enam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Gue harap lo nggak menganggap serius kata-kata Maisie."

Hansen memindahkan persneling, melirik Oliv sekilas sebelum kembali fokus pada jalanan di hadapan mereka.

"Apaan? Ah, soal friendzone?"

"Ya. Bang Hari dari dulu emang suka ngeledek gue karena dekat sama lo. Katanya bullshit kalau cewek-cowok bisa temenan dekat kayak kita tanpa salah satu naksir. Sementang-mentang dia sama kak Mitha kayak gitu. Dia kan ajak Kak Mitha temenan supaya bisa dimodusin," gerutu Oliv pelan, menyebut nama abang dan kakak iparnya, dan Hansen merespon dengan tawa pelan.

"Hmm.. Sama lah dengan Mama gue, dulu suka banget nanyain kapan kita jadian," kata Hansen, dan Oliv ikut tertawa.

"Anyway, lo nggak mungkin ngajak gue keluar cuma demi nyobain cream susu kan?"

"Err.. Actually, gue mau minta maaf."

"Hah? Minta maaf buat apa?"

Percakapan mereka terputus saat mobil Hansen masuk ke parkiran Bloom Cafe. Begitu mobil terparkir sempurna, Hansen melepas seatbelt dan menatap Oliv, tanpa mematikan mesin mobil.

"Gue baru menyadari, selama kita bersahabat dua puluh tahun ini, gue ternyata sahabat yang buruk ya."

Oliv menelengkan kepalanya, menatap Hansen dengan kedua matanya yang tergolong cukup besar itu.

"Nggak juga. Kecuali saat lo dibucinin Astrid dan menjauh dari gue, overall lo sahabat cowok terbaik yang gue punya. Lo kenapa dah, tiba-tiba ngomong begini?"

"Kemarin, saat lo marah sama gue, gue baru berpikir, dan gue sadar, gue bersikap nggak adil sama lo."

Oliv terdiam, dan menegakkan kepalanya, namun tetap memandang Hansen.

"Gue minta maaf,  Liv."

"Asal lo janji nggak bakal balikan sama wanita jalang itu."

"Gue janji. Maka dari itu, gue perlu bantuan lo."

"Bantuan apa?"

***

Hansen membuntuti Oliv yang berjalan cepat di depannya memasuki Bloom Cafe, membuat beberapa kepala secara otomatis menatap mereka karena penasaran dan mengenali mereka berdua.

Oliv berhenti di depan meja display dan tersenyum lebar mengenali salah satu pegawai di sana.

"Lho? Adit kan?"

Adit menoleh dan melotot terkejut saat melihat Oliv.

"Mbak Olivia Barata!! Ya ampun, Mbak masih ingat saya??"

"Ingatlah. Apa kabar? Masih betah kerja di sini?"

"Masih, Mbak. Mbak makin cantik aja. Kapan kembali dari US?"

"Beberapa minggu yang lalu."

Oliv mengobrol sebentar dengan Adit, dan menyapa karyawan di sana dengan ramah, sementara Hansen berdiri di sampingnya.

"Katanya kalian ada menu baru? Kue cream susu?"

"Iya, Mbak, ada. Sebentar, saya tanyakan ke dapur dulu ya. Sepertinya Mbak Flo lagi manggang."

Oliv membulatkan matanya karena terkejut.

"Flo bukannya lagi hamil besar??"

Adit meringis.

"Mbak Flo mah, hamil nggak hamil, kayak nggak hamil, Mbak. Kalau nggak liat perutnya, nggak bakal ada yang percaya dia hamil. Sebentar ya, Mbak. Eh, halo Mas Hansen. Tumben datang nggak bareng Mas Theo. Duduk dulu aja, Mbak, Mas."

Oliv dan Hansen memperhatikan Adit yang masuk melewati pintu ke arah dapur, dan menunggu.

Tak lama, Flo, istri Theo sekaligus pemilik Bloom Cafe keluar dari dapur dengan pakaian kerjanya, dan menatap Oliv dan Hansen tidak percaya.

"Hai, Flo," sapa Oliv canggung. Namun dia bergerak mendekati Flo, dan memeluknya.

"Lama nggak ketemu, Liv. Gimana kabar kamu?"

"Baik."

Oliv melepas pelukannya, dan menatap Flo.

"Aku berutang maaf ke kamu, karena berusaha menjebak Theo dengan gosip-"

Flo menggeleng pelan, memotong ucapan Oliv.

"Udah lewat ini. Aku juga salah, bersikap egois padahal aku tahu perasaan kamu."

"Well, jadi aku dimaafkan?"

"Tentu saja. Apa aku dimaafkan?"

"Tentu saja," ucap Oliv sambil terkekeh pelan, diikuti Flo.

"Kata Theo, anak kedua ya, Flo?" tanya Oliv sambil melirik perut Flo yang menonjol, dan mengernyit.

"Bukannya kamu nunggu due-date? Kenapa perut kamu kayak baru hamil empat-lima bulan???"

"Nggak tahu," ucap Flo sambil tertawa. "Pas pertama kali aku hamil, perut aku juga mentok segede ini doang."

"Dih, aku pengen banget kayak kamu. Seriusan, kalau nggak liat perut kamu, aku nggak bakal nyangka kamu lagi hamil."

"Kamu kayaknya bisa sih. Tar kalau hamil, ke dokter Kendra aja. Gizi kamu diurusin secara detail, jadi maksimal untuk baby-nya, dan nggak bikin mommy-nya menggentong parah."

"Oh, kamu ke dokter kandungannya kak Nina juga ya? Iya sih, dia sepertinya oke."

"Banget. Anyway, kamu datang sama Hansen? Berdua?" tanya Flo sambil melirik ke belakang Oliv.

"Iya. Aduh jangan ditanya deh, Flo. Aku lagi bete sama dia."

Flo tertawa pelan. Dia tentu tahu cerita dua belah pihak. Walaupun ada beberapa hal yang Theo tidak ceritakan pada Flo karena 'rahasia para pria' tapi Flo jelas tahu kalau Hansen dan Astrid sudah putus, serta alasannya. Kedekatannya pada Nina membuat Flo tahu kalau Oliv dan Hansen sudah bersahabat sejak kecil, dan ledekan Bang Hari jelas pernah dia dengar, karena Bang Hari kadang suka meledek Oliv tanpa tahu tempat. Itu juga sebabnya Maisie bisa sampai tahu tentang istilah friendzone yang Bang Hari sematkan untuk dua manusia ini.

Tapi Flo tidak akan berasumsi macam-macam.

"Kata Adit kamu mau coba kue cream susu?"

"Iya. Hansen bilang itu menu baru kamu."

"Iya. Ya sudah, duduk gih, nanti aku minta Adit antarkan."

"Kamu masih sibuk ya? Nggak mau gabung sama kita?"

Flo menggeleng pelan.

"Aku harus pulang. Seharusnya aku sudah nggak boleh datang kerja, tapi ada masalah sedikit di dapur. Lagipula, sepertinya Hansen ingin bicara berdua denganmu."

Oliv ikut menoleh, dan melihat Hansen masih asik melihat-lihat meja display, dan mendengus.

"Dia mah ada maunya doang."

Flo tertawa kecil.

"Nanti, main-main ke rumah ya."

"Pasti. I want to meet your oldest. Katanya cewek ya?"

Flo mengangguk.

Mereka bercakap-cakap sebentar, lalu Flo pamit untuk berganti pakaian, dan Oliv kembali menghampiri Hansen.

"Yuk duduk."

"Mmm.."

Hansen mengikuti Oliv yang duduk di salah satu pojok kafe, dan mengambil tempat di hadapannya.

"Jadi, bisa kita lanjutin pembahasan yang tadi?"

Oliv bersidekap mendengar pertanyaan Hansen.

"Tolong bilang sama gue, lo becanda."

"Gue serius."

Oliv berdecak.

"Lo yang bener aja. Masa minta gue bantuin lo soal ini??"

Hansen menatap Oliv bingung.

"Bukannya kemarin lo yang nawarin ke gue buat bantuin gue move on?"

"Ya itu kan kemarin."

Itu jelas ide impulsif yang tercetus begitu saja, karena melihat Hansen yang merana. Tapi setelah berpikir dengan jernih, Oliv tahu, dia hanya menggali lubang kuburnya sendiri dengan membantu Hansen move on.

Kalau dia balik naksir Hansen, bisa gawat.

Sudah kayak kaset rusak. Ulang terus nggak berhenti-berhenti. Tapi yang mendengar sampai eneg saking nggak enaknya.

"Ayolah, Liv. Gue juga mau move on, kayak lo."

Oliv menatap wajah Hansen yang tampak lelah, dan mendadak jatuh iba.

"Segitu beratnya ya?"

"Menurut lo, setelah sepuluh tahun, emang bisa segampang itu?"

"Ya, nggak sih.."

"Hati gue masih berteriak menginginkan dia, tapi logika gue berteriak jangan. Apalagi kalian semua juga menentang gue buat balik sama dia."

Lalu Hansen menarik nafas panjang.

"Gue nggak mau kembali sama Astrid, Liv. Tapi gue masih cinta sama dia. Lalu gue sadar, gue emang butuh bantuan kalau gue mau move on."

Oliv mengernyit dalam. Ingin menolak, tapi wajah Hansen kelihatan menyedihkan. Lalu Oliv menghela nafas kesal.

"Aduhhhh, lo mah. Gue kan jadi nggak bisa nolak kalau ekspresi lo kayak gini!"

"Jadi mau ya?"

"Emang lo ngasih gue pilihan?"

"Nggak," jawab Hansen sambil nyengir, dan Oliv kembali menghela nafas panjang.

"Gue jadi merasa hierarki gue dalam hidup lo lebih rendah dari Sigit."

"Nggak dong," ucap Hansen sambil mengaduk jus wortelnya. "Lo sama Sigit beda. Dia sahabat cowok gue, dan lo, yah, pokoknya beda lah."

Lalu Hansen mengangkat wajahnya dan menatap Oliv.

"Jadi, gimana cara lo move on waktu di US?"

Oliv menghela nafas panjang sebelum menjawab.

"berteman, kencan, kerja, jalan-jalan, macem-macem. Gue mengambil waktu gue sebanyak mungkin untuk diri gue sendiri, melakukan yang gue mau dan gue suka, membuka diri dengan relation baru, mengenal lebih banyak hal. Gitu."

Ini dia masalahnya. Oliv tidak yakin sanggup untuk membantu Hansen di bagian ini.

Mengenalkan Hansen dengan relation baru? Bisa-bisa Oliv malah gigit jari melihat Hansen pedekate dengan cewek baru.

Dia lebih memilih kenal perempuan pacar baru Hansen saat dikenalkan oleh Hansen, tanpa harus berinteraksi banyak dengan perempuan itu.

Itu semua dia lakukan untuk meminimalisir rasa sakit hati karena Hansen memilih perempuan itu, dan tidak pernah meliriknya sama sekali. Sudah dia terapkan saat Hansen bersama Astrid, dan cukup berhasil.

"Great," jawab Hansen. "Kayaknya gue bisa lakuin itu semua bareng lo. Bantuin gue ya, Liv."

"Maksud lo??"

***

Kali ini Oliv benar-benar ngambek.

Oliv mendiamkan Hansen sepanjang perjalanan kembali ke rumahnya, dan hanya menggumamkan terima kasih sebelum turun dan masuk ke rumahnya tanpa memedulikan Hansen yang buru-buru mematikan mesin mobil dan menyusul Oliv.

Baru saja Oliv dibukakan pintu oleh ART-nya dan melangkah masuk, tangan Hansen menahannya, membuatnya menoleh.

"Apa??" tanyanya judes, dan Hansen menatapnya dengan wajah memelas.

"Jangan marah, Liv.."

"Gue nggak marah!"

"Kalau lo nggak marah, lo pasti mau nolongin gue."

"Nggak mau! Gila ya lo??"

"Ayolah, dulu kita juga sering kan pergi berdua doang-"

"Dulu, sebelum lo sama nenek sihir itu, which means, sepuluh tahun lebih. Sekarang gue nggak mau. Gimana kalau kita digosipin bareng?? Lo baru putus, Hans! Kita bisa jadi sasaran empuk kalau keluar bareng terus. Kita udah besar, Hans. Lo nggak bisa nyamain kondisi kita seperti dulu, saat yang kita pusingin cuma peer matematika yang sejibun, dan rumus fisika yang suka muter-muter!"

"Gue nggak keberatan. Malah bagus kalau dia dengar kita deket," jawab Hansen cepat, "tapi ceritanya beda kalau lo yang keberatan, karena ada cowok lain yang lo suka. Lo nggak ada pacar di US kan?"

"Nggak ada, lah! Tapi-"

"Bantuin gue ya, Liv. Please.."

"Udah, bantuin aja. Kasihan Hansen udah sampai mohon-mohon gitu. Emang minta dibantuin apa sih?"

Mereka berdua sontak menoleh, lalu melihat Hari dan Mitha Barata berjalan mendekati mereka, dengan Marlo di gendongan Hari, dan Maisie menggandeng tangan Mitha.

Hari tersenyum lebar, melirik tangan Oliv yang masih berada dalam genggaman Hansen, lalu menyapa Hansen.

"Bang Hari, Kak Mitha," sapa Hansen.

"Halo, Hans. Lama nggak liat kamu main ke rumah. Dengar-dengar, kamu udah putus dengan pacar kamu ya?"

"Iya, Bang."

"Oh. Sering-sering datang main deh, kan sekarang Oliv juga udah pulang dari US."

"Iya, Bang."

"Apa kabar Hira? Masih di Bali?"

"Masih, Bang. Betah katanya. Kata Bang Hira lebih suka anaknya besar di Bali daripada Jakarta."

"Mau ke mana, Bang?" tanya Oliv, bahkan sama sekali tidak menyadari kalau Hansen belum melepas tangannya.

"Bawa mereka ke dokter Lusi, check up rutin," jawab Hari, menyebut nama dokter anak langganan mereka. Lalu kembali melirik tangan mereka yang bertautan dan tersenyum geli.

"Mau sampai kapan pegangan tangan begitu?"

Oliv dan Hansen menoleh ke arah pandangan Hari, dan buru-buru saling melepaskan diri, keduanya langsung salah tingkah.

Maisie langsung menyeletuk, "Aunty Liv dan Om Ganteng saling suka ya?? Pacaran aja. Kata Oma, kalau suka, harus dikatakan, bukannya dipendam."

Mitha dan Hari langsung melotot, sementara wajah Oliv sudah memerah.

"Kamu nguping pas om Gerry curhat ke Oma tadi ya??"

"Bang, seriusan, lah. Abang musti berhenti ngeledekin aku depan Maisie..."

"Ya ampun, anak ini kenapa mirip banget sih sama kamu," ucap Mitha pelan.

"Ya udah, kita jalan dulu ya. Sorry buat celetukannya Maisie. Jangan diambil hati. Maisie, nanti Papi harus bicara sama kamu, berdua," ucap Hari tegas, lalu dia membawa keluarga kecilnya meninggalkan Oliv dan Hansen, sementara Mitha melempar pandangan penuh maaf kepada mereka berdua.

Sepeninggal mereka, Hansen dan Oliv masih berdiri di tempat yang sama dengan canggung.

Cukup lama keheningan yang canggung melingkupi mereka, sebelum akhirnya Oliv tertawa pelan, tawa yang canggung lolos dari bibirnya.

"See? Bakal habis kita dengan gosip kalau sampai mau balik sedekat jaman kita SD-SMP, Hans. Ponakan gue aja mikirnya kayak gitu, apalagi orang lain."

"Actually," ucap Hansen pelan, "gue nggak keberatan, karena itu lo."

Oliv mengangkat wajahnya, dan matanya bertemu dengan mata Hansen yang menatapnya lekat.

Jantungnya dengan tidak tahu diri, mulai berdebar kencang.

Apa maksud Hansen berkata seperti itu?

Apakah-

"Kita udah temenan nyaris dua puluh tahun, Liv. Sedekat apapun kita, gue yakin lo nggak ada rasa sama gue. Sama kayak dulu. Sekarang juga."

Oliv menganga.

Dan dalam hitungan detik, tangannya sudah bergerak menggampar wajah Hansen.

"LO KIRA GUE BATU, YANG KALAU DIPERLAKUKAN BEDA NGGAK BISA BAPER?? GUE NGGAK NYANGKA KALAU LO, BENERAN SEKARANG, JADI BRENGSEK BEGINI! BANGSAT LO, HANS!"

Lalu tanpa memedulikan Hansen yang terkejut, Oliv berbalik, dan meninggalkannya sendirian.

Tbc

Ya, Hansen si bucin yang bodoh. Emang kok 😅

Oliv emosian dan baperan? Emang.

Ya, mereka berdua emang kacau.

Sorry for typos.

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro