Bab 17: Presentasi Emosi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku kembali menganalisis soal, melihat pertanyaan apa saja yang bisa dikerjakan di area setelah keruntuhan Kerajaan Zulmat ini.

"Soalnya beranak," keluh Chrys. "Aku tidak yakin kita bisa menyelesaikannya sebelum pukul sebelas."

"Yakinlah," timpalku. "Jangan kalah sebelum berperang."

Aku sesekali menengok diorama-diorama yang ada lantas kembali ke pertanyaan. Kusipitkan mata untuk melihat diorama itu secara detail lalu kembali ke soal lagi.

"Kau malah membuat ini semakin lama!" protes Chloe. Ia mengambil paksa kertas dari tanganku. "Sini!"

"Woy!" Aku balik protes. Kuambil kembali kumpulan soal itu.

"Begini saja," geram Chloe, suaranya meledak kemudian, "kenapa kita tidak berpencar saja seperti yang lain dari awal?!"

Aku melindungi tubuh dengan tangan dari air liurnya yang muncrat-muncrat, Chrys dan Mischa mundur beberapa langkah.

"Berikan." Gadis itu langsung merebut lagi kertas di tanganku dan memfotonya. Ia melakukan sesuatu dengan ponselnya. Sesaat kemudian, Chrys dan Mischa memeriksa geniusphone mereka. Gadis itu menghadap kedua orang di belakangnya. "Aku sudah mengirimkan fotonya pada kalian," katanya pada Chrys dan Mischa, tanpa memedulikanku yang jengkel karena tingkahnya.

"Kita bagi tugas. Kesatria, kau nomor 2-9. Aku nomor 10-16. Chrys nomor 17-23. Mischa 24-30." Gadis itu menunjuk nomor dari atas sampai bawah. "Aku sudah membaginya sesuai nama. Ada yang keberatan?"

"Dan aku mendapat delapan nomor," ujarku.

"Itu karena kau ketuanya! Ah, sudahlah!" Ia menepak kertas soal itu ke dadaku. "Nih!"

Aku membaca ulang pertanyaan-pertanyaan itu yang kini kertasnya sudah agak lecak.

"Aku pergi," ucap Chloe sambil lalu. Ia mengarah ke salah satu diorama sebelum pergi ke pintu yang berlawanan dari pintu masuk.

"Aku juga pergi!" Chrys berbalik, tetapi sesaat kemudian dia kembali. "Nanti kita berkumpul di mana?"

"Di sebelah kanan patung Sang Hyang Adiwidya, pukul sebelas tepat," tegasku.

"Oke," jawab Chrys sambil tersenyum. Jari telunjuk dan jempolnya membentuk lingkaran. Mischa yang ada di sebelahnya hanya mengangguk kemudian pergi juga.

Aku memberi pesan ke grup obrolan untuk pengingat.

Sekarang, tinggal aku sendiri.

Kulihat sekali lagi soal nomor 2-9 yang kebanyakan menanyakan tentang awal-awal peradaban. Tanpa membuang lebih banyak waktu lagi, aku segera kembali ke ruangan kepurbakalaan dan berkeliling mencari tempat-tempat yang menjadi jawaban.

Tiga nomor tentang tata cara penguburan kuno, perburuan dan pertanian zaman dahulu, serta awal mula ditemukannya tulisan kukerjakan dengan cukup mudah. Diorama-diorama hologram yang ada tampil interaktif. Mereka bergerak ketika ada orang yang melewati sensor di depannya. Contohnya ketika aku berdiri di hadapan diorama orang-orang yang bersiap untuk upacara kematian zaman batu. Mereka secara hati-hati memasukkan jasad ke dalam kubur batu (sarkofagus) dalam posisi meringkuk seperti bayi dalam kandungan sebagai simbol kembalinya jasad ke perut Ibu Alam. Tidak lupa dengan bunga-bunga dan bekal kubur untuk menemani si Mati di alam selanjutnya, begitu kata salah satu hologram yang menjadi narator.

Sama halnya dengan diorama perburuan dan pertanian. Latar tempat diceritakan bagai dongeng. Hewan-hewan hutan yang awalnya damai berlarian saat pemburu datang menggunakan tombak, kapak genggam, dan panah. Para pemburu kemudian kembali melewati ladang yang ditumbuhi gandum dan jelai. Narasi si pemburu dan petani mengatakan kalau hasil buruan dan tanaman pertanian akan berbeda sesuai dengan kondisi alam dan topografi.

Ah, info dump. Aku akan menyingkat bagian akhir ini. Masa praaksara/prasejarah sendiri berakhir saat tulisan ditemukan dan hal ini akan berbeda di setiap tempat. Tulisan tertua pertama ditemukan di Sumr, 3200 SbP yang dikenal sebagai tulisan paku atau kuneiform. Tulisan ini berkembang dari simbol yang disebut pictograph.

Sial, aku terlalu menikmati melihat diorama yang ada sampai lupa kalau waktu terus berjalan. Tersisa lima soal yang masih harus kukerjakan dan sisa waktu tinggal satu jam lagi. Aku harus cepat.

"Hebat, ya?"

"Akh—"

Aku terkejut ketika berbalik. Saka tiba-tiba berdiri sambil melihat diorama tentang tulisan pertama itu. Dia berpaling ke arahku dan mengatakan sesuatu yang membuatku berhenti berjalan seketika.

"Dengar, Arennga, aku hanya ingin menyampaikan pesan, lawanmu itu bukan hanya Prima Sophia. Jadi, jangan anggap remeh kami." Saka berkata santai, tetapi aku tahu dia sedang serius.

"Apa maksudmu?"

"Jangan memandang rendah orang lain, bahkan kepada orang yang baru kautemui. Bisa jadi mereka punya potensi yang belum pernah kau bayangkan."

Aku berdecak. Tidak ada waktu untuk melayani omong kosong ini. Walaupun begitu, kata-katanya mengingatkanku pada nasihat Pak Ben.

...

Soal terakhir berhasil kuselesaikan. Aku langsung mengecek ponsel dan melihat jam. Pukul sebelas lewat lima. Sial. Aku terlambat. Aku langsung pergi ke titik temu.

Di sebelah kanan patung Sang Hyang Adiwidya, Chloe sedang bersandar pada pagar besi pembatas etalase artefak sambil melipat tangan. Wajahnya menunjukkan kekesalan. Bibirnya bergerak-gerak seperti sedang menggumamkan sesuatu. Aku yakin gadis itu sedang mencibirku karena terlambat datang.

Ketika aku sudah di hadapannya dia langsung meledak. Matanya melotot lebar. "Mana yang katanya harus datang pukul sebelas? Hah? Mana? Bisa-bisanya kau tidak menepati kesepakatan yang kaubuat sendiri!" makinya bertubi-tubi sambil menunjuk dadaku.

Aku hanya bisa bungkam karena sadar di sini aku yang salah.

"Mana yang lain?" tanyaku mengalihkan topik.

Gadis itu kembali bersedekap. "Ck, tidak tahu diri," gumamnya yang masih bisa terdengar olehku. "Mana kutahu."

Mischa datang tak lama kemudian. Gadis itu datang dari sayap kanan (aku datang dari sayap kiri) tergesa lalu berjalan sambil menautkan tangan.

"Ma .. maaf aku terlambat," katanya sambil menunduk.

"Tidak apa-apa." Aku dan Chloe berkata bersamaan. Kami saling pandang, tetapi sorot yang keluar dari mata cokelat almonnya lebih ke penghakiman. "Bisa-bisanya kau berkata seperti itu setelah dirimu sendiri terlambat!" Mungkin begitu pikirnya. Aku sendiri memandangnya lebih ke tidak terima karena hanya aku yang disalahkan. Dasar pilih kasih.

"Mana Chrys?" tanyaku.

Gadis pemalu itu menggeleng. "Aku tidak tahu," jawabnya lirih.

Aku langsung mengirim pesan di grup obrolan. Namun, setelah satu menit, tidak ada jawaban. Aku menghubunginya lewat pesan pribadi. Tidak dibalas.

"Anak ini ...." Aku geram. Bisa-bisanya dia. Sedang apa, sih?!

Aku langsung menelepon Chrys. Tidak lama kemudian, anak itu menjawab.

"Ha ... halo?"

"Di mana kau?" tembakku langsung.

"Aku di area kerajaan-kerajaan," jawabnya. Anak itu bergumam, "Oh, Man. Obelisk ini indah sekali ...."

"Woy, Chrys! Cepat kemari!" perintahku kesal.

"E ... eh, tapi aku belum selesai—"

"Aku ke sana sekarang!"

Aku langsung memutus sambungan dan segera menyusulnya.

"Di mana dia?" tanya Chloe sambil menyejajarkan langkah denganku. Mischa mengikuti.

"Sepertinya di area Al-Masr, dia bilang obelisk."

Aku mempercepat langkah. Di sepanjang perjalanan ke area itu aku beberapa kali berpapasan dengan tim lain yang masih berusaha menjawab soal. Aku semakin gelisah ketika di antara mereka ada yang bergerak ke arah depan—asumsiku—ke tempat Pak Guido, untuk menyerahkan hasil.

Kami melewati area Iyonnan dan Sumr sebelum sampai di Al-Masr. Di sepanjang perjalanan patung-patung cacat tanpa lengan atau kepala yang merepresentasikan dewa-dewi berparas rupawan menemani kami. Ada juga prasasti dan kodeks bertuliskan huruf-huruf kuno.

Al-Masr terasa seperti area yang berada di gurun. Warna yang mendominasi adalah krem sewarna pasir. Dindingnya dihiasi gambar-gambar dewa-dewi dan hieroglif. Patung-patung dengan ukuran kepala sampai dada (bust) dipajang rapi bersama artefak-artefak lain berupa guci tempat organ mumi ditaruh, pula dengan medali kumbang scarab dan salib ankh. Area ini tidak akan lengkap tanpa sarkofagus emas dan muminya, yang ditaruh di sebelah belakang dari tempat kami masuk.

Di bagian tengah, sebuah tugu dengan puncak piramida berdiri, bersama anak yang kami cari-cari. Chrys masih terbengong di depan obelisk sambil kepalanya menengadah.

"Chrys!" panggilku. Anak itu langsung berbalik.

"Ren!" serunya. "Mischa dan Chloe juga!"

"Kenapa kau malah bengong di sini?!" tanyaku kesal.

"A ... ah, maaf-maaf." Dia tertawa sambil menggaruk kepala belakangnya. Matanya mendelik ke arah obelisk. "Aku terlalu terpesona dengan keindahan benda ini."

"Apa bagusnya obelisk?" tanya Chloe.

"Aku hanya terpikir kalau gambar dan huruf-huruf kuno ini cocok satu sama lain."

"Aku tidak mengerti seleramu." Chloe menggeleng.

"Aku juga membayangkan bagaimana orang-orang zaman dulu membuat sesuatu yang rumit seperti ini. Keren."

"Sudahlah," potongku. "Berapa lagi soal yang belum kau kerjakan?"

Chrys diam sebentar seperti baru diberitahu kalau ada PR dan dia lupa belum mengerjakan. "Ah, itu ... dua lagi—"

"Kau ini!" teriakku.

Chloe menendang kakiku. "Jaga suaramu!" bisiknya geram.

Aku sebisa mungkin menahan kesal yang sudah tak terbendung lagi. "Yang mana saja?" Aku berusaha bertanya setenang mungkin sambil mengeluarkan kertas soal.

Chrys menunjuk pertanyaan yang belum sempat dia jawab. "Bahan kimia dan alat apa saja yang digunakan untuk mumifikasi, serta bagaimana masyarakat kuno memprediksi banjir tahunan Sungai Nill dan waktu bercocok tanam sampai panen."

Aku menatapnya geram, kesal, dan sebal. Seharusnya dia bisa mengerjakan itu sendiri kalau tidak melamun dari tadi.

Aku menunjuk Chloe dan Mischa. "Banjir dan tani. Aku dan Chrys akan ke mumifikasi."

Aku-Chrys dan Chloe-Mischa langsung berpencar di ruangan sebelah yang merupakan masih bagian dari area Al-Masr, memperlihatkan lebih banyak diorama.

Jawaban dari pertanyaan kami terdapat di diorama yang menggambarkan para pendeta bertopeng Dewa Anubis—manusia berkepala serigala—tengah mempersiapkan jasad untuk pembalsaman. Salah satu pendeta mulai bernarasi.

"Tahukah kalian kalau pengawetan mumi itu berkembang dari praktik mengubur jasad di bawah pasir gurun yang panas sehingga kadar air mayat berkurang? Setelah ditemukannya bahan kimia untuk pengawetan, proses ini menjadi berkembang. Jasad perlu dikeluarkan organ-organnya dan ditempatkan dalam guci suci ini." Pendeta itu menunjukkan sebuah guci kecil berwarna emas dengan tutup kepala elang.

Chrys bergidik ngeri ketika batang besi dimasukkan ke dalam lubang hidung si Mayat. Batang besi dipukul-pukul untuk membuat lubang agar bisa mencapai otak. Otak yang ada dihancurkan dan akhirnya dikeluarkan sebagai cairan lewat lubang hidung. Organ-organ lain terkecuali jantung ditempatkan di empat guci kanopik dengan penutup berbeda berisi larutan natron (campuran soda abu—Na2CO3—dan baking soda—NaHCO3).

Proses ini perlu diperpendek.

Setelah proses panjang yang memakan waktu tujuh puluh hari, akhirnya mumifikasi selesai.

"Rumit, ya ...," ucap Chrys sambil bergidik. Wajahnya pucat seperti baru melihat adegan pembunuhan.

Setelah dirasa cukup mendapat jawaban, aku langsung menarik Chrys dan bertemu Chloe-Mischa. Kami langsung keluar lantas menuju titik temu dengan Pak Guido dan yang lainnya.

Kami datang pukul 11:30. Entah kenapa malah bisa jadi selama ini. Di sana, di depan patung Sang Hyang Adiwidya, seluruh tim sudah berkumpul. Mereka semua melihat kami datang. Kami yang tiba paling akhir. Alva tersenyum culas seperti telah selangkah lebih maju untuk mengalahkan kami. Saka juga mulai memperlihatkan taringnya.

Aku langsung melapor dan menyerahkan kertas soal kepada Pak Guido setelah mengisi kekosongan jawaban.

"Oke, semua tim sepertinya sudah berhasil," ujar Pak Guido. Dia kemudian memeriksa setiap lembar yang ada di tangannya. "Kalian hebat-hebat, ya." Pemandu Tur itu kemudian bicara lagi. "Nah, karena tidak hanya kecepatan dan jumlah betul saja yang dihitung, setelah istirahat makan siang nanti kita akan mengadakan presentasi."

Suara protes tak terima bergaung.

"Tenang, Anak-anak, tenang," redam Bu Eva. "Ini cara untuk mengoreksi setiap jawaban agar kita sekaligus belajar. Presentasinya juga sederhana."

Pak Ben menyambung. "Setiap tim hanya perlu mempresentasikan sepuluh soal saja. Mudah, kalian hanya perlu menjelaskan setiap jawaban yang ada. Kalau ada yang keliru, kita perbaiki sama-sama. Urutan tim yang maju dari yang tercepat: Prima Sophia, Magna Prudentia, terakhir Scienta et Social. Pembagian siapa yang bicara bebas. Boleh satu orang atau semua kebagian juga silakan. Mengerti, ya?"

Dengan nada malas yang mendominasi, kami menjawab, "Mengerti, Pak."

Pak Oxa kemudian menutup. "Karena kalian kembali sebelum jam makan siang yang ditentukan, kalian bebas berkeliling atau mau langsung ke kantin juga boleh."

Pak Guido mengembalikan kertas soal yang kami berikan.

Setelah para pembimbing mengizinkan untuk bubar, kami langsung berpencar. Chrys ingin kembali berkeliling untuk melihat sesuatu yang menakjubkan lainnya. Namun, sebelum anak itu sulit dihubungi lagi, aku menahannya.

"Kau dan Mischa yang presentasi," pintaku. "Karena kalian yang menjawab soal-soal tersebut."

"Boleh saja," timpal Chrys. "Kau tidak keberatan 'kan, Cha?"

"Eh?"

Mata ungu gadis itu melihat bergantian antara aku dan Chrys. Raut kecemasan tergambar jelas dari wajahnya. Aku paham ketakutannya karena harus bicara di depan umum, sama seperti saat ia menghadapi paparazzi di fase pertama. Aku melakukan ini semata-mata karena mereka pastinya lebih mengerti dibanding aku. Dan untuk alasan lainnya, aku malas.

"Tidak apa-apa, Cha." Chloe menyemangati. Ia memegang bahu gadis itu untuk menenangkan, seperti yang selalu Chrys lakukan padaku. "Lambat laun kau pasti harus menghadapi yang seperti ini. Siap tidak siap, kau harus siap sedia."

"Mau sampai kapan pun, kau tidak akan pernah siap." Chrys ikut bicara. "Tapi, di situlah tantangannya. Kita akan maju kalau bisa menembus batas diri kita."

"Tumben sekali kau bicara bijak," sindirku.

"Ehe." Anak itu tersenyum salah tingkah sebelum akhirnya tertawa seraya memegang belakang kepala.

"Ba ... baiklah, akan kucoba," sahut Mischa pada akhirnya.

...

"Aku bertaruh masih ada patung dan peninggalan lain sebesar gedung pencakar langit yang belum ditemukan jauh di dalam tanah," ujar Chrys sambil mengangkat tangan ke udara, membayangkan betapa tingginya patung yang dimaksud.

Saat waktu makan siang secara resmi masuk, kami langsung berkumpul untuk makan. Orang-orang berlalu-lalang mengambil makanan, baik staf, para sopir, maupun dari setiap tim. Aku yang tidak berkeliling lagi karena terlalu lelah memutuskan untuk langsung ke kantin sejak awal. Sementara itu, Chrys, Chloe, dan Mischa lanjut melihat-lihat.

Kami yang sedang mendengar cerita Chrys seketika terdiam ketika ada seseorang yang menyahut. "Kalian itu memang norak, ya," kata Alva yang lewat di depan kami sambil membawa nampan.

""Ya, maaf saja kalau aku memang begitu." Si Anak Pirang sadar diri. Bibirnya maju.

"Apa maksudmu?" tanyaku tersinggung. Aku tidak mau disamakan dengan Chrys yang memang mengaku akan norak dari awal. Tidak percaya? Cek bab dua agak akhir.

"Kalian mudah kagum terhadap satu hal yang menakjubkan. Tidak tahu apa yang ada di baliknya sebenarnya. Kalau begitu terus, kalian akan mudah dipengaruhi. Mudah dimanipulasi."

"Kau mengoceh apa? Apa lapar membuat otakmu tidak berfungsi?" sindirku.

Alva tersenyum meremehkan. "Aku hanya mengingatkan kalau kalian seharusnya mawas diri. Jangan terlalu antusias dengan hal yang ada. Kalau kalian tahu yang sebenarnya, kalian akan lebih serius dengan pertandingan persahabatan ini," ucapnya. Raut wajah anak itu seperti menyiratkan sesuatu yang disembunyikan.

Aku memanasi. "Memangnya kami tidak serius? Kalian bahkan kalah di babak pertama."

Air muka bocah Alafathe itu mengeras. Mata beriris biru gelapnya menyipit. "Kau harus tahu saja, pertandingan tidak hanya ada saat di lapangan."

"Akan kupastikan aku mengingat semua itu," tegasku.

"Kita buktikan."

...

Seperti kata Pak Ben, Prima Sophia yang maju dahulu. Sementara itu, tim yang belum kebagian duduk lesehan di depan patung Sang Hyang Adiwidya sambil mendengar jawaban-jawaban yang mereka berikan tentang awal-awal peradaban. Alva dan Olivia yang jadi juru bicara, membuat Chrys tidak bisa melepas pandang dari gadis itu. Aku menyikutnya beberapa kali agar anak itu tersadar. Dia hanya tertawa salah tingkah.

"Oleh karena itu, semuanya relatif pada keadaan," pungkas Olivia menutup presentasinya. Tepuk tangan mengiringi ketika mereka kembali ke tempat. Chrys di sampingku yang paling keras dan paling antusias. Alva yang menyadari sambutan paling meriah itu dari Chrys langsung menatap anak itu lalu ke sebelahnya, aku. Mata kami berserobok. Dia tersenyum menyebalkan, lagi. Aku hanya menatapnya intens sebagai balasan.

Selanjutnya, Magna Prudentia. Ludwig dan Argen yang jadi perwakilan. Sangat jarang kedua orang sepaket itu tampil secara langsung mewakili tim. Mereka berdua menjelaskan secara bergantian. Pada awalnya memang lancar, tetapi di soal-soal agak akhir ada yang menyela.

"Hei, bukan itu jawabannya!" protes Alva.

Argen dan Ludwig berdebat di mana salahnya mereka saat menjelaskan. Mereka saling menyalahkan. Alva kemudian memaparkan jawaban yang seharusnya dan dibenarkan oleh Pak Guido.

Ternyata cepat juga belum tentu benar semua.

Penampilan mereka ditutup dengan nasihat Pak Oxa. "Tidak apa-apa salah. Kita bisa jadi belajar mana yang benar."

Terakhir, Chrys dan Mischa. Anak pirang itu cukup girang meskipun masih tampak gugup. Mischa? Jangan ditanya. Kalau dianggap bumi, mungkin dia sudah gempa dengan magnitudo >7 SR.

Gadis itu menatap Chloe, orang yang dimaksud memberikan jempol. Ia lantas melihatku—sepertinya tidak sengaja—aku mengangguk. Kau bisa! Kalau saja aku punya telepati. Gadis pemalu itu menunduk.

Chrys mulai menjelaskan. Awalnya dia tersendat, tetapi seterusnya lancar tanpa kendala seperti orang yang sudah biasa pidato di hadapan banyak orang. Mungkin efek anak itu sering melawak garing dan berakhir dengan tatapan "Apa, sih?" dia jadi terbiasa ditatap aneh dan terbiasa dengan berbagai macam penilaian. Apresiasi untuk rasa percaya dirinya yang tinggi.

Mischa. Ini dia. Gadis itu melihat terus kertas soal seperti sedang mengulur waktu. Pak Ben bahkan sampai menegurnya.

"Ada masalah, Mischa?"

"Ti ... tidak ada, Pak," jawabnya gagap. Ia kemudian menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara. "Setelah perang besar, ada beberapa kerajaan yang runtuh dan ada juga yang memutuskan untuk bersatu menjadi negara, di antaranya adalah ...."

Mischa membaca seperti robot. Wajahnya tidak lepas dari kertas soal. Beberapa kali ia berhenti seperti berpikir, lalu lanjut lagi sampai akhir. Setelah selesai, ia memandang ke arah para pembimbing dan Pak Guido.

"Baik, terima kasih. Kalian boleh kembali," kata Pak Guido.

Chrys dan Mischa kembali ke tempat semula. Si Anak Pirang berseri-seri, sedangkan si Gadis Pemalu langsung memeluk Chloe. Tubuhnya bergetar.

"Kau hebat, Cha," puji Chloe.

"Kalian memang anak-anak yang cerdas," Pak Guido mengapresiasi. "Muda dan bersemangat!" Pemandu tur itu berteriak sambil mengepal tangan. Dia salah tingkah. "Ehem, Bapak akan kembalikan ke para pembimbing kalian."

"Tepuk tangan untuk kita semua," kata Bu Eva sambil mengatupkan kedua tangan. "Dengan selesainya presentasi ini, kita akhiri pula latihan ini—"

"Maaf, Bu, tapi siapa pemenangnya?" potong Saka.

Bu Eva mematung sebentar. Ia kemudian menatap kedua kolega di samping kiri-kanannya seperti meminta persetujuan. Mereka mengangguk.

"Baiklah." Bu Eva menarik napas. "Pemenangnya adalah Prima Sophia ...."

Alva dan Olivia saling tos, sedangkan Aryza dan Zea biasa saja. Si Pemuda Alafathe memandang remeh ke arahku.

"Kedua, Scienta et Social," lanjut Bu Eva. "Terakhir, Magna Prudentia. Hadiah kalian bisa diambil di pembimbing masing-masing, ya."

"Kedua tidak apa-apa, 'kan, Ren?" Chrys merangkulku. Pertanyaannya seperti mengisyaratkan permohonan maaf karena ada faktor kesalahannya di dalamnya.

"Ya, tidak apa-apa. Lain kali jangan diulang lagi." Sebenarnya aku masih sebal, tetapi tidak ada gunanya. Toh, sudah telanjur.

"Aw, aku menyayangimu, Ren!" Chrys memelukku. Kulepas paksa tangannya yang mengalung di leherku.

"Ah, menyingkirlah!"

~~oOo~~

Beta reader: n_Shariii

A/N

Ayo, berikan kesan kalian pada bab ini!

Kritik dan saran yang membangun saya nantikan.

Jangan lupa memberi vote kalau suka cerita ini.

Terima kasih sudah membaca. 'v')/

Salam literasi!

***

Diterbitkan: 14/07/2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro