tiga puluh satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Agak 18++ yaaa

Baca dulu baru vote ya

Boleh komen juga. Tapi tolong jangan komen 'next' atau 'lanjut' doang ya.. aku lumayan sentimen sama komen tidak berperasaan seperti itu. Thank you

Selamat membaca

----------------------

Oliv baru melepas genggaman tangannya dari Hansen saat sampai di mobilnya yang terparkir di lantai dasar gedung parkir, untuk mencari kunci mobil dari dalam tasnya.

Begitu Oliv mengeluarkan kunci, kuncinya langsung diambil Hansen.

"Aku yang nyetir."

"Kamu lagi ngantuk. Biar aku aja."

Oliv berusaha merebut kuncinya kembali, tapi Hansen lebih cepat. Dia masuk mobil melalui pintu pengemudi, sehingga Oliv mau tidak mau menyusulnya masuk.

Hansen menyalakan mesin mobil dan pendingin udara, lalu akan mengenakan seatbelt, saat tangan Oliv menahannya.

"Kamu kenapa insecure sama aku?"

"Aku bukan insecure. Sigit ngaco."

"Jadi? Kenapa Sigit bisa bilang kamu merasa insecure? Kamu cerita apa sama Sigit?"

Hansen tahu Oliv tidak akan melepaskannya sampai dia bercerita. Jadi dia menarik nafas panjang, memutuskan untuk menghadapi Oliv sekarang.

"Aku hanya bingung, kenapa kamu nggak mencari aku pagi ini. Kita juga terakhir ketemu hari senin. Ini sudah hari kamis."

Oliv menelengkan kepalanya, bingung.

"Kan aku tahu kamu lagi sibuk. Aku nggak mau ganggu kamu."

"Jadi, kamu bukan marah."

Hansen memutar badannya supaya lebih mengarah pada Oliv, sebelum menatapnya serius.

"Let me get this straight. Kamu tolong jawab aku dengan jujur, ya."

"Oke," jawab Oliv sedikit bingung.

"Jadi kamu tidak keberatan aku sibuk dan nggak bisa sering-sering ketemu kamu?"

"Tentu saja nggak."

"Walaupun aku pergi ketemu teman-temanku, dan bukan ketemu kamu?"

"Ya nggak apa-apa. Aku kan mau keluar sama teman-temanku juga."

"Walaupun aku banyak job, termasuk akting?"

"Yah..." Oliv berdeham pelan. "Sebenarnya aku kayaknya bakal agak keberatan kamu main film romance lagi. Aku tahu kamu nggak bakalan baper sama lawan mainmu. Aku sendiri merasa gitu. Akting ya akting. Cuma ... Aku nggak rela kamu dicium perempuan lain lagi."

Hansen terdiam, tampak berpikir keras sambil melihat Oliv dengan raut wajah bingung.

Oliv pun makin bingung.

Kenapa pertanyaan Hansen kayak begini semua -

Sialan. Pasti gara-gara kuntilanak itu.

Oliv menangkup wajah Hansen, memaksa Hansen fokus padanya.

"Hans, aku bukan Astrid. Hubungan kita tidak seperti hubungan kamu dan Astrid dulu. Kita beda."

"Aku tahu. That's why I'm asking you this right now."

Hansen menggenggam kedua tangan Oliv dan mengecupnya sebelum meletakkannya di pangkuannya.

"Aku hanya takut tidak bisa memenuhi ekspektasimu tentang hubungan ini. Aku merencanakan masa depan kita dalam otakku, dan tiba-tiba saja, aku jadi cemas. Gimana kalau semua rencana aku malah bikin kamu marah dan menjauh dari aku?"

Hansen menarik nafas panjang sebelum melanjutkan, "aku nggak akan sanggup kehilangan kamu lagi."

"Dasar bodoh," omel Oliv dengan suara pelan. "Kalau kamu cemas, bilang sama aku. Chat aku duluan. Minta aku chat kamu. You know, this is my first relationship. Aku jauh lebih buta soal ini dari kamu, tahu? Jadi ngomong. Kalau aku nggak suka, atau aku bete sama kamu, aku akan usahain bilang. Kamu juga harus kasih tahu aku. We'll get through this together, ok? Kamu mau nikah sama aku, kan?"

Hansen menatap wajah Oliv yang menatapnya sungguh-sungguh.

Dan sungguh, Hansen merasa dirinya tidak akan bisa lebih mencintai Oliv lagi, tapi ternyata dia salah. Saat ini, Oliv membuat jantungnya berdebar lebih kencang lagi.

Rasanya sebentar lagi jantungnya akan meledak karena perasaannya yang meluap, tidak bisa dibendung.

Hansen melepas tangan Oliv untuk menarik lehernya mendekat sebelum mencium Oliv dengan segenap perasaannya.

Dia menumpahkan semua emosinya dalam ciuman ini. Semua rasa cemasnya, rasa takutnya, dan terlebih lagi, rasa cintanya pada Oliv.

Tanpa sadar dia menggeram saat Oliv membalas ciumannya. Dan Hansen menginginkan lebih.

Ciuman ini tidak cukup. Dia ingin lebih dekat lagi dengan Oliv.

"Liv, pindah ke pangkuanku," pintanya dengan suara parau, di detik mereka melepaskan tautan bibir mereka. Hansen memundurkan kursinya sampai batas maksimum, dan menarik Oliv ke pangkuannya.

Hansen memundurkan sandaran kursinya, dan menarik Oliv untuk menumpu pada Hansen, supaya Oliv tidak terantuk langit-langit mobil.

Hansen menyelipkan rambut Oliv ke belakang telinga, matanya memandang mata Oliv yang menatapnya sayu.

"I love you, Olivia Putri Barata."

"I love you, too, Hansen Putra Wijaya," jawab Oliv lirih.

Hansen tersenyum lebar, sebelum kembali mempertemukan bibir mereka.

Tangannya menahan punggung Oliv supaya tubuh mereka saling bersentuhan, sementara lidahnya menggoda Oliv untuk mengizinkannya masuk.

Tangan Oliv menumpu di ceruk lehernya, mengirimkan panas ke seluruh tubuhnya.

Saat bibir Oliv membuka, Hansen memperdalam ciumannya, dan lidahnya menyelusup masuk, menggoda lidah Oliv. Salah satu tangannya menyusuri punggung Oliv dan menangkup bokongnya, meremasnya pelan.

Hansen sadar dia bergairah, dan dia yakin Oliv menyadari bukti gairahnya.

Hansen tahu dia tidak boleh melakukan lebih dari ini, tapi sungguh, dia sangat mendambakan bersentuhan dengan Oliv.

Hansen tidak pernah merasakan hal ini. Saat akal sehatnya benar-benar hanya tertahan oleh seuntai benang tipis.

Dia belum pernah nyaris kehilangan kendali sampai seperti ini. Dan tentu saja, dia harus segera menghentikan ini sebelum mereka terlalu jauh.

Dengan berat hati, dia menarik diri dari Oliv dan menempelkan dahi mereka sembari mengatur nafas.

Karena jika dia mencium Oliv sedetik lebih lama lagi, mungkin dia akan benar-benar kehilangan akal sehatnya.

Tangannya mengusap punggung Oliv, sementara tangannya yang satu lagi merapikan rambut Oliv dan menyelipkannya di belakang telinga.

Oliv yang pertama menjauhkan wajah mereka dan menatap Hansen dengan sorot mata geli, walaupun masih ada sisa gairah yang tertinggal. Bibirnya yang bengkak dan memerah akibat cumbuan Hansen menyunggingkan senyum geli.

"Did you just grab my a**? Di dalam mobil? Di parkiran mobil umum? Dan kamu bilang aku yang obsessed with yours?"

Keduanya tergelak.

Suasana dalam mobil seketika menjadi sedikit lebih ringan, walaupun mereka masih dilingkupi suasana yang intim.

"Astaga, aku nggak pernah membayangkan kita bisa begini di dalam mobil. Dan kamu," Oliv memukul pelan bahu Hansen. "Kamu benar-benar nipu aku, lho. I never thought you can do this."

"Actually, this is my first time, out of control like this."

"Masa? Bohong. Nggak mungkin ini pertama kali kamu - " Oliv tidak melanjutkan kalimatnya, wajahnya yang masih bersemu merah akibat cumbuan Hansen semakin merona.

"Beneran. Aku tidak pernah punya masalah dalam mengendalikan diri, Liv. Tapi tadi ... I think I love you too much. Isi kepalaku seperti sedang berantem, antara ingin menyentuh kamu terus atau menjaga kamu dari tanganku sendiri."

Oliv langsung tersipu.

"Nah, sekarang tolong balik ke bangku kamu."

"Kok aku diusir?"

"Sebelum aku lupa kita lagi di mobil dan kita belum nikah. Dan kamu yang dudukin penis aku sama sekali nggak membantu aku untuk nggak lupa."

Oliv mencebik, tapi dia pindah ke kursi penumpang walaupun sambil menggerutu. Hansen meletakkan telapak tangannya di atas kepala Oliv, mencegahnya terantuk.

"Kamu yang narik aku duduk di pangkuan kamu. Sekarang kok aku yang salah."

"Aku yang salah sebenarnya. Aku underestimate efek kamu ke aku. Sepertinya aku terlalu mencintai kamu, dan aku mulai kesulitan mengendalikan diri sama kamu," jawab Hansen sambil merapikan posisinya, sebelum memasangkan seatbelt pada Oliv - dia mencuri satu kecupan ringan di bibir Oliv sewaktu menarik sabuk pengaman Oliv - dan dirinya sendiri, dan melajukan mobil mereka keluar dari gedung parkir.

Oliv menggigit bibirnya, wajahnya merona.

Beberapa waktu yang lalu, Hansen terlihat cute saat berusaha memberitahunya tentang kecemasannya, tapi sekarang Hansen terlihat sangat seksi.

Apa karena beberapa menit yang lalu dia dicium habis-habisan di dalam mobil?

"Aku harap kamu nggak marah aku nyentuh pantat kamu," ucap Hansen sambil melirik Oliv.

"Nggak, aku nggak marah. It's kinda hot, tho',"ucap Oliv pelan, wajahnya semakin merona.
Dalam kepalanya adegan beberapa menit yang lalu kembali berputar, saat tubuhnya melekat pada Hansen, tangan Hansen meremas bokongnya. Dan Oliv berani bersumpah, benda keras yang menonjol dan menekan intinya itu adalah bukti gairah Hansen.

Tiba-tiba tangan kiri Hansen terjulur ke arahnya dan menggenggam tangannya. Jari Hansen menyelinap di antara jari-jari Oliv dan menautkannya di atas pangkuan Oliv.

Jantung Oliv berdebar kencang, terutama saat Hansen mengusapkan jempolnya pada jempol Oliv. Sentuhan tangan yang tampak sederhana, namun rasanya begitu intim.

Dari sebelum jadi pacar, sampai udah pacaran dan ngomongin nikah, tetap aja Hansen nggak sehat buat jantung gue, batin Oliv.

"Jadi ... " ucap Oliv memecah keheningan diantara mereka, " ... Kesimpulannya sekarang, pantat aku lebih menarik dari pantat kamu?"

Hansen tertawa.

***

Oliv langsung bergegas menghampiri sepasang suami istri yang sedang bersantai di lounge khusus penumpang kelas bisnis salah satu maskapai penerbangan terbaik di Indonesia itu.

"Acek, Ayi!"

"Eh, Oliv. Apa kabar?" sapa sang istri, Yenni Wijaya, sambil memeluk Oliv. Yusak Wijaya, suaminya, mengangkat wajahnya dari koran yang dia baca, dan tersenyum pada Oliv.

"Baik. Ayi dan Acek gimana? Kok transit langsung, nggak nginap Jakarta dulu?"

"Baik, Liv. Iya, ini biar sekalian aja naik pesawatnya."

Oliv langsung duduk di sebelah Yenni, sementara Hansen yang sampai belakangan, mengambil tempat di sebelah sang ayah.

"Capek nggak? Acek dan Ayi udah makan?"

"Udah, dari tadi duduk di sini makan terus sampai kenyang banget."

"Kalian sudah sarapan?" tanya Yusak Wijaya, tanpa mengangkat wajah dari koran yang dia baca.

"Sudah, Pi. Tadi aku dan Oliv sempat sarapan dulu sebelum ke sini."

"Kuenya enak, lho. Ayi udah coba. Kue susnya juga tumben, enak. Kayaknya ganti koki, deh."

Mata Oliv langsung berbinar.

Hansen otomatis berdiri, diikuti Oliv.

"Kamu duduk aja, aku ambilin," kata Hansen, namun Oliv menggeleng.

"Aku ikut. Cek, Yi, mau titip apa nggak? Aku sama Hans keliling dulu. Air mungkin?"

"Air putih boleh. Satu aja. Ayi bagi sama Acek. Tasnya tinggal aja, Liv."

"Oke, thank you, Yi," ucap Oliv dengan senyum lebar. Dia menaruh tas tangannya di sebelah Yenni dan mengikuti Hansen. Secara otomatis Hansen mengaitkan jarinya dengan jari Oliv dan menggandengnya berkeliling.

Tentu saja pemandangan itu tidak luput dari mata sang ibu.

"Pi, menurut Papi gimana?"

"Apanya?" Yusak menatap istrinya, lalu melihat putra bungsunya.

Mereka berjalan sambil mengobrol, sesekali tertawa, dan Hansen tidak melepaskan Oliv sama sekali.

"Aku kok suka ya, lihat mereka."

Yusak tertawa pelan.

"Akhirnya, impian Mami berhasil, ya?"

"Impian aku?"

"Dari dulu Mami mau Oliv jadi menantu kita, kan?"

Yenni langsung tersenyum lebar.

"Rasanya aku nggak peduli lagi, walaupun yang Astrid bilang ke kita itu benar atau tidak. Cuma kok aku nggak percaya Oliv bisa begitu ke dia, lho."

"Kita tidak tahu hubungan mereka seperti apa, Mi. Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan."

"Tapi Papi tidak percaya juga, kan? Oliv bisa setega itu?"

Yusak menghela nafas panjang.

"Iya, Mi. Aku lebih percaya apa yang aku lihat sejak dulu di depan mata kita, dibanding perkataan orang yang kita kenal belakangan."

Yenni menghela nafas panjang, dan kembali menatap putra bungsunya yang sedang menatap Oliv sambil tersenyum lembut.

Entah kapan dia terakhir melihat putranya menatap orang lain selembut itu.

Lebih tepatnya, entah apa Yenni pernah melihat Hansen menatap orang lain selembut itu, selain pada Oliv?

Yenni yakin, perasaannya sebagai seorang ibu tidak mungkin salah.

Jika apa yang Astrid bilang adalah kejujuran, Yenni yakin, itu bukan kesalahan Oliv.

Bisa jadi, itu adalah kesalahan putra bungsunya.

Tbc

Sorry for typos

Sampai ketemu di part berikutnya yaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro