empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Oliv mengernyit saat neneknya menyerahkan sepiring penuh berisi kue basah dan lemper dan sejenisnya.

"Liv, kamu ke rumah seberang ya, bawain ini," kata neneknya, dan Oliv mengernyit makin dalam.

"Mau buat siapa, Ama*?" tanya Oliv. (*Panggilan untuk nenek dalam bahasa Hokkian)

"Tetangga kita. Ama baru beli tadi di pasar. Sekalian kamu kenalan sama tetangga. Jangan kebiasaan kayak di Jakarta, nggak kenal tetangga."

"Tapi-"

"Biar Ahkong* temani kamu," kata Kakeknya sambil melipat koran. (*Panggilan untuk kakek dalam bahasa Hokkian)

Senyum Oliv mengembang. Dia meraih piring di tangan sang Nenek lalu mengikuti kakeknya keluar rumah.

Oliv sedang liburan kenaikan kelas di Medan, kota tempat kakek dan nenek dari pihak ibunya tinggal. Kedua kakaknya memilih untuk mengambil kelas musim panas ke luar negeri, namun Oliv yang baru berusia delapan tahun, belum mendapat izin.

Ini pertama kalinya Oliv ke Medan sendirian, tanpa ditemani Mami atau Papinya, dan Oliv sangat senang. Ini kemajuan pesat, karena dia diizinkan naik pesawat sendiri, lalu Kakeknya menjemputnya di bandara. Dia merasa sudah besar, bukan anak kecil lagi.

Kakeknya mengajak Oliv menyeberangi jalan, lalu mengetuk pagar di seberang rumahnya. Mereka tinggal di salah satu perumahan di Medan pinggiran yang masih sepi di tahun 2000an awal, dan setiap rumah memiliki pekarangan yang sangat luas. Satu-satunya rumah yang berada dekat dengan mereka hanya rumah di seberang jalan.

Sesosok ibu-ibu yang sepantaran Maminya Oliv keluar, dan tersenyum lebar saat melihat mereka.

"Acek* Sandi! Ada apa nih?" sapa ibu-ibu tersebut sambil membukakan pintu pagar. (*Panggilan untuk pria yang jauh lebih tua)

"Ini, Ayi* tadi ke pasar, terus ingat kalau kamu suka kue basah," kata kakeknya Oliv, dan Oliv menyodorkan piring yang dibawanya kepada ibu-ibu tersebut. Dia tersenyum lebar sambil menerimanya. (*Panggilan untuk wanita yang jauh lebih tua)

"Aduh, tidak usah repot-repot. Ayo masuk, Cek. Ini siapa? Cucu ya?"

"Iya, cucu. Bungsunya si Anas."

"Wah, yang bungsu aja sudah sebesar ini ya. Namanya siapa?"

"Oliv, Tante."

"Lagi ke Medan liburan ya?"

"Iya."

"Pinter ya, nemenin Ahkong sama Ama."

Oliv hanya tersenyum tipis, namun tidak menjawab.

"Kayaknya kamu sepantaran Hans deh. Mana ya tuh anak. Liburan begini pasti sibuk main PS dia. HANS!!"

"Udah, nggak usah, Yen. Kita juga cuma mampir kok," kata Ahkong, mencegah ibu-ibu itu meneriaki anaknya. Namun dia mengibaskan tangannya.

"Nggak apa, Cek. Suruh kenalan dulu, biar Oliv ada temannya di Medan."

"Apa sih, Ma??"

Sesosok anak laki-laki turun dari lantai dua dengan wajah bersungut-sungut mendekati mereka.

"Nih, Ahkong Sandi bawain kue buat kita."

Anak laki-laki itu menatap Ahkong, dan mengangguk sopan.

"Makasih, Ahkong."

"Nih, kenalin, cucunya Ahkong Sandi. Kayaknya kalian seumuran deh."

Anak itu melihat Oliv, dan wajahnya mengernyit. Oliv juga menatapnya tanpa minat.

Dia pasti nerd, batin Oliv. Kulit pucat seperti tidak pernah kena matahari, kacamata bundar, rambut acak-acakan seperti belum mandi. Dia juga kelihatannya nggak bersahabat sama sekali. Nggak asik.

Namun tangannya lebih dulu terulur pada Oliv.

"Hansen."

Oliv melirik tangan itu, dan merasakan Ahkong mencolek punggungnya, menyuruhnya menerima uluran tangan itu.

Demi kesopanan, Oliv menyambut uluran tangan anak laki-laki itu.

"Olivia."

***

Oliv menunggu Hansen yang sedang mandi sambil berbaring dan berbalas pesan dengan Ayu, sahabatnya, saat ponsel Hansen berdenting nyaring.

Oliv langsung duduk dan melihat nama Astrid berkedip di layar, dan mengernyit. Hansen masih menyimpan nomornya, walaupun emoji hati yang biasanya ada di belakang nama Astrid sudah hilang.

Eh, tapi ngapain mak lampir nelepon Hansen ya? tanya batin Oliv bingung, dan karena penasaran sekaligus kesal karena wanita itu menyia-nyiakan Hansen, Oliv menggeser tombol hijau dan menempelkannya ke telinga.

"Hans, akhirnya kamu angkat telepon aku juga. Terima kasih kamu mau ngangkat telepon dari aku hari ini.."

Oliv sampai menjauhkan telinganya mendengar nada manja Astrid, karena rasanya ingin muntah.

Kok bisa sih, Hansen tahan pacaran sama manusia najis kayak begini???

"Bisa kita ketemu? Aku harus menjelaskan banyak hal sama kamu, aku masih sayang sama kamu, dan aku tahu kamu juga masih sayang kan sama aku? Ini semua cuma salah paham, Hans. Kita bisa kembali kayak dulu. Ya?"

Oliv merinding geli.

"Err, halo? Astrid? Ini Oliv, bukan Hansen. Hansennya lagi mandi nih. Lo ada pesan yang mau disampein?"

Astrid langsung terdiam, dan nada suaranya berubah saat dia kembali bicara.

"Oliv... Olivia Barata?"

"Yuhu, betul sekali."

"Mana Hansen? Kenapa lo yang angkat telepon Hansen?"

"Dibilangin, Hansen lagi mandi. Tadi sih dia bilang kalau ada telepon, angkat aja."

Oliv sembarangan bicara sih, tapi siapa peduli. Toh, manusia di seberang sana bukan pacar Hansen lagi.

Biasanya dia menahan diri untuk bicara sembarangan di depan Astrid, atas permintaan Hansen. Tapi sekarang, bodo amat.

"Lo- di rumahnya Hansen?"

"Iya, di kamarnya malah. Emangnya kenapa?"

Tiba-tiba ponsel di tangannya ditarik, dan Oliv mendongak, untuk menemukan wajah Hansen yang kaku, dan tubuhnya yang menggiurkan terpampang di hadapannya.

Kalau gue nggak inget dia sahabat gue, mau banget deh gue nyerang dia sekarang, batin Oliv mesum.

Eh, iya, Hansen mana mau. Kecewa deh.

Pikiran mesum Oliv terpotong saat mendengar jeritan Astrid dari seberang telepon.

"Jadi kamu putus dari aku karena Oliv pulang dari Amerika???"

"Kamu ngapain masih telepon aku?"

"Aku mau jelasin semuanya. Aku masih cinta sama kamu, dan aku tahu kamu masih cinta sama aku. Aku nggak nyangka kamu segampang itu biarin Oliv masuk ke rumahmu lagi. Dia pasti sengaja memanfaatkan kondisi kita putus supaya bisa kembali-"

Oliv memperhatikan wajah Hansen yang tampak lelah, dan menariknya duduk sebelum merebut ponselnya.

"Heh, L**te!! Lo tuh sama Hansen udah putus, karena lo yang selingkuh!! Sekarang, Hansen udah single, thanks to you, dan apapun yang dia lakukan, sama sahabat kesayangannya, yaitu gue, bukan urusan lo!! Lo nggak berhak minta Hansen mendepak gue dari rumah ini lagi, paham???"

Dengan kesal,  Oliv mematikan sambungan telepon dan sekalian mematikan ponsel Hansen, lalu berbalik menghadap pria itu sambil berkacak pinggang.

"Lo masih sering diteror sama Nenek Lampir itu ya??"

"Liv.. Duduk dulu-"

"Dia sering nelepon lo buat ngajak balikan???"

"Liv..."

"Kenapa lo nggak block aja sih nomornya??"

"Gue nggak tega..."

Tiba-tiba Oliv sudah mencubit kedua pipi Hansen dengan kesal.

"Gila, gue kesel banget denger dia ngomong kayak gitu ke lo barusan!!! Pengen gue gampar sumpah!!"

"Aaaaaa Libbbbb bibiiihuueeeeee..."

"Bodo amat!! Lo tuh ya, udah putus, gara-gara salah dia juga, kenapa lo masih jawabin dia dengan baik-baik, hah??? Lo masih cinta ya sama dia???"

"Liibbbb biibiiii hueeeee...."

Oliv akhirnya melepaskan pipi Hansen, namun menarik lengan Hansen dan menggigitnya.

"Aaaa sakit, Liv, lepasin-"

Oliv melepaskan giginya dari lengan Hansen yang langsung menarik dirinya menjauh dari Oliv sambil mengusap lengannya yang memerah dan sudah tercetak bekas gigi Oliv.

"Ya gue masih cinta sama dia, lah. Namanya udah sepuluh tahun bareng, udah mau nikah, lalu mendadak begini, ya mau gimana..." jawab Hansen pelan, dan Oliv menatapnya kesal.

"Ya tapi lo harus tegas dong! Kalau putus ya putus, jangan biarin dia gangguin lo lagi!!"

"Ya maunya gue juga gitu."

Oliv berdecak, lalu duduk di sebelah Hansen.

"Mau gue bantuin biar lo lebih cepet move on?"

Hansen menoleh, dan menggeleng pelan.

"I can handle this."

"Ck. Belagu. Padahal kalau dikasih rayuan manja ala pulau kelapa juga klepek-klepek lagi."

"Gue nggak gitu."

"Mau taruhan? Ayolah, Han. Udah berapa kali selama sepuluh tahun ini lo tutup mata atas kesalahan Astrid, dan menganggapnya wajar? Gila, pas gue tahu alasan lo bubaran sama dia, gue bener-bener kesal, lho."

"Ya, emang gue nggak cukup kan, buat dia?"

"Itu karena dia emang perempuan nggak bener, dan lo deserve much, much better than her!!! Ayolah, si brengsek Sigit dan Theo aja pada akhirnya mendapat pasangan hidup yang Oh my God, baik banget, ya, terlepas dari gue pernah ribut sama dua-duanya, but still, mereka baik banget. Dua mantan bajingan itu nggak pantes dapetin istri mereka yang sekarang, tapi toh mereka bersama, dan super lovey dovey, sampai bikin sirik. Lo bisa nangkep maksud gue kan? Lo deserve better, Han. Seseorang yang bisa menghargai semua cinta lo dan memanfaatkan kebucinan lo untuk kalian berdua, bukan cuma demi keuntungan pribadi."

"Gue nggak bucin."

Oliv memutar bola matanya mendengar sanggahan Hansen.

"Lo bucin. Parah. Perlu gue sebutin satu-satu kebucinan lo?"

"Gue nggak bucin, Liv..."

"Lo bucin, Hans. Lo membiarkan Astrid ngatur jadwal kencan lo, dan lo yang harus ikutin jadwal dia, padahal lo jauh lebih sibuk dari dia. Eits jangan potong gue. Gue tahu lo nggak berani ambil banyak job karena dia ngeluh kan? Jangan bantah gue."

Hansen yang tadinya akan membantah langsung mengatupkan mulutnya lagi.

"Dia bahkan membuat lo beberapa kali membatalkan janji lo buat nemenin Acek* Wijaya check up, dan coba hitung berapa kali lo batal nganter atau jemput Acek* dan Ayi* Yeni ke bandara, karena dia mendadak telepon lo ngajak ketemu, dan ujung-ujungnya lo minta gue atau Sigit buat gantiin lo?" (*panggilan untuk pria atau wanita yang jauh lebih tua, semacam uncle dan aunty, dalam bahasa hokkian)

"Liv... Udah-"

"Lo juga milih kuliah di Jakarta, di Universitas Swasta, karena permintaan nenek lampir itu, yang takut LDR, padahal lo dapet di UGM, jalur non tes. Gila, lo emang bego banget, kesempatan sebagus itu lo lepas cuma demi si nenek lampir. Jangan potong gue, dan ngasih alasan nggak mau jauh dari Sigit. Buset, gue nggak sebego itu kali. Gue tahu Sigit, seegois-egoisnya dia, tapi nggak bakalan minta lo menghancurkan mimpi lo demi dirinya. Nggak kayak si L****. Cukup, nggak? Atau perlu gue ungkapin yang lain lagi? Gimana kalau gue ngomong soal kalian yang bertengkar, lalu siapapun yang salah, selalu lo yang nyamperin dan minta maaf duluan karena dia merajuk dan menangis? Atau soal dia bilang ke lo kalau dia nggak suka lo punya sahabat perempuan, dan lo mulai menjauhi gue, melarang gue ke rumah lo, padahal gue, GUE, dekat sama keluarga lo bahkan sebelum dia kenal lo?? And even worse, dia benci sama SEMUA SAHABAT LO, NGGAK CUMA GUE????"

"Liv.. Udah.."

"AND THEN, SHE SAID THAT YOU'RE NOT ENOUGH??? WHAT THE F***?!!"

"Technically, dia nggak ngomong gitu. Dia cuma bilang-"

"What?? Kamu nggak mau nurutin apa yang dia minta? Kamu nggak mau tidur sama dia???"

Hansen diam. Oliv jelas tahu kalau Hansen dan Astrid tidak pernah tidur bersama, karena itulah yang selalu menjadi bahan ledekan Sigit dan Theo.

Udah diperlakukan seenak jidat, tapi nggak pernah balik memanfaatkan. Benar-benar bucin.

"Arghhh!!! Kesel banget gue!"

Lalu tiba-tiba Oliv berbalik badan dan keluar dari kamar Hansen.

***

Oliv duduk di sebelah Ayu sambil memencet tombol pada remote TV, sibuk berpindah saluran, sementara Ayu bukannya ikut melihat TV, malah asik membaca e-book di tabletnya.

"Nggak ada film bagus," keluh Oliv, dan Ayu mengangkat wajahnya dari tab.

"Buka netflix aja, si Sigit langganan."

"Emang dia sempet nonton?"

"Nggak, buat gue nonton. Sendiri. Kalau ada dia mah, ganggu. Malah nggak bisa nonton tar," ucap Ayu santai, lalu kembali fokus pada tabletnya.

"Lo lagi kesel ya?" tanya Ayu tiba-tiba, tanpa mengalihkan pandangan dari layar yang sedang dia lihat.

"Kok lo tahu?"

"Tahulah. Lo menghela nafas berkali-kali, lebih dari dua puluh delapan kali sejak lo duduk di sebelah gue, yang artinya sejak setengah jam yang lalu."

"Lo ngitungin?"

"Cuma sampai dua lapan. Habis itu gue males. Banyak banget. Lima puluh kali ada, kali."

"Iya, gue kesel."

"Soal?"

"Hansen."

"Kenapa?"

Lalu Oliv menceritakan kejadian itu, dan Ayu yang sudah mengalihkan pandangan dari tablet ke Oliv, diam sampai Oliv selesai bercerita.

"Ya, gue nggak heran sih, kalau dia masih galau."

"Iya, gue paham lah kalau belum move on, tapi yang gue nggak suka, si nenek lampir itu masih bicara seenaknya ke Hansen lho, kayak pas mereka pacaran dulu."

"Lo juga benci sama Astrid? Kayak Sigit dan yang lain?"

"YA IYALAH!"

Ayu langsung menahan diri untuk tidak tertawa mendengar semburan Oliv.

"Gue diem selama ini, cuma karena gue mencoba menghargai keputusan Hansen buat sama Astrid. Dan gue sebenarnya udah berkali-kali mancing Hansen, dia yakin sama keputusannya atau nggak, tapi Hansen kan gitu, tambeng. Lagipula, nenek lampir kayaknya bikin dia bahagia, jadi what can I say?"

"Uneg-uneg lo akhirnya keluar juga, ya," ucap Ayu geli, dan Oliv mendengus.

"Gitu deh. Lo belum pernah ketemu nenek lampir itu kan?"

"Pernah, sekali. Hansen bawa ke premier film yang lo main berempat," kata Ayu kalem, dan Oliv mencibir. Film yang Ayu bicarakan adalah film kedua Hansen, yang sudah ditayangkan hampir empat tahun yang lalu.

"Lo nggak mungkin cuma dateng ke satu premier kan? Tapi lo cuma pernah liat dia sekali kan?" Ayu mengangguk, dan Oliv mendengus.

"Itu lagi satu hal yang gue nggak suka dari si nenek lampir. Hansen udah main hampir dua puluh film, dan konser berkali-kali, tapi kemunculan dia buat support Hansen itu masih bisa lo hitung pake jari tangan."

"Kok lo tahu? Lo ngikutin berita Hansen?"

Oliv mendengus makin keras.

"Nggak usah ikutin beritanya, laki lo udah cerita ke gue. Gue kan partner in crime-nya Sigit kalau udah urusan jelek-jelekin si nenek lampir."

Ayu tertawa.

"Emang kocak deh lo berdua. Pas bulan lalu, dia denger Hansen putus, yang dia lakukan pertama kali adalah ngumpulin gengnya buat party di sini. Kacau banget." Oliv ikut tertawa terbahak-bahak.

"Anyway, lo nggak cemburu kan sama kedekatan gue sama Sigit?"

Ayu menggeleng.

"Nggak, Sigit udah bilang ke gue kalau dia dari dulu nganggep lo kayak adek, dan lo juga nggak tertarik sama dia."

"Ya iyalah! Gila, bangsat bajingan kelas t-rex begitu- ups sorry, Yu. Lupa, itu udah jadi laki lo."

Ayu terbahak.

"Nggak apa, santai aja. Yang penting sekarang kan Sigit udah nggak gitu."

"Gue masih penasaran gimana bisa lo akhirnya nikah. Sumpah, gue nggak habis pikir, kok lo mau sih sama Sigit??"

"Nggak tahu juga. Gue sendiri terkejut," ucap Ayu santai, namun tetap saja dia bercerita pada Oliv.

Mendengarkan cerita Ayu dan menumpahkan uneg-unegnya membuat perasaan Oliv membaik.

Tidak mudah untuknya memiliki sahabat berjenis kelamin perempuan, karena tak banyak perempuan mau berteman dengannya secara tulus. Beban nama Barata, dan profesinya, membuat Oliv kesulitan membedakan mana manusia yang tulus, mana yang hanya ingin mengais keuntungan darinya.

Oliv merasa beruntung, saat persahabatannya dengan Ayu yang sempat hancur karena kebodohannya sendiri, terselamatkan.

Dengan sifatnya yang sangat baik dan tulus, ditambah lagi statusnya yang saat ini adalah istri dari salah satu sahabat prianya, Ayu adalah sahabat perempuan terbaik yang bisa Oliv dapatkan, dan dia mensyukurinya.

Tbc

Sorry for typos

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro