sepuluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Oliv menerima panggilan telepon itu dengan wajah sumringah.

"Jadi saya lolos casting??"

"Betul. Kami mengharapkan kehadiran Olivia hari rabu ini jam sepuluh pagi di rumah produksi Senja. Nanti untuk alamat lengkapnya akan kami kirim via whatsapp."

"Oke. Oh iya, boleh saya tahu siapa pemeran utama prianya?"

"Nicholas Pratama dan Hansen Putra."

Wajah sumringah Oliv langsung memudar.

Sialan.

Rencana mau menggunakan kerjaan ini supaya nggak galau, malah beneran harus lakonin romance sama yang bersangkutan.

Ini nasib lagi mencoba ngelawak apa gimana?

"Oke, thank you ya."

"Iya, ditunggu kehadirannya ya."

"Oke."

Oliv memutus sambungan telepon, dan kembali merentangkan tubuhnya di atas ranjang.

Apa gue batalin aja ya? ucap batinnya yang galau.

Ah, tapi sayang. Gue suka storyline-nya.

Tapi Hansen-

Sialan.

Oliv menutup matanya dengan kedua tangan, berkali-kali menarik nafas panjang.

Pintu kamarnya diketok, dan Oliv langsung duduk di tepi ranjangnya sementara wajah ibunya muncul di balik pintu.

"Eh, Mami."

"Mami ganggu nggak?"

"Nggak, dong. Masuk aja, Mi."

Ibunya masuk, menutup pintu di belakangnya, lalu duduk di sebelah Oliv. Oliv langsung memeluk ibunya, menyurukkan wajahnya di dada sang ibu dan dirinya langsung merasa lebih tenang.

Pelukan ibunya memang yang paling ampuh meredakan semua kegalauannya.

"Si manja kesayangan Papi," ucap ibunya sambil mengelus rambut anak bungsunya itu.

"Oh gitu. Jadi aku kesayangan Papi, bukan kesayangan Mami ya," rajuk Oliv.

"Lho, kan emang. Kamu kan istri kedua Papi."

Oliv tergelak, dan ibunya ikut tertawa.

Oliv melepaskan dirinya dari pelukan ibunya, lalu tersenyum lebar.

"Aku ikut main film layar lebar."

"Oh, main film lagi? Romance?"

"Bukan. Lebih ke action, Mi."

"Oh, baguslah. Jadi nggak ada adegan kissing sama lawan main kan, kayak dulu sama Theo Harsyah?"

Oliv tergelak melihat wajah ibunya yang mengerut tidak suka.

"Ih, Mami. Itu kan tuntutan skenario. Scene-nya kan untuk menunjang jalan cerita."

"Rasanya aneh, tahu, melihat anak Mami dicium anak cowok di layar kaca."

"Aku juga rasanya aneh, nyium temen sendiri. Tapi di depan kamera, aku bukan Oliv, Mami. Aku adalah karakter aku di film itu."

"Iya, iya, Mami ngerti. Totalitas kan?" ibunya menghela nafas. "Mudah-mudahan suami kamu nantinya mau ngerti. Kalau dia cemburuan kayak Papi kamu atau kedua abangmu itu, bisa habis kamu."

"Lho, bukannya terbalik, Mi? Kan aku yang punya darah Barata. Kayaknya aku yang bakal jadi pencemburu berat, kayak Papi dan abang."

Ibunya tertawa.

"Betul juga."

Ibunya membelai wajah Oliv dengan sayang.

"Jadi kamu sungguhan sudah move on dari Theo Harsyah?"

Oliv langsung merengut kesal.

"Ih, udah, Mami. Beneran, suer, sumpah pocong-"

"Hush, nggak boleh sumpah pocong. Serem banget kamu."

"Ya kan kalau nggak bener, baru aku dikutuk jadi pocong. Tapi kan aku beneran udah move on. Aku bahkan udah ketemu Flo istrinya Theo dan aku baik-baik saja," ucap Oliv bangga, dan ibunya tersenyum geli.

"Iya deh, Mami percaya. Jadi kapan kamu bawa calon ke rumah? Udah dua lapan lho. Kedua abangmu sebelum dua tujuh aja udah nikah. Kamu, yang anak gadis Mami, malah belum laku."

"Biasa, Mi. Ferrari lakunya emang lebih susah dibanding avanza."

Ibunya tergelak.

"Anak gila! Anak siapa sih kamu?"

"Anak Mami-Papi, lah. Nggak lihat mirip begini?" jawab Oliv sambil menangkup wajahnya sendiri dan tersenyum lebar kepada Sang ibu, membuat ibunya kembali tertawa terbahak-bahak.

***

Oliv berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan langkah yang sedikit tergesa. Kakinya yang jenjang dibalut celana kulot berwarna marun dan sneakers putih bergerak cepat nyaris tanpa suara, membawanya menuju bangsal khusus bersalin.

"lima kosong tiga, lima kosong empat, ah ini dia," gumamnya pelan sambil memperhatikan nomor kamar, lalu masuk ke kamar paling ujung, ruang VVIP, kamar tempat nyonya Theo Harsyah beristirahat sehabis melahirkan anaknya yang kedua.

Oliv mengetuk pintunya, lalu membuka pintu. Senyumnya langsung melebar saat melihat Ayu, Nina, dan Flo yang sedang menggendong bayinya. Oliv meletakkan hadiahnya untuk si kecil, lalu mendekati Flo.

"Congrats, Flo. Ih, lucu banget. Cowok ya? Namanya siapa?"

"Namanya Stanley. Ignatius Stanley Syahputra. Salam kenal, Aunty Oliv."

Dan bayi kecil di pelukan Flo memilih saat itu untuk menyunggingkan senyum dalam tidurnya, membuat mata Oliv berbinar.

"Lucu banget!!! Aduh pingin bawa pulang deh."

"Mending lo bikin sendiri, Liv," ledek Ayu. Oliv mencibir.

"Males ah. Tar aja. Gue tunggu ponakan dari lo dulu."

Oliv pamit untuk cuci tangan, lalu kembali untuk menyentuh baby Stanley.

"Dari tadi kalian cuma bertiga?" tanya Oliv setelah puas menyentuh Stanley dan berhenti mengganggu tidur bayi itu. Salah satu perawat masuk dan membawa Stanley keluar dari kamar itu, meninggalkan keempat wanita itu.

"Nggak, tadi ada Theo, Sigit, Bang Leon, sama Hansen. Tapi bang Leon lagi balik ke kantor, terus tiga cowok yang lain lagi makan siang di kantin."

"Ada Hansen??"

Ayu mengangguk. "Tadi dia lagi di rumah gue pas kita dikabarin Flo udah lahiran."

"Oh..."

"Ngomong-ngomong, lo udah kasih tau Oliv soal rencana absurd lo belum?" tanya Flo pada Nina, yang dijawab dengan gelengan.

"Belum. Gue kelupaan."

"Rencana apaan?" tanya Oliv bingung.

"Rencana untuk mengalihkan perhatian kamu dari Hansen," jawab Nina sambil berdecak kesal. "Tadi Ayu baru bilang kalau kamu jadinya main film bareng Hansen lagi. Sama-sama pemeran utama pula."

Oliv langsung melotot pada Ayu.

"Lho, kok lo tahu??"

Ayu berdecak.

"Lo lupa kalau Hansen istri keduanya Sigit? Gue harus berhubungan baik sama madu gue dong, supaya kehidupan pernikahan gue adem."

Oliv melongo, lalu tertawa terbahak-bahak.

"Sumpah lo? Mereka berdua masih sesinting itu? Oh my God. Lalu lo ikutan kesintingan mereka?"

Ayu mengangkat bahunya acuh tak acuh.

"Habisnya mereka suka lucu. Jadi gue ikutan aja. Gue udah pasrah sama keanehan laki gue."

Oliv tergelak.

Nina memutar bola matanya.

"Gue kira mereka berempat doang yang absurd. Ternyata geng laki lo lebih absurd lagi," kata Nina pada Flo, yang ditanggapi dengan tawa oleh Flo.

"Emang. Kalau kita yang absurd kan Felix doang. Terry, Hendra, dan Leon cuma ngikutin flow dia aja. Lah kalau ini? Laki gue aja dianggep bini muda sama Sigit."

"Laki lo tuh, Yu."

"Iya. Malu gue. Orang lain madunya paling cuma satu atau dua, gue punya lima, jantan semua pula," ucap Ayu sambil meringis. Lalu mereka berempat tertawa.

Setelah puas tertawa, Oliv kembali menoleh pada Nina.

"Emang kak Nina punya rencana apa?"

Nina tersenyum lebar sambil menjawab, "Pengalihan ke orang ketiga."

Oliv melongo. Lalu tawanya pecah.

"Kak Nina nggak serius kan?"

"Serius kok."

"Ada gitu yang mau, Kak?"

Nina menoleh pada Flo, dan keduanya bertukar senyum.

"Ada, dong. Actually, dia sendiri yang menawarkan diri."

Mata Oliv membulat penuh antisipasi.

"Siapa orang aneh yang mau bantuin gue mengalihkan pikiran dari si bucin?"

"Salah satu dari si kembar."

Mata Oliv semakin membulat.

"Si kembar adiknya Flo? You must be kidding me."

"Nggak. Ini serius. Mereka kandidat yang paling pas untuk proyek ini. Mereka akan jadi pancingan yang bagus."

"Lo beneran serius, Nyet?" tanya Flo sangsi. "Proyek rebound ini sangat berisiko. Apalagi melibatkan si R."

"Serius, Nek. Kenapa? Lo takut mereka jadian?"

"Mending jadian. Lo tahu sendiri reputasi adek gue yang itu nggak bagus sama sekali."

"Ya... Gue sih nggak terlalu khawatir ya. Oliv udah tahu kalau reputasinya nggak bagus, sementara adek lo juga udah tahu kalau ini proyek rebound dan dengan sukarela membantu."

Lalu wajah Nina berubah serius saat menoleh pada adik iparnya itu.

"Ini proyek rebound kamu, untuk membantu kamu setidaknya move on dari Hansen. Hanya itu. Selebihnya terserah kamu. Mau lanjut atau tidak. Tapi, kalau kamu setuju, kakak hanya mau minta satu hal dari kamu."

"Apa, kak?"

"Jaga diri kamu baik-baik. We don't want another -pregnant before marriage- couple in family."

***

Oliv sedang membeli minuman ke kafetaria lantai satu, saat seseorang menyapanya.

"Hai."

Oliv menoleh, dan menemukan salah satu dari si kembar tersenyum padanya. Oliv otomatis tersenyum.

"Hai. Ermm.. Ronald, right?"

"Yup," mata Ronald tampak terkesan. "Lo bisa bedain gue dan Rickon? Jangan bilang karena kita ketemu di rumah sakit."

"Bukan," jawab Oliv sambil terkekeh pelan. "Gue sebenarnya nggak gitu yakin, tapi kira-kira kelihatan kok, bedanya."

Ronald tersenyum.

"Great. Padahal gue udah sengaja nggak pakai jas dokter, dan lo nggak salah mengenali gue. Terus belajar ya, supaya ini semua lebih mudah buat kita."

Mata Oliv membulat, langsung mengerti maksud pria di hadapannya ini.

"Jadi, yang bantuin gue itu lo?"

"Yup. Emangnya Flo dan Ci Nina nggak bilang?"

Oliv menggeleng, lalu menatap Ronald dengan pandangan menuduh.

"Bukannya lo yang minta mereka untuk nggak ngasih tau gue?"

Ronald menyeringai lebar dengan tampang innocent, walaupun matanya jelas menyiratkan kalau dia sebenarnya ingat.

"Oh iya, gue lupa."

Oliv berdecak.

Dia menerima uang kembalian dari kasir, lalu mengambil plastik berisi beberapa botol air mineral. Namun Ronald dengan gesit mengambil alih plastik tersebut.

"Mau kembali ke kamar Flo kan? Yuk, bareng."

"Erm, oke. Sini, plastiknya, biar gue bawa sendiri."

"Biar gue aja. Kan bareng ini."

"Erm, thanks ya."

Ronald tersenyum sebagai jawaban. Pria itu menunggu Oliv berdiri di sebelahnya, baru mulai berjalan beriringan.

"Kok lo mau bantuin gue?" tanya Oliv sembari mereka berjalan.

"Soalnya kedengaran menarik. Selama ini gue memperhatikan lo. Lo dekat dengan Theo, Sigit, dan Hansen, tapi nggak pernah benar-benar kenalan dengan gue dan Rickon."

"Hmm.. Iya juga."

Selama persahabatannya dengan Hansen, Sigit, dan Theo, Oliv nyaris tidak pernah bicara dengan si kembar Rickon dan Ronald, sahabat karib ketiga pria itu. Mereka hanya sekadar saling kenal, dan bertukar sapa saat bertemu. That's it.

Ini pertama kalinya mereka benar-benar saling bicara. Dan selama perjalanan mereka kembali ke kamar inap Flo, Oliv mendapati bahwa dia langsung bisa bersikap santai dengan pria ini.

Ternyata Ronald teman bicara yang menyenangkan. Dia pendengar yang baik, menanggapi pembicaraan Oliv dengan kalem, sesuai pembawaannya. Dia juga cerdas, dan ternyata cukup humoris. Senyumnya dan gestur tubuhnya yang gentleman dengan mudah membuat Oliv nyaman.

"Jadi lo tau gue punya rasa sama si bucin itu?"

Ronald mengangguk.

"Awalnya gue nggak yakin sih. Tapi kalau dari cerita Hansen, gue tebak lo ada rasa sama dia. Kalau nggak, lo nggak mungkin sesering itu ngambek sama dia karena mengabaikan lo." Ronald terkekeh pelan. "Tapi gue masih nggak yakin, karena kenyataannya, kami - gue, Rick, Sigit, dan Theo - juga sering banget kesal sama Hansen kalau dia lagi mem-bucin ke mantannya itu."

Oliv ikut tertawa, dengan wajah sedikit merona karena malu.

" Yah, paling tidak kalian tidak pakai acara ngambek kayak gue, kan?"

"Nggak," jawab Ronald masih sambil terkekeh.

Ronald menahan lengan Oliv saat mereka sudah akan tiba di kamar Flo, dan Oliv menoleh. Matanya menatap Ronald penasaran, dan Ronald tersenyum padanya.

"Menurut lo, apa ini bisa berjalan? Lo dan gue?"

Wajah Oliv merona.

Dia lemah dengan tipe pria macam ini. Pria kalem yang memperlakukan wanita dengan gentle. Semua pria yang pernah dekat dengannya pasti memiliki dua poin ini.

Mungkin itu juga sebabnya dia bisa suka dengan Hansen dan Theo. Mereka berdua termasuk kalem, dan memperlakukannya dengan gentle.

Hansen, sekesal dan semalas apapun dia saat bersama Oliv, selalu memperlakukan Oliv dengan baik. Dia adalah tipe pria yang selalu berjalan di sebelah luar trotoar untuk melindungi wanita, dan yang membuka dan menahan pintu sampai orang di belakangnya lewat.

"Ermm.. I don't know, but I want to try. How about you?"

Ronald tersenyum, tampak senang.

"I want to try, too."

Oliv ikut tersenyum.

"Mohon kerjasamanya, ya, Ron."

"Yup. Gue juga ya, Liv."

Mungkin ini nggak buruk-buruk amat, batin Oliv. At least, gue udah berusaha membuka diri untuk kemungkinan lain. Make a new friend will never wrong.

Isn't it?

***

Begitu Oliv keluar, Nina langsung menoleh pada Ayu.

"Gue masih penasaran. Kenapa menurut lo Ronny lebih cocok untuk proyek ini?"

"Karena dia lebih gentle dibanding Rick," jawab Flo. Lalu dia melihat pada Ayu, memastikan jawabannya. "Bener?"

Ayu mengangguk.

Sebenarnya, saat mereka membicarakan ini, yang pertama menawarkan diri adalah Rickon. Namun Ayu menolak ide tersebut. Dan Ronald mengatakan dia dengan senang hati melakukannya.

"Lo sadar nggak, tipe pria yang bisa membuat Oliv tertarik?" tanya Ayu, dan baik Nina dan Flo tampak berpikir.

"Yang nggak grasak-grusuk?" tebak Nina, dan Flo mengernyitkan dahinya.

"Kurang lebih."

"Hmm, kayaknya gue agak paham. Hansen dan Theo tipenya agak mirip kan. Yang pembawaannya kalem, hangat, gitu-gitu."

"Pantesan lo bilang Ricky nggak cocok," ucap Flo, ingat dengan betapa tengil dan iseng adiknya yang satu itu.

"Yah, Ronny bisa jadi pengalih perhatian yang pas. Walaupun ujung-ujungnya tidak ada rasa yang tumbuh diantara mereka, at least we tried."

Lalu Nina menoleh pada Flo dengan dahi mengernyit.

"Tapi gue terkejut, kedua adek lo langsung menawarkan diri begitu. Padahal gue kirain mereka berdua suka yang tipenya kayak lo."

Flo langsung melotot, sementara Ayu tergelak mendengar ucapan Nina.

"Anjir, Nyet. Nuduhnya sih nggak kira-kira, lho."

"Lho, emang bener kan? Mereka kan sister complex dari dulu. Inget nggak sih, dulu mereka sempet musuhin Hendra karena ngirain lo pacaran sama Hendra? Lalu kejadian Theo? Sampai sekarang, saat lo udah punya dua anak aja, mereka masih suka nyindir-nyindir Theo karena merebut cici kesayangan mereka."

"Kampret."

"Menurut gue, sih, nggak aneh ya, kalau mereka bisa tertarik sama Oliv. Walaupun Oliv tipenya beda sama Flo, Oliv menarik banget. Kalau gue cowok, gue pasti udah ngejer dia dari dulu," ucap Ayu, dan kedua sahabatnya justru menangkap hal yang berbeda.

"Lho kok gitu? Lo nggak tertarik sama gue?" tanya Nina tidak nyambung, lalu dijawab Flo dengan ledekan.

"Sadar umur, woi. Ayu pasti prefer yang lebih muda, dong."

"Heh! Lo nikah sama brondong, Nenek! Diem lo!"

"Oh iya gue lupa."

Ayu tertawa melihat ke-absurd-an dua sahabatnya yang meskipun sudah menjadi emak-emak, tetap saja memiliki selera humor yang aneh bin ajaib.

Dia tahu mereka melakukan hal yang berisiko dan terkesan memaksa, namun mereka menyayangi Oliv, dan tentu saja berharap yang terbaik untuknya.

Setidaknya mereka sudah berusaha, dan bukan hanya pasrah pada waktu yang dengan keji terus berdetak, tanpa peduli manusia yang menjalaninya mampu mengimbanginya atau tidak.

Tbc

Hmmm...

Semoga suka.

Sorry for typos

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro