Tiga Puluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ok, see you next thursday."

Oliv dan Ayu langsung berbaring telentang sambil mengatur nafas begitu instruktur yoga mereka keluar dari studio.

"Perasaan gue doang apa hari ini emang capek banget?" keluh Ayu, terengah. Oliv mencebik.

"Masa? Gue malah ngerasa Kayla hari ini pilih kasih sama lo. Gue practically disiksa, tapi lo kayak super chill," keluh Oliv, menyebut nama instruktur mereka, dan Ayu tertawa.

"Lo nggak diet kan hari ini? Brunch, yuk. Gue traktir deh," ajak Ayu.

"Boleh, ayuk. Mentang-mentang baru gajian, ya?" ledek Oliv, membuat Ayu kembali tertawa.

"Diam lo, manusia yang menggaji gue." Oliv ikut tertawa.

Ketika tawa keduanya mereda, studio itu dilingkupi keheningan yang anehnya terasa menenangkan untuk keduanya. Mereka hanya berbaring, menatap langit-langit studio yang berupa cermin, sehingga mereka masih bisa melihat ekspresi masing-masing. Hanya dengung pendingin udara mengisi keheningan diantara mereka selama beberapa saat itu, sebelum Ayu memecah keheningan dengan kembali mengajaknya bicara.

"Tar malam lo jadi screening?"

"Jadi. Lo beneran nggak mau ikut?"

"Nggak. Gue lagi jadi bayi belakangan ini. Jam 7 udah ngantuk."

Oliv tergelak.

"Jadi bayinya Sigit, ya? Cie, baby-daddy."

Ayu ikut tertawa.

"Sialan. Nggak, ya. Eh, lo perginya diantar Bang Bagas?"

"Hmm ... Kayaknya nggak. Hansen bilang, dia sempat jemput gue. Kenapa? Lo takut gue kesambet, nyetir sendiri malem-malem?" tanya Oliv dengan nada bercanda, namun Ayu menatapnya dengan raut serius.

"Lo dijemput Hansen? Pulang sama dia juga?
Masalah lo berdua udah beres berarti? Atau jangan-jangan ... Udah jadian, ya?"

Oliv nyengir lebar, wajahnya merona.

"Udah."

Ayu langsung duduk, dan menimpa Oliv untuk memeluknya, yang dibalas Oliv sambil tertawa.

"Congratulation, Liv."

"Thank you, Yu. Jadi sekarang lo selain jadi bayi, jadi koala juga?" ledek Oliv, terang-terangan meledek ukuran Ayu yang jauh lebih mungil darinya, tapi lebih berisi. Posisi mereka sekarang bisa diibaratkan koala yang sedang memeluk dahan pohon.

Ayu tertawa kencang. Dia menjauh dari Oliv, lalu duduk di sebelahnya. Oliv pun ikutan bangun, duduk bersila di sebelah Ayu, menghadap ke arahnya.

"Lo happy sama dia?"

"Gue... Happy," jawab Oliv, wajahnya merona. Ayu tertawa pelan. Tentu saja melihat ekspresi Oliv, Ayu sudah tahu jawabannya. Tapi mendengarnya sendiri dari Oliv membuat Ayu merasa lebih yakin dan lebih tenang. Oliv-nya bahagia.

"Baguslah. Lo sekarang sama dia gimana? Ada bedanya dengan waktu tempo hari pas dia masih ngejar-ngejar lo?"

"Gue masih berusaha menyesuaikan diri dengan status baru ini, sih. Dia beda banget dengan Hansen yang gue kenal selama ini." Oliv semakin merona. "Dari dulu gue tahu dia bucin tolol, hanya saja dulu gue cuma jadi pengamat, sekarang gue objeknya. Seriusan, gue sampai bingung. Ini dia lagi sibuk, tapi dia pasti chat gue tiap hari minimal tiga kali. Dia yang sibuk, lho, bukan gue. Kurang bucin apa coba?"

Ayu tidak bisa menahan diri untuk terbahak.

"Gila, padahal gue sering banget dengar Sigit ngatain Hansen bucin, tapi pas lo yang ngomong, kenapa kedengaran lucu ya?"

"Sialan."

Tangan Oliv otomatis mengarah ke Ayu, ingin memukulnya pelan. Namun Ayu otomatis beringsut menjauh dan melindungi perutnya.

"Woi, tangan lo hati-hati. Ntar kena ponakan lo," tegur Ayu sambil tergelak.

"Ups, sorry kebiasaan - hah? Apa?"

Oliv langsung melotot, matanya bolak balik antara wajah Ayu dan perutnya yang masih rata.

Dia tidak salah dengar kan?

"Lo hamil?!"

Ayu nyengir lebar. Dia ikut duduk, dan dengan wajah semringah, mengangguk.

"Gue baru cek beberapa hari yang lalu sih, jadi belum sempat ngabarin lo."

Oliv langsung bergerak memeluk Ayu dengan semangat.

"Anjir! Akhirnya gue punya ponakan baru! Kita harus mulai beli baju buat anak lo, biar jadi fashionista! Anak lo cewek apa cowok?"

Ayu memukul Oliv.

"Gue baru hamil enam minggu, bego. Anak gue aja masih belum berbentuk, mana tahu dia cewek apa cowok?"

"Oh iya, perut lo masih belum kelihatan. Eh, tapi emang lo boleh olahraga?"

"Boleh, dong. Kata dokter gue, dia sehat. Gue disaranin untuk beraktivitas kayak biasa aja, asal jangan kecapean. Jadi gue kasih tahu Kayla deh, biar hari ini dia kasih gue yang ringan-ringan aja."

"Hah? Jadi Kayla udah tahu lo hamil?"

Ayu kembali mengangguk.

Oliv langsung menjauh dari Ayu, matanya menatap Ayu penuh rasa terkhianati.

"Oh, gitu. Jadi Kayla tahu duluan. Oke, cukup tahu."

"Lho, lo ngambek?"

"Menurut lo?"

"Ada-ada aja lo, Liv."

"Rayu dong, biar gue nggak ngambek lagi. Bilang gue sahabat lo yang terbaik sedunia, gitu. Atau janjiin gue jadi aunty paling cantik buat anak lo, boleh juga."

Ayu tertawa ngakak.

***

Ayu menepati janjinya, menraktir Oliv brunch di salah satu restoran di daerah Senopati. Oliv, yang belum harus jaga makan lagi, memilih breakfast set dengan avocado toast dan egg benedict yang begitu dibelah, kuning telurnya lumer dan menggugah selera. Ditambah potongan bacon yang digoreng dan kelihatan sedikit berminyak dan sangat wangi, membuat Oliv mengerang nikmat di tiap suapan.

"Lihat lo makan, sumpah gue nyesel nggak pesan yang sama kayak lo. Enak banget kelihatannya, Liv. Lo harusnya jadi food blogger aja, dibanding model. Viral ntar, semua tempat yang lo kunjungin, kalau lo makannya nikmat gini," komentar Ayu sambil tertawa.

"Ini namanya menghargai makanan enak, Yu," respon Oliv sebelum menyuap sepotong roti ke mulutnya lagi.

Ayu, sebaliknya. Dia memesan semangkuk salad dengan potongan ayam panggang. Takut eneg, katanya.

Keduanya makan sambil mengobrol macam-macam, menikmati quality time di antara mereka.

Oliv baru saja memesan tambahan pencuci mulut, saat dua sosok yang dia kenal baik muncul dari arah pintu masuk. Oliv langsung menoleh pada Ayu yang tersenyum lebar tanpa merasa bersalah.

"Ngapain laki lo ke sini sama Hansen?"

"Dia tanya gue lagi di mana, terus gue kirim foto makanan lo. Ngiler dia."

Sigit tersenyum lebar saat menghampiri istrinya, lalu menunduk untuk mengecup keningnya sebelum mengambil tempat di sebelahnya.

Oliv sendiri, pandangannya sudah teralihkan oleh pria yang berjalan lurus ke arahnya sambil tersenyum.

Ganteng banget, pacarnya siapa, sih?

"Hai," sapa Hansen, otomatis menundukkan kepalanya dan mengecup kening Oliv lembut, lalu duduk di sebelahnya.

"Kok ke sini bareng Sigit? Nggak ngantuk?"  tanya Oliv, tahu kalau Hansen kemarin latihan sampai tengah malam dan harus meeting dengan tim manajemen agensi bersama Sigit dan Theo tadi pagi.

"Ngantuk dikit. Mau makan dulu, ntar aku pulang lanjut tidur, deh."

"Pagi makan?"

"Ada, makan roti. Bibik bikin roti panggang."

"Enak banget kayaknya bisik-bisik, dunia serasa milik berdua."

Oliv dan Hansen serentak menoleh pada Sigit yang barusan menyindir mereka, dan Ayu yang tersenyum geli di sebelahnya.

"Maklumin aja, Git. Baru jadian. Masih honeymoon phase."

"Halah, honeymoon phase apanya. Mereka kan udah lama."

"Kelamaan gagal move on."

"Kelamaan denial."

"Sialan," maki Oliv dan Hansen bersamaan sementara pasangan suami istri di depan mereka sibuk menertawakan mereka.

***

Mereka mengobrol cukup lama, sambil makan. Oliv dan Ayu menyantap makanan pencuci mulut sementara Sigit dan Hansen makan siang.

Ini menyenangkan, pikir Oliv. Mereka seperti sedang melakukan double date.

"Jadi lo berdua udah siap go public?" tanya Ayu sambil menusuk sepotong semangka.

"Kita belum berencana go public, sih," jawab Oliv sambil mengambil botol air mineralnya, tapi Hansen otomatis menyodorkan botol lain yang sudah terbuka.

"Punya kamu udah habis. Minum ini dulu. Masih mau? Aku pesan lagi, ya."

"Boleh, thank you," ucap Oliv lalu meneguk minuman Hansen sementara Hansen memanggil pelayan untuk memesan sebotol air lagi.

"Tapi kalian terang-terangan begitu?"

"Ya, kita nggak nutupin juga. Tapi nggak konfirmasi juga. Toh, gue sama Hansen kan sering keluar bareng berdua," jawab Oliv lagi.

Baru saja tangannya terulur hendak mengambil tisu, Hansen menyodorkan tisu padanya tanpa melihat Oliv, yang otomatis mengambilnya.

Lalu Oliv menyadari tatapan aneh dari dua manusia di hadapan mereka.

"Buset, Boy. Gue kira lo nggak bisa lebih bucin lagi."

"Apaan, sih? Kagak, gue kagak bucin," bantah Hansen sambil mengambil sesuap cheese cake dari piring Oliv ke mulutnya.

"Halah, kagak bucin apanya. Eh, Liv. Lo tahu nggak? Tadi pas rapat dia udah nyaris ketiduran. Dia bilang dia mau langsung pulang, lanjut tidur. Eh, pas gue bilang gue mau ketemu Ayu dan lo, dia langsung seger, minta ikut."

Ayu tertawa, sementara Oliv langsung menoleh pada Hansen yang wajahnya langsung bete.

"Astaga, nggak penting banget diceritain - "

"Dan lo juga, Liv. Jangan bikin pacar lo insecure, lah. Kalau nggak ketemu tuh, minimal chat, kasih kabar."

"Tapi kita kan chat semalam," ucap Oliv, mengarah pada Hansen.

"Kamu nggak chat aku tadi pagi," jawab Hansen pelan, matanya mendelik pada Sigit, yang sama sekali tidak merasa bersalah sudah membeberkan ini semua pada Oliv.

"Kan kamu sibuk. Aku nggak mau ganggu. Lagipula, hari ini kita bakal ketemu."

"Aku nggak terganggu kalau kamu yang chat. Aku suka dapat notif dari kamu."

"Kamu lihat kan, Yu. Makin bucin."

Oliv dan Hansen otomatis mendelik pada Sigit, yang baru saja dicubit Ayu karena mulutnya yang ember itu.

"Yu, gue sama Hansen jalan duluan kali, ya. Mau ngomong berdua. Lo balik sama Sigit kan? Thank you traktirannya ya," ucap Oliv sambil berdiri, direspon dengan anggukan dari Ayu.

"Oke. Sorry mulut laki gue emang nggak punya rem."

"Nggak apa-apa. Biar gue tahu juga. Bye."

Oliv menggandeng Hansen yang masih memelototi Sigit, yang menyengir lebar melihat kepergian sepasang sahabatnya itu.

"Sumpah, Yu. Hansen bucinnya udah tingkat akut."

"Bukannya kamu dulu juga bilang dia bucinnya udah akut?"

"Ini beda. Nih, aku kasih perbandingan, ya. Dulu, aku katain dia bucin karena tiap si mak lampir mau ke mana-mana, dia harus temenin, minimal nganterin, atau jemput. Pas dilarang kuliah di luar, Hansen nurut. Diminta beli ini beli itu, dibeliin. Dilarang banyak gaul sama Oliv, dia juga nurut. Kamu tahu, dulu Hansen selalu bayarin salah satu tagihan kartu kredit si mak lampir karena si mak lampir minta kartu tambahan dari Hansen? Kamu jangan kirain tagihannya cuma satu-dua juta. Dan kamu tahu apa jawaban si mak lampir pas Hansen tanya? 'Kan aku pacar kamu. Kalau aku kelihatan cantik, itu buat kamu juga.' Anj- ups, maksud aku, kurang ajar."

Ayu menganga.

"Serius?"

"Iya. Nah, kamu lihat deh sekarang. Bucinnya Hansen beda."

Ayu menatap Sigit bingung, namun hanya sekian detik raut wajahnya berubah, mengerti maksud Sigit.

"Maksud kamu, kali ini bucinnya Hansen karena inisiatif dia sendiri? Bukan karena diminta sama Oliv?"

"Bingo! Aku tahu aku nikah sama orang pintar."

"Dukun, dong."

Mereka berdua tertawa bersama.

***

Satu jam yang lalu ...

Theo menutup rapat hari itu, dan menunggu sampai semua anggota tim keluar sebelum memukul kepala Hansen keras.

Hansen yang terkejut langsung mendongakkan kepalanya, dan menemukan Theo menatapnya kesal.

"Lo ngapain datang kalau lo secapek ini?"

"Ya, kan kewajiban gue - "

"Daripada lo tepar, gue sih mending lo nggak usah datang ya, Boy," potong Sigit dari ujung meja.

"Nggak lah, nggak sampai tepar. Gue masih kuat. Cuma gue izin langsung pulang ya," ucap Hansen sambil menguap.

Tangannya mengambil ponsel di meja dan meliriknya.

Tidak ada notifikasi.

Kenapa Oliv nggak chat, ya?

Apa jangan-jangan -

Satu pukulan mendarat di kepalanya.

"Lo mikirin apa, sih? Kayak orang galau lihatin HP melulu. Udah punya pacar, juga."

"Dia nggak balas chat gue."

Theo dan Sigit saling berpandangan, lalu keduanya tertawa terbahak-bahak.

Hansen memaki pelan, lalu kembali membuat riwayat pesan.

Terakhir dia memberi tahu Oliv kalau dia pulang, lalu dibalas Oliv dengan sticker peluk.

Hanya sticker.

Lalu pagi ini tidak ada kabar dari Oliv.

Harusnya dia sudah selesai olahraga sekarang, batinnya.

"Astaga, emang bucin akut dia," ucap Sigit masih sambil tertawa.

"Lo pelototin begitu nggak bakal bikin HP lo bunyi sendiri, Hans."

"Gue nggak paham," ucap Hansen sambil menghela nafas panjang. "Kenapa dia nggak baca chat gue, padahal gue tahu dia pasti bangun pagi hari ini. Apa jangan-jangan dia marah sama gue? Karena gue sibuk akhir-akhir ini? Maksudnya, kan kita baru jadian, dan jarang ketemu. Terakhir kita ketemu senin, dan ini udah kamis. Mungkin nggak sih?"

Sigit dan Theo kembali saling berpandangan, kali ini tidak ada tawa diantara mereka. Mereka jelas mengerti kekalutan Hansen.

Pengalaman sepuluh tahunnya sedikit banyak berpengaruh terhadap cara berpikirnya tentang bagaimana menjalani hubungan. Apalagi selama sepuluh tahun ini, Theo dan Sigit melihat sendiri bagaimana Hansen dimanipulasi oleh Astrid.

"Oliv yang kita kenal selama ini kayaknya nggak mungkin marah hanya karena kalian nggak ketemu tiga hari," ucap Sigit, nada suaranya serius.

"Tapi sekarang gue pacarnya, dan gue malah ambil banyak job."

"Kan lo udah kasih tahu dia, dan dia nggak masalahin, kan?" sahut Theo.

"Iya. Tapi sekarang dia nggak balas gue."

"Boy," panggil Sigit. "Mendingan lo ngomongin deh sama dia dari hati ke hati. Dia pasti lebih senang begitu juga, daripada lo menggalau begini padahal belum tentu dia mikir kayak lo."

"Setuju," sambung Theo. "Oliv juga kan kalau emosi, kelihatan banget. Lo pasti tahu, lah, kalau dia keberatan atau nggak. Ajak ngomong, lah. Jangan digalauin sendiri begini."

Satu tepukan dari Theo mendarat di bahu Hansen.

"Ini hubungan lo sama Oliv. Jangan sampai pengalaman buruk lo sama Astrid memudarkan penilaian lo terhadap Oliv. Itu nggak adil buat Oliv."

Hansen menarik nafas panjang, dan mengangguk.

"Ok, I'll try."

"Gue agak bingung sih, sebenarnya kenapa lo setakut ini," ucap Theo, sementara di belakangnya, Sigit membuka ponsel untuk berbalas pesan dengan istrinya.

"Gue takut pilihan gue membuat gue kehilangan dia. Gue nggak akan bisa kehilangan dia lagi."

Theo terkekeh pelan.

"Gue berani bertaruh, dia pasti mendukung pilihan lo untuk berjuang, karena dia tahu lo berjuang untuk kalian."

Keduanya bertukar senyum, dan serempak menoleh saat Sigit bertanya, "gue mau cabut, nyamperin Ayu sama Oliv. Mereka lagi brunch. Lo berdua langsung pulang, kan?"

"Iya."

"Gue ikut lo brunch, ya."

Theo dan Sigit serentak menoleh pada Hansen, yang langsung berdiri dan mengantongi ponselnya.

"Lo bukannya ngantuk berat?" tanya Theo.

"Nggak. Gue laper, mau makan. Yuk, Git."

Hansen langsung berjalan keluar ruang rapat diiringi ekspresi geli kedua sahabatnya.

"Menurut lo dia makin bucin?" tanya Theo sambil menyeringai lebar.

"Jelas, makin parah," jawab Sigit, tidak tahan lagi untuk tidak tertawa.

"Untung aja bucinnya ke Oliv doang."

"Iya, gue bersyukur banget si bucin akut ini sekarang bucinnya ke Oliv, bukan ke cewek lain."

Tbc

Sorry for typos

Masih happy happy dongs.

Semoga suka.

Sampai ketemu di part selanjutnya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro