dua puluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hansen membukakan pintu ruang studionya, membiarkan Oliv masuk lebih dulu sebelum menutup pintu.

Oliv masuk dengan penuh antisipasi dan mata berbinar. Matanya sibuk berkelana ke sekeliling studio, berusaha meraup apapun yang bisa dia lihat di dalam sana.

Studio itu kecil, berukuran 3 x 5 meter persegi, dengan dinding yang dilapisi bahan kedap suara berwarna abu gelap. Sebuah meja panjang memenuhi salah satu dinding, dan di atasnya terdapat berbagai barang elektronik seperti monitor, komputer, dan alat-alat yang biasanya ada di studio rekaman yang Oliv tidak tahu namanya.

Ada sebuah rak kayu yang tidak terlalu besar, di dekat pintu masuk, dengan guitar stand di sampingnya. Namun rak itu yang menarik perhatian Oliv seluruhnya.

Nyaris tidak ada barang pribadi di rak empat susun itu, hanya beberapa buku musik, pajangan dan boneka kecil yang Oliv tahu adalah hadiah dari fans. Namun, di bagian paling atas terdapat tiga foto yang disusun berjajar. Yang pertama adalah foto Hansen bersama Sigit, Theo, dan Oliv, saat mereka bertemu lagi di Skye beberapa hari setelah Oliv kembali ke Indonesia. Oliv tanpa sadar tersenyum.

Ternyata dia nggak post di sosmed, malah dicetak dan ditaruh di studionya, batin Oliv.

Foto kedua adalah foto Hansen saat manggung pertama kali, yang diambil oleh fansite setianya Hansen. Versi besarnya dipajang Hansen di ruang kecil di rumahnya, ruang khusus untuk menyimpan semua surat dan hadiah dari para fans sejak dia masih ikut kompetisi nyanyi sampai sekarang.

Harus Oliv akui, Hansen adalah bucin sejati. Sama pacar bucin, sama teman bucin - tentu saja semua bisa melihat betapa bucinnya Hansen pada Sigit - sama fans juga bucin. Oliv juga menyimpan hadiah dari fans, tapi tidak sampai punya ruangan khusus seperti Hansen. Bahkan beberapa lagu cinta yang dia bawakan, khusus diciptakan untuk Han-some, nama fandom Hansen.

Foto ketigalah yang membuat Oliv mengernyit.

Hansen memajang fotonya bersama Oliv dan Nico saat pembacaan skenario. Foto yang Oliv minta dari Rendy, fotografer mereka, tapi ditolak mentah-mentah. Malah Hansen yang punya?

"Kok lo ada foto ini sih? Lo nyogok Rendy pakai apa kok bisa dikasih?" tanya Oliv penasaran.

"Pakai cinta dan kasih sayang," jawab Hansen asal, yang direspons Oliv dengan makian panjang.

"Serius gue. Kok lo bisa dikasih?" tanya Oliv lagi, dan Hansen, sembari menyetel gitar, menjawab, "ya, soalnya gue yang minta, bukan lo."

"Seriusan, sial," omel Oliv, dan Hansen tertawa geli.

"Gue cuma bilang mau cetak buat kenang-kenangan, jadinya dikasih. Yang penting nggak boleh upload."

"Oh... Mau dong fotonya."

"Minta sendiri gih."

"Pelit!!"

Oliv menggerutu pelan, sementara Hansen tergelak. Jemari Hansen memetik gitar dengan asal, namun berhasil membuat perhatian Oliv teralihkan.

"Eyes on me, dong."

Hansen kembali tergelak.

"Lo ya, dari dulu Eyes on Me mulu. Nggak bosan? Gue yang main aja bosan lho."

"Nggak. Ya habis gimana dong, cinta pertama itu susah dilupakan."

"Squal maksud lo?"

"Iya lah. Siapa lagi? Udah, main buruan, Hans. Sekalian nyanyi juga."

"Anjir, dikasih hati minta jantung."

"Apa gunanya lo jadi penyanyi kalau nggak dimanfaatkan, ya kan? Nyanyi juga ya. Atau lo lebih pilih gue yang nyanyi?"

"Ya udah, lo aja yang nyanyi."

"Nggak mau," tolak Oliv sambil menyeringai lebar. "Lo aja yang nyanyi. Bagusan suara lo soalnya."

"Mau lo apa sih, Liv..." keluh Hansen pelan, yang sengaja diabaikan Oliv. Karena Oliv tahu, Hansen akan melakukan yang dia pinta.

Oliv menarik kursi dan duduk di depan Hansen, sementara Hansen, walaupun menghela nafas panjang, mulai memetik gitarnya.

So let me come to you
(izinkan aku mendekatimu)
Close as I wanted to be
(sedekat yang kuinginkan)
Close enough for me
(cukup dekat)
To feel your heart beating fast
(agar aku bisa merasakan jantungmu yang berdetak cepat)

Suara Hansen mengiringi permainan gitarnya yang dimainkan secara akustik, melingkupi ruang studio yang kecil itu.

Oliv ikut bernyanyi lirih, dengan mata sibuk memperhatikan Hansen.

Salah satu momen yang paling dia suka dari Hansen, adalah saat Hansen main gitar.

Rambut hitamnya yang sudah terlalu panjang jatuh menutupi alisnya, namun matanya yang fokus terlihat jelas oleh Oliv.

Suara Hansen saat bernyanyi jauh lebih tinggi daripada saat dia bicara. Hansen bisa menyanyikan lagu Bruno Mars dengan santai, bahkan dia bisa menyanyikan lagu-lagu dari penyanyi wanita menggunakan nada aslinya.

Itu alasan dia berhasil sampai ke tempat keempat saat kompetisi nyanyi, karena suaranya yang tinggi, walaupun tekniknya masih kalah jauh dibanding peserta lainnya. Tapi Hansen tidak patah semangat. Dia menerima tawaran kontrak dari salah satu label musik yang saat itu belum terlalu dikenal karena masih baru, dia ikut kursus, belajar ini itu, dan sekarang, semua berbuah manis.

Sekarang, siapa yang tidak kenal Hansen Putra? Yang suka dengar radio, pasti tahu lagu-lagunya. Yang suka nonton film, pasti sering melihat wajahnya. Yang nggak suka dua-duanya pun, pasti sering melihat wajahnya di billboard depan tol. Apalagi saat ini dia menjadi brand ambassador salah satu marketplace.

Tiba-tiba kepala Hansen terangkat dan matanya bersirobok dengan mata Oliv.

Dan seketika saja, waktu seakan berhenti.

And stay there as I whisper
(dan tetap dekat saat aku berbisik)
How I loved your peaceful eyes on me
(betapa aku menyukai matamu yang tenang tertuju padaku)
Did you ever know
(apakah kamu tahu)
That I had mine on you
(mataku pun tertuju padamu)

Keduanya tanpa sadar terpaku, seakan mereka belum pernah saling bertatapan sebelumnya.

Saat rasa yang dulu pernah singgah di hati mereka di waktu yang berbeda, tidak disadari yang lain, sekarang menyeruak, tidak bisa dibendung lagi.

Momen mereka saat ini terlalu pas. Keduanya terhanyut dalam nostalgia masa kecil mereka, sebuah lagu yang membuat persahabatan keduanya tidak pernah menjadi sederhana lagi, sekuat apapun mereka berusaha.

Petikan gitar terhenti, namun keduanya masih terpengaruh suasana yang terjalin.

Keheningan menyelimuti mereka, dan Hansen tanpa sadar mengangkat tangannya, hendak menyentuh wajah Oliv.

Tiba-tiba suara ponsel berbunyi nyaring, menyadarkan keduanya.

"Ponsel gue," ucap Oliv dengan suara pelan.

Oliv langsung menunduk malu, tangannya sibuk mencari ponsel di dalam tas, sebelum menjawab panggilan telepon sembari membalikkan tubuh membelakangi Hansen.

Hansen ikut menunduk dan mengusap wajahnya kasar.

What's wrong with you, Hans? batinnya gusar. She's your friend. Your best friend. Lo harusnya berhenti memikirkan dia dengan pikiran-pikiran ngaco lo.

Hansen tidak tahu harus bersyukur atau mencela orang yang menelepon Oliv. Karena kalau tidak, mungkin saat ini dia sedang mempermalukan dirinya sendiri. Entah dengan mencium Oliv, atau justru ditampar Oliv. Atau mungkin ditampar setelah menciumnya. Entahlah.

Selama ini dia setidaknya bisa menahan diri, karena ada Astrid. Astrid menghabiskan seluruh energi Hansen dengan tuntutan-tuntutan dan tindakannya yang membuat Hansen khawatir. Jadi Hansen tidak sempat memikirkan Oliv lagi.

Dia pikir perasaannya pada Oliv sudah mati.

Sepuluh tahun pacaran dengan Astrid, tidak mungkin dia tidak mencintai Astrid kan? Dia juga merasa biasa-biasa saja saat Oliv suka dengan Theo, tidak seperti dulu saat dia kira Oliv suka dengan Bang Hira.

Dia kira, walaupun putus dengan Astrid, bukan berarti perasaannya pada Oliv akan muncul kembali. Ayolah, berapa banyak sih, orang yang bertahan dengan cinta pertama?

Tapi sekarang...

Hansen mulai ragu.

Tadinya dia pikir dia hanya khawatir pada Oliv yang dekat dengan Ron.

Tapi kenapa dia harus khawatir? Bukankah malah bagus? Sahabatnya jadian dengan sahabatnya?

Walaupun reputasi Ron tidak begitu bagus, tapi Hansen kenal Ron. Ron kalau sayang, dia akan beneran sayang. Dari belasan mantan pacarnya, setidaknya ada dua yang serius, bukannya main-main semua kayak Sigit sebelum ketemu Ayu.

Dan mereka putusnya juga tidak ada drama. Semua putus baik-baik.

Jadi sebenarnya tidak ada alasan untuk khawatir. Oliv sudah besar, dia tahu risikonya dekat dengan pria berpengalaman.

Tapi tetap saja, dia marah. Marah pada Oliv, marah pada Ron. Dan terutama, marah pada dirinya sendiri.

Bisa-bisanya dia memandang Oliv lebih dari yang seharusnya!

"Hans?"

Panggilan pelan itu menyentakkan Hansen dari lamunannya, dan dia mengangkat wajahnya.

Oliv meringis saat mata mereka bertemu.

"Lo di sini sampai jam berapa?"

"Hmm... Gue nggak ada apa-apa lagi habis ini. Terserah lo aja."

"Bang Bagas belum bisa jemput gue," lapor Oliv. "Mesti nemenin nyonya besar ke dokter. Sopir nyonya lagi libur."

"Nyonya? Nyokap lo?"

"Iya," jawab Oliv sambil menyeringai lebar, membuat Hansen ikut tersenyum geli.

"Jadi lo bakal sampai malam di sini?" tanya Hansen, dan Oliv mengangguk.

"Gue bisa aja sih pulang sendiri, tapi ntar Bang Hari ngomel panjang lebar tinggi," keluh Oliv.

"Tahu gitu gue nyetir aja hari ini," lanjut Oliv.

"Mau gue anter pulang aja?" tawar Hansen, sebelum sempat berpikir.

Mata Oliv langsung berbinar.

"Mau! Anter gue ya..."

"Iya, iya. Mau pulang jam berapa?"

"Terserah," jawab Oliv semangat. "Mampir ke Bloom Cafe dulu yuk. Gue pengen cake. Gue traktir deh."

Hansen berdecak.

"Maunya aja, baru traktir."

Oliv tersenyum lebar, lalu berdiri sambil menenteng tasnya.

"Kalau gitu, ayo jalan!"

***

Keduanya berjalan beriringan masuk ke lift tanpa bicara.

Oliv merutuk dalam hati.

Bisa-bisanya dia terlena. Kalau Bang Bagas tidak meneleponnya tadi, bisa-bisa Oliv nyosor dan membuat hubungan mereka jadi awkward.

Karena Oliv tahu, tadi dia sudah sangat tergoda untuk mencium Hansen, tapi itu akan membuat semuanya jadi berantakan. Perasaannya akan ketahuan. Lalu mereka tidak bisa bersahabat lagi.

Baru beberapa hari yang lalu Oliv baper ke Ron, sekarang berduaan dengan Hansen bikin Oliv gagal move on.

Kenapa susah sekali move on dari Hansen sih?

Lift berdentang sekali, menandakan mereka sudah sampai di lantai tujuan. Hansen berjalan lebih dulu keluar dari lift, diikuti Oliv.

"Lo parkir di mana-?"

Belum selesai Oliv bertanya, tubuhnya tiba-tiba menabrak Hansen.

"Kenapa lo tiba-tiba ngerem..?" mata Oliv melihat ke balik bahu Hansen, dan menemukan alasan Hansen mendadak membatu.

Astrid tampak cantik seperti biasanya. Rambut panjangnya yang ikal digelung di belakang tengkuk, dengan pakaian semiformal berwarna peach. Riasan wajahnya natural, dan ekspresi wajahnya begitu manis dan innocent.

Secara garis besar, penampilannya bertolakbelakang dengan Oliv, yang rambut panjangnya masih berwarna marun, hasil retouch di salon kemarin sore. Tentu saja Astrid yang kelihatan seperti malaikat dan Oliv yang kelihatan seperti succubus.

Tapi Oliv telanjur tahu aslinya Astrid.

Penampilan memang menipu.

Mata Astrid yang tampak polos itu membulat sempurna saat melihat Oliv berada di belakang Hansen.

"Jadi... Ternyata benar. Hari ini dia datang ke kantor kamu. Dan bareng kamu."

"Sedang apa kamu di sini?" tanya Hansen tenang. Namun tangannya meraih ke belakang, dan menemukan tangan Oliv sebelum menggenggamnya erat-erat.

Oliv langsung menyadari tangan Hansen gemetar, dan dia balas menggenggam tangan Hansen erat.

Oliv menyingkirkan perasaannya jauh-jauh.

Saat ini ada nenek lampir di depan mereka, dan Oliv akan melakukan apapun supaya Hansen bisa lepas dari makhluk itu.

"Aku..." mata Astrid melirik tangan Hansen yang menggandeng Oliv, "hanya ingin memastikan.. Apakah kalian sungguh bersama atau tidak."

"Kami sungguh bersama atau tidak, itu bukan urusanmu lagi, Astrid."

"Tapi..." air mata perlahan menggenangi kedua pelupuk matanya. "Aku tidak ingin berpisah, Hans. Aku.. Aku masih cinta sama kamu. Aku.. Bahkan masih memakai cincin tunangan kita. Tapi.. Kamu.. Kenapa kamu malah bersama wanita itu. Wanita yang selalu jadi sumber pertengkaran kita.."

Oliv memutar bola matanya jengah.

Kalau tidak kenal Astrid yang asli, Oliv mungkin akan percaya dengan akting Astrid sebagai pacar yang teraniaya ini. Tapi sayangnya, belangnya sudah kelihatan semua.

"Punya malu dikit dong. Gue sebagai sesama perempuan aja malu lihat lo, As. Lo yang selingkuh, lo yang sok jadi korban."

Astrid mengusap air matanya dan menatap Oliv dengan mata yang masih berkaca-kaca.

"Gue tahu lo sejak awal nggak pernah suka sama gue. Tapi, merebut Hansen saat hubungan gue dan dia merenggang itu jahat, Liv."

"Wow..." Oliv meloloskan tawa sinis. Dia memaksa melepaskan tangan dari Hansen dan bergerak mendekati Astrid.

Astrid nyaris sekepala lebih rendah darinya, tapi Oliv tahu wanita ini, walaupun mungil, sangat berbisa.

"Gue? Merebut Hansen? Nggak salah?"

Oliv mendengkus sinis.

"Lo yang melepas dia, As. Tindakan yang sangat bodoh, selingkuh dari Hansen."

Oliv menundukkan kepalanya dan berbisik di telinga Astrid.

"Tapi gue harus berterima kasih pada kebodohan lo itu. Berkat lo, Hans kembali jadi milik gue."

Oliv menepuk pelan pipi Astrid sambil tersenyum, lalu mundur kembali pada Hansen.

"Yuk," ucapnya sambil mengulurkan tangan, yang disambut Hansen.

"Hans!!"

Keduanya terdiam saat Astrid kembali memanggil Hansen.

"Kamu... Benar-benar meninggalkanku demi wanita itu?!"

Oliv baru akan berbalik untuk menyahuti wanita itu, namun suara Hansen menahannya.

"Kamu yang meninggalkanku, Astrid. Kupikir, aku masih berhak bahagia walaupun kamu mengkhianatiku, bukan? Aku hancur karena kamu. Tapi aku memaafkanmu. Sekarang, aku sudah bahagia, Astrid. Kuharap kamu juga bahagia dengan pilihan yang kamu buat."

Oliv mendongak dan melihat Hansen yang tersenyum tipis pada Astrid.

"Hubungan kita sudah lama berakhir. Sudah kubilang kan, buang saja cincinnya. Atau jual lagi. Jangan dipakai lagi."

Lalu Hansen memalingkan wajahnya pada Oliv dan tersenyum lembut. Sorot matanya mengungkapkan rasa terima kasih.

Terima kasih karena ada di sini.

Oliv balas tersenyum, dan Hansen menggandengnya menjauh menuju mobil Hansen, meninggalkan Astrid yang masih terisak, sendirian.

Tbc

Happy Valentine's day!!!

Iya aku tahu aku telat. Nggak keburu selesai sebelum 14 feb berakhir.

Tapi gapapalah yaaaa.... Masih ada yang nungguin cerita ini kan?

PO Nina and the Lion tutup hari ini. Yang mau, jangan lupa order yaa... Hehehe

Sorry for typos, kalau mau komen boleh.

Kalau ada yang janggal, komen boleh. Kritik atau kasih saran boleh, asal bahasanya yang sopan ya..

Dilarang komen next atau lanjut doang. Mending nggak usah komen kalau cuma minta next doang. Itu mah aku juga tahu. Ya masa aku gak lanjut? Kan belum tamat. 🙄

Sampai jumpa di part berikutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro