delapan belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Oliv membenarkan kacamata berlensa normal yang dia pakai, sebelum turun dari mobil dan berjalan santai di sisi Ronald.

Mereka berdua masuk ke lift menuju unit Ronald di lantai enam belas dalam hening. Mereka hanya berdiri bersisian, tanpa bicara satu sama lain. Untungnya lift itu kosong sejak mereka masuk sampai lantai yang dituju.

Begitu lift sampai di lantai enam belas, Ronald melangkah keluar dari lift diikuti Oliv.

Ronald membuka kunci unitnya lalu masuk diikuti Oliv. Ronald menunggu sampai Oliv masuk, lalu mengunci pintu.

"Welcome, Liv. Anggap saja kayak rumah sendiri," kata Ronald sambil membuka sepatu, dan Oliv mengikuti gerakannya sambil tertawa.

"Beneran, nih? Gue biasanya di rumah sendiri, asal comot isi kulkas lho."

"Silakan kalau lo mau. Isi kulkas gue frozen food semua - eh ada air deh. Lo ambil sendiri saja."

"Okayyy..." ucap Oliv yang sudah melangkah masuk, dengan iseng memperhatikan isi apartemen Ronald.

Tipe apartemen ini adalah tipe standar dua kamar, dengan dapur dan ruang tamu hanya dipisah oleh meja bar yang Oliv duga sekaligus menjadi meja makan. Sofa nyaman berwarna dark grey dengan karpet berwarna senada menghiasi bagian ruang tamu, menghadap smart TV yang terletak di atas rak minimalis.

Oliv membuntuti Ron yang berjalan langsung menuju dapur dan sedang mencuci tangan.

"Lho? Ngapain lo ikutan ke dapur? Nonton gih, atau ngapain. Anggap saja rumah sendiri," ucap Ron saat menyadari Oliv mengikutinya.

Oliv menarik barstool dan duduk menghadap Ron. Kacamata samarannya dia taruh begitu saja di atas meja bersama tasnya.

"Lo terganggu nggak, kalau gue ajakin lo ngobrol selama lo masak?" tanya Oliv tanpa menjawab pertanyaan Ron. Ron terkekeh pelan.

"Nggak. Gue juga nggak keberatan kalau lo mau bantu masak."

"Oh, tidak bisa. Impress me, Doctor."

Kalimat itu diucapkannya dengan nada bercanda, dan dibalas Ron dengan tawa.

"Aye, aye, Captain."

***

Ucapan Ron terbukti bukan bualan. Masakan yang dibuatnya sederhana, tapi lezat. Semangkuk bayam kuah dimasak dengan jagung dan ayam saus mentega ludes dalam waktu lima belas menit. Itupun karena mereka makan sambil mengobrol.

Oliv mendesah puas.

"Gue udah lupa kapan terakhir gue makan nasi sebanyak ini. Kombinasi ayam lo sama nasi itu enak banget sumpah."

"Thank you. Senang bisa memuaskan lidah Nona Muda."

Oliv tergelak, lalu berdiri. Dia membawa semua peralatan makan ke bak cuci piring sebelum sempat dicegah Ron.

"Eh, nggak usah. Biar gue aja-"

"Lo minta gue anggap ini rumah sendiri kan? Gue kalau di rumah lagi nggak ada ART, kerjaan rumah dikerjain gantian. Jadi karena lo sudah masak, dan makanan lo enak, gue yang cuci piring, ok?"

Ron mendengus pelan, akhirnya membiarkan Oliv mencuci piring, sementara dia perlahan mendekati Oliv.

Oliv membelalakkan mata saat tiba-tiba tangan Ron melingkari pinggangnya dan satu kecupan ringan mendarat di pipinya.

"Thank you, Nona muda."

Oliv melotot pada Ron, dan menyikutnya.

"Jangan nyosor tanpa izin gue dong. Tanpa izin gue, ini jatuhnya pelecehan lho."

Ron melepas rangkulannya, tapi tidak menjauh dari Oliv, dan menatapnya dengan ekspresi tidak bersalah, "sorry, soalnya lo terlalu cantik sih."

Oliv tergelak.

"Ya, gue tahu gue memang cantik."

"Jadi, kalau gue minta izin, boleh?"

Oliv, masih dengan senyum di wajahnya, menggeleng.

"Terlalu cepat, Ron."

"Cium pipi doang, Liv."

Oliv menggeleng, sambil menatap Ron curiga.

"Ntar habis pipi, bibir, lanjut ke leher, trus ujung-ujungnya pas gue sadar, ternyata gue udah baring di atas karpet, naked, dengan lo di dalam gue. Nggak, Ron, nggak."

Ron langsung tergelak.

"Anjir, pikiran lo horror juga. Nggak lah, gue nggak bakal gituin lo. You're not my girlfriend."

Oliv mengernyit dalam.

"Beneran? Lo nggak have sex sama cewek yang bukan pacar lo?"

Ron menggeleng pelan, wajahnya tampak innocent.

"Special case, kalau gue lagi kosong, lalu ceweknya mau sama mau tanpa ikatan, I'm fine. Tapi lo kan nggak mungkin mau. Jadi gue nggak kepikiran untuk have sex sama lo."

"Sama sekali?" tegas Oliv, dan Ron mengangguk.

"Sama sekali. Ciuman di pipi itu refleks aja, soalnya lo cute."

"Jadi gue kegeeran doang dong?" gerutu Oliv, dalam hati merutuk.

Malu banget deh, kegeeran gitu. Orang Ron nggak kepikiran buat apa-apain gue, malah gue yang curiga berlebihan.

Ron tergelak, tangannya mengusap puncak kepala Oliv.

"Lo sebenarnya pengen gue apa-apain ya? Kalau gitu, pacaran yuk."

Oliv langsung menoleh pada Ron, dan memukul pelan lengannya.

"Astaga, Ron. Lo ngajak pacaran kayak ngajak gue delivery makanan, sumpah. 'Kalau gitu, delivery pizza yuk.' Mirip kan?"

Ron tergelak, dan matanya terus menatap Oliv yang sedang mencuci piring.

"Gue suka sama lo," ucap Ron tiba-tiba, dan Oliv yang sedang menyusun piring di rak menoleh kaget.

"Hah?"

"Gue suka sama lo," ulang Ron sambil tersenyum geli. "Gue cuma mau bilang aja. Jangan terlalu diambil pusing."

Jantung Oliv bertalu kencang, apalagi Ron menatapnya intens dengan senyum menghiasi wajahnya.

Oliv mungkin memang belum move on dari Hansen, tapi ditatap wajah secakep ini, masa sih nggak salah tingkah? Nggak mungkin, lah.

Apalagi dikasih pernyataan suka kayak gini. Masa iya nggak baper? Impossible.

"Tapi..."

"Gue tahu lo masih belum move on dari Hansen. It's ok. Gue kasih tahu lo hal ini cuma karena gue mau lo tahu, gue mau mencoba serius sama lo."

"Kenapa gue?"

Ron mengangkat bahu.

"Karena lo menarik. Kalau lo bukan temannya Hansen, Sigit, dan Theo, gue pasti udah coba mendekati lo dari dulu. Makanya, proyek ini pas banget, menguntungkan gue. Gue jadi punya alasan buat kontak lo. Dan gue nggak salah menilai, lo memang semenarik itu, dan gue jadi suka sama lo."

Oliv terkejut, tentu saja.

Manusia ini serius?

Ayolah, pria ini jelas tahu kalau Oliv belum move on dari Hansen. Dia juga pasti tahu dulu Oliv pernah konslet ke Theo. Dan dia bisa bilang kalau dia tertarik sama Oliv dari dulu?

Dia jelas tahu cara bikin cewek baper, batin Oliv.

Dia jelas tahu cara bikin gue baper.

Oliv tertawa pelan, menyamarkan kegugupannya.

Astaga, Liv. Ini bukan pertama kalinya cowok bilang suka sama lo. Masa masih bisa salting sih?

Ya kan selama ini yang ngomong suka sama gue bule semua. Udah tahu bule bukan tipe gue, mana bisa baper? Lah, yang di depan mata ini tipe gue banget. Ya baper lah!!

"Wow, gue tersanjung lho, Dokter Ronald Detama bilang suka ke gue."

Ron tertawa pelan, dan Oliv tertular tawanya.

Oliv berusaha menanggapi Ron dengan santai, karena pembawaan Ron yang terlihat santai dan nyaman.

Lah, yang bilang suka aja santai begini, masa gue salting?

Ayolah, Liv. Lo udah biasa dideketin cowok. Udah biasa sama cowok juga. Masa salting sih?

Ron jelas-jelas pria yang sudah terbiasa menggoda wanita. Hanya dengan mendengarnya bicara saja sudah membuat jantung Oliv jumpalitan.

Oke, harus Oliv akui, dia juga mulai suka dengan Ron. Sejauh ini obrolan mereka cukup nyambung, Ron juga sangat tipenya Oliv.

Nggak ada salahnya membiarkan hubungan pertemanan mereka melangkah sedikit lebih dalam, ya kan?

"Oh, ya? Beneran tersanjung?" tanya Ron yang bergerak mendekati Oliv. Oliv berusaha tetap tenang walaupun tubuh Ron kian mendekatinya, mengukungnya di antara bak cuci dan tubuh Ron.

"Beneran dong," ucap Oliv tersenyum. Tubuhnya tetap tegak, menolak terintimidasi pria yang lebih tinggi sepuluh sentimeter darinya itu. Jantungnya berdebar tidak nyaman, mengantisipasi entah apa yang akan dilakukan pria ini padanya.

Kalau sampai dia macam-macam, gue tendang! batin Oliv.

Ron tersenyum, dan menunduk.

Oliv tercengang, merasakan kecupan lembut di dahinya, sebelum tubuh yang di depannya menjauh.

"Oke, kali ini lo nggak ngomel-ngomel lagi. So, may I kiss you?"

Oliv tersadar dari keterkejutannya, dan memelototi Ron yang menyeringai iseng padanya.

Oliv memukul pelan lengan Ron sambil mengomel, "nggak boleh! Dibilangin, kecepetan. Nggak, nggak."

"Iya, iya. Bercanda, Liv."

Ron tergelak sembari menarik Oliv ke dalam pelukannya, diiringi omelan Oliv.

"Lo sadar nggak sih, kalau lo tuh cute banget?"

"Nggak, jangan peluk-peluk gue, Ron."

"Bentar aja, bentar. Gue gemas sama lo."

Dan ponsel Ron memilih saat itu untuk berdering nyaring, dan Oliv melepaskan diri bersamaan dengan Ron melepas pelukannya untuk mengambil ponsel.

Seketika raut wajah Ron berubah, saat dia menjawab panggilan telepon. Oliv mendengar Ron memberikan beberapa instruksi lewat telepon sebelum mematikan sambungan teleponnya dan menatap Oliv penuh sesal.

"Sorry, gue harus balik ke rumah sakit. Ada pasien mendadak pendarahan. Gue antar lo pulang dulu ya."

"Nggak usah. Lo langsung ke rumah sakit aja. Gue bisa minta jemput di sini."

Ron mengernyit.

"Jangan. Gue antar aja. Jam segini dari sini ke rumah lo macet."

"Hmm.. Atau gue ikut lo ke rumah sakit aja gimana? Gue bisa minta jemput di sana. Di sana juga lebih dekat ke rumah gue."

Ron mengernyit makin dalam, namun Oliv sudah bergerak mengambil kacamata dan tasnya.

"Ayo, kita berangkat sekarang. Pasien lo menunggu."

Ron tersadar, dan ikut bergerak mengambil tasnya.

"I'm sorry, Liv," ucap Ron sekali lagi begitu mereka keluar dari unit dan sedang menunggu lift.

"It's ok. Resiko punya gebetan dokter kan?" jawab Oliv ngasal, dan Ron tergelak.

"Jadi gue udah naik pangkat jadi gebetan?"

"Lho? Nggak mau? Ya udah nggak jadi," jawab Oliv, dan Ron langsung merangkulnya.

"Mau dong. Apa gue udah bilang kalau lo cute?"

"Cute?" Oliv berdecak, "gue nggak cute. Seksi begini dibilang cute."

Ron mengecup pinggir kepala Oliv dan berbisik pelan, membuat Oliv kembali salah tingkah.

"Masalahnya, Nona Muda, lo memang cute dan seksi."

Tbc

Ayo absen!!

Oliv - Hansen?

Oliv - Ronald?

Hansen - Sigit? *lho

Canda deh yang terakhir hehehe

Progresnya kecepetan ga ya? 🤔 soalnya Oliv dan Ron baru dekat kurang dari dua bulan. Tapi lumayan intens sih kontaknya.

Sorry for typos

Sampai jumpa di part berikutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro