Bab 11: Evaluasi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perhatian: Cerita ini hanya dirilis di platform W A T T P A D.

...

Pak Ben cukup puas dengan performa kami dalam latihan hari ini. Dia tidak henti-hentinya mengacungkan jempol di setiap kesempatan, walaupun tetap memberikan respons kecewa di beberapa hal (sebut saja ketika aku terlalu kasar dalam bertindak atau Chloe yang menimpaku sampai dua kali). Guru pembimbing itu selalu mengingatkan kami untuk tetap berhati-hati dan mengutamakan keselamatan.

"Setelah melihat latihan kalian, Bapak jadi sulit untuk memutuskan siapa yang layak menjadi pemimpin," kata Pak Ben sambil melihatku dan Chrys bergantian. "Kalian memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing."

Hening sejenak. Pak Ben menelengkan kepala dengan mata yang terpejam seraya mengusap dagu. Dia kemudian melihat ke arah Mischa yang sedari diam dan Chloe yang menumpu pipi bosan.

"Menurut kalian, siapa yang cocok jadi ketua, Gadis-gadis?" tanya Pak Ben dengan senyuman.

Aku dan Chrys melihat kedua anak perempuan itu intens. Mereka gelagapan.

"Ka ... kalau menurutku," ujar Chloe menggantung. Aku menatapnya lebih lekat. Gadis itu balik menatap tajam. Ia memantapkan jawaban. "Tentu saja Chrys!"

"Ah, okey," respons Pak Ben. "Mischa?"

Gadis itu membuka mulut. Namun, aku tidak bisa mendengar gumamannya. Pak Ben bahkan harus meminta ia mengulang apa yang dibicarakan.

"Chrys." Chloe mewakilkan.

Lelaki pirang di sampingku menahan girang.

"Ah, ya. Tapi Bapak punya keputusan lain."

Chrys mematung seketika. Aku tertawa remeh.

"Melihat performa kalian, masih ada yang perlu dibenahi. Terutama dalam strategi yang digunakan. Jujur, Bapak suka strategi yang kau gunakan, Arennga. Tapi, sayangnya harus dipoles lebih banyak. Dan sepertinya para gadis lebih memilih Chrys. Bisa kalian katakan alasannya?"

Lagi-lagi, kedua gadis itu gelagapan.

Chloe tertunduk. Suaranya mengecil. "Masalah pribadi," gumamnya sembari memainkan ujung kaus.

"Sudah Bapak duga. Kita kesampingkan hal itu. Seperti kata Bapak, walau Bapak lebih suka strategi Arennga, kesepakatannya adalah siapa yang dapat membawa kemenangan dalam latihan. Kalian membuktikannya. Oleh karena itu, kita akan memutuskannya dengan ...." Pak Ben menggantungkan kalimatnya membuat kami sangat penasaran.

"Catur!" lanjutnya antusias.

"Catur?" Kami merespons serempak. Bisa-bisanya Pak Ben berpikir hal itu.

"Ya. Catur melatih kita dalam meramu strategi. Melihat dalam dua sisi. Setiap langkah yang kita ambil akan memengaruhi bagaimana lawan bertindak. Dalam mengambil kesimpulan, kita harus memperluas sudut pandang. Lihat dari berbagai aspek. Catur mengajarkan salah satu hal tersebut. Bagaimana?"

Aku berdecak sebelum akhirnya menjawab, "Oke, kita lihat siapa yang dapat bertahan." Kulihat Chrys dari sudut mata.

"Tentu saja." Lelaki itu tersenyum lebar.

"Kalian istirahatlah sebelum makan malam. Kita akan main caturnya setelah kalian selesai dan bersih-bersih. Karena besok libur latihan untuk persiapan tahap pertama, kita jadi punya banyak waktu. Kita manfaatkan sebaik mungkin. Selamat beristirahat."

Seperti biasa, Pak Ben langsung pergi entah ke mana meninggalkan kami.

...

Pertandingan caturku dengan Chrys dimulai pukul sembilan malam. Chloe dan Mischa tidak ikut menyaksikan karena menurut mereka membosankan. Kami main di ruang utama disaksikan oleh Pak Ben.

"Kita akan menggunakan papan konvensional dengan bidak dari plastik dan magnet agar kalian tahu bentuk permainan awalnya seperti apa secara langsung. Penting mengetahui suatu konsep dari awal agar pengembangan selanjutnya mudah diimplementasikan. Seperti luas segitiga yang diambil dari luas persegi dibagi dua—"

"Kami mengerti, Pak," potongku bosan.

"Ah, ya ...." Pak Ben menyengir. "Bapak terlalu bersemangat menjelaskan. Ayo, kita mulai."

Chrys mendapat warna putih. Untuk beberapa langkah pertama, dia menggunakan teknik sekakmat empat langkah. Pion di depan raja bergerak dua langkah, gajah maju ke tengah, ratu di posisi yang tepat untuk gerakan terakhir. Namun, sebelum aku masuk ke dalam jebakannya, kuhalangi langkah ratu.

Sadar strateginya telah gagal, Chrys mencoba cara lain.

Tidak seperti sifatnya yang meledak-ledak, anak pirang itu lebih kalem. Dia tampak berpikir lebih keras cenderung berlebihan karena keningnya sesekali mengerut seperti orang yang frustrasi. Berulang kali menggaruk rambut atau menelengkan kepala sebelum menggerakkan bidak.

Chrys butuh waktu kira-kira sepuluh menit hanya untuk menggerakkan kuda pertamanya ke arah kiri. Aku langsung menyambutnya dengan sambaran gajah. Anak itu memekik.

"Aku tarik itu!" Chrys mencoba meraih bidak yang kuambil.

"Mana bisa!" tukasku. Aku menahan tangannya yang menggapai-gapai.

Kami melanjutkan sisa pertandingan dengan keributan dan dihadiahi jitakan oleh Pak Ben.

"Ulang."

Kali ini, aku yang dapat putih.

Meskipun tanpa kehadiran Pak Ben yang sedang keluar, permainan kali ini berlangsung lebih tenang. Setiap gerakan lebih terorganisir dengan waktu berpikir yang lebih lama. Kami bahkan sampai di titik jenuh setelah main selama dua jam tanpa ada yang menyerah dahulu, sampai Chrys mulai kehilangan fokus.

"Sekakmat," kataku menggunakan kuda untuk menyerang. Aku menyeringai puas. Chrys yang tidak menyadari hal itu hanya bisa menganga dengan mata melotot yang sudah berkantung.

Anak itu frustrasi. "Ah! Baiklah, kau menang!"

Si Anak Pirang membereskan bidak-bidak sambil sesekali menguap; membuatku tertular. Beberapa kali aku menahan kepala yang terangguk-angguk seraya menutup mulut. Kutemani Chrys yang bekerja dengan lambat karena kantuk. Berulang kali pion-pion yang ada terjatuh karena terselip atau tergelincir sebab tangannya telah kehilangan tenaga.

"Hei, Chrys." Aku membuka percakapan agar anak itu tetap terjaga dan segera membereskan barang-barang yang berserakan. "Bagaimana menurutmu olimpiade ini?"

"Hah?"

"Olimpiade ini ...."

"Haah ...."

Sadar anak itu tidak akan merespons dengan baik karena hanya akan ditanggapi dengan hah-hoh-hah-hoh, aku pun membiarkannya sampai tidak terasa aku sendiri terlelap di atas sofa.

...

Aku bangun pukul lima pagi karena suara alarm ponsel yang ada di atas nakas—tunggu. Sejak kapan aku pindah ke atas kasur?

Kulihat ke ranjang seberang. Chrys juga sedang bergelung dengan selimut. Kami berdua secara ajaib berteleportasi dari sofa ke atas kasur. Dalam semalam kami berubah jadi superhero. Tidak. Tentu saja aku mengarangnya. Guru pembimbing kami yang berjasa. Saat aku keluar kamar untuk pergi ke kamar mandi, Pak Ben ada di depan televisi menonton siaran berita pagi sambil minum kopi. Pria tiga puluh tahunan itu berkelakar tentang berat badanku ketika aku bergabung bersamanya.

"Punggung Bapak hampir patah saat mengangkatmu. Kau lebih berat dari tiga karung beras. Chrys saja lebih ringan." Pak Ben tertawa puas.

"Aku tidak pernah memintanya," jawabku.

"Melihat kalian yang seperti itu, Bapak jadi teringat anak-anak Bapak yang masih kecil. Mereka sering menonton televisi sampai larut dan tertidur ...."

Pak Ben terus mengoceh tentang keluarganya. Aku hanya mendengarkan sambil sesekali memikirkan sesuatu hal.

"Arennga?"

Aku terenyak.

"Maaf, Bapak tidak menyaksikan pertandingan seru kalian sampai selesai. Siapa yang menang?"

"Aku."

"Sudah Bapak duga." Pak Ben tersenyum. "Dengar, Arennga, menjadi pemimpin membutuhkan tanggung jawab yang besar. Kau tahu itu. Dan, Bapak tahu kau bisa. Tapi, mendapat kepercayaan dari teman-temanmu lebih penting. Pemimpin yang baik tidak ada artinya bila anggotanya tidak memercayainya. Sama saja bohong. Jadi, Bapak harap kau bisa membangun koneksi yang lebih erat dengan teman-temanmu. Kau sanggup?"

Aku mengangguk.

"Bapak tahu kalau Chrys lebih disukai oleh yang lain. Kenapa Bapak tetap memilihku?" tanyaku heran.

Pak Ben melihat ke arah kamar, memastikan kalau orang yang akan dibicarakan tidak mendengar. Setelah merasa aman, guru pembimbing itu memulai dengan suara pelan.

"Chrys gampang panik," bisiknya. "Kau lihat sendiri tingkahnya saat gugup. Tidak bisa diam. Cenderung hiperaktif. Agak ceroboh. Dia lebih cocok jadi jembatan antara kau yang tegas dan para gadis. Dia lebih cocok jadi wakilmu."

"Aku mengerti."

Pak Ben berdiri. "Maaf, kalau Bapak agak keras kepada kalian," katanya sambil mengusap pucuk kepalaku pelan sebelum berjalan ke arah mini bar. Aku merengut karena diperlakukan seperti anak kecil, tetapi juga senang sebab mendapat sesuatu yang tidak pernah Ayah berikan.

"Kenapa kau tersenyum?"

"Ah!"

Aku terentak kaget ketika mendapati Chrys sudah ada di samping belakangku. Anak itu tersenyum menggoda lantas bergabung denganku di atas sofa.

"Pagi, Chrys!" Pak Ben menyapa dari mini bar sembari mencuci gelas yang dipakai sebelumnya.

"Pagi, Pak!" sapa Chrys balik. "Bapak semalam ke mana? Aku kurang pendukung, jadinya kalah, deh." Anak itu tertawa sampai matanya terpejam.

"Ha ha, maaf, ya. Bapak ada urusan dengan orang, tiba-tiba. Tidak bisa ditinggal."

Pak Ben kemudian pergi ke kamar mandi untuk mandi terlebih dahulu. Aku dan Chrys adu mulut karena anak pirang itu ingin menonton kartun sedangkan aku ingin berita. Keributan kami baru reda ketika Pak Ben keluar dan menyuruh salah satu di antara kami untuk mandi. Aku yang menyanggupi, Chrys ingin menyaksikan kartun sampai selesai terlebih dahulu.

...

"Jadi, siapa yang akhirnya menjadi ketua?"

Pertanyaan Chloe membuka percakapan kami saat sarapan. Aku dan Chrys saling berpandangan. Si Anak Pirang menunjukku dengan jempol kiri karena mulutnya penuh oleh makanan.

"Aku," jawabku datar.

Chloe diam sebelum akhirnya membuang muka sambil berdecak.

Aku tertawa remeh. "Biasakanlah dirimu karena setelah ini kau akan terus berada di bawah perintahku," kataku sambil menunjuknya dengan garpu.

Gadis itu menyuapkan makanannya sembari menggerutu. Sesekali badut konyol itu tersedak sampai Chrys dan Mischa harus membantunya.

"Tenanglah, Chlo. Arennga akan jadi pemimpin yang baik," ucap Chrys menenangkan. Dia tersenyum lebar sampai terpejam. "Iya, kan?"

"Kita lihat nanti," balasku.

Setelah kami menandaskan makanan, Pak Ben datang menghampiri.

"Kalian ada rencana lain selain mengatur strategi untuk besok?" tanyanya.

Chloe menginterupsi. "Kenapa Arennga yang akhirnya jadi ketua? Pilihan kami kemarin hanya basa-basi?" tanya gadis itu bersungut-sungut.

Pak Ben mengusap kepala Chloe dan Mischa. Mereka berdua tersentak karena tidak menduga akan mendapat perlakuan seperti itu layaknya aku.

"Arennga punya beberapa kriteria yang tidak Chrys miliki." Pak Ben melihat ke arah orang yang dimaksud. "Jangan tersinggung, Chrys."

Si Anak Pirang mengibas tangan di depan wajah. "Tidak apa-apa, Pak. Aku juga sadar kalau Ren memang punya kapasitas yang lebih baik dariku setelah melihat latihan terakhir."

Pak Ben tersenyum. "Bapak harap kalian menerima keputusan ini dengan lapang dada. Bekerja samalah untuk mendapat hasil yang diinginkan. Berusahalah untuk menerima kekurangan masing-masing dari kalian. Mengerti, ya?"

Kami mengangguk. "Mengerti, Pak."

Setelah nasihat panjang, Pak Ben pamit pergi karena ada urusan sebentar. Dia berjanji akan kembali sesegera mungkin untuk mengevaluasi strategi yang kami buat.

"Kita akan mulai setelah makan siang. Kalian lakukanlah apa yang kalian mau, asal kembali tepat waktu. Aku akan mempersiapkan segalanya."

"Tumben sekali," sindir Chloe.

"Anggaplah aku sedang bersikap baik. Jadi, manfaatkanlah sebelum aku berubah pikiran," ucapku sambil beranjak meninggalkan mereka.

Chrys menyusul. "Aku akan membantu," katanya.

Persiapan yang aku maksud adalah menyetel layar televisi agar bisa digunakan seperti papan tulis, menyusun beragam informasi yang telah aku kumpulkan sebelumnya, dan mencocokkan skill apa saja yang dapat digunakan untuk keadaan-keadaan tertentu.

Chrys yang sedang mencoba menulis dengan stylus membuka suara. "Kau mulai melunak, aku senang."

"Mungkin hanya perasaanmu saja," balasku datar seraya mengotak-atik data dengan Portable Holographic Computer (PHC).

"Apa yang kau dan Pak Ben bicarakan tadi pagi?"

Aku diam sebentar sebelum menjawab, "Bukan hal yang penting." Lalu melanjutkan pekerjaan.

Setelah persiapan selesai yang ternyata hanya makan waktu sebentar, aku kemudian membaca beberapa artikel tambahan terkait sejarah Ascent dan teknologi yang dikembangkan. Sementara itu, Chrys berdiri memainkan gim VR horor yang dibawanya. Sesekali dia menjerit kaget, aku melemparnya dengan bantal sofa.

...

Setelah makan siang, aku memulai sesi penyusunan strategi.

"Prima Sophia dan Magna Prudentia telah melihat banyak skill kita," mulaiku. "Mereka jadi lebih mudah kalau ingin menyerang balik. Kita perlu rencana yang tidak akan mereka duga. Sebelum aku mengeluarkan ideku, aku ingin mendengar milik kalian."

Chrys yang pertama bersuara. "Apa kita tidak punya rekaman milik tim lain? Kita juga bisa mempelajari gerakan mereka juga, 'kan?"

"Pak Ben pasti sudah memperlihatkannya dari awal kita evaluasi kalau punya," balasku.

Si Anak Pirang mengerucutkan bibir.

"Bukannya itu aneh kalau kita dalam satu arena, tapi yang ada hanya milik kita sendiri?" tanya Chloe skeptis.

"Memang. Tapi, kita bisa apa? Meretas server dan mencuri data pertarungan? Sepertinya kita tidak perlu sampai sejauh itu. Lagi pula, itu tindakan yang curang."

Gadis badut itu mendengkus.

Mischa membuka mulut hendak bicara, aku langsung menatapnya. Ia langsung menunduk.

"Kalau kau ada tanggapan, bicaralah."

Gadis itu menggeleng.

"Sebagai gantinya, aku telah mengumpulkan data yang lumayan walaupun belum bisa disebut membantu." Aku memperlihatkan data nama-nama anggota tim lain dalam bentuk tabel di layar. "Dinding akar Mischa cukup efektif untuk memblok serangan petir Merlin Aryza dan badai pasir Scheherazade Seta. Gada Krishna mampu menghancurkan dinding es Vivian Zea bila digunakan maksimal. Selain data primer dari pengalaman kita menghadapi mereka, hanya ada data nama-nama avatar dan pemiliknya saja. Kita bisa memperkirakan kemungkinan skill apa saja dari data referensi avatar mereka. Ada tanggapan sebaiknya kita pakai strategi seperti apa?"

"Bagaimana dengan 'Hit and Run'?" usul Chrys. "Seperti yang kita lakukan terakhir."

"Serang dan lari. Mereka sudah bisa memperkirakan itu. Kita butuh sesuatu yang berbeda."

"Kita adu domba saja mereka," ujar Chloe.

Aku mengangkat satu alis. Chrys mengerutkan kening. Mischa menelengkan kepala.

"Maksudku adalah, kita tidak perlu bersusah payah menghadapi mereka. Kita paksa mereka bertemu dan saling serang. Saat mereka sibuk, kita mencari celah untuk menemukan tempat bos terakhir."

"Caranya?" tanyaku.

"Ya, itu tugasmu sebagai ketua! Aku kan, cuma kasih usul."

Mataku berkedut. Untungnya aku masih bisa menahan sebal kali ini. "Ck. Yang benar saja. Ujung-ujungnya aku yang memutuskan. Padahal aku berusaha untuk menampung aspirasi kalian."

"Tenang, Ren, tenang. Rencana tidak akan berjalan lancar kalau otak sedang panas." Suara lembut Chrys berhasil menurunkan tensi darahku.

Aku mendesah. "Dari latihan kita selama ini, skill Chrys dan Mischa yang belum banyak digunakan. Ini bisa jadi senjata rahasia kita untuk menghadapi mereka. Tinggal bagaimana kita memanfaatkan peluang yang ada di lapangan—"

Suara ketukan diiringi pintu yang bergeser menghentikan penjelasanku. Pak Ben muncul sambil tersenyum dan mengisyaratkan aku agar terus melanjutkan. Dia lantas mengambil kursi tak jauh di belakang.

Aku lanjut sampai tuntas. Mereka memperhatikan dengan saksama.

"Ada pertanyaan sampai sini?" tanyaku sembari bersedekap.

Tidak ada.

Dirasa sudah cukup, aku pun merekap apa saja yang telah didiskusikan agar Pak Ben sekalian tahu keseluruhan pembicaraan.

"Bagaimana pendapat Bapak?" tanyaku.

"Secara keseluruhan sudah bagus," jawab Pak Ben sambil menopang dagu. "Tapi—biar Bapak pastikan dulu. Apa kalian sudah punya rencana cadangan kalau strategi itu gagal?"

Aku lupa memikirkannya karena terlalu fokus dengan serangan. "Belum."

"Seperti yang Bapak bilang. Kita harus memikirkan setiap langkah yang kita ambil. Setiap kemungkinan yang terjadi harus sudah diperhitungkan. Anggap semua orang berada di atas kita agar kita bisa mempersiapkan yang terbaik, dan bersiap untuk kemungkinan terburuk. Jangan meremehkan siapa pun meskipun penampilannya tidak meyakinkan. Kita tidak tahu rahasia apa yang mereka punya."

Aku mengangguk "Baik, Pak. Aku mengerti."

Sisa hari itu kami pakai untuk menghitung setiap kemungkinan serangan balik dari setiap anggota tim lawan dan bagaimana cara mengatasinya. Diiringi kelakar Chrys yang menirukan setiap anggota tim lawan apabila mengeluarkan skill mereka berdasarkan pengalaman dan hasil pencarianku—yang sama sekali tidak mirip. Anak itu benar-benar payah.

Di akhir diskusi, Pak Ben mengingatkan kami untuk cukup beristirahat dan meringankan pikiran agar tidak terlalu stres.

"Bersiaplah, Anak-anak. Pertandingan besar yang sebenarnya dimulai besok."

~~oOo~~

Beta reader: n_Shariii

A/N

Ayo, berikan kesan kalian pada bab ini!

Kritik dan saran yang membangun saya nantikan.

Jangan lupa memberi vote kalau suka ceritanya.

Terima kasih sudah membaca. 'v')/

Salam literasi!

***

Diterbitkan: 17/10/2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro