Bab 9: Arennga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perhatian: Cerita ini hanya dirilis di platform W A T T P A D.

...

Ada yang berubah dalam teknis latihan kali ini. Jika pada awalnya setiap tim memiliki bos final masing-masing di suatu tempat, sekarang hanya ada satu soal bos yang akan diperebutkan. Katanya, hal ini dimaksudkan agar setiap tim bisa langsung merasakan nuansa pertandingan secara langsung.

"Dua sesi latihan sebelumnya hanya diperuntukkan sebagai ajang adaptasi, sedangkan latihan saat ini adalah 'latihan' yang sesungguhnya. Meskipun tidak seratus persen sama, tetapi latihan kali ini adalah gambaran dari tahap satu yang akan datang," jelas Bu Eva.

Pak Oxa menyambung. "Karena tahap satu nanti bertajuk Siapa Cepat, Dia Menang. Maka, hanya mereka yang dapat mengalahkan bos final terlebih dahulu yang akan mendapat peringkat pertama. Peringkat dua dan tiga dihitung dari siapa yang paling banyak menjawab soal dalam waktu yang singkat."

Sekarang, giliran Pak Ben yang bicara. "Gunakan sebaik mungkin kecepatan dan strategi yang kalian miliki. Tidak hanya memikirkan tim sendiri, kalian juga harus memikirkan tim lain. Seperti permainan catur, setiap gerakan kita akan memengaruhi pergerakan lawan. Hitung setiap langkah, kalkulasi setiap kemungkinan, hasilkan yang terbaik," tuturnya sambil memainkan jemari seperti menghitung. "Ada pertanyaan?"

Aku mengangkat tangan. "Apa ada aturan lain yang perlu kami ingat?" tanyaku berharap ada celah untuk memanipulasinya kalau ada. Bagaimanapun, setiap kompetisi bisa diperkirakan bahkan sebelum dimulai.

"Jangan melukai lawan. Jangan merusak sistem dan tatanan yang telah ada. Jaga diri baik-baik. Itu saja yang harus kalian ingat. Selebihnya adalah bagaimana etika kalian terhadap orang lain jika ingin diperlakukan sama. Ini bukan hanya aturan untuk saat ini saja, tetapi juga berlaku untuk ke depannya," jawab Pak Ben. "Ada lagi?"

Tidak ada. Semua mengerti.

"Kalau tidak ada lagi, kita mulai saja latihannya," pungkas guru pembimbing kami.

...

Arena permukiman penduduk. Kami mengawali dari sebuah gang sempit. Dinding bangunan tinggi mengapit. Kabel-kabel menjuntai. Kantung-kantung plastik hitam berceceran di sisi kiri dan kanan. Bau sampah menguar. Menjijik—

"Ini menjijikkan," keluh Chloe. tangannya sibuk menutup hidung. "Apa mereka tidak tahu yang namanya 5R?"

"Tenanglah, Chlo. Ini hanya simulasi. Aku yakin orang-orang di luar sana tahu," sahut Chrys sambil mengibas tangan di depan wajah; mencoba berpikir positif.

Aku melangkah cepat lantas mengambil kristal soal pertama tepat di ujung gang. Soal tak terduga muncul seperti kata Pak Ben, bahkan di detik pertama.

[SOAL]

[Pencemaran lingkungan semakin buruk. Terapkan prinsip 5R terhadap sampah di sekitarmu! Tunjukkan kepada orang-orang bagaimana membuat dunia yang lebih baik.

Faktor keberhasilan:

1. Daur ulang lima kantung sampah

2. Beritahu tiga orang yang kalian temui agar mengelola sampahnya dengan baik]

"Baru dibicarakan sudah mendapat soalnya. Apa soal-soal ini dibuat mendadak?" gerutu Chloe.

Aku menghadap padanya.

"Kau juga mendapat soal yang sama?" tanyaku.

"Sepertinya kita semua mendapat soal yang sama," timpal Chrys. "Aku juga dapat."

Aku melihat sekeliling. Harusnya ini mudah karena kantung-kantung sampah bertebaran di sekeliling kami. Hal yang harus dilakukan sekarang hanyalah menahan rasa jijik dan mual. Berharap saja tidak ada kuman digital yang bisa menyebabkan penyakit digital. Escherichia coli digital. Salmonella sp. digital. Shigella sp. digital.

"Kenapa kau bertingkah seperti itu?" tanya Chloe.

"Kenapa?" tanyaku balik.

"Kening mengerut, mata berkedut sambil terus menatap tumpukan sampah, tangan bergetar maju-mundur." Chloe memperagakan setiap perkataannya. Aku terlihat menyedihkan dalam citra gadis itu.

"Kau tidak apa-apa, Ren?" Sekarang Chrys yang bersuara.

"Tidak apa, tidak apa. Jangan pedulikan aku." Aku menggeleng sambil mengibas tangan di depan wajah lelaki itu, lantas berjongkok mempersiapkan mental. "Kita harus cepat. Kerjakan saja bagian kalian segera," titahku.

Lima detik pertama, tanganku masih bergetar. Lima detik berikutnya, masih ada keraguan. Lima detik selanjutnya, aku baru dapat menggenggam simpul kantung plastik itu. Perlahan kubuka sambil terus waspada. Ikatannya lumayan kuat, tetapi akhirnya berhasil. Bau sampah langsung menguar seperti makanan busuk yang telah dibiarkan seminggu.

"Ukh!" Aku terbatuk beberapa kali sampai terjengkang. Serangan non-fisik benar-benar berbahaya.

"Kesatria payah," cibir Chloe. "Di rumah pasti kau sangat manja. Pembantu robot berseliweran di mana-mana menyemprotkan disinfektan. Setiap lima menit sekali akan ada semprotan pengharum ruangan dengan antibacterial aerosol yang keluar dan mengganggu. Lihat aku, sudah tiga kantung sampah. Kau bahkan kalah dengan Mischa dan Chrys."

"Sudahlah, Chlo. Jangan mulai," lerai Chrys.

"Itu agar dia sadar diri. Menyuruh cepat, tapi sendirinya belum bergerak sama sekali."

"Akan kubuktikan!" pekikku tak terima dikatai.

Aku menaikkan kerah kaus sampai menutup hidung. Dengan cepat aku mengambil lima kantung sampah sekaligus, membukanya, menumpahkan semua isinya sampai berceceran. Kulit pisang, bekas apel, kaleng soda, biofoam, kantung plastik keripik kentang.

"Hei! Kau sudah gila, ya?!" teriak Chloe sambil menutup hidung. Aku tidak menghiraukannya.

Aku mempersiapkan tiga kantung untuk setiap kategori: organik, anorganik, sampah B3. Menahan rasa jijik yang membuncah, kuambil cepat setiap sampah dan memasukkannya ke kantung yang sesuai. Kulit buah-buahan dan sisa sayur: organik. Kaleng minuman dan botol sekali pakai: anorganik. Baterai sisa dan bola lampu rusak: B3.

"Dia kenapa?" Mischa berbisik.

"Mungkin kesurupan," Chloe menanggapi.

"Aku dengar itu semua!" balasku tajam.

Setelah semua sampah kembali ke kantung yang sesuai, aku langsung mengikatnya dengan kuat. Kubuka tutup tempat sampah, tetapi ternyata isinya penuh. Seharusnya aku sudah mengira ini. Pantas kantung-kantung sampah ini berceceran.

Dengan dua kantung di tangan kanan dan satu di kiri, aku berlari cepat ke luar gang. Celingukan aku berlari mencari tempat sampah yang sesuai. Saat menemukannya aku langsung menaruh kantung-kantung itu di tempat yang semestinya. Untungnya tempat sampah merah-kuning-hijau itu ada di pinggir jalan sehingga mudah ditemukan.

Menyadari tanganku penuh kotoran, aku segera mencari tempat minum umum untuk mencuci tangan. Chrys datang saat aku sedang khidmat membersihkan sela-sela jari.

"Kau tahu itu hanya simulasi," kata anak pirang itu. Aku tidak menghiraukannya. "Chloe dan Mischa sudah mulai memberitahu orang-orang. Ayo, kita juga."

Aku mematikan keran kemudian mengibas-ngibas tangan. Kutatap jari-jemari. Air yang ada langsung hilang. Tidak ada rasa air sama sekali. Aku terlalu paranoid.

Mataku langsung tertuju kepada seorang pria yang baru saja membuang bungkusan biofoam tidak jauh dari tempat sampah. Aku langsung mendekatinya lantas menegur keras.

"Kau itu buta, ya?" kataku sarkas. "Jelas-jelas kau tinggal memasukkan sampahmu itu ke tempatnya yang sesuai, tapi tidak kau lakukan. Pantas saja lingkungan menjadi rusak. Dunia tidak pantas punya orang sepertimu."

Pria itu beringsut lantas mundur perlahan. Wajahnya ketakutan seperti melihat setan. Dia lantas pergi sambil bergidik.

"Woy, jangan lari! Urus sampahmu dulu!" Aku mengacungkan sampah pria itu. Baru saja aku akan berlari dan melempar orang tersebut, Chrys menahanku.

Anak itu menggeleng. "Ren, ingat. Perlakukan orang lain seperti kau ingin diperlakukan. Menasihati orang untuk berbuat baik dan benar itu bagus, tapi kalau caranya kasar orang juga enggan melakukannya."

Aku menghela napas sambil membuang sampah ke tempatnya. "Oke, tunjukkan bagaimana caramu melakukannya," pintaku sambil bersedekap.

Chrys tersenyum sampai matanya terpejam. Dia kemudian menghentikan seorang wanita yang sedang berjalan di taman ini sambil membawa botol kosong. Dengan senyum yang mengembang, anak pirang itu menjelaskan antusias tentang isu lingkungan dan sampah.
Si wanita tersenyum balik. Ia mengikuti Chrys mendekatiku. Dengan senang hati botol di tangannya ia masukkan ke tempat sampah yang sesuai. Wanita itu berterima kasih karena hari ini ia telah mendapat ilmu baru.

"Kuncinya adalah, kalau kau tidak bisa membuat mereka berpikir sepertimu, sentuh mereka di hatinya. Pakai empatimu," saran Chrys. "Dan, jangan lupa tersenyum!"

Aku mendesah. Ini akan lebih sulit dari kelihatannya.

Aku mencari orang yang sesuai. Beberapa kali kutelusuri taman dengan tergesa karena waktu terus bergulir. Setelah mengelilingi taman sekali, aku akhirnya menemukan target yang sesuai. Seorang bocah dengan kantung plastik keripik kentang. Dia membuangnya sembarangan.

Aku memungut sampah yang dibuang, lantas tersenyum (paksa). "Hai, Dik," sapaku. "Apa kau tahu kalau sampah ini bisa berubah menjadi monster?" Anak itu menggeleng. Aku lalu menjelaskan tentang 5R yang terdiri dari Reuse, Reduce, Recycle, Replace, dan Replant.
Anak itu hanya bengong. Dia lantas mengangguk cepat sebelum akhirnya pergi setelah aku selesai bicara. Tidak menghiraukan reaksi target pertamaku, aku mencari dua target selanjutnya. (Apa aku terdengar seperti predator?)

Terus tersenyum dengan paksa dan bertingkah di luar karakterku yang biasa membuatku sangat lelah. Setelah selesai, aku beristirahat sebentar di bangku taman sambil menarik napas.

"Kuingat kau aktor yang hebat," celetuk Chloe sambil melipat tangan di depan dada.

"Aktor juga bisa lelah kalau terus berada di luar sifat aslinya," balasku.

"Bilang saja kalau kau memang payah."

"Istirahat sebentar untuk mendinginkan kepala?" Chrys berusaha melerai.

"Tidak. Kita lanjut." Aku berdiri sambil mengusap keringat yang tersisa. "Kita sudah kehilangan banyak waktu. Siapa yang tahu Prima Sophia dan Magna Prudentia sudah sampai mana."

Aku membuka peta, mencari penanda soal yang lain. Ada beberapa soal yang tersebar di taman, tetapi tempatnya tak terjangkau. Untuk mengejar ketertinggalan, aku menyuruh semua untuk menjawab seluruh soal yang ada sebelum berpindah ke tempat lain. Untung saja kumpulan pertanyaan yang ada di sini tidak seperti soal sebelumnya. Terbilang mudah juga karena hanya berupa perhitungan seperti menghitung peluang obrolan pengunjung, frekuensi kunjungan orang-orang ke taman, atau berupa, Berapa suara minimal yang diperlukan dalam dB agar suara seseorang dapat disadap pada jarak 10 m menggunakan alat perekam yang umum di pasaran (spesifikasi alat disebutkan)?

Soal yang mencurigakan.

"Ayo," ajakku.

Kami bergerak ke daerah perkantoran. Gedung-gedung pencakar langit mendominasi. Gerai-gerai makanan tumbuh seperti jamur di musim hujan. Orang-orang berlalu-lalang keluar-masuk bangunan. Sepertinya ini adalah jam istirahat kantor.

"Kita akan mulai dari mana?" tanya Chloe.

Berpacu dengan waktu dan ancaman yang bisa datang kapan saja, aku harus berusaha menemukan soal yang sekiranya dapat dikerjakan dengan singkat. Menjawab pertanyaan gadis badut itu, aku memilih penanda soal yang melayang dekat bangku panjang di pinggir jalan. Waktu tempuh suatu kendaraan dalam kecepatan tertentu, kecepatan langkah kaki seseorang, frekuensi suara klakson.

Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya mengarahkan kami ke kedai makan dengan banyak orang di dalamnya. Tingkat CO2 yang diembuskan dalam satu jam, berapa gaya yang dibutuhkan untuk mengunyah makanan dalam sekali waktu, jumlah energi yang dihasilkan dalam satu hidangan, dan masih banyak lagi. Cukup menguras tenaga karena aku menekan teman-teman agar berpikir lebih cepat dalam waktu yang singkat. Alhasil fokus mereka buyar dan menyebabkan satu soal terlepas dari pengawasan.

Kejadian itu terlalu cepat. Belum sempat aku memproses apa yang terjadi, sebuah tabrakan berlangsung. Sebuah mobil merah menghantam truk trailer yang sedang melintas di pertigaan saat seharusnya mobil itu berhenti karena lampu merah. Semua syok, bahkan aku. Untuk satu menit penuh kami terpaku. Orang-orang yang ada di pinggir jalan kemudian membantu para korban.

Tidak ada yang bisa kami lakukan. Keadaan semakin kacau karena orang-orang itu mulai menatap kami dengan penuh kebencian. Perlahan, korban yang ada di dalam mobil merah keluar dengan berlumuran darah. Orang itu berjalan seperti zombi dengan tertatih-tatih. Kami mundur, sosok itu berhenti.

"Bersiap!" peringatku.

Suara lengkingan mengawali transformasi sosok itu menjadi monster yang harus kami lawan. Orang-orang di sekitarnya perlahan berubah menjadi hitam legam, kemudian meleleh seperti cairan aspal panas.

"Ewh." Chloe meringis. Chrys bergidik. Mischa beringsut.

Mereka kemudian bergerak layaknya slime ke arah si korban dan menyatu sepenuhnya membentuk monster aspal raksasa setinggi bangunan dua lantai. Cairan aspal itu lama-lama mengeras; membentuk sosok kokoh monster aspal hitam berkaki dan bertangan dua. Memiliki hit point lima ratus.

Soal-soal yang nilainya akan jadi poin kerusakan mengelilingiku diiringi raungan penuh droplet aspal cair si monster. Makhluk itu lantas mengayunkan lengannya; mengirimkan bebatuan aspal dengan cepat.

"Berpencar!" perintahku.

Aku dan Chloe ke sisi kiri. Chrys dan Mischa ke sisi kanan. Serangan makhluk itu berhasil menghancurkan trotoar yang kami pijak sebelumnya.

"Mischa! Ikat kakinya! Chrys! Alihkan perhatiannya!" Kedua orang itu mengangguk mengerti. "Nah, Badut Konyol, kau terjebak denganku untuk menghabisi makhluk ini."

"Huh, aku yakin aku bisa memberikan kerusakan lebih banyak darimu." Chloe menatapku sengit.

"Dalam mimpimu."

Arthur dan Clowny menerjang bersama. Avatarku dengan tameng dan Excalibur, Si Badut Konyol dengan dua pisau raksasa di kedua tangan. Mereka bergerak di antara akar-akar Lakshmi yang sedang melilit tubuh makhluk itu. Beberapa kali objek yang diikatnya meronta sampai menyebabkan akar putus di beberapa bagian. Di sisi lain, Krishna tengah menarik perhatian Si Monster Aspal dengan cakram-cakram berputar yang sesekali berhasil memberikan poin kerusakan.

Arthur mengoyak dada makhluk itu, aspal panas keluar seperti kebocoran. Beberapa kali bertahan dengan tameng dari muntahan bebatuan aspal tajam, lantas menyerang balik. Di antara tangan-tangan Si Monster Aspal yang menghalau, Arthur dan Clowny melompat-lompat menghindar diiringi tebasan dan koyakan. Akar-akar Lakshmi mengikat ke bagian tangan. Untuk sesaat makhluk tersebut dapat ditahan. Namun, sesuatu terjadi.

Akar putus. Lengan yang terikat bergerak dengan cepat. Monster itu menggenggam Arthur dan Clowny dengan kedua tangan. Dengan satu lecutan, dua avatar itu dilemparkan sampai membentur salah satu bangunan.

"Arthur!"

"Clowny!"

Debum dan debu mengiringi jatuhnya kedua avatar. Aku dan Chloe menghampiri mereka. Para makhluk digital itu terbaring lemas. Beberapa kali berusaha berdiri dengan tertatih.

"Kau tidak apa-apa, Clowny?" tanya Si Gadis Badut khawatir. Ia terus mengoceh sampai akhirnya membisu. Tangannya terangkat seperti meminta sesuatu. Serpihan-serpihan debu berjatuhan banyak ke atas tangan gadis itu.

Aku berhenti memperhatikannya saat sebuah benda seperti kerikil mengenai kepalaku. Ketika aku menengadah, dinding bangunan di atas kami bergerak jatuh, diiringi suara Chrys dan Mischa yang histeris memperingati.

~~oOo~~

Beta reader: n_Shariii

A/N

Ayo, berikan kesan kalian pada bab ini!

Kritik dan saran yang membangun saya nantikan.

Jangan lupa memberi vote kalau suka ceritanya.

Terima kasih sudah membaca. 'v')/

Salam literasi!

***

Diterbitkan: 03/10/2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro