dua puluh satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hansen sudah menyalakan mesin mobil, namun tidak langsung menjalankannya. Dia justru duduk terdiam, menatap kedua tangannya.

Telinganya masih bisa menangkap rentetan omelan Oliv yang sibuk mengatai Astrid sejak pintu mobil tertutup. Namun dia membiarkannya.

Hansen menarik nafas panjang, dan membuangnya perlahan.

Dia tahu tidak mudah move on dari perempuan yang sudah bersamanya selama 10 tahun. Apalagi bertemu seperti ini, membuatnya berusaha keras menahan diri untuk tidak mengkhawatirkannya, seperti kebiasaan Hansen sepuluh tahun terakhir.

Bukan perasaan yang masih tertinggal, Hansen tahu itu. Keputusannya untuk merelakan Astrid bahagia tanpa bersamanya, itu sangat membantu Hansen untuk bisa memudarkan rasa cinta yang tumbuh selama sepuluh tahun itu. Tapi Hansen harus mengakui, dia tetap memiliki rasa sayang pada Astrid, dan terbiasa mengkhawatirkannya. Kebiasaan itulah yang sulit dilupakan.

Untung ada Oliv yang menahannya. Untuk itu, Hansen bersyukur dia tidak sendirian. Ada Oliv bersamanya.

" ... lo juga! Lo bisa-bisanya jadi kaku gitu pas liat nenek lampir itu! Untung lo nggak membantah gue! Sampai lo bantah gue pas gue belain lo, gue bikin lo jadi Hansen guling! Nggak peduli ntar lo dicariin ortu lo!"

Hansen menoleh pada Oliv yang menatapnya galak.

Dia sadar, mungkin saja Oliv membelanya karena hanya menganggapnya sahabat kesayangan, tidak lebih.

Tapi dia juga menyadari perbedaan degupan jantungnya. Perasaan hangat dan nyaman yang saat ini melingkupinya, hanya dengan melihat Oliv yang sedari tadi berapi-api, marah dan mengomel hanya untuknya.

Dia menyadari, perasaannya pada Oliv tidak pernah hilang sepenuhnya, sekuat apapun dia berusaha membohongi diri. Selama ini dia hanya melarikan diri, karena takut akan penolakan Oliv. Dia takut persahabatan mereka berantakan.

Padahal, dia sendiri yang mengacaukan persahabatan mereka sepuluh tahun terakhir.

Oliv menatap Hansen bingung sekaligus salah tingkah.

Hansen menatapnya intens, sama sekali tidak merespons omelan Oliv. Itu benar-benar membingungkan, dan Oliv tidak pernah ditatap seperti ini oleh Hansen.

Entah kenapa, ada yang berbeda dengan Hansen, tidak seperti biasanya, dan jantung Oliv langsung berulah.

Jantung, nggak usah aneh-aneh, deh. Ini Hansen. Hansen! Manusia yang harusnya berhenti bikin lo berulah! Move on, dong, please, batin Oliv keki.

Beruntung, ponselnya tiba-tiba berdering, membuat Oliv punya alasan untuk mengalihkan pandangan dari Hansen.

Nama Ronald berkedip di layar, dan Oliv menekan tombol hijau sebelum menempelkan ke telinga.

"Halo? Kenapa, Ron?"

"Halo. Nggak apa-apa. Lo sibuk? Gue break makan siang. Pengen ajak lo makan bareng kalau lo sempat."

"Erm..." Oliv melirik Hansen ragu. "Gue nggak sibuk sih... Belum makan siang juga-"

Tiba-tiba ponselnya direbut, dan sebelum Oliv sempat merespons, Hansen berbicara di ponselnya, "Oliv lagi sama gue. Dia udah janji makan siang bareng gue."

Hansen mendengarkan ucapan Ron di seberang telepon, sebelum menjawab, "Oke," dan memutus sambungan telepon.

"Hans! Kok lo nggak sopan gitu, main rebut hp gue?!"

Hansen mengembalikan ponselnya pada Oliv dengan ekspresi datar.

"Gue nggak mau waktu lo sama gue diganggu."

Hansen menjalankan mobilnya dalam diam, sementara Oliv mengernyit dalam.

Kenapa jadi dia yang bete sekarang? Bukannya harusnya gue yang bete?

***

Oliv menatap gerbang sekolah yang terbuka, dan beberapa anak remaja berseragam putih abu keluar dari gerbang tersebut. Mata Oliv sibuk mencari wajah yang dikenalnya, sampai satu sosok tersenyum lebar saat mata mereka bersirobok.

"Oliv!!"

Oliv ikut tersenyum dan mendekati laki-laki bertubuh bongsor dan berkulit coklat itu.

"Sigit!! Lama nggak ketemu!"

"Iya, lama. Kok lo di sini? Libur?"

Oliv menggeleng.

"Gue mau tes masuk Uni di sini."

"Oh, balik Indo?" tanya Sigit sambil tertawa mengejek, dan Oliv berdecak kesal.

"Iya. Nggak diizinin kuliah di luar negeri. Ortu bilang, udah cukup gue tiga tahun sekolah di luar. Kuliah balik. Nanti kalau habis S1 mau pergi lagi baru boleh."

Sigit tertawa ngakak.

"Ortu lo lucu. Gue yakin mereka kangen sama lo, tapi gengsi bilang kangen. Lo anak cewek satu-satunya kan?"

"Iya. Kalau lo gimana? Mau kuliah di mana?"

"Belum tahu, nih. Lo tes masuk Uni mana? Biar gue ikutan- eh, kayaknya gue nggak sanggup ikut lo. Nggak sanggup bayarnya. Gue mau coba PTN aja."

Mereka mengobrol dengan asyik, namun mata Oliv tetap melihat ke sekeliling, mencari sosok itu.

Sigit menyadari arah mata Oliv, tersenyum getir.

"Hansen lagi sama ceweknya."

Oliv langsung mengalihkan matanya pada Sigit, matanya membelalak kaget.

"Cewek?!"

Sigit mengangguk, kelihatan sekali kesal. Tapi Oliv tidak menyadarinya, karena terfokus dengan pikirannya sendiri.

Hansen punya pacar?

Oke, itu bukan hal aneh. Mereka sudah delapan belas tahun. Wajar Hansen punya pacar. Oliv saja sudah beberapa kali diajak kencan oleh teman sekolahnya di Malaysia.

Panjang umur, tiba-tiba Hansen berjalan keluar dari gerbang bersebelahan dengan gadis manis berambut panjang yang digerai, dan hanya dijepit dengan jepit biru muda.

Hansen yang pertama menyadari keberadaan Oliv dan Sigit, dan dia tersentak kaget.

Baru saja dia mau menarik gadis di sebelahnya untuk berjalan menjauh, Sigit terlanjur melihatnya dan melambaikan tangan.

Terpaksa Hansen menggandeng gadis itu mendekati Sigit dan Oliv.

"Hai. Kapan kamu pulang?"

"Semalam, sebenarnya." Oliv melirik gadis di sebelah Hansen, yang tersenyum manis, namun sorot matanya tajam menusuk.

Hansen menoleh pada gadis itu, dan pada Oliv.

"Oh iya, kenalin. Liv, ini pacarku, Astrid. As, ini Olivia, sahabat aku."

Oliv mengulurkan tangannya, yang dijabat Astrid dengan penuh senyum.

"Hai. Gue nggak tahu kalau Hansen punya sahabat perempuan."

"Gue juga nggak tahu Hansen punya pacar."

Astrid mengangkat alisnya, namun tidak berkomentar apa-apa. Hanya tangannya yang semakin erat menggenggam tangan Hansen.

Oliv melirik tangan Hansen yang masih bergandengan dengan Astrid, dan dia merasa sesak.

Kayak mau nyebrang aja, digandeng terus, batinnya merutuk kesal.

"Jadi, lo ngapain ke sini, Liv?" tanya Sigit berusaha mencairkan suasana.

"Tadinya gue mau ngajak makan siang," jawab Oliv, lalu melirik Hansen. "Ayi bilang mau masak nasi goreng teri."

"Oh..." gumam Hansen, mendadak mengerti. "Pantesan Mami suruh aku langsung pulang hari ini."

Lalu Hansen menatap Oliv kesal.

"Kok Mami lebih tahu jadwal kamu pulang dibanding aku?"

Oliv nyengir.

"Enakan chat sama Ayi daripada sama kamu. Kamu sibuk melulu."

Lalu Oliv menoleh pada Astrid.

"Ikut, kan?" tanyanya, basa basi tentunya.

Kalau bisa sih, mereka putus aja. Ngapain sih Hansen pakai acara pacaran segala?

Untungnya, Astrid menggeleng.

"Gue harus pulang. Ada les IELTS."

"Oh, sayang sekali."

Baguslah dia nggak ikut.

Astrid, tidak menanggapi Oliv, justru menoleh pada Hansen dengan ekspresi memelas.

"Kamu jadi antar aku pulang dulu kan?"

Hansen mengangguk, tanpa menyadari tatapan Oliv yang berubah.

"Oh, ya udah kalau gitu," ucap Oliv cepat, sebelum ada yang menyadari suasana hatinya yang berubah. "Kamu antar Astrid dulu kan? Aku langsung ke rumah kamu ya, bareng Sigit."

Oliv menoleh pada Sigit, dan bertanya, "lo nggak ikut antar Astrid toh?"

"Nggak lah, ngapain. Lo nggak keberatan naik bus tapi kan?"

Oliv menggeleng. Dia tersenyum pada Hansen dan Astrid - walaupun setengah hati - dan melambaikan tangan.

"Aku sama Sigit jalan dulu ya. Sampai ketemu di rumah. Bye Astrid, kapan-kapan ketemu lagi ya."

Belum sempat Oliv berjalan, Hansen menahan tangannya. Ekspresinya terlihat khawatir.

"Kamu serius, naik bus berdua dengan Sigit? Kamu nggak ditungguin Pak Yadi?"

Oliv menggeleng.

"Ya biasanya kan kalau drop aku buat ketemu kamu, ntar aku bareng kamu, tinggal dijemput di rumah. Mana ku tahu kamu punya pacar. Makanya kalau punya pacar tuh kasih tahu, gimana sih?"

Sigit tertawa geli melihat wajah Hansen.

"Tenang aja, Boy. Gue sama Oliv bakal langsung ke rumah lo. Aman. Nggak mampir-mampir. Gue bakal jagain princess sampai rumah lo dengan selamat."

"Ih, apaan sih, Git. Gue bukan princess kali!" Omel Oliv, lalu melepaskan tangan Hansen.

"Ya udah, aku sama Sigit jalan dulu ya. Bye!!"

Oliv berbalik dan mendekati Sigit, lalu keduanya berjalan beriringan sambil mengobrol dengan asyik menuju halte.

Keduanya jelas tidak menyadari tatapan yang berbeda dari sepasang remaja yang mereka tinggalkan. Yang satu dengan kekhawatiran, dan yang lain terbakar api cemburu.

***

Oliv benar-benar kebingungan.

Selama sisa perjalanan mereka, Hansen berubah. Dia lebih banyak diam, walaupun biasanya dia juga diam karena kalah saing dengan Oliv yang sering memonopoli pembicaraan.

Tapi kali ini diamnya beda. Tatapan matanya pada Oliv juga beda.

Oliv seakan tidak mengenali pria yang dia kenal sebagai sahabat itu.

Apalagi sekarang, saat mereka sudah duduk manis di dalam restoran Padang yang jadwal bukanya tidak sesuai nama restorannya, dan Hansen justru bertanya tentang hal yang pernah dipertanyakan Oliv berkali-kali dalam hatinya.

"Lo pernah kepikiran nggak, kalau dulu, pas lo ajak gue pacaran waktu kita SMP, kita bakal kayak gimana sekarang?"

"Nggak."

Nggak salah lagi. Tapi Oliv tidak akan memberi tahu Hansen.

Yang pertama, dia pasti tidak akan melarikan diri dengan dalih sekolah di Malaysia.

Yang kedua, Hansen nggak akan kuliah di Jakarta. Oliv pasti akan memaksa Hansen ambil beasiswa yang dia dapat. Kalau perlu, Oliv ikutan masuk kuliah di Universitas yang Hansen pilih.

Yang ketiga, mereka nggak akan berhenti pakai aku-kamu karena si kuntilanak mantan Hansen nangis sesenggukan minta Hansen jaga jarak sama Oliv.

Well, itu normal sih. Namanya juga mereka pacaran, dan gue cantik. Si kuntilanak pasti takut pacarnya selingkuh sama gue yang cantik dan seksi ini, batin Oliv pongah. Dia harusnya lebih takut sama Sigit, soalnya pacarnya yang setia itu udah pernah digerayangi Sigit.

Yang keempat...

Entahlah. Oliv juga tidak tahu. Mungkin saja mereka malah putus lalu berhenti sahabatan karena canggung kan?

"Lo pernah kepikiran, seandainya lo nggak nolak gue - anjir, gue langsung kedengaran menyedihkan - apa yang bakal terjadi pada kita sekarang?" tanya Oliv balik, dan Hansen mengangguk.

Setelah itu hening.

Oliv menunggu Hansen menjawab dengan kalimat, namun Hansen tidak berkata apa-apa lagi.

Sampai makanan mereka dihidangkan, Hansen tetap diam, sampai Oliv bingung sendiri.

"Lo nggak berniat menjelaskan jawaban lo ke gue?" tanya Oliv, tangannya refleks mengambil piring berisi nasi putih yang disodorkan Hansen.

"Lo juga nggak menjelaskan apa-apa," jawab Hansen kalem, sembari memotong rendang menjadi potongan kecil dan membalurnya dengan bumbu sebelum menyendoknya ke piring Oliv.

"Kan gue bilang nggak. Wajar dong gue nggak menjelaskan apa-apa. Kalau lo kan mengangguk. Gue asumsi lo bakal menjelaskan dong," cecar Oliv, tanpa sadar mengambil perkedel dan membelahnya jadi dua sebelum mengoper sepotong ke piring Hansen.

"Kok potongan gue lebih besar, Liv?" protes Hansen, mengalihkan pembicaraan.

"Lho? Kan lo yang doyan perkedel. Gue cuma mau coba dikit. Jangan mengalihkan pembicaraan, Hans."

"Makan dulu. Ntar baru ngomong lagi."

Oliv berdecak kesal, namun Hansen mulai menyendok makanan masuk ke mulutnya, membuat Oliv urung bertanya, dan ikut makan.

***

Pertama, Hansen tidak akan pacaran dengan Astrid. Walaupun akhirnya dia bisa mencintai Astrid, tak bisa disangkal kalau dia menerima Astrid jadi pacarnya karena perlu move on dari Oliv.

Kedua...

Mungkin saat ini mereka sudah menikah.

Tapi itu semua hanya pengandaian.

Semua sudah telanjur terjadi, dan tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk mengubah masa lalu.

Tapi, saat ini belum terlambat.

Oliv belum punya hubungan lebih jauh dengan Ronald. Hansen masih punya kesempatan untuk menelaah lebih jauh perasaannya pada Oliv, dan mencari tahu apa yang Oliv rasakan padanya.

Waktunya sempit, Hansen sadar itu.

Dulu dia tidak berani maju karena mengira Oliv menyukai Bang Hira.

Sekarang, siapapun yang Oliv sukai, dia tidak akan mundur.

Setidaknya, walaupun Oliv tidak menyukainya sebagai seorang pria, Hansen sudah berusaha.

Tbc

Haiiiiiiiiiiii

Sorry for typos.

Semoga suka sama part ini.

Kalau ada yang aneh/janggal, bilang aja. Yang sopan tapi yaaa...

Udah gitu aja.

Sampai ketemu di part berikutnya..

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro