lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Theo mengetukkan jarinya di atas meja, sementara Sigit memutar pulpen di tangannya.

"Beatrix open casting, kan? Nggak mau coba kirim anak baru? Lumayan lho, kalau lolos."

"Yakin mereka udah siap? Lo kan tahu mulut Beatrix pas casting. Kalem-kalem, nyelekit."

"Ya, gimana mau jadi artis kalau mentalnya cupu? Dulu Bella aja gagal casting berkali-kali, dan lo bisa lihat dia sekarang, langsung ditawarin casting sama Mas Bambang, buat jadi pemeran utama. Kalau ada kemauan, pasti ada jalan, ya kan, Boy?"

Hening.

Sigit dan Theo yang daritadi asik berdiskusi berdua , baru menyadari kalau sedari tadi hanya tubuh Hansen yang bersama mereka, sementara pikirannya entah di mana.

Sigit dan Theo saling bertatapan bingung, lalu Sigit menyeringai, sebelum tiba-tiba mendekati Hansen dan mengecup pipinya keras.

Hansen yang terkejut karena diserang mendadak langsung melompat menjauh dari Sigit sambil memaki keras, membuat Sigit dan Theo tertawa terbahak-bahak.

"Anj**ng! Bang***! Cumi!"

"Dino, Elang, Flamingo," jawab Theo santai, dan Sigit ikut menjawab, "Gajah, Ikan, Jerapah. Giliran lo lagi, Boy."

"Najis! Kenapa malah jadi main pancasila lima dasar!!"

"Error banget lo. Sejak kapan main Pancasila lima Dasar kayak gini??" ledek Sigit.

"Tapi lo bisa-bisaan aja ngumpatnya kocak gitu. Kita kan jadi tergoda untuk melanjutkan," jawab Theo, dan Sigit terbahak, sementara Hansen kembali memaki.

"Lo kenapa melamun, Boy?" tanya Sigit setelah tawanya mereda.

"Gue nggak melamun."

"Kalau nggak, coba lo ulang apa yang lagi kita diskusiin kali ini."

"Err... Soal Bella yang main film horror?"

Theo dan Sigit melongo, lalu tertawa terbahak-bahak.

"Sejak kapan Mas Bambang bikin film horror?? Hahahahaha!!!"

Hansen memaki-maki dalam hati, namun membiarkan dua sahabatnya yang tega itu selesai tertawa.

Saat ini mereka berada di kantor manajemen artis yang mereka rintis bertiga, walaupun secara teknis, Theo yang bekerja penuh waktu di sini, karena Hansen masih disibukkan dengan tawaran iklan, film, dan pengisi soundtrack, sementara Sigit membagi waktunya antara pekerjaan mereka ini dan Petir, grup band tempatnya bernaung sebagai bassist.

"Lo mikirin apa sih, Boy? Lo nggak pernah sengawur ini pas kita rapat, kecuali saat minggu-minggu pertama lo putus sama perempuan itu."

"Nggak penting sih."

"Spill, Hans. We are waiting," ucap Theo, tahu kalau pada akhirnya Hansen akan menceritakan pada mereka juga jika sedikit ditekan.

Hansen menghela nafas, lalu pada akhirnya bercerita juga.

"Tempo hari, Astrid nelepon gue, dan Oliv yang angkat teleponnya."

"Dia masih sering nelepon lo?" tanya Sigit, dan Hansen mengangguk.

"Lo nggak pernah angkat teleponnya kan?" tanya Theo sambil menyipit curiga, dan Hansen menggeleng.

"Sesuai saran lo pada. Dan kemarin, pas gue denger suaranya, gue harus akui, kalian benar. Gue pasti bakal gagal total kalau berani ketemu dia dan membiarkan dia kembali nangis di depan gue. Kemarin aja pas gue denger suaranya, gue nyaris menyambar kunci mobil gue dan ke rumahnya."

"Like usual," kata Sigit sinis, lalu menatap Hansen tajam. "Sampai lo berani kembali sama dia, gue nggak mau kenal lo lagi, Boy. Selama sepuluh tahun gue bertahan karena dia sepertinya mencintai lo dan setidaknya membuat lo bahagia. Tapi setelah kejadian ini, gue nggak akan pernah membiarkan lo kembali pada nenek sihir itu. Over my dead body, Boy."

"Make it two. Lo musti hadapin gue juga kalau lo mau balikan sama perempuan itu," sahut Theo dengan wajah serius.

"Tapi bukan itu yang benar-benar mengganggu gue," kata Hansen, dan keduanya kembali fokus pada Hansen.

"Oliv marah sama gue."

Namun reaksi keduanya malah mendengus, dan langsung menjadi rileks.

"Itu mah lagu lama," ucap Sigit santai.

"Tapi jadi baru karena dia marah di depan Hansen, bukan cuma di depan kita," ucap Theo geli.

"Hah?"

"Yang paling mantap, pas dia marah gara-gara lo bilang sama dia, dia sebaiknya nggak main lagi ke rumah lo dan masuk ke kamar lo, karena perempuan itu nggak suka."

"Wah, gue nggak tahu yang itu, gue belum gaul sama kalian. Gue tahunya pas dia ngamuk gara-gara lo nggak keburu datang pas show pertamanya sebagai modelnya Anne Avantie gara-gara perempuan itu minta lo anter dia ke bandara buat dinas keluar kota, habis itu lo kena macet parah," kata Theo, dan Sigit manggut-manggut.

"Dipikir-pikir, banyak banget momen kita yang terlewat tanpa lo, gara-gara lo sibuk sama dia. Tapi tenang aja, Boy. Lo nggak separah si kembar, kok. Tapi mereka sibuk kerja, sementara lo sibuk diperbudak nenek sihir itu."

"Kalian membuat gue kedengaran seperti manusia brengsek."

"Brengsek sih nggak," jawab Theo. "Bego, iya."

"Sialan."

"Jadi, lo mau lakuin apa sekarang?"

"Maksudnya? Ke Oliv? Apa ke Astrid?"

"Oliv, lah. Ngapain lo urusin perempuan itu lagi??"

"Sumpah, Boy. Kali berikutnya lo jatuh cinta, tolong pilih perempuannya dulu sebelum lo jadi bego."

"Betul," timpal Theo. "Jatuh cinta sih jatuh cinta. Tapi elegan dikit, lah. Biarkan dia juga berjuang buat lo, bukan cuma lo yang jatuh bangun. Kalau hanya lo yang berjuang, itu bukan cinta namanya, dan ujung-ujungnya, lo balik lagi ke titik ini. Kayak gini lagi, gini lagi."

"Lingkaran setan. Gue dan Theo udah pernah mengalaminya, beda konteks, sih, tapi intinya sama, dan itu menyeramkan. Tapi saat kita berdua bisa lepas, dibantu sama pasangan kita tentunya, kita lega. Dan kita jadi seperti yang lo liat di depan lo sekarang, better than ever."

"Dan soal Oliv, lo harusnya lebih tahu sih, Hans. Lo sama dia kan udah sahabatan hampir dua puluh tahun. Anjir, gue baru sadar, lama banget ya."

Theo dan Sigit tertawa.

"Dan lo pernah naksir Oliv. Luar biasa emang," ledek Sigit, membuat Hansen mengernyitkan wajahnya kesal.

"Bisa nggak, nggak usah diungkit lagi?"

"Oliv tahu nggak?"

"Nggak, lah. Mana bisa gue temenan sama dia kayak begini kalau dia tahu gue pernah jatuh cinta sama dia. Bisa kabur tunggang langgang kali, dia," jawab Hansen kesal, dan baik Sigit maupun Theo menyemburkan tawa.

"Terus sekarang, perasaan lo ke dia masih ada?"

Hansen menggeleng mantap. Tapi Sigit menatapnya sambil menyeringai.

"Tapi lo tahu kan, yang namanya cinta pertama nggak pernah terganti?"

"Ya emang. Selamanya dia akan punya posisi itu. Cinta pertama. Tapi nggak semua orang dapet berkah itu, kali, bisa bersama dengan cinta pertamanya, kayak lo dan Theo," jawab Hansen lugas, dan Theo mengangguk setuju.

"Ya, gue setuju. Tapi masa depan nggak ada yang tahu."

"Lo jangan bikin gue mikir macem-macem, deh."

"Nggak macem-macem, kok. Satu macem doang."

"Gue nggak berpikir begitu soal Oliv. Lagipula, gue belum sanggup lupain Astrid."

"Lo tahu," ucap Sigit, tiba-tiba serius. "Kita akan senang banget kalau lo bisa sama Oliv aja. Tapi kita nggak maksa. It depends on you. Dan asal lo tahu, Boy, kalau lo berani nyakitin Oliv, kita nggak akan tinggal diam. Nggak peduli lo sahabat kita."

"Yup, that's true," angguk Theo.

"Nggak lah, nggak usah khawatir. Gue sama Oliv sahabatan, selamanya bakal gitu," sangkal Hansen yakin.

Walaupun dia berhasil move on dari Astrid, dia tidak mungkin bersama Oliv. Sama seperti dulu.

***

Oliv berubah, tapi Hansen tidak tahu kenapa. Setelah pulang dari toko roti, mereka berjalan beriringan menuju rumah Hansen, dan Oliv tidak menggandengnya lagi seperti biasa, membuat Hansen entah harus merasa lega atau kehilangan.

Oliv masih mengajaknya ngobrol dengan gayanya yang ceria seperti biasa, bahkan di depan orangtuanya pun, Oliv bersikap seperti biasa. Tapi Hansen entah kenapa merasa ada hal yang berbeda.

Dan keanehan Oliv semakin menjadi, saat tiba-tiba Oliv datang, tiga minggu kemudian, di hari biasa, dengan pakaian bebas, ke rumahnya.

"Ayi Yeni!!!" panggil Oliv keras, begitu masuk ke rumah Hansen, yang sudah seperti rumahnya sendiri. Hansen yang baru saja pulang sekolah, mengintip dari balik pintu kamarnya, dan mengernyit saat melihat Oliv, yang juga langsung menengok ke arahnya, menatapnya terkejut, namun dengan cepat raut wajahnya kembali sumringah.

"Hansen!!!"

Oliv berjalan cepat ke arah kamar Hansen, yang secara otomatis mundur dan membiarkan Oliv masuk ke kamarnya.

"Kok kamu nggak pakai seragam? Pulang cepat lagi?"

Oliv menggeleng, tiba-tiba wajahnya berubah sendu, namun hanya sebentar. Dalam sekejap mata, wajahnya kembali sumringah.

"Aku akan pindah sekolah."

"Pindah? Ke mana?"

"Malaysia."

***

Semua penjelasan Oliv rasanya berdengung di telinganya.

Oliv mau pindah?

Pindah?

"Kenapa Malaysia?"

"Ih," gerutu Oliv kesal, sambil mencubit tangan Hansen. "Daritadi aku ngomong nggak didengerin. Aku diajakin sepupu aku buat sekolah bareng di sana. Kata Mami itu juga bagus buat aku. Aku bisa lulus lebih cepat, belajar mandiri juga, soalnya aku tinggal di dorm."

"Belajar mandiri kan nggak harus pindah keluar negeri."

"Kalau di sini, aku nggak akan bisa belajar mandiri. Aku pasti bakal tetap manja pada Mami Papi, kedua abangku, dan kamu."

"Aku nggak keberatan dengan sikap kamu."

Oliv menunduk, wajahnya sontak memerah.

"Ta-tapi aku yang keberatan. Aku pasti nyusahin kamu."

"Kamu nggak nyusahin."

Oliv mengangkat wajahnya, menatap Hansen dengan matanya yang berbinar dan wajah merona.

"Aku- harus mencari Papa mama kamu. Aku mau pamitan, terus pulang buat lanjut packing."

"Kapan kamu berangkat?"

"Lusa."

***

Hansen mengetuk pintu rumah Oliv, merasa asing karena sudah lama sekali dia tidak pernah lagi datang ke sini. Sejak Oliv pindah ke Malaysia, atau sejak dia pacaran dengan Astrid?  Hansen tidak ingat.

Seorang pelayan membukakan pintu dan sedikit terpana saat melihat Hansen Putra berdiri di depan pintu rumah.

"Olivia ada?"

"Ap-apakah sudah ada janji?" tanya pelayan itu, yang walaupun terpesona dengan penyanyi Ballad tanah air itu, tetap berusaha menjalankan pekerjaannya dengan profesional.

"Tolong bilang padanya, Hansen datang."

"Sebentar."

Pelayan itu kembali menutup pintu, mungkin menghubungi Oliv, dan Hansen dengan sabar menunggu.

Tak lama kemudian, pintu membuka, dan wajah Oliv yang muncul.

"Ngapain lo datang?" tanyanya ketus, dan Hansen langsung salah tingkah.

"Err, lo masih doyan cream susu, kan? Yuk."

"Ke?"

"Bloom Cafe."

"Ngapain lo ngajakin gue ke sana?"

"Makan kue cream susu, menu barunya Flo. Yuk. Lo pasti suka."

Oliv mengernyit, lalu menimbang-nimbang, sebelum mengangguk.

"Gue ganti baju dulu."

"Nggak usah. Udah rapi."

Oliv mengernyit, menatap tampilannya sendiri. Kaus oversized bergambar merk olahraga dengan tiga garis miring, ditambah celana training panjang yang membungkus kakinya dengan pas.

"Gue kucel."

"Lo nggak kucel. Tapi kalau lo merasa perlu ganti baju atau apapun itu, ya udah, gue tungguin."

Senyum Oliv mengembang.

Ini salah satu hal tidak lazim yang dia sukai dari Hansen, yaitu bahwa Hansen paham kalau Oliv sama sekali tidak senang keluar rumah tanpa persiapan.

Hellowww... Oliv kan model terkenal, ditambah lagi nama belakangnya yang super mentereng, membuatnya kehilangan banyak privasi dalam hidupnya. Dia tidak akan pernah rela memberi celah pada media untuk mengkritiknya , apalagi soal penampilan.

Oliv bukan perempuan yang senang dengan kata-kata 'wanita itu cantik apa adanya'. Dia justru senang jika sang pria mengerti kalau dia memang senang tampil cantik dan maksimal. Minimal no-makeup make up, lah. Atau make up minimalis.

Tampilan polosnya, yang Oliv tahu, juga cantik, tentu saja, tidak sembarangan diperlihatkannya pada orang lain. Hanya keluarga intinya, pelayan di rumahnya, dan para sahabatnya, yang pernah melihatnya bare face seperti ini. Oh ya, dan tukang make up-nya, tentu saja.

Tapi kalau main film, lain cerita. Itu kan tetap permainan make up, walaupun misalnya dia dituntut harus tampil kucel. Intinya, no bare face everywhere outside the house.

"Ya udah, masuk deh. Bentar ya."

Oliv berbalik dan mempersilakan Hansen duduk di sofa ruang tamu, sementara dirinya berbalik menuju kamarnya yang berada di lantai dua.

Dengan cepat Oliv memulas wajahnya, efek latihan selama bertahun-tahun, lalu mengenakan jeans panjang dan blus cantik berwarna cream, lalu menyisir rambutnya dan menjepitnya dengan jepitan cantik berhias mutiara.

Sempurna.

Oliv turun menghampiri Hansen yang ternyata ditemani oleh dua keponakannya yang manis, Maisie dan Marlo.

Marlo menatap Hansen dengan bingung campur takut, terus bersembunyi di belakang Maisie yang tumbuh persis seperti sang ayah yang sedikit tengil dan memikat, asik mengajak Hansen bicara, atau lebih tepatnya, menginterogasinya.

"Jadi Om temannya Aunty Oliv?"

"Iya. Siapa nama kamu?"

"Maisie, dan ini Marlo."

"Umur berapa?"

"Aku delapan. Marlo lima. Kalau Om umur berapa?"

"Dua puluh delapan. Maisie udah sekolah dong?"

"Udah, Om. I'm grade 2."

"Oh.."

"Om pacarnya Aunty Oliv ya?"

Hansen terkekeh pelan.

"Bukan."

Maisie mengerutkan keningnya, tampak berpikir.

"Nama Om siapa? Kayaknya aku pernah lihat muka Om."

"Hansen."

"OH!!!!" seru Maisie tiba-tiba, membuat adiknya terlonjak kaget, namun Maisie tidak menyadarinya.

"Hansen Putra ya??? Yang penyanyi itu?? Yang friendzone Aunty Liv sejak SMP-"

"AAAAAAAAAAA!!!!" seru Oliv buru-buru, dan menutup mulut keponakannya yang bawel itu, sambil mengutuki sang abang.

Di rumah mereka, memang hanya Hari, abang tertuanya, yang masih suka meledeknya tentang Hansen, sampai saat ini. Maisie pasti mendengar setiap kali Hari meledeknya.

"Maisie, kamu ajak Marlo mandi gih, sebentar lagi Aunty Nina datang menjemput kalian kan?" ucap Oliv mengingatkan Maisie, dan Maisie langsung sumringah.

"Iya." Lalu Maisie berbalik menghadap Hansen.

"Aku dan Marlo pamit dulu, om Ganteng. Sampai ketemu lagi."

Hansen melambaikan tangannya sambil terkekeh geli melihat kedua anak kecil itu bergandengan tangan menaiki tangga.

"Keponakan lo mirip banget sama lo."

"Hah?"

"Cantik, berani, percaya diri, bawel. Mirip banget."

"Gue nggak se-pede Maisie, sih."

"Bohong banget. Gue inget banget, baru tiga kali lo main ke rumah gue di Medan, lo udah berani ngajak ngobrol abang gue dan bilang dia ganteng."

"Ya, emang Bang Hira ganteng. Gue kan ngomong kenyataan."

"Jadi lo kecewa pas Bang Hira nikah?"

Oliv menoleh pada Hansen, dan menggeleng pelan.

"Bang Hira memang ganteng, tapi gue nggak pernah punya perasaan apa-apa sama dia. Lagipula dia kan abang lo, otomatis dia abang gue juga."

"Gue kirain lo naksir abang gue."

"Nggak pernah, sumpah."

Hansen menepuk dan mengacak rambut Oliv lembut,  sambil tertawa.

"Iya, iya, gue percaya."

Seandainya lo tahu siapa yang dulu gue taksir, mungkin lo bakal lari tunggang langgang, Hans, batin Oliv.

Tbc

Sorry for typos

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro