sembilan belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Oliv berdiri dan menyalami Sigit, Theo, dan pengacara perusahaan mereka. Ayu ikut berdiri dan menyalami mereka, sebelum pengacara itu pamit meninggalkan mereka berempat dalam ruangan itu.

Sigit melonggarkan dasinya sebelum kembali duduk, lalu menatap Oliv sambil menyeringai iseng.

"Akhirnya gabung juga si Oliv. Siap kerja rodi, anak baru?"

"Sialan. Menyalahgunakan kekuasaan banget ya lo," omel Oliv sambil tertawa, dan direspons dengan tawa oleh Sigit.

"Oh ya, gue udah lihat rincian tawaran ke gue, thank you, Yu," ucap Oliv setelah tawa mereka reda.

"Iya. Kontrak lo sama MAC belum habis ya?"

"Belum. Tapi gue dapet libur, belum ada apa-apa lagi. Palingan gue dapet panggilan kalau udah mau motret buat season depan. Mereka bakal hubungin gue langsung sih, biasanya yang gede gini gue kontak sendiri, nggak kasih manajer gue. Ntar gue kabarin lo."

"Oke, deh."

"Gila, rumor lo gabung agensi kita cepat banget merebak. Kayaknya gara-gara ada yang lihat lo masuk sini tadi," ucap Sigit dengan nada kagum, sembari mengecek ponselnya. "Gue nggak akan heran kalau beberapa hari mendatang bakal banyak tawaran buat Oliv ke agensi kita."

"Pokoknya tektokan sama Ayu, ya. Ntar gue pilah. Lo nggak keberatan gue pilih-pilih job kan?"

Sigit tertawa.

"Nggak lah, Oliv Darling. Lo boleh pilih job manapun yang lo mau, and we will handle the rest. Tenang aja."

"Oke deh."

Pintu ruangan diketuk, dan Theo membukakan pintu. Hansen masuk sambil berbicara panjang, "gue lihat Pak Jaya keluar. Udah beres? Hai Yu, hai Liv. Sorry telat, baru selesai recording."

"Album baru?" tanya Oliv. Hansen mendudukkan dirinya di sebelah Oliv yang otomatis bergeser, memberi cukup ruang untuk Hansen di sofa yang didudukinya. 

"Bukan. Demo. Bang Guntur masih galau mau kasih lagu barunya ke siapa, jadi gue dan beberapa penyanyi disuruh rekaman demo. Yang cocok baru dikasih lagunya," jawab Hansen, menyebut nama salah satu produser musik yang bekerja sama dengan agensi mereka.

Hansen menoleh pada Oliv dan menyeringai.

"Gimana? Anak baru mau diospek nggak nih?"

Oliv langsung berdecak kesal, sementara Sigit dan Theo tertawa.

"Pasti dong. Tar kita bikin dia kerja rodi."

"Sialan."

"Eh, Liv," Sigit mencondongkan tubuhnya pada Oliv dengan ekspresi serius, "gue mau nanya di luar soal kerja ya. Udah sejauh apa hubungan lo sama Ron?"

Hansen tersentak pelan, namun tidak disadari oleh siapa pun karena yang lain terfokus pada Sigit dan Oliv. 

"Ron? Kenapa?" tanya Oliv bingung.

"Ron? Ronald adik ipar gue?" tanya Theo yang bingung juga.

"Iya adik ipar lo," jawab Sigit pada Theo sebelum kembali fokus pada Oliv, "gue lihat mobilnya yang jemput lo pas hari sabtu kemarin. Sejak kapan lo sedekat itu sama dia?"

"Oh..." Oliv tergelak pelan, "sekitar dua bulan kayaknya. Sejak Flo lahiran. Anak lo udah hampir dua bulan kan?" tanya Oliv pada Theo yang dijawab dengan anggukan.

Sigit mengernyit dalam.

"Jadi dari awal lo udah sedekat itu sama dia? Sampai bisa pakai acara jemput-jemputan?"

Kali ini Oliv yang mengernyit.

"Lo udah tahu gue temenan sama Ron?" Oliv menoleh pada Ayu, "lo yang cerita?"

Ayu menggeleng, dan Sigit yang menjawab, "Hansen yang bilang. Lo dekatnya serius apa main-main?"

"Oh... Serius kok. Yah, nggak serius-serius amat. Sejauh ini sih gue nyambung ya, ngomong sama dia, jadi dijalani dulu aja."

Sigit manggut-manggut.

"Oh, ya udah kalau gitu. Gue cuma mau pesan, hati-hati aja kelihatan wartawan. Ntar jadi gosip."

"Look who's talking," cemooh Theo, menyindir masa lalu Sigit yang merupakan sasaran empuk infotainment karena suka gonta ganti pacar, sebelum akhirnya serius dengan Ayu.

"Yah, nggak bisa disamain dong. Soalnya media dan netizen cenderung lebih mudah memaklumi kelakuan nakal pria dibanding wanita. Gue bisa aja tiba-tiba bilang cerai dan punya pacar lagi dalam kurun satu bulan - contoh, Yu. Aku nggak bakalan pernah mau cerai sama kamu - dan gue bakal tetap dimaafkan, sementara kalau Oliv dua kali pacaran dalam kurun satu tahun, pasti langsung dikatain ganjen dan ngefek ke karirnya. Sasaran empuk banget, apalagi dia udah go International, keturunan Barata pula. Gila juga ya keluarga lo, tiba-tiba melejit jadi nomor satu sejak abang lo dua-duanya take over, walaupun dari dulu keluarga lo emang udah kaya sih, cuma ngeri banget naiknya," cerocos Sigit.

Ayu sudah memasang wajah malas mendengar kebawelan suaminya sementara Theo tampak siap memukul kepala Sigit jika dia sampai menambah satu kalimat lagi dalam ucapannya yang sangat panjang itu. 

Oliv menahan tawa dan mengangguk, "iya, bawel. Lagipula gue nggak bakalan lah pacaran dua kali dalam setahun. Pacaran sekali aja belum pernah."

"Belum pernah? Bohong. Terus lo berapa kali kena candid sama cowok itu apaan?" cecar Sigit.

"Teman kencan," jawab Oliv enteng, dan Sigit menyipitkan matanya, menatap Oliv curiga.

"Lo ternyata bisa flirting-flirting gitu, tanpa rasa?"

"Bisalah. Kenapa nggak? Lo dulu juga bisa tidur sama cewek tanpa rasa, toh? Eh, sorry, Yu."

"Nggak apa-apa. Itu kan masa lalu dia sebelum sama gue," jawab Ayu enteng.

Sigit mengabaikan kata-kata Oliv, dan baru menyadari ada yang aneh. 

Dia tidak mendengar suara Hansen sama sekali sejak pembahasan tentang Ron dimulai.

Begitu melihat wajah Hansen, seringainya terbit.

Sigit menoleh pada Theo, memberikan kode dengan lirikan pada Hansen, dan Theo mengernyit, kurang setuju. Namun ekspresi Sigit membuatnya menghela nafas panjang.

"Gue harus pulang nih," kata Theo tiba-tiba. "Gue lupa, gue ada janji makan siang bareng nyokap Flo."

"Kita juga harus pulang, Yu," ucap Sigit cepat. "Hari ini ART yang baru mau diantar ke rumah kan?"

"Hah? Bukannya be-" bantah Ayu, namun terhenti saat menyadari Sigit memutar bola matanya. Ayu langsung mengangguk. "Oh, iya. Langsung pulang deh, takutnya mereka keburu sampai."

"Oh, kalau gitu gue ikut pulang juga," ucap Oliv, mulai beres-beres.

"Ngapain lo buru-buru pulang? Kan masih ada Hansen," ucap Sigit cepat, terlalu cepat sampai Hansen menatapnya curiga. Theo buru-buru menyambung, "Oh iya, Hansen punya studio sendiri lho. Lo baru pertama kali ke sini kan? Main-main dulu aja di sini."

Mata Oliv langsung membelalak excited.

"Lo punya studio sendiri?" tanyanya dengan penuh semangat pada Hansen yang langsung menghela nafas panjang.

"Nggak ada gitar."

"Bohong! Bohong itu, Liv. Nggak mungkin studio Hansen nggak ada gitar," potong Sigit cepat.

"Hans, ayo! Mumpung gue di sini, gue mau lihat studio lo. Lo sekarang bikin lagu kan? Gue mau dengar dong."

Hansen menghela nafas panjang sebelum berdiri.

"Ya udah. Yuk. Gue emang mesti balik ke studio, ada yang perlu gue cek."

Oliv ikut berdiri dan melambai pada yang lain.

"Kalian hati-hati pulangnya. Bye!"

Ketiganya dengan kompak melambaikan tangan, membalas ucapan Oliv sambil tersenyum lebar.

Senyum Ayu yang pertama kali menghilang saat pintu ruangan ditutup dan mereka tinggal bertiga.

"Kamu merencanakan apa, Git?"

"Nggak ada," elak Sigit. "Gue cuma mau memberi mereka waktu lebih. Gue senang dengar Oliv dekat sama Ron. Kita kenal Ron. Ron kalau udah beneran sayang, ya sayang. Mau sayangnya yang susah, kan? Oliv juga nggak akan gampang dimanfaatkan. Jadi mereka cukup cocok. Tapi... Gue pikir... Si bodoh satu ini perlu kesempatan lebih."

"Lo sejak nikah jadi suka ikut campur masalah orang ya. Dulu lo mana peduli siapa mau dekat sama siapa," keluh Theo.

Sigit berdecak, sengaja menampilkan ekspresi kecewa.

"Kalau lo dan si kembar, gue emang nggak pernah peduli, Boy. Tapi ini menyangkut Hansen. Lo lupa, siapa yang paling gencar racunin Hansen supaya putus sama nenek lampir itu?"

"Oh iya."

"Kecewa gue."

Theo mengabaikan nada suara Sigit yang merajuk.

"Jadi lo melakukan ini demi Hansen?"

"Iya dong," jawab Sigit sambil memutar bola mata. Ayu yang melihatnya jadi tertawa.

"Maklumin aja. Sigit takut bini mudanya menderita kalau Oliv sampai jadian sama Ron."

"Ih, kamu tahu aja," sahut Sigit sambil mengedipkan matanya pada Ayu yang tertawa semakin kencang.

"Gue cuma berharap mereka nggak ribut. Jangan sampai persahabatan kita jadi kacau gara-gara dua manusia itu rebutan Oliv," ucap Theo cemas, dan Sigit menepuk punggungnya menenangkan.

"Tenang aja. Persahabatan kita lebih kuat dari itu kok. Lagi pula, kalau sampai mereka ribut gara-gara Oliv, ospek ulang aja."

Theo langsung menampakkan wajah malas.

"Gila lo, ospek ulang. Apa bedanya sama keseharian kita?"

"Sialan! Nggak gitu juga kali. Gue kan baik, suka menolong-"

Belum selesai Sigit bicara, Ayu dan Theo dengan kompak tertawa, menertawakan tingkat kepercayaan diri Sigit yang suka kelewat batas itu.

Karena, mereka tahu, di antara mereka semua, Sigit adalah yang paling seenaknya dan paling tidak peka, kecuali urusan Hansen tentunya.

***

"Selamat pagi menjelang siang, Ayi Yenni!!" sapa Oliv begitu kakinya menginjak pekarangan rumah Hansen. Ibu Hansen yang sedang menyabuti rumput liar mendongak dan tersenyum menatap Oliv.

"Lho? Kamu sudah datang. Bukannya belum libur, ya?"

"Tinggal class meeting, Yi. Nggak penting. Jadi aku dibolehin ke sini duluan," jelas Oliv riang, lalu ikut jongkok di sebelah Yenni. "Aku bantuin ya. Yang mana yang boleh dicabut?"

"Nggak usah. Kamu kan baru sampai. Sudah makan belum? Ayi masak nasi goreng teri hari ini. Masih ada tuh."

Mata Oliv berbinar.

"Mau banget. Tapi mau tunggu Hans pulang. Bentar lagi pulang kan?"

"Aduh, jangan ditungguin," ucap Yenni sembari lanjut mencabuti rumput liar. "Dia pulang sore."

"Kok pulang sore?" tanya Oliv bingung, campur kecewa.

Kan dia buru-buru ke Medan buat main sama Hansen. Malah Hansen pulang sore. Hiks. Kapan Oliv bisa ketemu Squall ganteng, dong?

"Iya. Dia sekarang les gitar," jelas Yenni, membuat Oliv mengernyit.

Ngapain si culun les gitar?

Ah, pasti buat ngecengin teman sekelasnya, kayak teman Oliv di Jakarta, yang masih SD tapi udah naksir-naksiran.

Oliv terkikik geli membayangkan Hansen yang culun naksir perempuan.

Ih, masih kecil udah genit. Hihihi.

Tapi baguslah Hans belajar gitar. Nanti Oliv bisa minta Hans main lagu Eyes On Me pakai gitar terus menerus deh.

Awas aja si culun nggak mau. Bakalan Oliv paksain.

Di sebelahnya, Yenni mencabuti rumput sembari sesekali melirik Oliv.

Ingatannya kembali pada beberapa bulan yang lalu, tepatnya setelah kunjungan Oliv yang terakhir.

Putra bungsunya tiba-tiba mendekatinya, dan minta les gitar.

Yenni ingat waktu itu sampai bertanya berulang kali pada Hansen, "serius kamu mau les gitar? Kamu? Mau les gitar?"

Karena Yenni tahu putranya yang bungsu itu tidak suka apapun selain main game.

Tidak ada angin, tidak ada hujan, kok minta les gitar? Kalau minta les bahasa, masih masuk akal. Lho, ini kok gitar?

Hira yang ada di sana, bersama Yenni dan Hansen, langsung tertawa mengejek, "Hansen lagi naksir cewek, Mi."

Dan Yenni bisa melihat perubahan warna wajah Hansen, dan ekspresi kesalnya pada sang kakak.

"Benar kata abang kamu, kamu naksir cewek?" tanya Yenni, dan Hansen menggeleng keras.

"Halah, bohong. Kamu mau belajar main gitar karena liat Oliv happy pas aku main gitar tempo hari kan?"

Muka Hansen semakin tertekuk, siap memukul sang kakak seandainya tidak ada ibu mereka di sana. Wajahnya sudah semerah kepiting rebus.

"Aku nggak naksir sama Oliv!!"

Tbc

Sorry for typos

Yang bagian italic itu cerita masa lalu ya. Siapa tau pada lupa kalau cerita Oliv banyak selipan cerita masa kecil mereka.

Sorry karena lama gak update. Pengennya lebih panjang dari ini, tapi gak bisa.

Dan aku harus update sekarang, karena aku mau kasih tau...

Si Abang keduanya Oliv mau terbit!!!!

Kyaaaaaaaaaaaaaaaa

Info lebih lanjut bakal aku post besok di cerita Nina and the Lion, dan akun instagram aku.

Dengan berat hati harus aku sampaikan... Karena mau terbit, jadi sebagian besar ceritanya bakal aku hapus.

Jadi ini cuma info ya. Lebih lengkapnya besok yaaa

Stay safe, stay healthy

Sampai ketemu di part berikutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro