duabelas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Oliv melancarkan perang dingin, sementara Hansen merespon dengan cara yang tak kalah dinginnya. Nico sampai kebingungan dengan keduanya.

Mereka masih saling bicara, namun ala kadarnya. Lucunya, saat pembacaan naskah, keduanya terdengar baik-baik saja. Tapi saat diskusi naskah, keduanya terdengar enggan untuk saling bicara. Bahkan beberapa kali Nico yang terkena imbasnya.

"Oke, break sepuluh menit. Nanti kita masuk bagian keduanya ya."

Oliv bangun dari bangkunya, dan bergegas ke toilet, sementara Hansen ikut bangun, dan tanpa bicara berjalan menuju arah yang dilewati Oliv.

Oliv menuntaskan keperluannya dalam toilet, lalu mencuci tangan dan mengelapnya. Sesekali dia menyahut saat disapa orang orang yang juga ada di toilet.

Dia mengecek ponselnya dan tersenyum menatap pesan dari Ronald.

Ronald : Semangat. Sore mau gue jemput?

Oliv : Thank you, Ron. Lo juga semangat. Nggak usah, gue nyetir. Besok deh. Lo nggak keberatan gue samperin ke rs kan?

Oliv kembali mengantongi ponselnya, tahu Ronald tidak akan membalasnya dalam waktu dekat karena kesibukannya, lalu keluar dari toilet dan mendapati Hansen berdiri menyender pada dinding dekat toilet.

"Liv, gue mau ngomong sama lo."

"Gue males ngomong sama lo."

"Dekat rumah gue ada kafe baru. Mini soes-nya enak banget. Gue bawain buat lo."

Mata Oliv sontak berbinar, namun dengan cepat dia menguasai diri.

Nggak, gue nggak boleh segampang itu nyerah, batin Oliv.

Sayangnya, Hansen sudah sempat melihat binar di mata Oliv, dan tahu, langkah pertamanya berhasil.

Hansen memasang wajah bersalahnya, yang dia tahu tidak akan gagal membuat Oliv memaafkannya, seperti yang selalu terjadi selama ini.

"Liv, gue nggak betah diem-dieman sama lo. Gue tahu gue bikin lo marah, gue minta maaf. Maafin gue ya.."

"Ngapain lo minta maaf? Lo nggak salah," elak Oliv, namun Hansen sudah cukup lama mengenal Oliv untuk tahu kalau Oliv sebenarnya marah, tidak seperti apa yang diucapkan.

"Gue tahu gue salah. Maaf karena gue baru menyadarinya. Jangan marah lagi, dong. Gue janji, gue nggak akan interfere with your personal life secara berlebihan kayak kemarin lagi. Tapi gue nggak bisa kalau nggak care sama lo."

"Mmm.."

"Apa?"

"Mmm!! Iyaa! Gue maafin! Udah ah, jangan pasang tampang kayak gitu lama-lama depan gue! Lo tahu gue pasti maafin lo kalau lo udah pasang tampang begini depan gue! Nyebelin banget sih!"

Hansen langsung tersenyum sumringah, walaupun wajah Oliv tampak kesal. Dia langsung merangkul Oliv yang mencak-mencak.

"Nggak usah rangkul-rangkul deh. Mana soes gue??"

Hansen tergelak.

"Ada di tas gue. Yuk, gue ambilin."

"Ngapain lo bawa gue ikut ngambilnya? Gue tunggu di ruangan aja- Hansen!"

Hansen tertawa sementara tangannya tetap merangkul Oliv dan setengah memaksanya ikut mengambil soes di tasnya.

***

Nico menelengkan kepalanya melihat Hansen dan Oliv yang duduk di sampingnya.

"Udah baikan?"

"Baikan?"

"Iya. Kalian berdua aneh sejak pagi. Baguslah kalau sudah," ucap Nico sambil tersenyum.

Hansen menjawab dengan senyum lebar, sementara Oliv meringis.

"Sekentara itu ya?"

"Nggak juga sih. Tapi gue kan duduk sebelah kalian. Dan kita yang paling banyak interaksi. Jelas aja gue sadar."

"Sorry, Nic."

"It's okay. Yang penting udah beres. Biar kita juga enak buat bonding karakter kita bertiga."

"Iya. Gue nggak nyangka gue ada adegan kissing sama kalian berdua," keluh Oliv, dan Nico berdecak.

"Mending sama lo, lo cewek. Lah, lo liat nggak sih, ada adegan gue musti cium pipi Hansen? Gue nggak kebayang awkward-nya kayak apa."

Hansen tertawa.

"Makanya kita dikasih workshop. Supaya nggak awkward lagi."

"Lagipula, lo bukannya baca novelnya dulu sebelum ikut casting," ledek Oliv.

"Yah, gue baca. Cuma gue nggak nyangka aja adegan itu bakalan dilakonin juga."

"Lo kayaknya udah siap lahir batin, Hans, nggak kayak Nico. Udah biasa ya, sama Sigit?"

Hansen memutar bola matanya dengan malas.

"Ha ha ha. Lucu sih, Liv. Lo harus jadi temen cowoknya buat tahu penderitaan ini."

"No, thank you," ucap Oliv sambil tergelak.

Suara kamera mengalihkan perhatian mereka, dan ketiganya sontak menoleh, dan menemukan penata kamera baru selesai membidik mereka.

"Yah, kok candid, Ren?? Gue mau gaya dong!!" seru Oliv, dan Rendy si penata kamera menyeringai pada mereka.

"Ogah! Bagusan candid!"

"Masa? Lihat dong!"

"Tar gue kirim! Tapi jangan dipost ya, ini buat IG official Bebas."

"Iye, iye. Cuma mau liat kok. Kalau jelek, mau minta foto ulang."

"Kapan sih lo pernah jelek, Liv?" sahut Hansen otomatis, dan Oliv langsung menoleh pada Hansen yang tampaknya tidak sadar sudah mengucapkan kalimat tersebut.

"Nah, bener tuh. Lo selalu cantik, Oliv, dear. Tar gue kirim fotonya. Lo mau candid, mau mangap, mau ileran, tetap aja cantik."

Oliv tertawa pada Rendy, yang kembali memotret yang lain, lalu mengalihkan pandangannya pada Hansen.

"Ada angin apa lo tiba-tiba muji gue begini?"

"Gue- emang gue ngomong apaan?"

"Ah, nevermind."

Oliv membuka naskahnya, pura-pura sibuk membaca, sementara Hansen terlihat bingung. Nico hanya tersenyum geli melihat keduanya.

"Eh, Nic. Lo kelahiran sembilan dua ya?" tanya Hansen tiba-tiba, dan Nico mengangguk.

"Oh, sama dong kita!" seru Oliv tiba-tiba, dan menoleh pada Nico. "Lo dulu di SMA mana?"

"Gue di HB."

"Wah, saingan sekolah lo, Hans," sahut Oliv. "Jangan-jangan lo main futsal juga?"

"Nggak, gue basket. Lo futsal, Hans?"

"Yup. Oh, kayaknya gue tahu lo. Si nomor dua belas kan?"

"Yup."

Lalu mereka kembali mengobrol dengan seru. Hansen dan Nico membahas tentang hal trivia yang disenangi cowok, sementara Oliv terus berusaha menyela, supaya bisa ikut dalam percakapan yang dia tidak terlalu kuasai.

Nico tersenyum saat memperhatikan Hansen yang menjelaskan pada Oliv tentang offside. Dia tadinya khawatir akan merasa seperti the third wheel, karena Oliv dan Hansen sudah kenal begitu lama sementara dia adalah orang baru diantara mereka, tapi ternyata tidak. Kedua rekannya jelas berusaha keras supaya dia tidak merasa left out, dan dia sangat menghargai usaha mereka untuk akrab dengannya juga.

***

Mereka selesai saat hari sudah petang, dan mereka turun ke area parkir sembari mengobrol.

"Kalian nyetir?" tanya Nico saat mereka sudah di dalam lift. Oliv dan Hansen serentak mengangguk.

"Lo juga kan?"

"Yup."

Mereka tiba di parkiran tidak lama kemudian.

"Gue parkir di sana," kata Oliv sambil menunjuk ke arah kiri.

"Oh, gue juga," ucap Hansen.

"Gue parkir sebelah sana," kata Nico sambil menunjuk arah kanan. "Bye, Liv, Hans. Sampai bertemu lusa."

"Bye, Nico. Hati-hati ya," ucap Oliv sambil melambaikan tangan. Lalu mereka berpisah jalan menuju mobil masing-masing.

"Eh, Liv," panggil Hansen sembari menyesuaikan langkah dengan Oliv.

"Ya?"

"Lo.. Beneran sama Ronald?"

"Nggak juga. Kita baru temenan kok. Kalau cocok lanjut, kalau nggak, ya temenan aja."

"Gue cuma mau memperingatkan lo, sebagai sahabat."

"Iya, gue tahu maksud lo, dan apa yang mau lo katakan. Thank you buat perhatian lo, tapi gue bisa jaga diri kok."

"Seandainya dia memaksa lo macem-macem,-"

"Tenang aja, Hans. Gue bisa jaga diri," potong Oliv, dan Hansen akhirnya diam.

Oliv berhenti di depan mobilnya dan menghadap Hansen.

"Astrid masih gangguin lo?"

"Ermm.. Kadang."

"Berkurang?"

"Iya, sudah berkurang banyak."

"Baguslah. Ya sudah, gue masuk mobil dulu. Lo mobilnya masih jauh?"

"Nggak, tuh di sana," kata Hansen sambil menunjuk mobil yang berjarak empat mobil dari Oliv. Oliv mengangguk.

"Kalau gitu, bye, Hansen. Sampai ketemu lusa."

Sebelum Oliv masuk ke mobil, Hansen menahan pintunya.

"Lo besok siang ada acara?"

"Err.. Belum tahu. Tadinya gue janjian sama Ronald besok siang, tapi dia belum konfirmasi lagi."

"Oh," raut wajah Hansen berubah, namun dia berusaha tampak biasa saja. "Malam?"

"Mustinya kosong. Biasanya palingan gue dimonopoli keponakan gue, buat main sama mereka. Apalagi bentar lagi kita syuting melulu kan."

"Oh. Kalau gitu gue jemput lo ke rumah ya. Maisie sama Marlo dibawa aja, kalau Bang Hari nggak keberatan. Sabtu mereka nggak sekolah toh."

"Ke mana?"

"Makan. Udah lama gue nggak ngajak lo kulineran kan?"

"Malam-malam?? Nanti gue gendut gimana?"

"Sekali doang. Nggak bakalan gendut lah. Lagipula, lo kekurusan. Oke? Deal ya, besok sore gue jemput."

Hansen tersenyum dan meninggalkan Oliv yang masih kebingungan dengan sikap Hansen.

Ini Hansen yang dia kenal sejak kecil, yang dia rindukan selama ini. Hansen yang perhatian, yang kadang suka memaksa, tapi lebih seringnya membiarkan Oliv yang mengatur semuanya, karena semuanya pada akhirnya adalah untuk menyenangkan Oliv.

Hansen yang ini sempat hilang sepuluh tahun, dan kadang membuat Oliv bertanya-tanya, sebenarnya Hansen yang dulu pernah ada atau hanya khayalannya?

Tapi sekarang Oliv kembali bertanya-tanya, benarkah Hansen-nya yang dulu kembali?

Dia tidak mau diberi harapan, lalu kembali kecewa.

***

Oliv melangkah lebar-lebar masuk ke rumah Hansen dengan kemarahan yang sudah sampai ke ubun-ubun, namun saat bertemu muka dengan ibunya Hansen, Oliv tersenyum lebar dan menghampirinya.

"Ayi Yenny!!! Makin cantik aja sih!"

"Bisa aja, Oliv. Udah keriput begini, lho."

"Ah, keriput dikit begini. Ayi Yenny tetap saja cantik banget. Aku ngiri."

Ibu Hansen tertawa sambil tersipu mendengar pujian Oliv.

"Kamu udah lama nggak main ke sini."

"Iya, nih. Nggak dibolehin sama Hansen."

"Apa?? Biar Ayi omelin dia. Kamu harus sering-sering datang. Ayi dan Acek kangen sama kamu. Hira juga nyariin kamu melulu tiap kali pulang."

Oliv tersenyum lebar.

"Iya, Yi. Nanti aku bakal sering mampir. Aku juga kangen nih, udah lama nggak makan masakan Ayi Yenny yang te o pe be ge te."

Ibu Hansen tergelak mendengar perkataan Oliv. Oliv yang sejak kecil dikenalnya, cucu dari tetangganya saat di Medan dulu sudah dia anggap seperti putrinya sendiri.

"Seandainya kamu jodoh sama anaknya Ayi, Ayi bakal senang banget dapet menantu kamu."

"Lho? Aku kan anak bungsu Ayi dan Acek. Masa jadi menantu juga?"

"Dasar kamu ya!" Ucap ibu Hansen sambil tertawa.

"Ayi, aku masih pengen ngobrol lama dengan Ayi, tapi aku ada urusan sebentar sama Hans. Hansen ada, Yi?"

"Ada, di kamarnya. Naik saja."

"Oke. Nanti aku beres sama Hans, aku balik lagi ya, kita ngobrol lagi ya."

"Oke deh. Ayi masak dulu ya. Kamu makan di sini kan?"

"Iya dong. Oh iya, Bang Hira kapan balik, Yi?"

"Minggu depan dia baru libur. Katanya mau ke sini seminggu. Dia kangen kamu tuh."

"Oh. Nanti aku chat Bang Hira deh. Aku juga kangen Bang Hira. Ya udah, aku naik ya. Bye, Ayi.."

Oliv memeluk ibu Hansen lalu bergegas naik ke lantai dua, dan langsung membuka pintu kamar Hansen.

Di dalam, Hansen sedang bermain gitar, dan matanya melotot saat menyadari siapa yang masuk ke kamarnya.

"Oliv??" lalu matanya terlihat panik.

"Ngapain lo di sini??"

"Mau bikin perhitungan sama lo."

Oliv menutup pintu, dan berjalan mendekati Hansen. Dia mengambil alih gitar Hansen, meletakkannya di tempatnya, lalu tanpa aba-aba, mulai memukuli Hansen.

"LO UDAH JANJI BAKAL DATANG KE ACARA FASHION SHOW GUE! TAPI SEMALAM LO DI MANA???"

"Aw! Liv!! Aduh aduh!"

Hansen kelabakan menghindari pukulan Oliv yang walaupun tidak keras, namun pedas menyengat kulitnya.

"SIGIT DATANG, THEO DATANG, TAPI LO, SAHABAT GUE YANG PALING DEKAT, NGGAK DATANG MEN-SUPPORT GUE! PADAHAL LO UDAH JANJI!!"

"Sorry, Liv. Gue harus jemput Astrid ke bandara. Dia-"

"ASTRID LO NGGAK PULANG SENDIRIAN! DIA PULANG SAMA TEMAN-TEMAN KANTORNYA!! LO NGGAK BISA SEKALI AJA BIARIN DIA PULANG SAMA TEMANNYA, DAN PENTINGIN GUE? SEKALI, HANS, SEKALI!! GUE CUMA MINTA SEKALI AJA, NGGAK BISA??!!"

"Dia pacar gue, Liv."

Oliv terengah, dan jatuh terduduk di depan Hansen.

"Ini moment paling berarti di hidup gue, Hans. Lebih berarti daripada kelulusan gue. Gue udah minta lo datang support gue dari dua bulan yang lalu, dan lo ingkar janji."

"Gue pikir setelah nganter dia balik ke kantor, gue keburu datang-"

"Lo tahu betapa macetnya area kantor Astrid kan?"

"Iya. Tapi-"

Oliv mengangkat wajahnya, dan Hansen bisa melihat mata Oliv berkaca-kaca. Namun bukan itu yang membuat Hansen merasa bersalah.

Kata-kata Oliv berikutnya lah yang membuat Hansen mempertanyakan pilihannya.

"Thank you, Hans. Lo membuat gue sadar, pada akhirnya, persahabatan kita nggak pernah cukup berarti buat lo."

Lalu Oliv berdiri, dan keluar dari kamar Hansen.

Hansen yang dia kenal, yang walaupun sekesal dan semalas apapun, tapi selalu berusaha memenuhi permintaan Oliv untuk menyenangkannya, sudah hilang.

Dan Oliv, harus belajar untuk tidak berharap banyak lagi pada Hansen. Cukup sekali ini saja dia kecewa. Tidak ada dua kali.

Tbc

Sorry for typos

Dilarang nagih cerita lain. Kalau kelar bakal aku update kok, tenang aja. Kalau gak betah nungguin, tunggu tamat baru baca aja. Gak akan kuhapus dalam waktu dekat kok.

Thank you buat yang setia nungguin. Ai lap yu 💕

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro