lima belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Begitu sampai ke lokasi syuting yang berada di salah satu klub di Jakarta - yang dilakukan siang hari saat klub tutup, tentu saja - Hansen langsung ditarik oleh salah satu make up artist untuk bersiap-siap. Setelah mengenakan kemeja pas badan dan jeans, dengan rambut ditata sedikit dork dan kacamata dengan lensa normal, Hansen keluar, dan menemukan Olivia sudah stand by, dengan celana jeans pendek yang hanya menutupi seperdelapan pahanya, dan kaus ketat dengan motif garis berwarna campuran orange, kuning, dan putih. Namun yang membuat Hansen melongo kaget adalah rambut Oliv yang hitam sudah berubah warna menjadi burgundy, dan jatuh bergelombang menutupi punggungnya. Make up nya juga cukup tebal, namun tidak terkesan norak.

"Kelar juga lo," sapa Oliv sambil tersenyum saat melihat Hansen, lalu kepalanya ditelengkan dengan alis mengernyit saat melihat ekspresi Hansen. "Kok lo ngeliatin gue kayak gitu? Penampilan gue aneh ya?"

"Rambut lo," ucap Hansen, tanpa sadar menyentuhnya dan menyelipkannya ke belakang telinga Oliv, "cocok sama lo. Bagus warnanya. Kapan dicat?"

"Oh, baguslah," wajah Oliv langsung tampak lega. "Kemaren gue cat. Gue agak cemas, karena belum pernah cat warna ini, tapi kalau menurut lo bagus, aman deh."

"Lo nggak dingin pakai baju gitu doang?" tanya Hansen, baru sadar dengan pakaian yang Oliv kenakan. Bukannya apa-apa, tapi pakaian itu benar-benar tidak tampak seperti penutup tubuh, tapi justru mempertegas lekuk tubuh Oliv.

"Kagak, biasa aja," ucap Oliv santai. "Gue udah pernah pakai baju yang lebih mini dari ini buat catwalk."

"Gue penasaran, emang lo nggak risih?" tanya Hansen, dan Oliv tergelak. Oliv tahu tubuhnya cukup bagus, apalagi profesinya sebagai model membuatnya sudah pernah mencoba pakaian, dari yang sangat berat sampai yang sangat mini. Walaupun dia melakukannya karena profesionalitas, tetap saja ada mata-mata kurang ajar yang melihatnya dengan arti lain.

"Biarin aja. Toh badan gue masih tertutup, kok." Lalu Oliv sengaja mendekati Hansen dan berbisik padanya, "lagipula, semua orang hanya bisa membayangkan dan melihat sebatas ini, tapi hanya suami gue yang boleh melihat dan menyentuh ini semua."

Hansen terdiam, sementara Oliv menjauhkan diri darinya dan tersenyum riang.

"Scene pertama kita nih, hari ini. Mohon kerjasamanya ya, partner," ucap Oliv riang, lalu berbalik saat sutradara memanggilnya, meninggalkan Hansen yang masih termangu.

***

Hansen meneguk gelas berisi air lemon seakan-akan itu adalah alkohol, sementara dua pria yang berperan sebagai temannya duduk di hadapannya.

"Gue nggak ngerti kenapa bokap lo bisa melarang lo sama si Vina," ucap temannya yang pertama, lalu disahuti oleh yang kedua, "ya iyalah, Vina kan matre. Baru berapa bulan pacaran sama Fico aja udah minta LV. Gila ya?"

"Bukannya bini muda bokap lo lebih matre lagi, Fic?" tanya temannya pada Hansen, dan Hansen meletakkan gelasnya dengan kasar di atas meja, dan menatap temannya dengan wajah kesal.

"Nggak tau! Ah, rese banget lo berdua. Berisik!!"

"Sorry, sorry," ucap temannya yang kedua dengan senyum tak enak, lalu buru-buru mengalihkan pembicaraan.

"Gini aja deh, daripada lo mabok-mabokan ngeratapin gold digger itu, mending lo senang-senang aja gimana? Kita cariin cewek buat lo malam ini? Oke? Hmmm... Itu kayaknya oke," ucapnya, lalu menunjuk kepada seorang gadis yang duduk di meja bar, mengobrol dengan barista. Hansen mengangkat wajahnya, melihat ke arah perempuan itu, lalu menghela nafas panjang.

"Another gold digger?"

"Hanya buat semalam, bro. Habis itu bye-bye. Mau? Gue tanyain ya."

"Nggak usah, gue tanya sendiri aja," ucap Hansen sambil berdiri, dan diiringi sorakan dari temannya, mendekati perempuan itu.

"Hai," sapa Hansen canggung, dan perempuan itu menoleh, menatap Hansen dari atas sampai bawah, lalu ke atas lagi.

"Hai. Ada apa ya?"

"Lo sendiri?"

"Sementara ini iya. Kenapa?"

"Gue Fico. Gue mau minta tolong."

Gadis itu mengernyit, dan Hansen menghela nafas panjang.

"Gue baru putus, dan gue mulai muak mendengar teman gue membicarakan ini seakan-akan gue pathetic. Kalau lo nggak keberatan, tolong keluar dari klub ini bareng gue malam ini."

Perempuan itu mendengus, sengaja menumpu kepalanya dengan tangannya yang ditaruh di atas meja.

"Pick up line macam apa itu? Gue baru pertama kali dengar."

Hansen menghela nafas, namun tidak berbicara, sampai akhirnya perempuan itu yang bicara.

"Ini nggak gratis."

"Name your price."

Perempuan itu mengangkat alis, lalu berkata, "tiga juta, untuk keluar dari ruangan ini bareng lo. Tambah tiga lagi kalau gue harus ikut mobil lo, lalu tambah delapan lagi, kalau lo mau ngamar sama gue, maksimum dua jam."

"Oke," jawab Hansen, dan mata perempuan itu membulat. "Tapi lo nggak keberatan dengan cash kan?" tanya Hansen lagi, dan perempuan itu menggeleng.

"Nggak. Oke, deal. Gue Sierra, by the way."

"Sier, lo mau cabut? Tar kalau dicariin-" ucap barista yang dari tadi diam saja itu, namun langsung dipotong oleh Sierra. "Bilangin aja, gue bosen. Mau jalan-jalan. Bye, Jud. Jangan kangen gue."

Sierra bangkit dari kursinya, dan menatap Hansen.

"Mana uangnya?"

"Gue kasih pas kita udah di mobil gue."

"Oke. Awas lo bohong, gue cincang lo. Jadi sekarang gue harus gandeng lo supaya temen lo nggak curiga?"

"Terserah."

"Kalau gitu, sini, deketin wajah lo ke gue," ucap Sierra, dan Hansen menundukkan kepalanya. Hanya sedikit, karena Sierra cukup tinggi.

"Cium gue. Jangan lama-lama, habis itu gue bakal gandeng lo, dan kita keluar, oke?"

"Oke."

Hansen mendekatkan wajahnya, dan mengecup bibir Sierra.

***

"Cut!!!"

Oliv menjauhkan diri dari Hansen, lalu tertawa. Hansen ikut tertawa melihat Oliv tertawa. Tangannya menyambut saat tubuh Oliv oleng ke arahnya.

"Awkward banget, gilaa!!" ucap Oliv di sela tawanya, dan matanya menatap Hansen. Tawanya mereda, namun seringainya belum hilang.

"Ya, habis ini kita masih ada adegan kissing ya, Liv," ucap Hansen, dan Oliv kembali terkekeh.

"Ya, ya. Gue inget kok. Dua adegan kissing sama lo, satu sama Nico. At least yang ini hanya kecup, lho."

"Bagus, kok adegannya," sahut Dira, asisten sutradara yang menghampiri mereka. "Nggak keliatan awkward."

Oliv merengut.

"Harusnya kemarin itu workshop-nya skinship aja, Mbak. Sekarang setelah mulai syuting baru berasa awkwardnya kayak apa nyium sahabat sendiri."

"Ya udahlah, latian sendiri aja lo berdua. Udah biasa adegan kissing juga kan lo berdua? Apalagi si Hansen. Jam terbang buat adegan romantisnya udah tinggi nih," jawab Dira santai, dan Oliv makin manyun.

"Mbak ngomong mah enak banget idih."

"Emang enak. Kapan lagi bisa cium-cium Hansen dan Nico sekaligus, kan?" jawab Dira dengan nada bercanda.

"Mau gue cium juga, Mbak?" ledek Hansen, dan Dira tertawa.

"Jangan, makasih. Ntar gue baper."

Hansen dan Oliv ikut tertawa.

Lalu HT Dira berbunyi, dan beberapa saat setelahnya, Dira dengan wajah serius menatap kedua aktornya.

"Adegannya udah oke. Nggak usah ngulang. Liv, langsung ganti baju ya. Lo ganti kemeja lo, Hans. Nico udah stand by, kita masuk scene 12 dulu."

"Oke."

***

"Cut!!!"

Oliv menurunkan tangannya yang masih memegang pistol, sementara MUA langsung mendekati John, aktor yang terbaring di tengah toilet itu, dan membantu mengelap darah palsu di dekat matanya supaya tidak masuk ke mata.

"Great job, guys!" ucap Beatrix, sang sutradara pada mereka, "habis ini Olivia dan Hansen hari ini kelar ya. Nico dan John, kita lanjut take scene 1, 2, dan 11."

Nico mengangkat jempolnya, dan John juga.

"Besok juga lo, ya?" tanya Hansen, dan Nico mengangguk. "Iya, scene 3, 8, 9, 10, sama tante Lisa, John, Deni. Lo nggak?" tanya Nico, menyebut pemeran pasangan selingkuhannya dan dua pemeran pembunuh bayaran yang mengejarnya.

"Gue malamnya, scene 4 dan 5 sama Om Roy dan tante Lisa."

"Oh. Nggak ketemu lagi dong. Lusa berarti ya."

"Yup. Pas ke Cirebon."

"Oke deh."

"Good luck, Nic."

"Yup. Thanks, Hans."

Hansen mendekati Oliv yang baru saja bangun, dan menyerahkan pistol kepada staf.

"Gila, gue nggak nyangka narik pelatuk seseram itu," ucap Oliv saat Hansen sudah di sebelahnya.

"Lo bukannya pernah coba bareng Bang Leon?" tanya Hansen, dan Oliv menggeleng. "Nggak jadi. Nyali gue ciut di detik-detik terakhir."

Hansen tertawa, lalu menepuk kepala Oliv lembut.

"Lo keren tadi. Ekspresinya dapet banget."

"Itu karena itulah, ternyata narik pelatuk seseram itu. Gue sampai percaya gue beneran bunuh si John, seandainya si John masih nggak gerak pas Mbak Beatrix teriak cut."

"Silly," ledek Hansen dengan tawa geli. "Pistolnya boongan kali."

"Gue tahu, tapi mirip banget woi."

"Pulang sama siapa lo?" tanya Hansen tiba-tiba, dan Oliv tersenyum lebar padanya.

"Tau aja gue nggak nyetir. Nebeng ya, Hans."

Hansen menghela nafas, dan mencubit pipi Oliv.

"Iya, iya. Jangan lupa biayanya aja ya."

"Lo kira lo taksi online?"

"Sopir pribadi juga perlu digaji kali, Neng."

"Gue jadiin sopir pribadi beneran, baru tahu rasa lo."

"Asal gajinya gede, nggak apa-apa. Sembilan digit ya."

Oliv berdecak.

"Matre!"

Hansen terbahak. Tangannya merangkul Oliv, dn melangkahkan kakinya keluar dari area syuting.

Tbc

Ah, sudahlah. Mumpung lagi sempat, aku berhasil bikin segini. Kuharap masih ada yang nungguin.

Susah banget lanjutin yang ini. Karena mereka lagi syuting, aku jadi kayak bikin cerita di dalam cerita. Mikirnya dua kali. Untung aja kisah film mereka udah ada inspirasinya, tinggal kuutak atik dikit biar nggak jadi sama persis.

Semoga suka.

Sorry for typos

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro