sebelas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Oliv memasang wajah tersenyum saat diperkenalkan dengan semua kru dan sesama aktor yang ikut serta dalam film ini. Lalu mereka duduk bersama membentuk lingkaran besar, sementara asisten sutradara menjelaskan jadwal yang akan mereka jalani selama beberapa bulan mendatang.

Dua hari pembacaan skenario, satu hari untuk workshop, syuting di Jakarta selama empat hari, lalu Bandung, Cirebon, Sukabumi, lalu penutupnya di Bekasi. Total waktu yang digunakan kurang lebih dua puluh hari.

"Ini benar-benar nyaris sesuai dengan urutan ceritanya," gumam Oliv pelan, cukup terkejut dengan urutan syuting mereka.

"Yah, klimaksnya memang sengaja terakhir. Mungkin mereka perlu wajah lelah kita kelihatan real di sana," bisik Nico yang duduk di sebelah kiri Oliv.

"Betul juga, masuk akal sih," bisik Oliv menanggapi.

Asisten sutradara menutup meeting hari itu setelah mengingatkan mereka untuk datang dua hari lagi.

Oliv memasukkan naskah skenario yang sudah dia dapatkan untuk dipelajari di rumah, lalu mengikuti arus manusia yang keluar dari ruang meeting.

Namun, baru saja dia tiba di depan lift, tangan Hansen menahannya.

"Liv."

"Ya?"

Oliv menatap Hansen, yang tampak baru menyadari apa yang dia lakukan, dan suasana mendadak canggung.

"Lo... Buru-buru pulang?"

"Nggak. Gue mau ke rumah Flo dan Theo."

"Mau bareng?"

"Gue nyetir kok, hari ini."

Mereka masuk ke dalam lift, yang kemudian bergerak turun menuju parkiran.

"Oh.. Lo udah makan? Have lunch bareng yuk."

"Gue ada janji makan siang sama Ronald."

Raut wajah Hansen mendadak berubah.

"Ronald... Ronald Detama?"

"Yup."

"Sejak kapan lo dekat sama dia?"

"Sejak... Beberapa minggu yang lalu, perhaps. Lupa juga. Ya udah, gue jalan dulu ya. Bye, Hans," ucap Oliv begitu pintu lift terbuka, dan dia berjalan menuju mobilnya yang terparkir.

"Wait."

Hansen kembali menahan tangan Oliv, matanya menatap Oliv tajam.

"Jangan sampai lo jatuh hati sama dia, Liv."

"Kenapa lo harus melarang gue?

"Karena gue care sama lo. Lo sahabat gue, gue nggak mau lo sakit hati karena dipermainkan sama dia-"

"Oh.. Jadi sekarang lo care sama gue karena gue dekat dengan Ronald, sementara dulu, saat gue patah hati sama Theo, lo di mana?? Ada gitu lo care sama gue?? Oh, gue lupa. Saat itu lo punya Astrid. Lalu sekarang lo nggak punya bahan bucinan lagi, jadi lo ngerecokin gue?? You said I'm your bestfriend, right?? Then stay where you are! Don't cross the line, Hans!"

Rahang Hansen mengeras, menatap balik Oliv yang menatapnya dengan kesal.

"Jadi sekarang lo lebih memilih orang lain dibanding gue, Liv? Lo marah pada gue karena gue care sama lo, padahal gue sahabat lo?"

"IYA!" seru Oliv lantang. "Buat apa gue peduli pendapat lo dan kepedulian lo yang telat itu, kalau selama ini lo juga nggak pernah peduli sama pendapat gue?? Terlalu cepat sepuluh tahun, Ferguso!! Sepuluh tahun lagi, gue baru akan dengar pendapat lo! Sekarang lepasin gue!"

Oliv menyentakkan tangannya dari Hansen, lalu masuk ke dalam mobilnya dan melajukannya keluar dari area parkir, meninggalkan Hansen yang masih terpaku di tempatnya, terkejut atas perlakuan Oliv padanya.

***

Oliv mengaduk pastanya dengan wajah tidak berminat, sementara Ronald juga tidak menyentuh makanannya, dan justru memperhatikan Oliv.

"Jadi gimana meeting hari ini?"

"Hmm.. Ya gitu deh."

Ponsel Ronald bergetar sesaat, dan Ronald melirik ponselnya, tersenyum geli sebelum kembali menghadap Oliv.

"Jadi Hansen sudah tahu soal kita?"

"Hmm.." Oliv mengangkat wajahnya, tampak terkejut. "Kok lo tahu?"

"Dia ngajak gue ketemuan malam ini."

"Sama yang lain juga?"

"Nope. Berdua doang."

"Oh.."

"Mau cerita?"

Oliv menghela nafas panjang.

"Gue bingung mau ceritanya gimana. Yang pasti gue kelepasan marah-marah ke dia."

"Nggak heran," ucap Ronald sambil tersenyum geli.

"Dia nyuruh gue jangan sama lo."

"Nggak heran juga."

Oliv mendengus.

"Dia pikir dia siapa. Gue ngomong dan ngambek ke dia selama bertahun-tahun, dicuekin. Lalu dia berharap gue dengerin dia kali ini? Ogah."

Ronald terkekeh geli mendengar nada suara Oliv yang terdengar begitu kesal.

"Udah, ah. Gue males ngomongin dia. Gimana kalau lo cerita ke gue, lo ngapain aja hari ini?"

"Yah, biasa. Lo yakin mau dengar?"

"Tentu saja yakin. I always wonder, gimana rasanya kerja di rumah sakit. Kalau nggak inget nilai biology dan chemistry gue yang setengah mati didongkrak biar bagus, mungkin gue udah jadi dokter pertama di keluarga gue."

"Lo SMA di luar kan?"

"Iya. Gue ambil kurikulum Cambridge, tapi business. Nggak kuat sama science. Jelek mulu. Yang konyolnya, habis itu gue pulang Indo, ikut UN, dan malah masuk Uni swasta di Indo. Habis gue jadi bahan ledekan abang gue selama bertahun-tahun gara-gara itu."

Ronald terkekeh mendengar Oliv bercerita.

"Nah, jadi cerita dong. Kalau lo nggak mau cerita tentang hari ini, gue pengen dengar cerita pas lo kuliah. Jerman kan?" tanya Oliv dengan mata berbinar.

"Yup. Tapi gue S2 di Indo."

"You are so cool."

"Thanks. Jadi cerita apa yang lo mau dengar?"

"Apapun."

"Hmm.. Let's see.."

Ronald mulai bercerita, dan tak lama kemudian, Oliv sudah tergelak. Mereka asik mengobrol, dan mereka kembali melanjutkan acara makan siang mereka.

***

Ayu menyenggol Sigit sambil menunjuk manusia yang duduk di taman belakang mereka, yang membawa aura suram secara tiba-tiba di sana.

"Kenapa dia? Datang-datang langsung merenung di belakang sendirian begitu?" tanya Sigit bingung, dan Ayu memukul lengannya gemas.

"Itu dia yang mau aku tanya ke kamu. Dia kenapa?"

"Mana aku tahu? Aku kan baru lihat dia sekarang."

"Samperin gih, tanyain kenapa."

"Lho, kenapa aku?" tanya Sigit bingung, dan Ayu melotot padanya.

"Jadi aku aja yang samperin? Yakin?"

Sigit nyengir lebar.

"Nggak boleh. Ya udah, aku samperin dia. Bentar ya, Yu."

"Lama juga nggak apa. Kalau sama Hansen aku rela," ucap Ayu, membiarkan Sigit mengecup pipinya sebelum berlalu menghampiri manusia suram di taman belakang rumahnya.

"Woi, kenapa lo?"

Hansen menoleh, dan membenarkan posisi duduknya.

"Nggak, nggak kenapa-kenapa."

"Nggak usah kayak cewek deh lo. Jelas-jelas kenapa-kenapa, tapi bilangnya nggak kenapa-kenapa."

Sigit duduk di kursi taman sebelah Hansen, lalu menatap titik yang sama dengan yang Hansen lihat.

"Si Kuntilanak itu ganggu lo lagi?"

"Nggak..."

"Oh baguslah."

"Ya, masih, sih. Kadang dia kirim pesan, tapi gue cuekin."

"Oh, bagus, bagus. Awas aja kalau lo tanggepin. Gue bunuh lo."

"Git."

"Apa?"

"Waktu gue masih sama Astrid, perasaan lo orang gimana sih ke gue?"

"Hah? Tumben lo nanya gitu."

"Jawab aja."

"Kesal banget, sumpah. Tapi lo kan nggak bisa dibilangin. Jadi kita berusaha menerima dia. Untung aja dia juga nggak suka ngumpul sama kita-kita. Males banget harus lihat muka dia."

"Kesal? Hanya kesal? Apa lo berusaha menjauhkan gue dari Astrid?"

"Kurang usaha apa gue? Tiap kali gue beberin keburukan Astrid, lo pikir buat apa coba, kalau bukan supaya lo berdua bisa cepat-cepat bubar?  Tapi gila, lo mah susah banget dibilangin. Ampe males gue."

"Sorry..."

Sigit mengibaskan tangannya.

"Santai. Untung lo bisa lihat belangnya sebelum janur kuning melengkung."

Lalu Sigit menatap Hansen penasaran.

"Kenapa lo?"

"Nggak. Gue cuma penasaran, rasa kesal gue saat ini normal atau nggak."

"Lo kesal kenapa?"

"Oliv."

"Kenapa Oliv?"

"Kayaknya dia lagi dekat sama cowok."

"Oh, bagus dong. Dia susah mau deket sama cowok kan? Setelah kejadian sama Theo, kayaknya dia mencoba beberapa kali cuma gagal semua tuh. Baguslah kalau ada yang cocok sekarang."

"Cowoknya brengsek."

Sigit mengangkat tangannya.

"No comment. Pria brengsek bisa berubah kan, kalau mau? Nih contoh nyata."

Hansen tertawa pelan sambil mengumpati Sigit.

"Malah muji diri sendiri. Najis lo."

"Kenyataan. Emang siapa orangnya? Gue tahu?"

"Ronald."

"Oh, Ron. Okelah kalau Ron. Asal jangan ketemu Rick aja. Kacau dia mah."

"Ron nggak oke."

"Oke kok. Dia emang nggak keberatan tidur dengan cewek random, tapi kalau lagi punya pacar, dia nggak jajan keluar."

"Dia tidur dengan pacarnya."

"So what?? Kayak pacarnya keberatan aja ditidurin."

"Lo bisa bayangin dia begitu ke Oliv??"

Sigit mengernyit.

"Ya, itu semua tergantung Oliv dong. Kalau dia mau, lalu kenapa?"

Lalu Sigit tertawa pelan.

"Lo kok aneh sih. Pas Oliv naksir Theo, lo nggak kelihatan mempermasalahkan itu sama sekali. Padahal Theo yang dulu jauh lebih bejat daripada Ron."

"Itu karena gue tahu Theo nganggep Oliv sahabat! Tapi ini beda!"

"Lalu?"

"Gue nggak bisa biarkan Ron merusak Oliv."

"Emang lo siapa? Bapaknya? Abangnya?"

"Oliv udah gue anggap kayak adek gue sendiri."

"Boy, Oliv bukan anak kecil lagi. Dia nggak perlu lo jaga sampai segitunya, kali. Lo bisa kasih dia saran, nasihat, tapi lo nggak bisa melarang dia dekat dengan pria lain hanya karena lo takut dia rusak."

Lalu Sigit tertawa geli, sembari menepuk bahu Hansen.

"Tapi ceritanya beda kalau yang lo alami sekarang itu rasa cemburu."

Tbc

Iya, pendek. Maafkan.

Semoga suka ya.

Sorry for typos.

Stay safe ya kalian, dimanapun kalian berada.

Semoga ini bisa jadi hiburan di tengah kemelut ini.

Love ya :*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro