas aja ya. Gue takut mabuk," putusnya, dan keduanya mengangguk.

Lumayan Oliv bisa ikutan segelas. Daripada nggak sama sekali.

***

"It's my life, it's now or never!!!"

"I don't wanna live forever!!!!"

Sigit dan Oliv berpandangan, lalu mendekatkan kepala mereka dan bernyanyi dengan suara kencang, "I just wanna live while I'm alive!!!!"

Hansen hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan dua sahabatnya. Sigit sudah menenggak gelas kelimanya saat mulai joget kopi dangdut, dan tiba-tiba Oliv ikutan, padahal dia benar-benar cuma minum segelas.

Mereka sudah konser nyaris setengah jam. Lebih tepatnya, Sigit bernyanyi keras, sementara Oliv tertawa girang sambil ikut bernyanyi dengan suara fals.

Mbak Marni sampai mengintip dan ikut tertawa melihat kelakuan Sigit dan Oliv yang menyanyi sambil berteriak, lalu tertawa-tawa macam orang sinting.

"It's my life!!!!!!"

Keduanya jatuh di sofa dan tertawa terbahak-bahak.

Sigit yang pertama bangun, dan melihat Hansen dengan wajah tertawa lebar.

"Anjir gue sange berat. Gue harus cabut sekarang juga."

"Hah?"

"Bye, Hans. Titip Oliv ya. Bye Oliv, jangan nakal di rumah Hansen ya."

Sigit menunduk dan memberi kecupan di dahi Oliv yang malah tertawa-tawa, lalu Sigit mengambil dompet dan ponselnya.

"Halo, Ghea, kamu di kost? Aku lagi pengen. Aku ke sana ya..."

Suara Sigit di telepon kian memudar, seiring langkahnya menjauhi Hansen dan Oliv keluar dari rumah itu.

Hansen menatap Sigit tidak percaya.

Enak banget makhluk itu main nyelonong pergi gitu aja.

Tapi dari dulu lo juga udah tahu kalau Sigit orangnya seenak jidat.

Hansen menoleh pada Oliv yang masih tertawa sendiri, dengan mata terpejam.

"Hans, kamu tahu nggak, gimana cara paus mati?"

Hansen mengerjapkan matanya, mengira dia salah dengar.

"Jadi, paus kalau udah tua, terus nggak sanggup ke permukaan lagi, dia bakal mati tenggelam. Kasian ya... Nanti kalau aku harus reinkarnasi, aku nggak mau jadi paus. Aku nggak mau tenggelam. Kamu percaya reinkarnasi nggak, Hans?"

Oke, kali ini dia nggak mungkin salah dengar.

Sudah sejak mereka lulus SMA, mereka berhenti menggunakan panggilan aku-kamu, karena Astrid protes. Waktu itu, Oliv langsung mengiyakan tanpa banyak tanya.

Tapi kenapa sekarang, saat dia mabuk, dia justru kembali seperti dulu?

"Hans, kamu tahu nggak, kalau gajah sekali hamil bisa lebih dari 95 minggu? Lama banget ya.. Aku nggak mau jadi gajah. Kasian banget hamilnya lama. Nanti kalau aku hamil 40 minggu aja rasanya udah lama banget. Apalagi gajah..."

"Lo jelas-jelas udah mabok, Liv."

Hansen melirik ke arah dapur, dan dia menemukan Mbak Marni mengintip di sana. Hansen menggerakkan tangan, memintanya mendekat.

"Saya minta tolong ya, Mbak. Saya bakal bawa dia ke kamar saya, tolong Mbak gantikan bajunya."

"Siap."

Hansen mendekati Oliv yang malah menyerocos tentang fakta burung hantu, dan perlahan menggendongnya.

Oliv masih memejamkan matanya dan menyerocos, sementara tangannya memeluk leher Hansen.

Hansen membawa Oliv ke kamarnya, mengeluarkan kaus dan celana rumahnya untuk Mbak Marni sebelum keluar dari kamar, membiarkan Mbak Marni menggantikan pakaian Oliv.

Pintu terbuka, dan Mbak Marni muncul dari balik pintu.

"Sudah, Tuan muda."

"Oke. Mbak Marni tidur di kamar aku ya, temani Oliv. Saya bakal tidur di kamar lain."

Mbak Marni terlihat bingung, namun dia mengangguk.

"Baik. Saya ambil selimut saya dulu ya."

Hansen mengangguk, dan Mbak Marni meninggalkannya.

Sepeninggal Mbak Marni, Hansen masuk ke kamar dan mendapati Oliv sudah terlelap.

Dengusan kecil lolos dari hidungnya.

"Serius, Liv? Satu gelas aja mabuk?"

Dengkur halus Oliv terdengar, merespon pertanyaan Hansen.

Hansen terkekeh pelan. Tangannya bergerak membelai sisi kepala Oliv, merapikan anak rambutnya.

Sudah lama dia tidak memperhatikan Oliv, dan harus dia akui, Oliv tumbuh semakin cantik.

Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang, membuat Hansen secara spontan menyentuh dadanya sendiri.

Ini pasti pengaruh alkohol, batinnya.

Rasa ini sudah lama hilang. Nggak mungkin tiba-tiba muncul lagi.

Lagipula, gue sekarang punya Astrid.

Gue harus keluar dari kamar ini secepatnya.

Hansen menatap wajah Oliv sekali lagi, dan mulutnya mengeluarkan satu umpatan pelan.

Ini pasti pengaruh alkohol, batinnya berulang kali.

Gue pasti sudah gila karena pengen nyium Oliv sekarang.

Lo itu cuma sahabatnya, Hans. Dan lo nggak boleh nyium Oliv sembarangan. Apalagi sekarang, saat dia nggak sadar.

Akal sehatnya terus berusaha memerangi keinginan hatinya. Batinnya terus bergejolak.

Namun wajahnya kian mendekat, dan Hansen menempelkan bibirnya di dahi Oliv dengan lembut.

Hanya sekali ini, batinnya.

Biarkan gue menikmati keintiman ini dengan Oliv sekali saja.

Hanya di kening. Tidak lebih.

Dan setelah ini, gue akan melupakan ini semua.

Tbc

Maafkan aku karena lama nggak nongol.

Sorry for typos

Semoga suka sama part ini.

Semoga aku nggak lama update part berikutnya.

Semoga kita bisa cepat ketemu lagi di part berikutnya

Thank you buat dukungan kalian semua.

Kecup kecup sayang dari Maisie dan Marlo.

Muahhh

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro