Bab 18: Puspa Iptek

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku sudah pernah mengatakan kalau Ascent, khususnya Kota Dvat sangat suka membuat bangunan dengan makna filosofis di dalamnya. Namun, aku tidak mengerti dengan bentuk bangunan yang sedang kuhadapi ini. Katanya, ini adalah arsitektur dekonstruktivisme. Sebuah gaya seni arsitektur yang mengedepankan ketiadaan simetri, harmoni, ataupun kontinuitas. Hal itu dapat terlihat dari dinding yang seperti akan jatuh, atap yang meliuk-liuk, dan bentuk keseluruhan yang tidak beraturan. Aku tidak tahu lagi bagaimana harus mendeskripsikannya selain dinding-dinding asimetri berwarna perak yang ujung satunya runcing ke atas dan ujung lainnya tumpul ke bawah. Jendela-jendela heksagonal berbagai ukuran yang terlihat zig-zag asal tempel di beberapa sisi. Dan terakhir, semua bagian bangunan itu seolah terpelintir.

"Aku tidak mengerti di mana indahnya," ucap Chrys pelan sambil kami sama-sama melihat bangunan itu.

"Tenang Chrys, aku juga tidak mengerti," sahut Chloe di sebelahku.

Seseorang mendekat lalu berdiri di dekat kami. "Hm, orang seperti kalian memang tidak akan mengerti soal seni semacam ini," Alva menimpali dengan pongah. Dagunya agak terangkat diiringi senyum meremehkan.

Aku menyipitkan mata.

"Apa maksudmu?" sambar gadis di sebelahku ketus. "Memangnya 'seperti kami' itu yang seperti apa, hah?"

"Dengar, ya,"—Alva mengetuk-ngetuk pelipisnya—"Hanya kaum intelektual yang bisa menikmati rasa seni seperti arsitektur ini."

"Kalau begitu, coba kau jelaskan nilai seni bangunan ini agar kami mengerti," tantangku. Kulipat tangan di depan dada.

"Percuma. Kalian tetap tidak akan mengerti. Kalian terlalu sibuk mengagumi sampai sulit untuk memproses informasi."

Mataku berkedut. Rasanya aku ingin sekali menantangnya adu otak. Masih pagi, tetapi bocah Alafathe itu sudah mengajak ribut. Aku maju selangkah, tetapi Chrys memegang bahuku. Dia menggeleng.

"Informasi untukmu, Alva. Kami-tidak-tanya," ujar Chrys. Senyum percaya diri terpancar di wajahnya.

Alva membalik keadaan. "Hanya memberi tahu, Chrysan, karena otak kalian sulit mencerna pemikiran dan idealisme kompleks."

Chrys memegang dadanya seperti tertusuk. Dia lalu memeluk bahuku seperti seseorang yang telah mendengar kenyataan pahit. Aku segera menyingkirkannya sebelum terjadi kesalahpahaman.

"Dengar, Alva. Hanya karena kalian menjadi tuan rumah bukan berarti kalian bisa semena-mena terhadap kami!" sungut Chloe. Wajahnya seakan bisa meledak kapan saja.

Seorang gadis berambut pirang keemasan datang mencoba melerai. "Sudahlah kalian. Tidak perlu mempermasalahkan bentuk bangunan," katanya lembut. Olivia memandang Alva jengah. "Tidak seharusnya kau bicara seperti itu, Alva. Seharusnya kita membuat para tamu nyaman dengan keramahtamahan kita." Gadis itu memandang kami satu per satu. "Maafkan kami, ya." Ia lantas menggiring teman Alafathe-nya itu menjauh. Kepalanya mengedik ke arah kerumunan, isyarat agar mengikuti. Gadis Alafathe itu kemudian mengedip dua kali. Padaku. Pada Chrys.

Si Anak Pirang termangu diperlakukan oleh orang yang dia suka. Aku menyikutnya agar dia sadar. Chrys tersentak. Chloe menghadiahi anak lelaki itu injakan yang keras sampai mengaduh.

"Kalian kenapa, sih?!" protesnya. Chrys meringis meratapi kakinya—yang sekarang mungkin nyut-nyutan luar biasa karena dihantam kaki monster. "Kalau cemburu bilang saja ...."

"Mana mungkin aku cemburu," balasku.

"Chloe saja cemburu, tuh." Chrys menunjuk orang yang dimaksud yang kini telah melengos pergi.

"Kalian berdua sama saja!" teriak gadis itu.

Aku memicing, tidak memedulikannya.

Tidak seperti bagian luar yang terkesan "abstrak", bagian dalam bangunan lebih rapi, canggih, dan futuristik. Warna yang mendominasi adalah chrome seperti aluminium foil, hitam mengilat, putih, dan warna-warna logam lainnya. Barang-barang berteknologi mutakhir menyambut kami dengan meriah. Drone-drone terbang memperagakan fungsi mereka ke setiap pengunjung yang datang. Robot-robot android dan humanoid lainnya menghibur kelompok-kelompok wisatawan dari kumpulan anak-anak sampai orang dewasa berpakaian kantoran. Selain menjadi pusat peragaan, bangunan ini juga dapat berfungsi sebagai tempat pameran teknologi terbaru untuk mereka yang ingin mengadopsi atau sekadar melihat prototipe yang baru diselesaikan. Kurang lebih begitu penjelasan yang kudapat dari artikel sebelumnya yang kubaca di mobil dan pemandu tur kami.

"Setiap teknologi yang ada di sini adalah manifestasi dari ide-ide gila para ilmuwan yang menginginkan kemajuan peradaban. Seperti sifat dasar alami makhluk hidup yang tak pernah puas, selalu ada teknologi yang dilahirkan sehingga kami harus memperbesar tempat ini setiap tahun," papar Pak Xavier selaku pemandu.

Kami melewati berbagai macam alat peraga dari yang sederhana sampai yang canggih. Beberapa di antaranya sedang digunakan oleh para android atau anak-anak yang ingin mencoba. Sesekali Pak Xavier menjelaskan fungsi alat-alat itu dan bila ada kesempatan, kami disuruh mencoba agar tahu bagaimana cara kerjanya secara langsung.

Saat kami sedang melewati alat pemeta pikiran, kehebohan terjadi.

"Ren, lihat! Manusia Baja!" Chrys menunjuk ke atas. Seseorang sedang terbang menggunakan pakaian khusus seperti terbuat dari logam kehitaman. Dari kaki dan telapak tangannya keluar emisi serupa gelombang panas berwarna biru yang mendistorsi sekitarnya.

"Itu Manusia Besi, Chrys!" timpal Chloe sama antusiasnya. Semua orang yang melihat orang itu bersorak dan bertepuk tangan.

Si Makhluk Logam menukik tajam ke arah kami. Dia terbang rendah—mungkin sekitar tiga meter—sambil mengulurkan tangannya seperti mengajak tos pada pengunjung yang dilewati. Beberapa orang mendapat kesempatan itu, termasuk Chloe, Chrys, Saka, Argen, dan Ludwig. Mereka sangat antusias.

"Hati-hati, Robert!" seru Pak Xavier kepada si Manusia Logam. Orang tua itu terkekeh. "Dia memang suka pamer." Pak Xavier berdeham seperti orang yang mau menyampaikan pidato. "Omong-omong, itu adalah prototipe pakaian spesial yang sedang dikembangkan untuk pasukan khusus. Kalian tahu, untuk situasi yang 'genting'." Pemandu tur itu mengutip kata terakhir sambil tersenyum seperti seorang psikopat.

Aku jadi berpikir lebih dalam, mungkin Ascent memang sedang melakukan sesuatu yang dapat membahayakan. Termasuk olimpiade ini.

"Ren, ayo!" Chrys menepuk bahuku pelan. Dia menyadarkanku agar aku tidak tertinggal.

Rombongan bergerak ke mesin peragaan 3D solid hologram. Bentuknya seperti kotak kaca raksasa dengan tiang-tiang penyangga berlampu berbentuk bola tertanam yang memancarkan cahaya. Di depannya terdapat banyak orang yang sedang melihat simulasi bagaimana sebuah kota terbentuk, dari perkampungan kumuh sampai menjadi kawasan metropolitan dalam kilasan cepat—time lapse.

Pak Xavier selaku pemimpin rombongan mendekat ke operator yang berada di sebelah kanan. Dia membisikkan sesuatu sambil melihat ke arah kami. Dia lalu melangkah ke tengah alat peraga, membuat bingung semua yang melihatnya.

"Para hadirin sekalian!" teriak Pak Xavier menggunakan mikrofon yang entah datang dari mana seperti seorang pemandu acara. "Terima kasih karena kalian telah datang ke Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dvat! Kalian yang ada di sini adalah orang-orang beruntung karena dapat menyaksikan salah satu teknologi yang sekarang sedang didorong perkembangannya dalam keadaan maksimal! Teknologi ini sampai dipakai dalam sebuah olimpiade megah yang diwakili tiga sekolah dari tiga negara yang berbeda!" Pemandu berambut hitam itu menunjukku secara spontan lantas melebarkan satu tangannya, menyapu para murid yang lain.

Suara tepuk tangan dan siulan para pengunjung menggema seperti sebuah sambutan pertunjukan yang meriah.

"Untuk acara utamanya, mari kita pilih para pemain yang akan berpartisipasi!" teriak Pak Xavier sambil mengacungkan telunjuknya ke udara.

Lampu sekitar meredup, lantas lampu sorot mengarah acak pada setiap peserta yang ada bergantian. Chrys—yang seketika tersenyum lalu cemberut kembali, Mischa—yang langsung bersembunyi di balik punggung Chloe, Saka—yang antusias sampai melompat, Olivia—yang tersentak kaget, Argen—yang senang sampai mengacungkan tangannya ke udara. Lampu baru benar-benar berhenti ketika menyorot Alva yang sedang bersedekap ....

.... dan aku.

Sial. Mereka pasti sudah merencanakan ini.

Semua mata seolah menusukku. Alva yang ada di depan bahkan melihat dengan tatapan mencemooh. Dia memberiku jempol yang mengarah ke bawah. Senyum meremehkan terpatri di wajahnya.

"Ayo, Ren! Ladeni dia!" Chrys menyemangati. Dia menyikut rusukku berulang sampai aku harus memukul tangannya.

Setelah Pak Xavier menyuruhku dan Alva maju, aku membelah kerumunan agar bisa ke depan. Kami disuruh ke bagian teknisi terlebih dahulu untuk kalibrasi pin avatar sebelum kami masuk ke dalam alat simulasi 3D solid hologram.

Di dalam kotak simulasi yang cukup besar, aku dan Alva berhadapan.

"Aku tidak akan kalah," kata Alva. "Jadi, jangan menahan diri."

Aku mencibir. "Tidak perlu berlebihan," balasku. "Memang semua skill-ku pantas untuk dikeluarkan di sini hanya untuk sekadar pertunjukan?" Alva seperti tersinggung. "Aku tidak akan buang-buang tenaga hanya untuk hal seperti ini."

Pak Xavier kembali memimpin pertunjukan. "Kali ini, dua orang ketua dari dua perwakilan akan saling berhadapan. Kita lihat, apakah mereka bisa mengalahkan satu sama lain dalam duel satu lawan satu ini."

Suara dukungan dan tepuk tangan saling bersahutan.

"Ayo, Ren! Jangan sampai kalah!!!"

"Go, Alva!"

"Cincang dia, Kesatria!"

"Mari kita mulai!" seru Pak Xavier. Dia menunjuk si teknisi. "Arena: Set!"

Kotak putih yang aku dan Alva pijak perlahan memperlihatkan jaring-jaring seperti topologi model trimatra. Garis-garis itu saling bertautan, membentuk objek-objek timbul yang dengan cepat terlihat jelas bentuk geometrisnya. Ada pohon, rumput, bunga. Semua bentuk solid berwarna putih menjadi berwarna dalam sekejap mata. Kurang dari satu menit, aku dan Alva seolah telah berpindah ke sebuah sabana dengan pohon-pohon akasia dengan padang rumput yang membentang dan bebatuan berbagai ukuran yang berserakan.

Pak Xavier melanjutkan penjelasannya. "Semua yang kalian lihat ini adalah murni cahaya yang telah dimanipulasi dengan teknologi mutakhir yang ada. Foton dibuat agar bisa berinteraksi selayaknya molekul lalu dipadatkan agar bermassa. Semua efek-efek dan CGI yang ada diatur dengan komputer." Pemandu tur kami itu berdeham. "Para pemain, siapkan avatar kalian!"

Aku dan Alva melemparkan pin avatar masing-masing secara bersamaan.

"Mewujudlah, Arthur!"

"Mewujudlah, Loki!"

Pin avatar hitam berbentuk ikosahedron yang melayang mengeluarkan cahaya yang perlahan menyelimuti. Cahaya itu kemudian membentuk sesosok figur yang menyerupaiku dan Alva.

Arthur yang setinggi setengah tubuhku mendarat dengan suara debum yang keras, membuat partikel debu terlempar ke segala arah. Baju zirah, pedang dan tamengnya yang keperakan memantulkan cahaya lampu, membuatnya berkilauan. Sesekali bulu burung berwarna merah di helm avatarku bergoyang terkena angin artifisial.

Di sisi lain, Loki yang terlihat seperti Alva versi sangat tengil menjejak dengan satu tangan. Dia kemudian berputar dengan dua kaki menyapu tanah seperti breakdancer membuat jubah hijaunya berkibar, lantas berdiri normal sambil mengacungkan tongkat keemasan. Benda itu memiliki ujung seperti mata tombak melengkung layaknya sabit dengan bola kristal bercairan biru mirip lampu lava di tengahnya.

Pak Xavier melanjutkan penjelasan. "Para hadirin! Di depan kalian ini adalah avatar-avatar yang digunakan para murid di sekolah dengan kurikulum khusus untuk bertarung memperebutkan peringkat! Kali ini, mereka akan berduel seperti yang akan dilakukan pada olimpiade. Namun, akan ada sedikit perbedaan sistem. Bila biasanya poin serangan akan didapatkan dari poin menjawab soal, khusus ekshibisi kali ini poin akan didapatkan secara default. Setiap serangan akan bernilai lima puluh dengan hit poin mereka dua ribu. Skill dapat diaktifkan bila serangan telah mencapai kombo lebih dari tiga kali." Dia menunjukku dan Alva bergantian. "Bersiaplah!"—tiga jarinya mengacung ke atas—"Tiga!"

Para hadirin sontak menimpali, "Dua!"

Teriakan bergema lebih kencang. "Satu!"

Siulan, tepuk tangan, dan sahutan semakin ramai.

"MULAI!" imbuh Pak Xavier.

"Maju, Arthur!" perintahku.

Arthur menerjang. Pedangnya menghunus menantang. Dia menebas, tetapi Loki berhasil mengelak dengan melompat ke atas. Avatar Alva itu mengacungkan tongkatnya pada Arthur, sekejap mata saja avatarku terpental jauh terkena lecutan angin sampai terguling menggesek tanah. Rerumputan bahkan masih bergoyang menandakan kerasnya dorongan yang dihasilkan.

"Uwooo, sebuah balasan dari Loki!"

Ck, serangan pertama. "Gesit juga dia ...."

"Ayo, Arennga!"

"Terus serang, Alva!"

"Arthur menghindar!" perintahku seketika saat Loki kembali menyerang dengan lecutan angin.

Arthur berguling ke samping dan langsung melaju dengan cepat. Koreografi serangan pertama terulang lagi. Lecutan angin Loki menerjang, tetapi avatarku berhasil bertahan. Kesatria digital itu berputar menghindar, pedangnya dia tebaskan pada avatar Alva yang hanya bisa bertahan dengan tongkat menyilang.

Slash!

"Loki!" teriak Alva.

Luka digital merah bersarang di dada Loki yang kini telah terpental.

Sorak-sorai penonton menggema.

Aku tidak memberi Alva waktu. Kusuruh Arthur untuk terus menyerang. Loki yang terkapar tidak sempat mengelak ketika Arthur menyeruduknya dengan perisai sampai terpental lagi. Sebelum Loki dapat menyentuh tanah, avatarku bergerak laju, lantas menebas avatar Alva itu sampai terbang kembali beberapa meter di atas permukaan tanah. Avatarku melompat untuk menambah kerusakan pada avatar Alva. Luka digital merah terus bertambah ketika Arthur terus mengoyak Loki tanpa henti, sampai akhirnya menutup dengan satu hantaman keras di perut lawannya dengan ujung gagang pedang.

"Oh! Serangan yang sangat brutal dari Arthur, Saudara-saudara!"

Bug! Loki jatuh terkapar di atas rerumputan ....

"Sekarang, Loki!"

"Apa—"

Loki yang terbaring mengangkat tongkatnya tepat ke depan Arthur yang akan mendarat. Lecutan angin serta merta menyerang avatarku yang tidak siap dengan serangan dadakan. Arthur terpental. Tamengnya terlambat melindungi. Dengan cepat Loki bangkit dan menyerbu avatarku dengan membabi buta. Serangannya baru berhenti ketika aku memerintahkan Arthur untuk bersembunyi di balik batu.

Ck. Sial. Sekarang serangannya sudah cukup sebagai syarat mengeluarkan skill.

"Nah, Arennga, kalau kau masih belum mau serius, biarkan aku yang mulai!" Alva memanasi.

Sepertinya aku memang tidak boleh menahan diri lagi jika ingin menang dan membuat malu anak itu.

Aku tersenyum, sebisa mungkin tidak terlihat tersulut. "Kalau itu maumu. Akan kubuat kau malu."

"Loki!" panggil Alva. "Kita tunjukkan pada semua orang trik daun memukau kita!"

"Beri yang dia inginkan, Arthur!" Sayang sekali hanya ada satu skill yang bisa diaktifkan saat ini.

"Whoa, ini dia, para hadirin! Sebentar lagi kita akan melihat skill yang memukau! Siapkan kacamata hitam kalian karena ini akan sangat menyilaukan!"

Loki mengentakkan tongkatnya ke tanah. Makhluk digital itu memunculkan beberapa lingkaran sihir berwarna hijau di sekelilingnya. Sulur-sulur hijau merambat membentuk figur-figur pria bermata putih membawa panah-panah dart yang siap ditembakkan.

Dalam waktu yang bersamaan, Arthur melompat ke atas sambil menyimpan tamengnya di punggung. Satu tangannya mengayun, sebuah pedang muncul. Tangan lainnya bergerak, sebuah tombak hadir. Berbagai senjata tajam lainnya datang seiring Arthur yang melempar dan memunculkan senjata-senjata itu secara bergantian. Kumpulan senjata tajam itu meluncur dari langit seperti hujan.

"Ayo, Loki!" seru Alva.

Loki menggerakkan tangannya ke arah Arthur, memerintahkan para pria tanaman melemparkan panah-panah dart. Senjata-senjata Arthur dan dart Loki beradu menghasilkan suara bising. Angin artifisial yang dihasilkan berembus kencang membuat dinding pengaman terasa berguncang. Pedang-pedang avatarku yang menancap ke tanah menghasilkan getaran-getaran kecil seperti gempa.

"Para hadirin dimohon untuk mundur!"

Skill yang kami buat sepertinya tidak bisa ditampung oleh alat simulasi yang kecil. Getaran tidak berhenti sampai suara peringatan berbunyi. Pemberitahuan "Peringatan: Sistem kelebihan muatan," bahkan terus bergema.

Aku tidak menghiraukannya. "Ayo, terus Arthur!" perintahku agar Arthur membidik lebih akurat.

"Menghindar, Loki!"

Serangan semakin intens. Guncangan semakin keras. Suara seperti mesin yang panas bahkan terdengar nyaring. Skill yang seharusnya berlangsung satu menit harus berakhir bahkan sebelum mencapai puncak.

Bum!

Ada sesuatu yang meledak. Bukan dari arena. Listrik padam seketika membuat semua solid hologram lenyap seketika termasuk para avatar. Hadirin yang ada berteriak kaget dalam kepanikan.

"Tenang, para pengunjung! Semua akan baik-baik saja!" Pak Xavier berusaha menenangkan. Dia kemudian menyuruh aku dan Alva kembali ke rombongan sambil menunggu listrik kembali menyala.

Aku mendesah kecewa. Alva bahkan sampai menghampiriku dan berkata, "Ada saatnya kita selesaikan ini."

Aku balas menatapnya intens. "Kita lihat saja nanti."

~~oOo~~

A/N

Ayo, berikan kesan kalian pada bab ini!

Kritik dan saran yang membangun saya nantikan.

Jangan lupa memberi vote kalau suka cerita ini.

Terima kasih sudah membaca. 'v')/

Salam literasi!

***

Diterbitkan: 17/07/2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro