tiga belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hola

Sebagai permintaan maaf, part ini lebih panjang dari biasanya.

Jangan lupa baca dulu, lalu silakan komen, dan vote setelah baca yaa..

Jangan suruh aku lanjut atau minta next pas aku baru selesai post ya. Tar aku kirim tabokan online 😈😈😈😈

Enjoy...

-------------------------------------------------

Ruang tunggu untuk semua dokter kandungan terletak di satu ruang besar, dengan beberapa deret bangku yang tersusun tepat di depan pintu ruang praktek dokter yang bersangkutan.

Oliv tahu dirinya mengundang gosip, saat dia duduk santai di ruang tunggu pasien tanpa mendaftar, dan malah asik bermain ponsel.

Para perawat dan petugas administrasi menatapnya diam-diam, bahkan beberapa pasien yaitu para calon ibu muda yang fashionable, juga meliriknya, jelas sekali mengenalinya.

Oliv tidak ambil pusing. Dari awal dia sudah tahu, ini akan jadi bahan perbincangan. Ronald pun tidak keberatan saat Oliv membahasnya. Risiko dekat dengan model, katanya sambil tertawa.

Tak lama, pasien terakhir Ronald keluar bersama asistennya, yang sempat terkejut saat mengenali wajah Oliv, namun tidak berkata apa-apa.

Lalu Ronald berjalan keluar dari ruangannya, masih dengan jas dokter, dan tersenyum pada Oliv.

"Lo udah sampai ternyata. Bentar, gue beres-beres dulu."

"Santai aja. Take your time."

Ronald kembali masuk ke ruangannya bersama sang asisten, sementara Oliv kembali fokus pada game masak-masakan di ponselnya.

Pertama kali melihat Maisie main game ini, Oliv sudah menyukainya, dan akhirnya ikut men-download game ini.

"Hmm, kayaknya seru."

Oliv terkekeh pelan tanpa mengangkat wajahnya dari ponsel.

"Hmm. Bentar ya. Tanggung, dikit lagi kelar."

"Oke."

Ronald duduk dengan santai di sebelahnya, dengan kepala dicondongkan ke arah Oliv. Matanya ikut memperhatikan gerakan tangan Oliv dan tampilan layar ponsel.

"Lo bisa masak?"

"Bisa, kalau gampang. Kalau yang susah harus ada catatan resep. Kalau lo?"

"Yang gampang bisa."

"Hooo.. Bisanya beneran bisa atau bisa gagal nih?"

"Bisa. Tapi yang gampang."

"Sorry, gue nggak percaya kalau nggak ada bukti. Soalnya gue punya pengalaman buruk sama yang bilangnya bisa masak tapi masak air aja gosong."

Ronald tertawa.

"Gue tahu banget lo ngomongin siapa."

"Lo pernah jadi korbannya juga?"

"Nggak cuma gue. Temen-temen gue yang lain juga. Sejak itu, kalau ngumpul, kita udah nggak pernah mau repot-repot lagi. Delivery aja udah. Atau kalau kayak sekarang, mengandalkan Flo atau Vero yang nyiapin makanan."

"Vero siapa?"

"Istrinya Liam."

"Oh iya. Liam anggota baru geng kalian ya."

"Yup."

Oliv menekan tombol finish, lalu menutup ponselnya.

"Selesai. Ayo, jalan, Pak Dokter."

Ronald tertawa.

"Yuk. Lo udah mikirin mau makan di mana?"

"Bingung. Lo yang pilih deh. Tapi gue nggak pengen western food. Pengen nasi dan makanan berkuah gitu."

"Hmm.. Thai food mau?"

"Boleh."

Keduanya berjalan beriringan sambil mengobrol, mengabaikan puluhan pasang mata yang menatap keduanya penasaran.

***

Mereka makan di salah satu restoran makanan Thailand yang terletak di area pertokoan dekat rumah sakit tempat Ronald bekerja.

"Habis ini lo musti balik ke RS?" tanya Oliv sembari menyendok tom yam ke mangkuk kecil, dan Ronald menjawab dengan anggukan.

"Yup. Gue masih ada tiga pasien yang mau check up sore ini."

"Oh. Wow, lo benar-benar sibuk ya."

"Lumayan. Minggu ini emang lagi hectic. Lagi pas aja jadwalnya kontrol."

"Gue bayangin tar mereka semua lahirannya bareng, lo sibuknya kayak apaan ya?"

"Jangan dibayangin. Gue aja ngeri," ucap Ronald sambil meringis, dan Oliv tergelak melihatnya.

"Lo sendiri gimana? Kata lo udah mau mulai syuting? Bener?"

"Yup. Besok masih pembacaan naskah, lalu senin workshop. Kalau udah oke, kamisnya mulai syuting."

"Besok? Sabtu?"

"Iya. Aneh ya?"

"Lumayan, sabtu soalnya."

"Iya, emang dipepet-pepetin waktunya. Seharusnya film ini udah mulai digarap dari minggu lalu katanya. Tapi ada masalah internal gitu deh. Jadi proses casting mundur, akibatnya semua mundur. Padahal mau ngejer tayang lima bulan lagi."

"Hmm.. Mepet sih."

"Iya kan? Habis syuting, gue sih kelar, tinggal promosi. Tapi mereka kan masih harus edit, dan lain-lain."

"Hmm.."

"Oh iya, selama syuting, gue kemungkinan nggak bisa ketemuan sama lo, nih. Gue bakal banyak di luar Jakarta."

"It's ok. Santai aja. Kabarin aja kalau lo sempat. Tar gue coba sesuaikan jadwal."

"Tapi kalau lo sibuk, jangan dipaksain juga lho."

"Tenang aja. Gue bakal bilang kalau gue nggak bisa."

"Sip."

Mereka menyelesaikan acara makan mereka, lalu kembali ke rumah sakit, karena Oliv meninggalkan mobilnya di sana.

"Liv," panggil Ronald saat mereka sudah sampai di pelataran parkir, tempat mobil Oliv terparkir.

"Hmm?"

"Lo bilang, lo perlu bukti kalau gue beneran bisa masak kan? Mau nggak, pertemuan berikutnya, di tempat gue? Tar gue yang masak."

"Hmm.. Masak dan makan doang kan? Nggak yang lain?" tanya Oliv memastikan.

"Yah, kalau lo mau nongkrong, nyantai-nyantai, boleh juga."

"Hmm.. Boleh juga. Tapi selalu ada pilihan untuk delivery kalau ternyata masakan lo nggak jadi kan?"

Ronald tertawa.

"Iya, aman kok. Tenang aja."

"Oke deh, tar kita janjian aja kapan."

"Oke. Hati-hati nyetirnya ya."

"Iya. Lo juga selamat kembali bekerja."

Ronald menunggu sampai Oliv naik ke mobilnya, dan baru beranjak dari parkiran setelah Oliv menyetir mobilnya menuju pintu keluar.

***

Oliv duduk dengan senewen di ruang tamu, sementara Maisie dan Marlo berkali-kali melirik ke luar jendela. Mitha yang duduk di sebelah Oliv sampai menahan tawanya.

"Maisie, Marlo. Duduk dulu. Kan tadi Aunty udah bilang, Om Hansen udah on the way."

"Iya, Mami."

Keduanya duduk di atas karpet, dan menatap Oliv.

"Aunty Liv, kita beneran diajak ke mall?"

"Iya."

"Main bola?"

"Iya."

Lalu Hari Barata muncul di sana, dia menyerahkan botol spray kecil pada Oliv.

"Apaan nih? Sanitizer? Buat?" tanya Oliv bingung, tapi Hari menatapnya tajam.

"Jangan lupa pakaikan mereka ini sebelum dan setelah main, oke?"

"Segitunya amat, Bang? Tenang, aku bawa tisu basah kok,-"

"Lakukan aja. Udah berani bawa ponakanmu ke tempat umum, kamu harus jaga mereka baik-baik. Jangan sampai mereka kena kuman-"

Mitha sudah nyaris menyemburkan tawanya melihat wajah garang suaminya dan wajah bingung Oliv. Dia berdiri dan memeluk lengan suaminya.

"Hari, santai. Oliv dan Hansen pasti jaga anak-anak kita. Biarkan mereka menikmati kehidupan anak-anak pada umumnya, oke?"

Raut wajah Hari langsung melembut saat melihat istrinya.

"Aku hanya mengkhawatirkan mereka."

"Iya, aku tahu. Toh Oliv sudah setuju kalau Dion dan Razak ikut mengawasi kan? Tenang ya."

"Baiklah."

Oliv memutar bola matanya, jengah melihat kemesraan abang dan kakak iparnya itu.

Tak lama, bel rumah berbunyi, dan Oliv langsung terlonjak, namun bertahan duduk di sofanya. Dia tidak mau kelihatan terlalu bersemangat seperti kedua keponakannya. Kalau ternyata itu bukan Hansen, kan tengsin. Apalagi di sana ada abangnya yang paling rese sedunia.

Ternyata itu benar Hansen. Hansen masuk ke ruang keluarga dengan tenang, dan wajah seperti meminta maaf.

"Halo, Bang Hari, Kak Mitha. Halo, Maisie, Marlo. Hai, Liv."

"Hai, Hansen," sapa Mitha ramah. Maisie ikut menyapa Hansen dengan ceria, sementara Marlo tampak malu-malu memperhatikan Hansen.

"Maaf telat."

"Nggak apa. Macet emang nggak bisa diprediksi. Thanks ya, udah mau bawa anak-anak jalan-jalan."

"Iya, Kak."

"Sini, ikut Abang bentar. We need to talk," kata Hari dengan nada datar.

"Ih, Bang Hari ngapain sih-" celetuk Oliv, namun Hari langsung menatapnya tajam, membuatnya diam.

Hansen hanya mengangguk, lalu mengikuti Hari ke ruang di sebelah. Begitu mereka keluar, Mitha mendekati putra-putrinya.

"Maisie, Marlo. Ingat ya. Kalian keluar nggak sama Mami dan Papi, jadi-"

"Dengerin kata aunty Liv dan Om Hansen. Selalu di dekat aunty Liv dan Om Hansen. Oke, Mami," lanjut Maisie, dan Mitha tersenyum sambil memeluk kedua anaknya.

Hari dan Hansen kembali, dan Hari mengangguk pada Oliv.

"Berangkatlah. Nanti kemalaman."

"Oke, Bang. Pergi dulu ya. Yuk, Maisie, Marlo," ajak Oliv, dan keduanya berpamitan pada orang tua mereka sebelum menggandeng tangan Oliv, diikuti Hansen.

Hansen membawa mobil kesayangannya, si 444 HPW, lalu Oliv mengatur kedua ponakannya duduk di kursi tengah. Setelah itu baru dia duduk di kursi depan sebelah pengemudi.

"Oke, sudah siap?" tanya Hansen, dan kedua keponakan Oliv menjawab bersamaan, "siap!!" dengan tingkat kekencangan suara yang bertolak belakang. Hansen tertawa pelan, lalu menyetir mobilnya meninggalkan pekarangan rumah.

"Hans, jadi gini. Karena kita bawa mereka berdua, jadi Bang Hari menugaskan-"

"Gue udah tahu. Bang Hari udah bilang. Kita bakal diikuti kan?"

"Iya. Lo nggak apa-apa?"

"Ya nggak apa-apa. Gue ngerti kok. Paling tidak, mereka nggak bakal terlalu dekat kan?"

"Iya."

"Erm.. Tadi sorry gue telat. Gue habis meeting sama Sigit dan Theo di Sarinah."

"Pantesan telat banget," Oliv tergelak. "Macet banget ke sininya."

"Iya. Padahal gue udah jalan dari jam setengah lima, tetap aja telat," ucap Hansen sambil meringis.

"Kasian..." ledek Oliv, dan Hansen langsung mengulurkan tangannya, mengacak-acak rambut Oliv.

"Heh!!!! Berantakan, Hans!! Ih nyebelin banget!!" gerutu Oliv sementara Hansen tergelak.

"Oh iya," Hansen melirik spion, melihat pada Maisie yang duduk tepat di belakangnya. "Maisie udah umur delapan kan? Udah sekolah dong."

"Udah, Om," jawab Maisie. "Marlo juga udah."

"Maisie kelas berapa?"

"Aku primary 2."

"Primary 2?" ulang Hansen pelan, dan Oliv menjawabnya, "SD kelas 2, tapi kurikulum internasional."

"Oh.. Kalau Marlo kelas berapa?" tanya Hansen sambil menoleh kepada Marlo sekilas, dan Marlo menjawab dengan suara pelan, "K1, Om.."

"K1?"

"Kindergarten, TK 1."

"Oh.. Sorry, sorry. Gue nggak pernah sekolah inter, bingung gue."

Oliv tergelak. Lalu dia menoleh ke belakang, kepada kedua keponakannya.

"Kalian mau makan apa nanti di mall?"

"Terserah, Aunty.."

"Hmm... Lo ada ide, Hans?"

"Gue? Hmm.. Maisie sama Marlo suka makan apa? Sushi? Ayam goreng? Ebi furai?"

"Ebi furai?" ulang kedua anak kecil itu dengan mata berbinar. Seketika itu juga Hansen dan Oliv tahu mereka akan makan malam di mana.

***

Oliv tidak menyangka dalam waktu singkat, Hansen tiba-tiba dekat dengan kedua keponakannya. Kalau dengan Maisie, dia tidak terlalu kaget. Maisie mudah bergaul dengan mulut yang ceplas ceplos, sama seperti sang ayah. Namun saat Marlo yang lebih pemalu dan enggan bergaul dengan orang baru menyambut tangan Hansen yang ingin menggandengnya, Oliv tercengang.

"Om, Marlo mau naik itu," tunjuk Marlo sambil menunjuk sebuah permainan berbentuk pesawat yang memutar dan harus dikayuh supaya bisa naik.

Mereka sudah selesai makan, dan setelah itu mereka pergi ke arena bermain yang ada di dalam mall tersebut. Arena bermain ini cukup luas, karena di sana juga terdapat beberapa permainan yang biasanya ada di taman bermain namun dalam bentuk mini, seperti komedi putar, bianglala, dan roller coaster.

Hansen menoleh pada Maisie yang digandeng Oliv dan berjalan di belakangnya.

"Mau naik pesawat?" tanyanya, dan Maisie mengangguk.

"Liv, lo naik juga kan?" tanya Hansen tiba-tiba, mengejutkan Oliv.

"Eh?? Gue??"

"Iya. Gue bawa Marlo, lo sama Maisie."

"Err.. Oke.."

Hansen menyerahkan kartu permainan kepada petugas untuk digesek, lalu mereka pun mulai bermain. Oliv dan Maisie naik ke salah satu pesawat, dan Hansen mengajak Marlo naik pesawat yang berada di belakang mereka.

Oliv hampir tidak pernah ke arena bermain seperti ini. Waktu kecil, temannya hanya Hansen. Setiap libur, dia selalu minta untuk ke Medan, dan bermain bersama Hansen. Atau lebih tepatnya, menonton Hansen bermain sambil mengagumi kegantengan Squall Leonhart, karakter paling ganteng di Final Fantasy Universe menurut Oliv.

Saat SMP, usaha ayahnya berkembang pesat dan membuatnya semakin kesulitan mendapat teman yang benar-benar tulus berteman dengannya. Hanya Hansen yang tetap bersahabat dengannya tanpa sedikitpun niat menarik keuntungan dari Oliv.

Dia pikir dia sudah terlalu tua untuk ini, namun saat Maisie menjerit senang karena pesawat mereka mulai naik, Oliv ikut tertular kebahagiaan itu.

Saat turun, wajah Oliv sama cerianya dengan wajah keponakannya, dan Hansen menggendong Marlo sembari berjalan mendekati mereka.

"Tadi Marlo lebih tinggi dari Kak Mai!!" seru Marlo ceria, dan Maisie mencebik.

"Kamu curang, dikayuhin Om Hans!"

"Biarin!"

Hansen dan Oliv tergelak mendengar keributan kecil itu.

"Om, ayo kita naik itu!" seru Marlo dengan ceria sambil menunjuk kereta yang digantung, dan melewati langit-langit area bermain, sehingga siapapun yang duduk di sana, bisa melihat keseluruhan area permainan.

"Ayo! Yuk," kata Hansen, dan tangannya yang bebas menggandeng tangan Maisie, yang secara otomatis menggandeng tangan Oliv juga.

***

Hampir satu jam mereka berada di area bermain, dan sekarang, Oliv dan Hansen berdiri di luar pembatas, menonton Maisie dan Marlo yang naik wahana kapal yang diputar, mirip seperti pesawat yang pertama kali mereka mainkan, namun yang ini tidak bisa dinaik-turunkan. Dan karena ini aman dan khusus untuk anak kecil, mereka tidak diizinkan naik juga.

"Lo keliatan happy," kata Hansen. Oliv mengangguk.

"Yup. Gue nggak nyangka, gue bisa menikmati ini semua, walaupun wahananya nggak ada yang memacu adrenalin sih."

"Mau yang macu adrenalin? Bungee jumping aja," ledek Hansen, dan Oliv merengut.

"Lo tahu gue pengen banget coba, dan belum kesampean. Mentang-mentang lo udah."

"Kan udah gue ajakin, lo nggak mau."

"Ya, tar lo ribut sama Astrid. Walaupun waktu itu lo perginya berlima sama geng cowok-cowok lo, tetap aja pasti gue yang kena getahnya."

"Dia kan tahu lo paling dekatnya sama gue."

"Ya kan, jadinya gue nggak berani ikut. Padahal gue sirik berat tahu. Foto lo pada seru-seru pula."

Hansen tergelak, dan tangannya mengusap kepala Oliv lembut.

"Kapan-kapan gue ajak lo deh."

"Bener ya, janji."

"Janji."

"Ditepati lho. Awas aja tar lo punya cewek baru, terus gue dicuekin."

"Iya, iya."

Oliv berdecak, lalu kembali memperhatikan kedua keponakannya yang asik bermain.

Lalu mereka mendengar sedikit kegaduhan di dekat mereka.

"Udah, samperin aja. Lo ngefans banget kan?"

"Tapi.. Nggak enak, dia lagi sama Olivia Barata..."

"Nggak apa-apa. Belum tentu bisa ketemu begini, lho."

"Eh, tunggu dulu. Itu beneran Olivia Barata? Dia bukannya di Amrik?"

"Udah pulang, kali. Nggak baca beritanya?"

"Gila cakep banget sih. Mereka pacaran ya?"

"Temen baik. Mereka dekat banget, kali. Dulu kan pernah dijodohin netizen tapi dibantah."

Hansen dan Oliv berpandangan, lalu Oliv nyengir lebar. Hansen dan Oliv akhirnya menoleh kepada kegaduhan itu, yang ternyata terdiri dari empat gadis remaja.

Hansen tersenyum pada mereka, dan gadis yang paling depan langsung merona.

"Err.. Hansen Putra, bo- boleh foto bareng?"

"Boleh."

Hansen mendekati gadis itu, sementara Oliv menyingkir, supaya tidak masuk dalam frame kamera.

Setelah berfoto, gadis itu menyodorkan sebuah kertas yang disediakan temannya, dan sebuah pen.

"Bo-boleh minta tanda tangan?"

"Boleh. Nama kamu siapa?"

"I-Irene."

"I-R-E-N-E?" eja Hansen, sembari menandatangani kertas tersebut.

"Iya."

"Oke." Hansen menulis di bagian atas kertasnya, lalu menyerahkannya kembali ke gadis itu.

"Terima kasih, Mas Hansen. Saya.. Fans berat Mas Hansen sejak Mas di acara The Melody and Pitch. Mama saya dulu ikut SMS buat mendukung Mas."

"Terima kasih, Irene," Hansen mengulurkan tangan sambil tersenyum, dan Irene menyalaminya dengan wajah merona. Terutama saat mata Hansen menatap matanya langsung dengan senyum ramah, membuatnya semakin merona.

"I-iya. Tetap semangat ya, Mas. Saya tunggu proyek terbarunya."

Hansen mengangguk, kembali berterima kasih, lalu gadis itu berpamitan dan berlalu bersama teman-temannya yang heboh.

"Cie, yang terkenal."

"Lo juga, mereka langsung mengenali lo gitu."

"Tapi gue nggak diajak foto bareng," ucap Oliv sambil tertawa.

"Mau foto banget? Ya udah sini foto sama gue," kata Hansen, sambil mengeluarkan ponselnya dan merangkul Oliv.

"Ih, apaan sih. Lepasin ah, Hans. Malu!" desis Oliv berusaha melepaskan diri dari Hansen. Untungnya, Maisie dan Marlo memilih saat itu untuk menghampiri mereka dan menginterupsi.

"Sudah!!" seru Maisie girang, dan Hansen langsung melepaskan Oliv, lalu berjongkok di depan Maisie dan Marlo.

"Senang?" tanya Hansen, dan mereka berdua mengangguk girang.

Hansen melirik jam di tangannya, lalu berkata, "satu lagi, lalu pulang ya. Sudah terlalu malam."

Seperti yang bisa ditebak, keduanya langsung menampakkan wajah sedih. Tapi Hansen tahu apa yang harus dia lakukan.

"Lain kali lagi ya, nanti Om ajak kalian jalan-jalan lagi."

"Janji?"

"Janji."

Hansen mengulurkan kelingkingnya, dan disambut oleh Maisie dan Marlo.

"Jadi, yang terakhir, kita mau main apa?" tanya Hansen, dan Maisie menunjuk kotak photobooth.

"Mau foto!"

"Oke. Yuk," ajak Hansen, lalu menggandeng keduanya menuju kotak photobooth.

***

Oliv menatap hasil fotonya, yang sengaja dia foto lagi dengan ponsel, dan tersenyum senang. Di bangku belakang, Maisie dan Marlo sudah tertidur lelap.

"Akhirnya gue punya foto lo yang pake sticker," ucap Oliv senang, dan Hansen terkekeh pelan.

"Cukup sekali ini aja, Liv, demi mereka berdua."

"Iya, iya. Thank you ya, udah ngajak mereka main juga. Mereka hampir nggak pernah main di tempat ramai seperti tadi. Bang Hari parno banget soalnya."

"Gue bisa ngerti sih. Bang Hari hanya mau anak-anaknya aman."

"Iya. Untung dia nggak nelepon gue tiap sepuluh menit. Bisa gue marahin."

"Lo udah marahin Bang Hari sejak telepon pertamanya, kali," ejek Hansen, dan Oliv merengut.

"Habisnya, ngapain coba cemas gitu, kayak gue nggak bisa jaga anaknya aja. Udah dibuntutin Bang Dion dan Bang Razak juga. Capek deh. Belum tentu juga orang tahu mereka anaknya Bang Hari, kan?"

Hansen tergelak.

"Iya, iya."

Hansen membelokkan mobilnya masuk ke pekarangan kediaman Barata dan berhenti di depan pintu utama.

"Gue bangunin mereka dulu-"

"Jangan, kasian. Gendong masuk aja. Lo kuat gendong Marlo? Biar Maisie gue yang gendong."

"Kuat."

Dan Maisie memutuskan untuk bangun saat itu.

"Ngg.. Kita sudah sampai?"

Oliv menoleh ke belakang dan tersenyum pada Maisie yang tampak masih mengantuk.

"Iya. Ayo turun. Mau digendong ke kamar?"

"Nggak usah, Aunty. Maisie jalan aja."

Hansen turun, dan Maisie yang menolak untuk digendong, turun dari mobil, sementara Oliv menggendong Marlo yang tidak terbangun sama sekali.

"Biar gue yang gendong aja-" tawar Hansen, namun dipotong oleh Oliv.

"Nggak usah. Udah malam, lo langsung pulang aja. Thank you buat hari ini ya, Hans."

"Om.." panggil Maisie pelan, dan Hansen langsung berlutut di depan Maisie.

"Iya?"

Tanpa diduga, Maisie mendekatkan tubuhnya dan mengecup pipi Hansen.

"Thank you for today, Om Hansen."

Hansen terpaku menerima gestur akrab yang sama sekali tidak diduganya, sementara Maisie dengan mata mengantuk, sudah berbalik masuk ke dalam rumah. Salah satu pelayan yang membukakan pintu mendekati Oliv dan mengambil alih Marlo, lalu meninggalkan mereka berdua di depan pintu.

"Wow..." ucap Hansen takjub, dan Oliv tergelak.

"Kenapa? Lo grogi dicium Maisie?"

Hansen menyentuh dadanya dan tersenyum lebar. "Lumayan." Oliv kembali tergelak.

"Lo tuh ya, dicium anak kecil aja grogi. Padahal lo udah pernah dicium puluhan cewek."

"Yah, soalnya kan beda."

"Beda?"

"Dia kan keponakan lo. Bukan orang lain."

Oliv mengerjabkan matanya, tidak mengerti.

"Kalau gue yang cium lo, lo grogi juga?"

"Mungkin. Lo kan bukan orang lain buat gue."

Lalu Oliv mencondongkan tubuhnya, dan mengecup pipi Hansen. Setelah itu, dia langsung menyentuh dada Hansen, tepat di luar jantungnya.

Hansen melotot kaget, sementara Oliv tersenyum lebar, langsung kegirangan.

"Beneran! Huaaa.. Gue nggak nyangka lo bisa berdebar-debar sama gue! Wah, gue terharu sih, Hans."

"Sial. Lo becandain gue ya."

Oliv menyipitkan matanya dan nyengir super lebar, senang karena berhasil mengerjai Hansen.

Namun senyumnya hilang saat Hansen mendekatinya dan mengecup pipinya. Kecupan itu lembut dan ringan, namun jantung Oliv langsung berulah.

Hansen menjauhkan tubuhnya dari Oliv, dan seringai kecil tampil di wajahnya saat melihat ekspresi terkejut Oliv.

"Satu sama. Sampai ketemu besok di studio, Oliv."

Lalu Hansen kembali ke dalam mobilnya, dan membawa mobilnya meninggalkan rumah itu, meninggalkan Oliv yang masih terpaku, terkejut dengan perlakuan Hansen yang tiba-tiba.

Perlahan Oliv menyentuh dadanya, dan memaki di dalam hati.

Jantung sialan!! Kenapa lo harus mengkhianati gue di saat-saat seperti ini sih???

Tbc

Sorry for typos

Semoga suka

Sampai jumpa di part selanjutnya.

30apr20

Republish 22nov21

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro