tujuh belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ini syuting terakhir mereka, dan seiring waktu, Oliv semakin dekat dengan para kru dan pemain yang lain. Terutama dengan Nico. Tapi yang paling parah, dia juga semakin dekat dengan Hansen.

Proyek move on Oliv jelas-jelas tidak berkembang dengan semestinya.

Saat dia di Jakarta, bersama Ronald, dirinya cukup terbantu. Apalagi saat itu Hansen juga bersikap menyebalkan.

Tapi sekarang? Aduh.

Mana sekarang Hansen makin enak diajak bercanda, pula.

Kacau memang.

Ana mengacak rambut Oliv, memberi kesan berantakan, sementara Nessa membubuhkan efek kotor di wajah Oliv.

Hari ini mereka akan melakoni scene terakhir yang akan dilakoni di salah satu gudang di daerah Bekasi, saat karakter yang Hansen perankan akan dipaksa menembak antara Oliv atau Nico. Lalu setelah drama bla bla bla yang membuat mereka bertiga tidak jadi baku tembak, karakter yang diperankan oleh Merry akan muncul dan menembak mati ayah dari karakternya Hansen.

Ending scene sudah di-take saat mereka di Bandung. Endingnya, karakter yang Oliv dan Nico perankan akhirnya membuka usaha rumah makan berdua, sementara karakter yang Hansen perankan akan meneruskan pekerjaan sang ayah.

Oliv membuka mata saat Nessa selesai memberi efek di wajahnya, tepat saat Hansen masuk.

Hansen menatap Oliv sebentar, lalu senyum canggung menghiasi wajahnya.

"Oh, lo udah ready?" tanya Oliv, dan Hansen mengangguk. "Iya, gue diberesin duluan. Tinggal Nico."

"Emang Om udah ready?" tanya Oliv menanyakan pemeran ayah karakter Hansen, dan Hansen mengangguk.

"Udah. Lagi briefing sama Beatrix."

Oliv menyipitkan matanya, menyadari kalau Hansen menatapnya dengan aneh dan canggung.

"Kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu? Aneh ya dandanan gue?" Oliv menoleh pada cermin, lalu mengernyit. "Gue keliatan kotor banget ya. Ah, tapi kayaknya adegan berkelahi dua hari yang lalu itu puncak segala keberantakan gue. Ini masih mending jauh."

"Gue bingung," ucap Hansen tiba-tiba, membuat Oliv menoleh. "gimana caranya lo tetap kelihatan cantik walaupun seberantakan ini."

Oliv tertegun, dan Hansen menatapnya tajam, tampak tidak sadar dengan apa yang dia ucapkan sendiri.

"Hah?"

Tapi bukannya menjawab Oliv, Hansen justru semakin mendekat dan tetap menatapnya tajam.

"Tapi lo nggak pernah jelek, sih, dari dulu."

Oliv melongo. Pipinya mulai memanas, terutama karena jarak Hansen semakin dekat dengannya.

Oliv memang sudah terbiasa dekat-dekat dengan Hansen, tapi tidak pernah ditatap setajam ini.

Yang tidak punya rasa saja kalau ditatap seperti ini bisa malu, apalagi yang masih baper gagal move on macam Oliv.

Ni orang kenapa makin lama makin ganteng sih? Kayaknya dulu pas belum puber nggak ganteng sama sekali. Mana culun, pakai kacamata-

"Hah?!" Oliv buru-buru mengembalikan akal sehatnya, lalu menoyor kepala Hansen menjauh. "Lo mabok ya? Lupa ingatan? Bisa-bisanya lo bilang gue nggak jelek pas gue pakai kawat gigi dan jerawatan?"

Hansen balas menoyor kepala Oliv.

"Nggak jelek bukan berarti cantik, Pintar... Sekarang doang lo selalu cantik. Dulu mah, nggak jelek doang."

"Apa bedanya, Bego?"

"Ya bedalah, Odong."

"Nggak ada bedanya, Dodol."

"Beda banget kali, Idiot."

Keduanya terdiam, lalu terbahak-bahak.

"Percakapan goblok macam apa ini?!" ucap Oliv di sela-sela tawanya.

"Nggak tahu, lo mah aneh banget!"

Oliv memukul lengan Hansen, masih sambil tertawa.

"Lo tuh yang aneh!"

"Lo, kali!"

"Enak aja. Lo tuh!"

Diiringi perdebatan absurd itu, Hansen merangkul Oliv keluar dari ruang gantinya.

***

"Cut!!"

Oliv, Hansen, dan Nico menarik nafas bersamaan, lalu secara natural, saling berangkulan.

"Selesai sudah," bisik Oliv yang tenggelam diantara dua pria yang berukuran jauh lebih besar darinya itu.

"Masih ada masa promosi, sih," kata Hansen. "Tapi rasanya pasti beda."

"Semoga ada kesempatan project lagi sama kalian berdua. I'll miss you, guys," ucap Nico, dan mereka bertiga tersenyum lebar.

"Kita masih bisa ketemu di luar film, toh? Nanti janjian deh," ajak Oliv, dan kedua pria itu mengangguk.

"Ayo!"

***

Syuting berakhir lebih cepat dari jadwal, sehingga langit masih terang saat mereka selesai. Para kru dengan cepat membereskan tempat syuting, dan memutuskan untuk pulang ke Jakarta hari itu juga. Para aktor dan aktris segera berberes sembari para kru berberes, lalu mereka naik ke kendaraan yang disiapkan.

Suasana di bus sangat berbeda dengan kondisi waktu berangkat. Selain karena beberapa aktor yang sudah menyelesaikan scene di awal sudah pulang lebih dulu, mereka juga kelelahan.

Oliv duduk di tepi jendela, dan Hansen duduk di sebelahnya.

Sopir bus memutarkan lagu instrumen di bus dengan suara kecil, dan masih terdengar obrolan dengan suara pelan. Beberapa dari mereka masih mengobrol, tapi banyak juga yang tidur.

Oliv merapatkan hoodie hitamnya, lalu menoleh pada Hansen.

"Kok lo duduk sebelah gue?" tanyanya, baru sadar akan keberadaan Hansen.

"Biar lo bisa nyender."

Oliv langsung tersenyum lebar.

"So sweet banget sih lo. Ya ampun, kalau gitu gue nggak akan segan-segan lagi," kata Oliv, lalu menyenderkan kepalanya di bahu Hansen dengan nyaman.

"Emang kapan lo pernah segan sama gue?" sindir Hansen, namun tangannya bergerak merangkul Oliv supaya bisa menyender lebih nyaman.

"Pas lo punya pacar," jawab Oliv, yang berhasil membuat Hansen terdiam. Namun Oliv tidak menyadarinya, dan justru memejamkan matanya dengan nyaman.

"Hmm... Lo nggak perlu lagi segan sama gue, Liv. Gue bakal usahain, setelah ini, tidak pasangan lo ataupun pasangan gue, yang berhak menjauhkan kita berdua lagi," bisik Hansen, dan tangannya yang merangkul Oliv, mengusap rambut Oliv dengan lembut, mengantarnya pada tidur lelap.

Hansen tidak berani berjanji, karena dia tahu seberapa parahnya hubungan Hansen dan Oliv akibat dia pacaran dengan Astrid dulu, tapi kali ini, dia akan berusaha sekuat tenaga, supaya kejadian itu tidak terulang lagi.

Entah berapa banyak momen yang hilang diantara mereka selama sepuluh tahun belakangan, dan Hansen menyesalinya. Amat sangat menyesal.

Entah berapa banyak emosi yang tertumpah akibat kebucinannya. Tapi semua sudah berlalu, dan yang dapat dia lakukan hanyalah berusaha lebih baik lagi.

Ponsel Oliv bergetar pelan di pangkuannya, mengedipkan nama 'Kakak Tertua'. Tersenyum geli melihat pilihan nama kontak yang Oliv pakai, Hansen mengambil ponselnya dan menekan tombol hijau sebelum menempelkannya ke telinga.

"Halo, Bang Hari ya? Ini Hansen."

"Oh, kamu bareng Oliv? Dia tadi kirim pesan, kalian sudah jalan pulang. Sudah sampai mana?"

"Masih di tol, Bang. Belum masuk Jakarta."

"Oh. Kalau sudah masuk Jakarta suruh Oliv kabari Bagas, ya."

"Bagas?" ulang Hansen bingung, dan Hari menjawabnya.

"Bodyguard sementara Oliv. Dia sudah tahu kok. Bagas sudah dekat tempat jemput. Makasih, Hans."

"Oke, Bang. Sama-sama."

Hansen mematikan sambungan dan kembali meletakkan ponsel di pangkuan Oliv, tapi tangan Oliv tiba-tiba menyentuh tangan Hansen.

"Siapa yang nelepon gue?"

"Bang Hari. Nanyain sudah sampai mana. Katanya lo disuruh kabari Bagas kalau sudah masuk Jakarta."

Oliv berjengit.

"Aduh..."

"Kenapa?"

Oliv merengut, merapatkan tubuhnya pada Hansen dan mengeluh dengan suara pelan.

"Lo tahu kan, kalau sejak gue jadi model, gue selalu ditemani bodyguard?"

Tentu saja Hansen ingat. Ayahnya yang selalu khawatir putri bungsunya yang seorang model ini kenapa-kenapa, sehingga selain ditemani manajer, Oliv selalu ditemani satu bodyguard kepercayaan beliau. Bahkan saat di Amerika Serikat, bodyguardnya ikut serta.

"Iya... Terakhir si Lisa kan?"

"Iya. Dia disuruh pulang kampung sama orang tuanya. Jadi minta cuti enam bulan, dan gue izinin lah. Kasihan banget, sudah empat tahun nggak pulang gara-gara ngintilin gue ke Amrik. Mana kampungnya jauh pula, di Nusa Tenggara sana. Tapi gue tetap harus ada yang ikutin. Apalagi gue mau balik aktif modelling. Jadi Bang Hari sama Bang Leon cari pengganti sementara, sampai Lisa selesai cuti. Tapi masa Bang Bagas, sih?"

"Emang kenapa?"

"Dia seram..." ucap Oliv merajuk, lalu sambil berbisik, Oliv berkata, "dia algojo Bang Leon yang paling sadis. Tapi orangnya setia. Udah ikut Bang Leon sejak Bang Leon baru kerja, berarti sepuluh tahun lebih, ada kali. Cuma ya itu, seram. Gue agak takut sama dia."

Lalu Oliv berdecak.

"Ah, tapi gue yakin, pas lo lihat mukanya, lo pasti nggak percaya sama gue."

Hansen terkekeh pelan, lalu kembali mengusap kepala Oliv.

"Nggak usah takut, kali. Gue yakin kedua abang lo nggak akan sembarangan memutuskan dia jadi bodyguard sementara lo, kalau lo nggak aman sama dia, ya kan?"

"Iya, sih..."

"Tapi tumben, lo dikasih bodyguard cowok."

"Yang cewek nggak banyak soalnya. Cuma tiga atau empat kalau nggak salah. Mereka jagain Mami dan Kak Mitha, jadi aku sementara ditemenin bodyguard cowok deh. Tapi kalau Bang Bagas mah, aku nggak takut diapa-apain. Dia baik sama aku, hanya serem aja."

Hansen menepuk lembut kepala Oliv yang berada di bahunya.

"Ya udah, tidur lagi, Liv. Tar gue bangunin lo kalau sudah masuk Jakarta."

"Hmm..."

***

Hansen melongo saat melihat tampilan bodyguard yang menjemput Oliv.

Yang datang menjemput Oliv adalah seorang pria muda yang tampan, cenderung cantik. Kulitnya putih bersih, wajahnya mulus, namun dengan tinggi hampir sama dengan Hansen. Penampilannya juga sangat kasual, tidak seperti bodyguard pada umumnya.

Dia tersenyum melambai pada Oliv yang langsung menghela nafas panjang.

"Hai, Oliv," sapa pria itu ceria, dan Oliv menjawabnya dengan nada yang tidak bersemangat.

"Halo, Bang Bagas..." lalu Oliv menoleh pada Hansen, dan dengan setengah hati memperkenalkan mereka berdua.

"Hansen, ini Bang Bagas. Bang, ini Hansen teman aku."

Pria itu tersenyum pada Hansen, yang dibalas oleh Hansen dengan segan.

"Saya sudah dengar tentang kamu. Lisa memberitahu saya siapa saja orang yang dekat dengan Oliv."

Hansen meringis. Entah kenapa, ada yang aneh pada pria ini. Wajahnya terlihat ramah, tapi senyumnya seakan-akan dia menyimpan pisau di tangannya yang bisa menikam lawan bicaranya kapan saja.

Mungkin ini sebabnya Oliv takut dengannya, batin Hansen.

"Ini koper Oliv," kata Hansen, menyodorkan salah satu koper yang dia bawa, dan langsung diambil alih oleh Bagas.

"Bye, Hans. Thank you," ucap Oliv, dan Hansen mengangguk.

"Bye. Sampai ketemu. Istirahat ya, lo."

"Lo juga."

Hansen melambaikan tangan, dan melihat Oliv masuk ke dalam mobil, dan duduk di sebelah pengemudi.

Oliv aman dengan pria itu kan?

Yah, seharusnya begitu.

Semoga saja pilihan kedua abangnya tepat.

***

Oliv merapatkan hoodie-nya, dan menurunkan senderan kursi.

"Langsung pulang kan, Bang?"

"Iya. Tidurlah. Besok kamu ada rencana ke mana?"

"Hmm... Siang aku mau ke rumah Ayu, ngomongin masalah kontrak kerja. Lisa sudah bilang rencana aku buat pakai Ayu jadi manajer, kan?"

Bagas menggumam mengiyakan, dan Oliv melanjutkan.

"Malamnya mungkin aku mau keluar makan sama teman."

"Abang temani?"

"Nggak usah, Bang. Repot ntar."

"Abang antar saja. Biar kamu tidak capek."

"Hmm... Tawaran yang menarik sih, Bang. Boleh deh. Tapi malamnya aku nggak usah dijemput. Nanti aku langsung pergi saja."

"Tidak mau ditemani?"

"Nggak usah, Bang. Aku keluar sama teman."

"Teman yang mana? Berdua?"

"Iya, berdua."

"Laki-laki?"

"Ih, abang apaan sih?"

"Non, Bang Bagas ditugasi jaga kamu. Keselamatan kamu prioritas utama Abang. Kamu tahu betapa bahayanya keluar sama laki-laki, berdua doang?"

Oliv berdecak.

Terlepas dari betapa seramnya algojo kakaknya yang satu ini, Bagas selalu bisa berlaku seperti abangnya. Kadang malah Bagas bisa menunjukkan perhatiannya lebih baik dibanding kedua abang kandungnya yang sama-sama rese itu.

"Lah, ini aku berdua sama Bang Bagas doang. Memangnya Bang Bagas bukan laki-laki?"

Bagas tergelak, membuat wajahnya yang tampan terlihat semakin tampan.

Seandainya Oliv tidak tahu sesinting apa pria di sampingnya ini, mungkin Oliv akan pernah naksir dengan Bagas. Sudah baik, perhatian, pembawaannya kalem. Tipe Oliv banget. Sayang sekali, aslinya psikopat.

"Beda, Non. Kamu adik Bos Abang. Mana berani abang ngapa-ngapain kamu? Bisa di-" Bagas tidak melanjutkan kata-katanya, namun mengeluarkan bunyi seperti bunyi dicekik dengan peragaan tangan ke lehernya sendiri, lalu tertawa.

Oliv menampakkan wajah malas.

"Aku juga tidak mau diapa-apain Bang Bagas. Aneh, kayak sama abang sendiri."

Bagas tertawa semakin keras.

***

Setelah tidur pulas sampai pukul dua belas siang, Oliv menghabiskan sepanjang sore di rumah Sigit dan Ayu untuk membicarakan kontrak kerja antara Oliv dan Ayu dengan pengacara kepercayaan keluarganya, yang meninggalkan mereka begitu urusan kontrak diselesaikan, meninggalkan Oliv bersama Ayu yang masih membicarakan detail urusan mereka.

"Berarti lusa gue dan Ayu ke kantor manajemen lo, Git?" ulang Oliv, dan Sigit mengangguk.

"Iya, kita atur kontrak lo dengan agensi. Gila, bakal heboh anak-anak itu kalau tahu lo masuk kantor manajemen gue," ucap Sigit sambil tertawa.

"Kalau gitu, gue diangkat jadi salah satu direktur juga dong, biar lebih heboh," kata Oliv, dan Sigit tertawa semakin keras.

"Nggak! Enak aja. Buktiin kalau lo layak, baru kita tawarin lo jadi salah satu direktur."

"Sombong banget," ucap Oliv sambil bercanda, dan mereka berdua sibuk saling cela, sementara Ayu masih sibuk berkutat dengan pekerjaan barunya.

"Oke, ngurusin lo kelihatannya nggak seribet ngurusin Petir," kata Ayu yang adalah mantan manajer Petir, Band-nya Sigit. "Setidaknya lo cuma satu orang doang, tapi kalau lihat history jadwal lo, lo sibuk banget sih, Liv. Gimana lo istirahat, deh?"

"Makanya gue meliburkan diri beberapa minggu, kan? Capek banget. Tapi habis itu gue bosan," jawab Oliv sambil nyengir, dan Ayu geleng-geleng kepala.

"Lalu gue udah oper proposal tawaran kerja ke lo, ya, Yu. Gue pusing bacanya," kata Oliv, dan Ayu mengangguk.

"Dapat tawaran dari mana lagi lo? Kontrak lo sama MAC udah kelar kan?" tanya Sigit penasaran, dan Oliv mengernyit, tampak berpikir.

"Apa ya...? Lupa. Ada semua di email."

"Nanti gue bikin rinciannya. Lo mau kita pilih bareng job yang lo mau ambil?" tanya Ayu, dan Oliv mengangguk.

Oliv merasakan ponselnya berdenting sekali, dan melirik pop up notification.

Ron : gue sdh sampai. Lo mau gue turun dulu?

Oliv langsung mengetik balasan dengan cepat.

Oliv : gk usah. Gw udh kelar. Bntr gw keluar.

Oliv memasukkan ponselnya ke tas, lalu beranjak dari sofa.

"Gue jalan dulu ya. Nanti kita ngomongin lagi, oke?"

"Lho? Lo nggak makan malam di sini?"

"Nggak, deh. Gue ada janji. Lain kali ya," jawab Oliv sambil tersenyum dan melambaikan tangan pada kedua sahabatnya itu.

Begitu keluar dari rumah, Oliv langsung mendekati mobil yang terparkir di sana, dan masuk.

"Hai, Ron," sapa Oliv sambil mengenakan seatbelt.

"Hai, Liv. Jadi, kita jadi mau makan malam di tempat gue?" tanya Ron, sambil menjalankan mobilnya meninggalkan kediaman Ayu dan Sigit.

"Ya. Rencananya begitu kan hari ini? Lo mau membuktikan kalau lo bisa masak, bukan asal bragging doang?" jawab Oliv, dan Ron tertawa.

"Oke, kalau gitu, kita langsung ke apartemen gue ya."

"Oke."

Tbc

Akhirnya abang ganteng nongol juga 😆

Di sini dia hanya jadi figuran, kok. Kan aku memang suka memunculkan orang banyak2. Biar rusuh. Kalian pusing, gpp. Yang penting aku senangggg huahahahaha *ketawajahat*

Ini adalah part terakhir yang aku post sebelum aku memutuskan narik cerita ini, jadi part berikutnya belum ada ya. Aku akan coba update dalam satu - dua minggu ini.

Sorry for typos

Sampai jumpa di part berikutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro