empat belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yang lupa cerita sebelumnya, boleh baca ulang dulu.

Kalau malas, nih aku kasih sinopsis part sebelumnya.

Di part sebelumnya, oliv kencan sama Ron, habis itu sorenya keluar sama Hansen dan dua ponakannya 😍

Udh gitu aja.

Maaf lama gak nongol di sini.

Seharusnya sih part ini aman tentram damai sentosa ya.

Harusnya...

Enjoy...

--------

Peluh memenuhi wajah Oliv, sementara matanya tetap awas, melihat sekeliling. Dia dikelilingi tiga orang yang menatapnya sangar.

Oliv menarik nafas panjang, dan memejamkan mata.

"Sierra!! Jangan tutup mata kayak jagoan di film action!!! Give your scared face, dong!!" teriak Ryan, koreografer mereka.

"Ups, sorry, lupa, Mas," ucap Oliv sambil membuka mata dan nyengir lebar pada Ryan yang geleng-geleng kepala. Di salah satu sudut studio, Nico dan Hansen duduk selonjoran bersama beberapa aktor pendukung, memperhatikan latihan yang Oliv lakukan.

Mereka sedang melakukan workshop, terutama untuk adegan laga yang akan mereka lakukan. Hansen dan Nico sudah melakukan bagian mereka, dan yang Oliv lakukan sekarang adalah adegan yang terakhir harus mereka latih hari ini.

Oliv menarik nafas, dan saat Ryan menyuruhnya mengulang, Oliv sudah siap. Dia melirik ketiga orang bertampang sangar di sekitarnya dengan takut, namun berusaha supaya tidak terlihat takut.

Saat salah satu menyergapnya, Oliv menjerit dan melayangkan pukulan ke lengan pria itu. Tak cukup, kakinya ikut bergerak menendang kaki pria itu.

Pria pertama mundur.

Pria kedua mencengkram tangannya dengan keras, dan pria ketiga menamparnya keras, dan Oliv mendorong dirinya, memanfaatkan berat badan pria yang mencengkramnya untuk memberikan tendangan bebas ke perut pria ketiga.

Begitu pria ketiga roboh, Oliv memutar tubuhnya, dan memanfaatkan tubuhnya yang kurus untuk meloloskan diri dan memberi satu tendangan di kaki pria kedua.

"Liv... Ini latihan. Jangan ganas-ganas," ucap Ryan sambil mengurut keningnya. Oliv menoleh dan berdecak sebal.

"Maaf lah, Mas. Aku ditampar beneran, nih. Jadi kebawa emosi."

"Maaf, Liv. Gila, tiap adegan sama lo bawaannya serius," ucap Yoga, pria yang menamparnya tadi, dan Oliv tersenyum lebar padanya.

"Nggak apa. Sorry gue nendang lo juga. Sakit nggak?"

"Sakitlah, sial. Lo nendangnya niat banget," ucap Joni, pria yang paling pertama terkena tendangan Oliv.

"Kita sudahi saja workshopnya," ucap Ryan sambil menghela nafas. "Bisa bonyok semua kalau ini diterusin. Gue kasih kalian gontok-gontokan beneran pas syuting aja, lah."

Lalu Ryan menatap Oliv dan ketiga pria yang sudah berdiri di samping Oliv.

"Kalian berempat ikut Rika sekarang. Gue mau kalian cek semua, jangan sampai luka sebelum kita mulai syuting."

"Siap, Mas."

"Lalu kalian semua," kata Ryan pada aktor yang duduk selonjoran di pojok studio, "ganti baju, lalu pulang sana. Sampai ketemu dua hari lagi."

"Oke, Mas Ryan."

"Bye, Mas Ryan."

Satu per satu dari mereka meninggalkan studio, sementara beberapa kru membereskan tempat latihan. Oliv dan ketiga pria yang bersamanya sudah pergi ke klinik bersama Rika untuk dicek dan diobati.

Setelah selesai diobati dan berganti pakaian, Oliv turun ke pelataran parkir, di mana Hansen sudah menunggunya.

"Lho? Tinggal lo? Nico mana?"

"Udah pulang. Katanya harus buru-buru ke Tangerang, urusan keluarga."

"Oh. Lalu kita ngapain dong?"

"Makan kue mau?"

Mata Oliv langsung berbinar.

"Itu mah nggak usah ditanya, kali. Ayoklah!"

Oliv dengan segera memutari mobil Hansen dan masuk ke dalam mobilnya, meninggalkan Hansen yang hanya tertawa geli melihat kelakuan Oliv.

***

Oliv menyendok suapan besar ke mulutnya, lalu mendesis nikmat.

"Enak banget, sumpah. Lo udah coba belum? Nih!"

Oliv menyodorkan sendok berisi matcha mousse cake ke depan Hansen, yang secara otomatis membuka mulutnya, membiarkan Oliv menyuapinya.

"Hmm, enak."

"Kan? Gue jadi pengen cobain kuenya yang lain."

"Gih."

"Tapi kebanyakan tar."

"Kan ada gue."

"Oh iya."

Dengan riang, Oliv kembali ke meja display dekat kasir dan mulai memilih kue lagi, sementara mata Hansen mengekorinya.

Sejak insiden cium pipi - tidak, sejak Oliv dekat dengan Ronald, Hansen mulai mempertanyakan perasaannya sendiri.

Benarkah dia hanya menganggap Oliv sahabat?

Benarkah, rasa yang dulu pernah ada untuk Oliv benar-benar sudah hilang?

Tiba-tiba ponselnya berkedip, dan nomor asing muncul di layar.

"Siapa?" tanya Oliv yang sudah kembali ke bangku di depan Hansen, dan Hansen menjawab dengan gelengan.

"Lo udah blokir nomor nenek lampir?" Hansen mengangguk, dan Oliv langsung mengambil ponsel Hansen.

"Biar gue yang jawab kalau gitu. Siapa tahu ini si kuntilanak itu."

Oliv menggeser tombol hijau, lalu menempelkan ke telinga.

"Halo?"

"..."

Oliv mengernyit, karena seberang telepon tidak bersuara sama sekali. Akhirnya Oliv kembali bicara, "Halo, siapa ya? Kalau tidak mau bicara, saya tutup teleponnya ya."

"...kenapa lo lagi yang angkat telepon Hansen?" tanya suara di seberang sana, yang Oliv kenali sebagai suara si nenek lampir mantannya Hansen.

"Oh, lo ternyata. Gue kira siapa. Hai, Astrid. Apa kabar?" tanya Oliv ceria.

"Jawab pertanyaan gue! Kenapa bisa lo yang jawab telepon Hansen?!"

"Lho, kenapa nggak bisa? Gue kan sahabat kesayangannya."

"Lo... Lagi sama Hansen?"

"Iya dong. Gimana caranya gue bisa angkat telepon lo kalau gue nggak lagi sama Hansen- Hans, mandi dulu deh, tar gue nyusul."

Mulut Hansen menganga mendengar kata-kata Oliv, sementara Oliv sudah setengah mati menahan kikik geli.

"Lo... Ngapain sama Hansen..?" tanya suara di seberang, yang terdengar setengah mati menahan amarah, namun Oliv dengan tenang menjawabnya, karena memang itulah yang ingin dia lakukan, membuat nenek lampir di seberang telepon marah.

"Menurut lo? Eh, bentar. Hans, ngapain sih pake celana lo lagi? Kotor tahu. Langsung aja udah. You know I like your butt, right?"

Hansen sudah menutup wajahnya, entah malu atau menahan tawa, saat Oliv kembali bicara dengan Astrid.

"Eh, iya. Ngapain lo telepon? Kalau nggak ada kepentingan, gue mau matiin nih."

"Gue mau bicara sama Hansen."

"Sorry, can't let you. Hansen baru aja masuk kamar mandi. Ada pesan? Gue bisa bantu lo kasih tahu dia sih..."

Klik.

Oliv menatap ponsel yang sambungannya sudah terputus itu, lalu mulai tertawa.

"Gila ya lo," ucap Hansen, tidak bisa menahan tawanya lagi, dan Oliv sudah menutup wajahnya dengan telapak tangannya.

"Dia pasti marah banget, kalau dia ngirain lo udah tidur sama gue," ucap Oliv di sela tawanya, dan Hansen menoyor jidatnya.

"Prank lo dari dulu nggak ada yang beres, ya. Terniat deh."

"Biarin. Siapa suruh dia jahatin lo. Ini mah belum ada apa-apanya, Bro. Nanti kalau dia telepon lagi, kasih tahu gue aja. Anyway, dia masih follow IG lo? Second account lo?"

"Dua-duanya kayaknya masih. Gue juga masih follow dia di second account. First account gue cuma follow pekerja seni yang pernah kerja bareng gue soalnya."

"Ada gue dong," ucap Oliv, padahal dia sudah tahu jawabannya. Tentu saja nama Hansen ada di daftar followers-nya, sama seperti namanya ada di daftar followers Hansen.

"Ya ada, lah. Lo selalu ada sih, Liv."

Oliv tersenyum lebar, lalu bergerak mendekati Hansen, dan mengatur kamera depan ponsel Hansen.

"Sini, foto."

"Ngapain?"

"Buat di-post dong. Gue udah pulang berbulan-bulan, kita nggak pernah post foto bareng. Sigit aja udah post foto kita ngumpul pas gue baru pulang tempo hari. Eh, kuenya bungkus aja ya. Habis ini kita ke rumah lo."

"Hah, ngapain?"

"Foto di kamar lo dong. Buat second account. Biar makin panas tuh nenek lampir," ucap Oliv, dan Hansen kembali menoyor kepalanya.

"Dasar gila."

Oliv tertawa, dengan cuek mengatur posisi kamera dan ber-swafoto bersama Hansen, yang secara otomatis merangkul Oliv dan menariknya mendekat. Mereka melakukan beberapa gaya, lebih tepatnya Oliv yang berganti gaya sementara Hansen hanya tersenyum saja, setelah itu Oliv mengecek setiap fotonya sambil tersenyum lebar.

Hansen tidak peduli dengan hasil fotonya, karena saat ini matanya berfokus pada gadis yang duduk di sebelahnya.

Oliv selalu bisa membuatnya merasa nyaman, dan kegilaan Oliv selalu bisa membuatnya galau, antara ingin mengetuk kepalanya atau tertawa bersamanya.

Begitu kuenya sampai dan mereka menyelesaikan pembayaran, Oliv langsung berdiri.

"Semangat amat, Liv."

"Lo yang dulu minta gue bantuin lo buat mengenyahkan Nenek lampir kan? Gue udah niat bantuin, nih."

"Kayaknya gue minta lo bantuin move on deh..."

"Sama aja," ucap Oliv sambil mengibaskan tangannya. "pokoknya si nenek lampir musti keluar permanen dari hidup lo. Yakali dia yang selingkuh dia yang rese. Nggak tahu diri itu namanya. Ayolah buru, kita foto di kamar lo."

"Yakin cuma foto? Bukan liat pantat gue?"

Oliv melongo mendengar ucapan vulgar Hansen yang dia ucapkan dengan kalem itu.

"Apa?"

"Lho, bukannya lo bilang lo suka pantat gue?" tanya Hansen balik dengan wajah innocent, dan wajah Oliv langsung merah padam.

"NAJIS!!"

"Ih tadi bilangnya begitu..."

"Nggak ada, itu adlibs doang!"

"Ayolah, ngaku aja. Nggak mungkin lo ngomong gitu tanpa kepikiran sama pantat gue, dong.."

Oliv memalingkan wajahnya, dan menghentakkan kakinya meninggalkan Hansen, yang buru-buru mengejarnya.

"Oliv.. Gue masih nggak nyangka lo punya ketertarikan sama pantat gue-"

"Lo minta gue bunuh ya?! Najis! gue ogah bantuin lo lagi!!"

Hansen tertawa dan merangkul Oliv yang masih mencak-mencak.

"Yakin nggak mau bantuin gue lagi? Gue masih punya tiga tempat baru, yang kata manajer gue dessertnya enak-enak. Tapi kalau lo nggak mau, ya gue terpaksa pergi sendiri-"

Oliv mendorong kepalanya menjauh, dan melotot pada Hansen.

"Jangan berani-berani lo pergi sendiri apalagi sama si nenek lampir," ancam Oliv dan Hansen tertawa.

"Iya, iya. Yuk, gue nggak sabar nunjukin pantat gue ke lo."

"Jangan nantangin gue. Ampe gue beneran pelorotin celana lo, lo jangan jerit-jerit kayak cewek minta diperawanin ya."

Hansen langsung melepaskan rangkulannya dan mundur selangkah sambil mengangkat tangan.

"Ancaman lo sadis banget. Nyerah, nyerah."

Oliv langsung tertawa meledek, sadar kalau dirinya mendadak di atas angin.

"Seriously? Lo takut gue pelorotin? Bukannya Sigit udah sering gituin lo?"

"Sialan."

Kali ini Oliv yang merangkul Hansen, walaupun sedikit sulit karena dia hanya mengenakan sneakers hari ini.

"Nggak gue pelorotin deh. Gue remas-remas aja gimana?"

"Anjir, Liv. Kok lo jadi horror gitu sih?"

"Lho, yang bilang udah nggak sabar siapa?"

Hansen akhirnya ikut tergelak.

"Kalau sama abang, neng pasrah, Bang. Nanti pelan-pelan, ya. Jangan kasar-kasar sama Neng."

Oliv terbahak mendengar kalimat Hansen.

"Kalau gue nggak ingat kita di tempat umum, udah gue pegang pantat lo, Hans. Gila, kalimat lo mengundang banget."

Hansen semakin keras tertawa, sementara tangannya bergerak menoyor kepala Oliv.

"Otak lo tuh ya, udah kayak om-om mesum coba."

"Daripada lo, kayak cewek jablay, malu tapi mau gitu?"

"Sialan."

Oliv tertawa, membiarkan Hansen merangkulnya berjalan menuju mobil Hansen yang terparkir.

Dua puluh tahun pertemanan mereka, Oliv dan Hansen terhitung jarang melakukan percakapan seabsurd ini. Sejak Hansen punya pacar, percakapan mereka otomatis menjadi canggung. Apalagi saat Hansen mulai menjaga jarak dengannya, membuat Oliv semakin serba salah.

Hubungan mereka sedikit mendingan saat Oliv mulai sering ikut Hansen saat pria itu berkumpul dengan Sigit dan Theo. Sigit selalu berusaha melibatkan Oliv dalam pembicaraan yang kadang-kadang membuat telinganya panas, dan Theo yang ramah dan selalu membantu Hansen untuk menyensor ucapan Sigit yang vulgar dan tidak tahu tempat.

Sekarang, Oliv sama sekali tidak menyangka dia bisa bersikap sesantai ini dengan Hansen. Bahkan Hansen menanggapi bercandanya yang menyerempet ini.

Sepertinya, kedekatannya dengan Ronald cukup membantu Oliv supaya tidak fokus dengan perasaannya yang belum kelar dari Hansen, dan bisa belajar bersikap biasa dengannya, tanpa terbawa emosi berlebihan.

Oliv menatap wajah Hansen dari samping, dan tersenyum.

Debaran jantung yang kencang dan tak beraturan itu masih ada. Tapi Oliv mampu mengatasinya.

Mereka bisa kembali menjadi sahabat sedekat saat belum ada Astrid diantara mereka, bahkan bisa lebih dekat lagi, dan Oliv tidak mau menghancurkan itu.

Tbc

Sorry for typos

Sekarang gue sadar kenapa karakter gue absurd semua. Wong penulisnya juga absurd 🙄

Sampai jumpa di part selanjutnya.

23mei20

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro