enam belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Oliv menyenderkan tubuhnya dengan santai di jok bus deretan tengah, bersama para kru perempuan dan aktris yang lain. Hari ini mereka menuju Bandung untuk melanjutkan syuting, dan dari kru menyediakan satu bus besar, satu mobil box untuk membawa properti yang berat, dan satu sedan yang juga akan menjadi properti film. Hansen dan Nico memilih duduk di deretan belakang bersama para aktor dan beberapa kru pria, dan mereka sudah heboh karena Yoga, salah satu aktor yang menjadi antagonis, membawa kartu dan membuat mereka semua main bareng.

Merry, aktris yang menjadi lawan main Oliv, menoleh ke belakang, dan mendengus geli melihat kelakuan para pria dewasa yang heboh di area belakang bus.

"Seru banget mereka, ya."

"Emang. Pas tahu produser kita menggaet Rendy buat jadi penata kamera, gue udah yakin, perjalanan kita bakal rusuh. Satu orang Rendy aja udah heboh, ditambah ada Yoga, Dimas, dan yang lain, habis deh," ucap Dira yang sedang ngemil kacang atom, yang dibagi-bagi pada yang lain.

"Yang gue nggak nyangka, Hansen juga bisa ikut heboh-hebohan sama mereka," kata Nessa, make up artist mereka.

Oliv ikut menuang kacang atom ke telapak tangan kiri, dan mulai mencomot satu per satu masuk ke mulutnya, sembari menyahut, "bisa kok. Aslinya dia sableng juga, tapi buat keluar aslinya, itu yang susah."

Merry kembali melihat Oliv.

"Oh iya, lo kan dekat sama Hansen ya."

Oliv mengangguk, sembari menuang sisa kacang ke mulutnya.

"Teman sejak kecil."

"Teman doang?"

"Doang," jawab Oliv sambil kembali menuang kacang atom ke tangannya.

"Padahal mereka kelihatan cute kalau bareng," sahut Dira sambil mengambil kembali bungkus kacang atom.

Oliv tergelak.

"Kelihatannya doang, itu. Aslinya nggak seindah tampak luar."

"Aku masih nggak nyangka, Olivia ternyata orangnya begini," ucap Ana, staf penata rias, sambil menatap Oliv kagum.

Oliv malah tertawa.

"Kenapa? Nggak nyangka aslinya bawel begini, ya?"

"Iya. Nggak sombong padahal model terkenal."

"Gue malah lebih terkejut karena dia bisa mau main film ini, ikutan casting pula," sahut Merry sambil terkekeh pelan.

"Lalu mau aja naik bus rame-rame gini," sahut Nessa, dan Oliv mengernyit.

"Emangnya gue di pandangan kalian kayak apa sih? Kayaknya jelek banget ya."

"Nggak jelek, Liv. Hanya first impression dari orang yang belum kenal dekat sama lo aja," jawab Dira. "Lo itu model yang udah go international, walaupun baru main film sekali, lo langsung jadi pemeran utama dan filmnya booming di pasaran. Lo bahkan masuk nominasi aktris terbaik tahun itu. Ditambah lagi status dari nama belakang lo. Siapa yang nggak kenal Barata Group, sih?"

"Dan lo punya resting bitch face, sih, Liv. No offense," sahut Nessa sambil nyengir. "Kalau gue nggak pernah kerja bareng lo lima tahun yang lalu, gue juga akan berpikir kalau lo kayaknya sombong."

"Nyatanya kan nggak," ucap Dira cepat, sebelum Oliv berargumen. Ana buru-buru mengangguk cepat.

"Emang kalau orang humble, mau statusnya kayak apapun, tetap humble ya."

Oliv yang tadinya mengernyit, sekarang tergelak.

"Asik, gue dibilang humble. Makasih, lho, An. Gue terharu. Gue minta kacangnya lagi, dong."

Ana menyodorkan bungkus kacang yang masih tersegel pada Oliv, yang membukanya dan kembali sibuk mengunyah, sementara obrolan diantara mereka kembali berlanjut, dan kali ini, jauh lebih santai.

***

Oliv menikmati perjalanan mereka, mengobrol seru dengan para kru wanita dan aktrisnya, lalu bercanda tawa dengan kru yang lain. Suasana di bus begitu hidup, dan menyenangkan.

Tapi begitu tiba di lokasi syuting, semua bersikap profesional. Para kru langsung bertindak menyiapkan keperluan syuting, dan para pemain film juga mempersiapkan diri untuk syuting.

Oliv cukup senang karena setelah ini, pakaiannya tidak ada lagi yang semini syuting hari pertama. Kali ini dia memakai jeans semata kaki dan kaus pas badan plus jaket bomber. Rambutnya yang panjang dan berwarna burgundy tergerai bebas, dan wajahnya dipoles dengan dandanan 'no makeup' makeup.

Oliv menarik lengan jaketnya sampai ke siku, lalu menghampiri Nico dan Hansen yang sudah siap, dan berada di bawah payung di belakang tempat sutradara.

"Joe dan Fico udah siap?" tanya Oliv sambil nyengir, sengaja menyapa mereka dengan nama karakter mereka dalam film, dan Nico tersenyum lebar. "Siap, lah. Lo sendiri gimana, Sier?"

Oliv mengangguk mantap, lalu wajahnya berpaling pada Hansen, dan tangannya terulur untuk membenarkan letak kacamata Hansen, properti untuk menunjang karakter Fico, karena Hansen aslinya tidak memakai kacamata lagi, karena matanya yang minus sejak kecil sudah dilasik beberapa tahun yang lalu.

"Lo cute deh, pakai kacamata gini. Kayak hot nerd gitu," ucap Oliv, dan Hansen langsung menatap Oliv malas. Di sebelahnya, Nico menahan tawanya.

"Iya, gue tau gue selalu ganteng. Jadi kita bakal coba role kayak gini, nanti? Gue jadi cowok nerd, lo jadi cewek nakal?"

"Ide bagus. Kayaknya menarik."

"Hmm, boleh. Anything for you, baby."

Oliv bengong, tidak menyangka akan dibalas seperti itu oleh Hansen, sementara Nico sudah menyemburkan tawanya.

"Gue salah tempat sih, di sini. Ya ampun, apa salah gue yang jomblo ini, harus dengerin kalian gombal-gombalan?"

"Lo mau gue gombalin juga, Nic?" tanya Oliv, dan Nico menggeleng cepat, masih sambil tertawa.

"Nggak, makasih."

"Gue aja gimana? Pemanasan sebelum adegan cium pipi?" tanya Hansen sambil tersenyum geli, dan Nico tertawa semakin keras.

"Ogah! Gue bisa sarap lama-lama kerja sama lo berdua, ngakak mulu astaga!"

"Emang, si Hansen dulunya kan punya impian jadi srimulat, makanya agak komedi gitu orangnya."

"Bukannya lo, yang dulunya mau jadi badut? Cocok sih, Liv. Rambut udah merah, kan. Tinggal tambahin hidung merah aja," balas Hansen, dan Oliv langsung menatapnya kesal.

"Rese!! Burgundy ini, Hansen. Merah, merah. Emang lo ya, warna cuma ada sepuluh buat lo. Merah, oren, kuning, hijau, biru, ungu, coklat, abu, hitam, putih."

"Gue tahu warna toska, kok," sanggah Hansen. "Dan cream, navy, pastel, pink-"

"Ya ya ya, percaya gue, percaya," ucap Oliv sambil menggeleng pada Nico, mengisyaratkannya supaya tidak percaya pada Hansen.

Hansen yang melihat tingkah Oliv, merangkul lehernya dan merapatkan posisi mereka.

"Emang lo tahu?"

"Tahu, dong. Gue kan mantan calon desainer."

"Halah, lo nggak pernah coba tes masuk desain, sok sok bilang calon desainer."

"Mimpi kan nggak ada salahnya, Bambang. Kalau kerjaan nggak sesuai cita-cita, nggak apa-apa, dong. Ya kan, Nic?" tanya Oliv mencari dukungan.

"Iya, cita-cita lo ada sepuluh, nggak ada satupun yang kesampaian. Habis ini lo mau bilang lo juga mantan calon dokter? Mantan calon zookeeper?"

Oliv manyun.

"Ngapain lo ngomongin soal zookeeper sih?!"

"Lho, bukannya lo pernah bilang lo mau jadi pengurus bayi panda?"

"Tapi itu bukan cita-cita gue!"

"Lalu, jadi penyelam yang ngasih makan hiu di seaworld?"

Oliv makin manyun.

"Nggak dikasih Mama, sial. Diem deh, rese banget lo. Daripada lo, lolos tes beasiswa di Hongkong University, malah nolak. Bisa masuk Uni Negeri di Jogja jalur non tes, nolak lagi. Malah milih kuliah di Jakarta."

"Sial. Sesama lulusan uni di Jakarta diem, deh."

"Uni di Jakarta bagus juga, kok," sahut Nico, dan keduanya langsung menoleh, menatapnya tajam.

"Lo lulusan mana?" tembak Oliv.

"SIM*", jawab Nico, dan keduanya langsung serempak melotot padanya.

"Diem aja lo!!"

Nico, bukannya diam, malah semakin kencang tertawa, menertawakan dua rekan kerjanya yang sibuk beradu mulut dan sekarang kompakan mengomelinya.

*SIM = Singapore Institute of Management

***

Oliv menghempaskan dirinya di atas ranjang dengan tubuh lelah.

Setelah syuting yang memakan waktu dari sore sampai tengah malam, akhirnya mereka bisa ke hotel setelah jam dua pagi. Besok mereka akan mulai syuting lagi jam sepuluh pagi, dan kalau lancar, sorenya mereka akan berangkat ke Cirebon. Jadi begitu tiba di hotel, Oliv langsung mandi dan bersiap tidur. Namun sebelumnya, dia sempat mengecek email kerjanya.

Saat di US, Oliv masuk ke sebuah agency, dan mereka membantunya dengan menyediakan satu manajer untuk membantu mengatur jadwalnya. Namun saat dia memutuskan untuk menyelesaikan kontraknya dan kembali ke tanah air, otomatis hubungan kerjanya dengan Peggy berhenti. Jadi sekarang, Oliv harus mengurus semuanya sendiri, sampai dia mendapat manajer baru. Mengatur pembukuan, memilah job, dan lain-lain.

Dia memang mengambil break begitu tiba di Indonesia, tapi tawaran pekerjaan sudah mulai masuk ke emailnya. Awalnya Oliv santai, tapi sekarang, saat dia memutuskan untuk kembali bekerja, dia agak kewalahan.

Tiba-tiba notifikasi chat-nya memunculkan nama Ayu.

Ayu : Liv.

Oliv tanpa sadar tersenyum lebar, dan langsung menekan tanda bergambar telepon, lalu menempelkannya ke telinga.

"Gila, langsung ditelepon," ucap Ayu di seberang telepon begitu panggilannya diangkat, tanpa sapaan basa basi.

Oliv tertawa.

"Tau aja gue udah pulang syuting."

"Nggak tau sih, makanya gue chat dulu. Takut ganggu. Siapa tahu ternyata lo malah udah terkapar."

"Kok lo belum tidur?" tanya Oliv, sambil membenarkan posisi ponselnya supaya nyaman menelepon sambil tiduran.

"Belum ngantuk. Sigit juga belum pulang."

"Cie, khawatir ni yeee...."

Ayu tertawa.

"Lebih tepatnya, gue terbiasa tidur ada orang di samping gue. Nggak bisa tidur kalau dia belum pulang."

"Emang si kunyuk ke mana sampai tengah malam gini belum pulang?"

"Ngisi acara live di TV lima. Acara lomba nyanyi itu, lho. Bandnya jadi bintang tamu buat kolaborasi sama salah satu dari lima besar. Tapi dia udah on the way pulang, sih."

"Oh, gitu. Oh ya, kenapa lo nyari gue? Gara-gara nggak bisa tidur ya?" canda Oliv, dan Ayu tergelak.

"Bukan, gue mau kasih jawaban gue buat tawaran lo tempo hari. Gue udah diskusi sama Sigit, dan dia bilang oke."

Mata Oliv langsung berbinar. Dia bahkan langsung duduk dan menyahut dengan antusias.

Dia sempat mengutarakan keinginannya untuk menjadikan Ayu sebagai manajernya.

Alasan pertama, karena Ayu adalah mantan manajer yang berpengalaman dan terpaksa menganggur sejak insiden sebelum pernikahannya dan membuat sang suami jadi super protektif masalah kesehatannya.

Yang kedua, tentu saja karena mereka bersahabat. Oliv tahu kalau hubungan kerja dan pribadi harusnya dipisahkan, tapi tidak bisa disangkal, persahabatannya dengan Ayu selama ini menjadi salah satu pertimbangannya. Hubungan mereka pasca kesalahpahaman empat tahun yang lalu justru menjadi lebih dekat dibanding sebelumnya. Oliv belajar untuk lebih memperhatikan pendapat dan sudut pandang Ayu, Ayu juga belajar untuk mengemukakan pendapatnya dengan lebih jelas dan terbuka. Tak jarang keduanya jadi ribut, tapi selama mereka bisa tertawa bareng setelahnya, semua aman-aman saja.

"Serius?!!! Wah, thank you banget, lho. Tar pas gue pulang, kita langsung ngomongin kontraknya ya."

"Ok, santai aja. Tapi gue mungkin nggak bisa bantu banyak karena gue nggak selalu bisa ikut lo ke mana-mana."

"Nggak perlu itu, mah. Sesekali aja. Bilang sama si kunyuk, gue bakal jaga bininya, supaya nggak lecet selama bareng gue. Bakal gue jaga kayak patung antik."

Ayu tertawa ngakak.

"Si Bego!! Gue bukan porselen, kali! Kaki gue juga udah baik-baik aja, emang dasar temen lo itu yang protektifnya suka kebangetan. Untung lo yang nawarin kerjaan ke gue, makanya dia iya-in. Udah hampir dua tahun, gue nggak diizinin apply kerja jadi manajer lagi sama dia. Yah, at least gue diizinin pas Flo minta gue jadi marketing consultant kafenya, sih. Lumayan, nggak terlalu lumutan karena kurang gawe."

Oliv ikut tertawa geli.

"Tapi gue ngerti sih. Kalau gue jadi laki lo, gue juga nggak bakal ngizinin lo kerja dulu. Lo kan pecicilan, nggak bisa diam. Apalagi status lo itu bininya si kunyuk. Mana rela si kunyuk, lo malah ngurusin artis lain? Ngurusin kafe sih beda kasus ya."

"Ya, ya, gue dapet poinnya sih. Ah, ribet ya," ucap Ayu, dan Oliv tertawa.

"Tapi tenang aja, kalau lo kerja jadi manajer gue, lain cerita dong. Gue temen lo, temen dia juga. Gue juga bakal mastiin lo aman sama gue. Lagipula, lo nggak harus ikut gue ke mana-mana."

"Iya, itu alasan dia iya-in tawaran kerja dari lo. Tapi sering-sering ajak gue keluar dong, Liv, kalau gue udah jadi manajer lo. Gue kangen ngiter-ngiter buat kerja."

"Lho? Bukannya jadi marketing consultant Bloom Cafe bikin lo ngiter-ngiter juga?"

"Kagak. Gue kebanyakan di kantor yang di Kuningan. Cuma keliling ke kafe cabang kalau buat ngecek. Sebulan sekali doang, itupun Sigit pasti maksa buat ikut," keluh Ayu, dan Oliv tertawa. Si kunyuk yang mendadak bucin itu pasti tahu jadwal keliling Ayu dari Flo, dan sengaja mengosongkan jadwalnya untuk ngintilin istrinya sendiri.

"Tenang, bisa diatur itu. Sesekali gue bawa lo jauh-jauh deh, pas dia nggak bisa ngosongin jadwal, biar si kunyuk merana."

"Ide bagus, tuh."

Lalu keduanya terbahak-bahak, senang bisa merencanakan sesuatu untuk mengisengi Sigit.

"Ok, enough about our plan for this job and Sigit. How about you, Liv?"

"Me? Gue kenapa?"

"Syuting di sana, lah. Gimana?"

"Seru," ucap Oliv, lalu secara otomatis dia bercerita panjang lebar tentang proses syuting, dan para kru yang terlibat. Ayu mendengarkan, sesekali menanggapi dan ikut tertawa.

"Wah, lo sama Hansen kayaknya baik-baik aja."

"Iya. Gue lebih santai sama dia sekarang. Jauh lebih santai dibanding dulu. Gue bisa bercanda dodol sama dia, dan dia nanggepin gue, Yu. Asik banget."

"Baguslah. Gue senang dengarnya."

Lalu terdengar suara pintu di seberang telepon, dan suara Sigit terdengar, "teleponan sama siapa?"

"Eh, udah pulang. Oliv, nih."

Lalu tiba-tiba saja suara Sigit mendominasi telinga Oliv.

"Oi, Liv! Ngapain lo nelepon bini gue tengah malem begini?!"

"Lah, lo ngapain, di luar rumah sampai tengah malem begini?! Masih bagus gue yang nemenin bini lo yang kesepian, lho ya!" balas Oliv, dan Ayu tertawa di seberang telepon. Ayu pasti sudah mengaktifkan mode speaker pada ponselnya.

"Oh, bagus, ketawa ya kamu, Yu. Aku nggak izinin kamu kerja bareng Oliv ntar."

"Wah, nggak serulah, mainnya ngancem-ngancem," keluh Oliv.

"Git, kamu udah janji ya," tegur Ayu dengan suara pelan, namun Oliv masih bisa mendengarnya. Lalu terdengar suara tawa Sigit yang dibuat-buat.

"Ah, kamu mah, serius banget, Yu. Aku kan cuma bercanda. Iya, aku izinin kok. Beneran, Yu."

Oliv langsung tertawa ngakak.

"Ternyata kadal satu ini bucin parah!! Gilaaaa, kalau gue nggak denger sendiri, gue nggak bakalan percaya kalau lo jadi bucin beneran ke Ayu, Git!!"

"Biarin," ucap Sigit sewot. "Sama bini sendiri, bucin nggak apa-apa. Daripada disuruh tidur di sofa."

Oliv tertawa semakin keras.

"Bucin lo!!"

"Ketawa aja yang kencang, Boy. Tar tunggu giliran lo yang bucin, gue yang bakal paling kencang ngetawain lo!" seru Sigit, namun Oliv tidak terpengaruh, dan tetap saja tertawa terbahak-bahak, bahkan Ayu pun ikut tertawa di seberang telepon.

***

Begitu di Bandung selesai, mereka lanjut syuting ke Cirebon, lalu Sukabumi. Secara keseluruhan, proses syuting berjalan cukup lancar.

Malamnya, mereka akan melakukan scene di Pondok Halimun Sukabumi, untuk enam scene. Adegan kissing antara Joe dan Sierra, adegan kaburnya Fico, pengejaran dari dua anak buah ayahnya Fico, adegan penembakan, lalu penculikan Fico dan keributan yang terjadi setelahnya.

Oliv sudah mengenakan jeans gelap semata kaki, dan kaus pas badan, rambutnya diikat membentuk ekor kuda. Dia menghampiri Nico yang sudah duduk di depan pondok tempat mereka 'ceritanya' menginap, setelah beberapa hari kabur-kaburan dari anak buah ayahnya Fico.

Beatrix menghampiri mereka bersama penata gaya untuk briefing, dan Hansen mengikuti mereka.

"Kita akan take dua kali, minimal. Satu kali dengan dua kamera dekat, lalu sekali dari jauh, dengan fokusnya ke Hansen yang memergoki kalian ya."

"Oke, Mbak." 

Lalu mata Nico dan Oliv bersirobok, dan Nico tersenyum lebar, sementara Oliv malah menyemburkan tawa.

"Belum mulai aja gue udah merasa awkward, astaga! Gue harus menenangkan diri dulu kayaknya."

"Iya, tolong tenangin diri dulu. Gue takut lo tiba-tiba nyembur di muka gue. Gue nggak pengen dapat hadiah semburan ludah lo ya," ucap Nico sambil nyengir, dan Oliv malah makin kencang tertawa.

"Gimana kalau lo aja yang semburin muka Oliv? Daripada disembur, kan, mending nyembur duluan," sahut Hansen kalem, dan Nico tertawa.

"Ide bagus tuh."

"Rese ya, lo berdua!" omel Oliv, tapi masih sambil tertawa. Lalu dia menoleh pada Hansen dan menyeringai lebar padanya.

"Pasang tampang cemburu yang meyakinkan ya,  Hans."

"Iya, iya. Lo nggak tahu, kalau gue selalu cemburu banget lihat lo dekat-dekat pria lain?"

Oliv memukul lengan Hansen, pura-pura merajuk.

"Sejak kapan lo belajar gombal sih, ih gue kan jadi malu."

"Apa sih, Liv. Nggak jelas, ah," keluh Hansen, tapi dengan tawa lolos dari bibirnya. Nico hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan keduanya.

Lalu Oliv bangkit dari kursinya.

"Gue ambil penyegar nafas dulu deh. Lo mau juga nggak, Nic?"

"Boleh. Biar lo nggak pingsan habis kiss scene," jawab Nico, dan Oliv tergelak. Dia berjalan meninggalkan Nico dan Hansen yang melanjutkan obrolan, dengan jantung berdebar.

Sejak awal dia dan Hansen terpilih main film yang sama, Oliv tahu, proyek move on-nya tidak akan mudah.

Apalagi sekarang, saat mereka malah bisa seru-seruan, dan Hansen bisa dengan santai menjawab becandaannya, apalagi dengan gaya gombal, Oliv tahu hatinya tidak baik-baik saja.

Tapi dia akan berusaha bertahan dengan logikanya, dan tidak menyerah pada perasaannya.

Gue pasti bisa, batin Oliv menyemangati dirinya sendiri.

***

Sierra menyenderkan tubuhnya dengan santai di kursi lipat, dan Joe duduk di kursi sebelahnya.

"Fico ke mana sih?" tanya Sierra sambil membuka botol air mineralnya, lalu meneguk isinya.

"Biasa, panggilan alam," jawab Joe santai, dan Sierra terkekeh pelan.

"Tenang banget ya, di sini," ucap Sierra pelan, dan Joe mengangguk. Keduanya duduk santai, melihat pada tungku kecil yang menyala untuk menghangatkan malam mereka.

"Sier," panggil Joe pelan, dan Sierra bergumam pelan, menandakan dia mendengar, lalu Joe berkata, "gue lihat lo dan Fico semalam."

Sierra menoleh, dan menemukan Joe sedang menatapnya dengan wajah serius.

"Lalu?"

"You kissed him," ucap Joe. Itu pernyataan, bukan pertanyaan, tapi Sierra menjawab dengan santai, "ya, lalu?"

"Kamu suka sama Fico?"

"Suka," jawab Sierra santai. "Dia lucu. Polos gitu."

Joe langsung menghela nafas panjang, membuat Sierra menelengkan kepalanya pada Joe, menatapnya penuh tanya. "Kenapa lo?"

"Gue nggak ada kesempatan lagi, dong."

Sontak Sierra tergelak.

"Kesempatan apaan? Gue sama Fico nggak ada apa-apa, kali. Gue sama lo juga nggak ada apa-apa."

"Tapi lo bisa dengan santai cium dia-"

"Dia bilang dia suka sama gue," ucap Sierra santai. "Tapi menurut gue, dia hanya punya perasaan itu karena kita terjebak di kondisi yang nggak biasa ini. Berhari-hari kita terus bertiga. Bahkan sekamar bertiga. So, I kissed him. Gue mau lihat, dia beneran suka sama gue, atau dia hanya berpikir kalau dia suka sama gue."

"Kalau gue bilang gue suka sama lo, lo bakal cium gue juga?"

Sierra mengernyit, tapi sedetik kemudian dia tertawa.

"Apaan sih, Joe?"

Joe tetap menatap Sierra dengan raut wajah serius, saat berkata, "Gue suka sama lo."

Sierra melongo sebentar, lalu kembali tertawa. Tapi Joe tidak mengubah raut wajahnya, dan Sierra akhirnya berhenti tertawa dan melotot pada Joe.

"Lo serius?"

Joe mengangguk. Sierra kembali mengernyit.

"Nggak mungkin. Gila, lo. Yang bener aja. Lo ikutan gila ya, sama kayak si Fico? Gue cewek panggilan, kali. Gue nggak kaya, gue bukan cewek bener, dan gue juga nggak sengaja kejebak di sini bareng lo dan Fico!"

Lalu Sierra menjauhkan punggungnya dari senderan kursi, dan menatap Joe dengan tatapan tajam penuh tuduhan.

"Atau.. Lo pikir karena profesi gue, gue gampang diajak seks? Apa lo sefrustasi itu? Ya gue tau sih, sekarang kita cuma bertiga, dan lo terbiasa jadi gigolonya mama tiri Fico, tapi lo nggak bisa mengalihkan itu ke gue, gue nggak mau, ya!"

"Gue beneran suka sama lo," ucap Joe tenang, masih dengan wajah seriusnya.

"Halah, nggak mungkin banget," bantah Sierra, dan Joe menjauhkan punggungnya dari senderan kursi, dan mencondongkan tubuhnya ke arah Sierra, membuat posisi wajah mereka begitu dekat.

"Jadi, apa lo bakal cium gue juga? Buat buktiin kalau gue salah?"

"Itu sih maunya lo," jawab Sierra tanpa memundurkan wajahnya sama sekali, tapi berkebalikan dengan kata-katanya, dia membiarkan Joe semakin dekat dan menyentuhkan kedua bibir mereka.

Keduanya berpagutan dalam, tanpa menyadari Fico melihat mereka dari kejauhan.

***

Hansen tahu ending dari scene ini, begitu dia berbalik dan melarikan diri dari keduanya, karena mengira mereka sekarang bersama, Sierra akan melepas ciuman mereka dan mengomeli serta menuduh Joe hanya bernafsu padanya sambil tertawa.

Dia cukup terkejut, saat dadanya terasa sesak melihat keduanya berciuman. Ini pertama kalinya jantungnya bereaksi pada lawan mainnya. Bahkan kemarin, saat adegan ciuman dengan Oliv yang sedang menjadi Sierra, jantungnya tidak berulah seperti ini.

Apalagi saat melihat tangan Joe membekap Sierra erat, dadanya kian sesak.

Gue cemburu.

Kesadaran itu menyentaknya dengan keras. Namun ini jadi terdengar masuk akal.

Tapi gue cemburu pada siapa? Sierra? Atau Oliv?

***

Hansen menepuk bahu Oliv, yang duduk di pojokan kafe sendirian. Hari ini mereka kembali syuting. Para kru sedang bersiap, dan dua aktor yang lain yaitu Theo dan Sigit belum tiba.

"Eh, elo. Baru sampai juga?" sapa Oliv, dan Hansen mengangguk.

"Lo juga baru sampai?"

Oliv mengangguk, lalu kembali membaca script.

"Gue grogi mampus hari ini," kata Oliv.

"Kenapa?"

"Gue ada adegan kissing sama Theo."

"Err... Lalu?"

"Ya, ini kan pertama kalinya gue ciuman di depan kamera. Bukan sama teman kencan gue, pula."

Hansen mengernyit saat merasakan dadanya mendadak sesak, namun dia mengabaikannya.

Mungkin kecapean, batinnya, yang semalam sempat mengisi acara dengan menyanyi di salah satu acara televisi.

"Oh, kalau gitu mah, anggap aja Theo lagi jadi teman kencan lo. Santai aja, Theo profesional, kok."

Oliv menghela nafas panjang.

"Iya sih. Gue kayaknya harus minta kopi lagi. Lo mau? Biar sekalian?"

"Gue aja," kata Hansen sambil berdiri. "Lo baca script aja. Kan lo take duluan, gue sama Sigit mejeng doang di dapur," lanjutnya sambil bercanda.

"Thanks, Hans," ucap Oliv sambil tersenyum, dan kembali menekuni skenarionya, sementara Hansen berjalan menuju meja bar untuk memesan kopi.

Tbc

Semoga suka

Sorry for typos

Sampai ketemu di part selanjutnya.

Semoga nggak kuanggurin selama dari part 15 ke part ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro