Bab 10: Momen

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perhatian: Cerita ini hanya dirilis di platform W A T T P A D.

...

Debum terdengar. Tanah bergetar. Aku terbaring dengan dada yang berat karena ditimpa sesuatu. Mataku mengerjap cepat dan mendapati Chloe menindih tubuhku. Gadis itu meringis lantas mendongak. Pandangan kami bertemu. Waktu terasa berhenti sejenak.

Chloe buru-buru beringsut sambil membersihkan pakaiannya yang kotor. Ia bersungut-sungut. "Kau utang satu nyawa," katanya sambil mengusap kepala Clowny.

Aku duduk lantas meluruskan punggung. Ada bunyi "krak" ketika kugerakkan tulang belakang. Sekarang aku tahu bagaimana perasaan Chrys ketika jatuh-yang kini sedang lari bersama Mischa menghampiriku dan Chloe.

"Kalian baik-baik saja?" tanya Chrys khawatir. Kepanikan membanjiri wajah kedua orang itu. "Ada yang terluka?"

Aku mendengkus ke arah monster aspal yang mendekat. "Kenapa kalian meninggalkan tugas?" teriakku sambil berdiri.

"Kami khawatir, oke? Tak bisakah kau menghargai perasaan kami?"

Aku memalingkan muka. "Ck."

"Tidak ada gunanya berdebat. Ada makhluk yang harus kita lawan." Chloe mengingatkan.

Aku kembali melihat ke depan. "Mischa, kunci pergerakannya. Badut, serang dari belakang. Chrys dan aku akan menyerang dari depan. Pakai gadamu."

"Hanya aku yang diberi julukan? Kau pasti sangat sayang padaku," desis Chloe.

"Jangan bermimpi."

Bebatuan tajam memelesat cepat. Aku-Chrys dan Chloe-Mischa berpencar ke arah yang berbeda. Puing-puing hancur di belakang kami.

Akar-akar Lakshmi bergerak gesit bagai ular di kaki-kaki Si Monster Aspal. Seolah AI makhluk itu juga belajar, akar yang ada dihancurkan dengan mudah. Clowny menarik perhatian si monster dengan bola-bola api yang meluncur seperti meteor. Makhluk aspal itu kelimpungan. Akar berhasil melilitnya.

Arthur dan Krishna menerjang. Menggunakan gada avatar Chrys yang ditumbukkan ke tanah, pilar-pilar bermunculan; melecutkan kedua avatar tepat ke arah Si Monster Aspal. Avatar Chrys yang berwarna biru menghantamkan gada ke kepala lawannya, disusul tusukan Excalibur Arthur. Hal tersebut terus kami lakukan bertubi-tubi sampai akhirnya makhluk itu retak kemudian hancur lebur.

"Hah ...."

Di saat kami berpikir dapat bernapas lega untuk sesaat, sesuatu terjadi. Tanah bergetar kembali. Dinding es kebiruan menghalangi tiga jalan utama. Depan, kiri, kanan.

"Apa yang terjadi?!" pekik Chloe.

Chrys bingung. "Kukira sudah selesai ...."

"Zea," gumamku.

"Apa?"

"Prima Sophia!"

Aku lekas melihat peta. Beberapa penanda soal terlihat banyak di bagian barat di balik dinding es. Ada kemungkinan Prima Sophia akan pergi ke sana untuk memperbanyak nilai. Dengan asumsi itu, aku menggiring semua ke tempat tersebut.

"Ayo," ajakku.

"Kau yakin, Ren?" tanya Chrys skeptis.

"Percaya saja," tegasku. "Kalau aku jadi mereka, aku juga akan melakukan hal yang sama."

"Kalau ternyata salah?" Si Gadis Badut memanasi.

"Diam saja dan ikuti aku."

Mendekati dinding es, kuperintahkan Mischa untuk memanipulasi kemampuan akar Lakshmi menjadi serupa pijakan agar kami bisa melewati halangan yang ada. Gadis itu berusaha melakukannya. Akar-akar terjalin serupa jaring-jaring yang mengait sampai ke atas dinding. Aku yang pertama mencoba.

Jaring itu aman. Aku melompat ke bawah dan menjejak dengan sempurna bersama Arthur yang ada di punggung. Chrys menyusul kemudian, mendarat dengan berguling, lalu bergaya sok keren. Krishna berkacak pinggang bangga. Aku mengerling.

Gadis-gadis berhenti di atas sana. Mereka memandang ke bawah dengan horor.

"Jangan bilang kalian takut ketinggian!" teriakku.

"Mana ada!" balas Chloe.

"Kalau begitu cepat turun!"

Chrys mengangkat kedua tangannya. "Jangan khawatir, kami akan menangkap kalian!"

"Apa?" Aku tidak setuju.

Mischa tampak ragu. Namun, saat Chrys membujuk untuk kedua kalinya, Si Gadis Pemalu mengangguk. Ia melompat dan mendarat tepat di dekapan Si Anak Pirang, begitu pula avatarnya. Dalam keadaan bergetar, gadis itu perlahan melepas pelukannya.

Sekarang tinggal-

Brugh!

Untuk kedua kalinya, tubuhku ditindih sesuatu. "Aw ...."

"Kenapa kau tidak menangkapku!" Chloe mengomel seraya bangkit.

Aku mengusap kepala yang sakit lantas memicing ke sumber masalah. "Kenapa pula aku harus menangkapmu?!" teriakku. Arthur yang ada di samping mencoba menenangkan.

"Chrys yang bilang!"

"Kalau begitu minta padanya!"

"Wowowow, kenapa aku dibawa-bawa?"

Aku mencoba meredam emosi. "Sudahlah, kita harus cepat. Kerjakan sisa soal yang ada sambil bergerak. Kita tidak boleh ketinggalan."

Kami menyusuri jalan utama yang padat sambil terus mengerjakan soal yang ditemui. Beberapa kali berhenti untuk menghadapi monster karena satu-dua kesalahan yang dilakukan, lantas kembali bergerak. Semua kami lakukan dengan cepat kalau tidak ingin kalah dari Prima Sophia atau Magna Prudentia. Kami baru berhenti ketika menemukan tim yang tengah menghadapi monster yang berbentuk robot.

Kami bersembunyi di salah satu celah antar gedung tak jauh dari tempat kejadian.

"Seperti robot alien yang bisa berubah jadi kendaraan," komentar Chrys.

Mataku memicing. Serangan petir, serangan es, benda-benda beterbangan, senjata tajam memelesat. "Prima Sophia," laporku. Hanya Alva dan Olivia yang memiliki rambut keemasan ciri khas Alafathe. Mereka sesekali menghindari roda-roda yang melayang.

"Apa rencanamu sekarang, Kesatria?" tanya Chloe.

Aku membuka antarmuka status yang memuat pertanyaan apa saja yang telah kami jawab. Tersisa tiga soal yang harus dikerjakan agar bisa mengeluarkan lokasi bos terakhir.

"Kita cari jalan lain," titahku.

Setelah menyelesaikan sisa soal tanpa kendala apa pun secara diam-diam agar tidak terdeteksi lawan, kami berputar; mencari celah. Kami menelusuri jalan menuju utara. Seperti telah diterpa badai, jalanan itu hancur. Aspal merekah di beberapa sisi. Gedung-gedung runtuh di beberapa bagian. Kendaraan gosong. Tempat ini mengingatkanku pada area pertarungan yang baru saja terjadi.

Kaki kami berhenti. Di pertigaan sisi kiri, satu tim mengadang. Bukan Prima Sophia.

"Halo, Kawan-Lawan," sapa Saka. "Akhirnya kita bertemu di medan laga."

Tiga orang lainnya seperti siap bertarung.

Tidak boleh ada halangan lagi.

"Mischa," panggilku. "Kurung mereka."

Mischa mengangguk. Akar bergerak cepat mengelilingi mereka membentuk kubah.

Seta, satu-satunya perempuan di tim itu, bergerak. "Hentikan mereka, Scheherazade!" serunya.

Akar-akar Lakhsmi terhenti oleh tsunami pasir yang entah datang dari mana. Kedua elemen alam itu saling dorong dan akhirnya meniadakan. Dua avatar milik Ludwig dan Argen-yang berbadan besar dengan baju zirah yang hanya menutup di beberapa bagian-menerjang.

"Chloe, pakai lidah api! Butakan mereka!" perintahku.

"Seenaknya saja memerintah!" protesnya, tetapi tetap ia lakukan.
Seiring dengan api yang berkobar seperti air yang memancar dari pipa, aku memerintahkan Chrys untuk memunculkan pilar-pilar batu yang dibentuk serupa dinding untuk mengurung tim Magna Prudentia.

"Kita mundur," bisikku. Seharusnya strategi pengalih perhatian itu cukup.
Kami kembali ke arah kedatangan sebelumnya, lantas berputar mencari jalan lain. Melewati jalanan kota yang lengang tanpa ada kendaraan dan orang yang lalu-lalang, aku menggiring mereka. Beberapa kali berbelok di pertigaan atau perempatan menuju titik bos terakhir.

Perjalanan kami mengarah pada alun-alun kota yang serupa taman luas dengan banyak tanaman menghias. Bangku-bangku taman berjajar di berbagai sisi. Arena bermain di beberapa tempat. Area berkumpul di salah satu sudut. Penanda soal final boss tampak berputar di atas kepala patung berwarna hitam seorang pria berjubah yang memegang perkamen di tangan kiri dan tongkat di tangan kanan-tepat di tengah kawasan.

Jauh di depan sana, tim Prima Sophia berlari ke arah yang sama. Disusul tim Magna Prudentia di sisi lain. Mereka saling menyerang; memblokade dengan es, menghambat dengan pasir.

Kami berlari secepat mungkin, menghindari setiap halangan yang dibuat. Satu orang dari setiap tim berinisiatif berlari lebih jauh untuk mendapatkan penanda soal terakhir. Aku, Alva, dan Saka. Kami berebut tempat pertama untuk menggapai kristal putih yang melayang itu. Semakin dekat dengan tujuan, semakin sempit pula jarak yang kami buat.

Alva menambah kecepatan. Saka di belakangnya menyusul. Aku tertinggal karena nyeri yang tiba-tiba datang (kemungkinan karena efek terbentur ketika ditimpa sesuatu yang berat, keras, dan cerewet). Mereka berdua saling berkejaran. Tepat saat Alva akan melompat, Saka melemparkan avatarnya yang memiliki kulit hijau dengan sisik seperti buaya ke arah si lelaki Alafathe. Alva terjerembap, Saka melenggang dengan mudah. Namun, kaki lelaki dari Canidae itu dicekal sampai ikut terjatuh.

Aku memanfaatkan kesempatan tersebut untuk maju. Dengan punggung kedua laki-laki itu sebagai pijakan agar lebih tinggi, aku meloncat diiringi rintihan Saka dan serapah Alva.

"Dapat!" seruku seraya mengangkat kristal oktahedron putih itu ke udara.

Penanda soal itu terpecah menjadi cahaya. Lingkungan taman seketika berubah. Angin berembus dengan kencang membawa helai-helai daun dan kelopak bunga beterbangan ke segala arah. Tanah bergetar seperti terjadi gempa bumi. Di sana, di tempat kristal soal sebelumnya, patung hitam yang ada mulai bergerak. Benda itu bagai seseorang yang melakukan peregangan; menggerakkan kepalanya yang kaku ke segala arah, merentangkan tangannya dengan cepat.

Alva dan Saka mundur siaga. Kami semua waspada.

Patung itu turun dari tempat tingginya, menyebabkan getaran yang membuatku kehilangan keseimbangan. Perlahan, patung itu membesar sampai seukuran gedung tiga lantai. Setiap langkahnya menggoyangkan bumi.

Sebuah lingkaran penanda muncul di bawahku. Aku, Chloe, Chrys, dan Mischa memiliki warna yang sama: kuning pucat. Sementara Prima Sophia dan Magna Prudentia berwarna merah.

"Wow, seperti lingkaran sihir!" komentar Chrys.

"Tidak ada segelnya, Chrys. Lebih seperti ... ah, aku lupa namanya!" Chloe menyahut.

Bersamaan dengan lingkaran itu, mata patung raksasa di depan kami berubah menjadi warna merah. Netranya menatap Alva dan Saka. Si lelaki berambut tembaga dari Canidae itu berjengit lantas lari kembali ke timnya yang ada di belakang sana. Alva bergeming. Bahkan ketika si patung menggerakkan kedua tangannya seperti menghalau ayam, lelaki itu malah memasang kuda-kuda yang lebih kuat.

Alva tetap terpaku di tempat ketika si patung menggertak ke arahnya dengan menggeram. Anak itu baru bergerak ketika dirinya diangkat paksa oleh kekuatan makhluk itu yang serupa psikokinesis. Dia meronta tidak terima sampai akhirnya dilempar ke arah timnya.

Sekarang, mata monster itu terkunci pada kami. Padaku.

Si Patung Bos mengentakkan tongkatnya keras. Selubung putih seperti jaring-jaring berbentuk bola muncul dari bawahnya. Sedikit semi sedikit benda itu menjadi besar, memenuhi taman ini dan mendorong setiap orang kecuali aku dan timku keluar dari dalamnya. Bersamaan dengan berhentinya pertumbuhan jaring selubung, kumpulan soal terbang mengelilingiku.

"Bersiap!" peringatku.

Satu teriakan Si Monster Patung memulai pertarungan kami.

Makhluk itu mengayunkan tongkatnya, aku menghindar berguling. Kulari berkeliling, mencari celah untuk menyerang. Strategi pertama: lumpuhkan lawan.

"Mischa!" panggilku seraya mengelak setiap serangan makhluk itu. Si Gadis Pemalu mengangguk mengerti tanpa perlu diberi perintah lagi.

Akar-akar mengular lalu melilit kaki-kaki Si Patung Hitam. Dengan tongkat yang dihantamkan, akar-akar hancur dan lepas seketika. Mischa melilitkan akar Lakshmi tanpa henti meskipun gagal beberapa kali. Chrys membantunya dengan pilar-pilar tanah Krishna yang mengunci Si Patung seperti pilar penopang. Chloe dengan badutnya menyusul bersama cincin-cincin api yang terbakar.
Arthur menerjang bersama Excalibur. Di antara akar dan pilar, avatarku melompat sambil menebas, mengoyak, menusuk Si Patung Raksasa. Serpihan-serpihan hitam serupa batu grafit terpencar ke segala arah; menjadi tanda soal-soal yang harus kukerjakan untuk mengakhiri ini semua.

Poin-poin kerusakan menggerus terus menerus hit point makhluk itu. Bersama serangan gada atau cakram Krishna, akar-akar berduri miliki Lakhsmi, dan elemen api membabi buta Si Badut Konyol, Patung Hitam raksasa itu meronta dan menghindari sebisa mungkin.

Makhluk itu menggeram, mengayunkan tongkatnya ke segala arah. Krishna terpental terkena serangan, majikannya sigap menolong. Tinggal Arthur dan Clowny yang tersisa untuk menyerang bersama Lakshmi yang menahan.

Perkamen yang ada di tangan kiri Si Patung Raksasa dilemparkan. Kertas memanjang mengelilingi makhluk itu membentuk huruf X menjadi pertahanan yang menghalau setiap serangan. Pisau-pisau Clowny terpantul. Serangan pedang Arthur dihentikan dengan mudah.

Chrys menghampiriku dengan hit point Krishna yang tersisa tiga per empat. "Serangannya lumayan kuat, Ren. Kau ada ide lain? Sebelum kita kalah bahkan sebelum pertunjukan utama dimulai."

Aku cepat mendatangi Mischa sambil menghindari ayunan tongkat makhluk itu. Chrys dan Chloe mengikuti atas instruksiku.

"Mischa," panggilku. "Ikat seluruh tubuhnya. Gunakan skill akar duri untuk menghancurkan pertahanannya dari dalam. Chrys dan Chloe, kalian serang sisa pertahanan sampai membuat celah. Aku akan mengakhirinya ketika ada kesempatan."

Mereka semua mengangguk. Kami lantas berpencar mencari tempat yang lebih pas untuk menyerang.

Krishna dan Clowny menarik perhatian makhluk itu dengan serangan tanpa ada poin kerusakan, sedangkan aku menjawab soal untuk serangan terakhir. Akar-akar Lakhsmi perlahan melilit Si Patung Raksasa sampai tidak bisa bergerak. Duri-duri tajam raksasa kemudian mencuat dan mengoyak perkamen-perkamen yang melindungi si monster.

"Sekarang, Clowny!"

"Ayo, Krishna!"

Kedua avatar menghancurkan setiap bagian pelindung perkamen menjadi berkeping-keping. Celah terlihat. Aku melemparkan Arthur ke atas. Avatarku menghujani makhluk itu dengan pedang-pedang yang melesat cepat diiringi petir yang menyambar-nyambar.

Kepingan-kepingan soal terus menerjang seperti tanda galat yang menyerang tanpa henti. Selama satu menit penuh kukerjakan soal sebanyak mungkin. Kepalaku bahkan sampai pusing karena dipaksa berpikir dalam waktu yang singkat di tengah adrenalin yang berpacu.
Dari arah Si Patung Bos, gemuruh disertai ledakan membuat telinga siapa saja pekak.

Aku jatuh berlutut disertai keringat dan napas yang terengah karena lelah. Chrys, Mischa, dan Chloe menghampiri. Si Anak Pirang mencoba membantuku berdiri, tetapi aku gagal mempertahankan keseimbangan dan berakhir dengan Chrys yang merangkulku.

Di depan sana, Si Monster Patung Raksasa telah menghilang menjadi cahaya. Selubung jaring-jaring perlahan menghilang. Keadaan kembali seperti semula.

Kedua tim mendekati kami. Mereka bertepuk tangan seperti telah melihat pertunjukan yang spektakuler. Magna Prudentia yang paling antusias.

"Aku akan lebih takjub kalau kau tidak menginjakku," kata Saka. Dia melirik ke arah Chloe dan Mischa. "Performa yang hebat, Gadis-gadis. Aku jadi menyukai kalian." Pemuda itu tersenyum sambil berkedip menggoda.

Olivia maju mendekat. Alva di sampingnya membuang muka sebal. "Strategi yang menakjubkan. Meskipun awalnya agak licik." Gadis itu menatap Si Lelaki Alafathe. "Kami berharap sesuatu yang lebih besar dari ini."

Mereka semua kemudian pergi seiring arena yang kembali menjadi putih tanda latihan telah berakhir.

"Dia sangat cantik," celetuk Chrys.

Kami bertiga memandangnya heran.

~~oOo~~

Beta reader: n_Shariii

A/N

Ayo, berikan kesan kalian pada bab ini!

Kritik dan saran yang membangun saya nantikan.

Jangan lupa memberi vote kalau suka ceritanya.

Terima kasih sudah membaca. 'v')/

Salam literasi!

***

Diterbitkan: 10/10/2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro