Bab 16: Dimulainya Peradaban

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Fase kedua dimulai dengan kunjungan kami ke Museum Sejarah Peradaban Kota Dvat. Museum yang dikhususkan menyimpan barang-barang arkeologi, mulai dari zaman batu sampai ke kerajaan Alafathe yang pernah berperang dengan manusia di benua Verdena Selatan.

Mengesampingkan bahwa kami ini berasal dari Scienta yang notabene tidak mempelajari sejarah secara mendalam, kunjungan ini sangat penting bagi kelangsungan olimpiade, katanya. Ini mungkin berhubungan dengan tajuk fase kedua yang pernah disinggung pada saat pembukaan, yaitu, "Simulasi Teknologi". Akan tetapi, aku tidak melihat korelasinya di mana. Lebih cocok kalau kami dibawa ke pusat teknologi.

Namun, aku tidak akan berasumsi lebih jauh terlebih dahulu sebelum mendengar alasan pihak panitia. Kenapa olimpiade Scienta memasukkan unsur Social di dalamnya? Aku yakin jawabannya akan segera kudapat.

Jalanan tidak bisa dibilang lancar. Dari perhitunganku, laju mobil tidak melebihi 30 km/jam. Cukup lambat untuk ukuran kota besar. Untuk mengisi waktu luang di tengah kemacetan jalanan, Chrys dengan senang hati menghibur kami dengan lawakannya yang sangat bermutu sampai aku mengerling beberapa kali saking gurihnya lelucon anak itu layaknya keripik kentang kualitas premium.

"Katanya kalau kalian makan tahu terlalu banyak, kalian sulit untuk berbohong. Soalnya sering ketahuan." Tawa anak itu pecah.

Chloe menyahut, "Tapi kita juga bisa tambah pintar, soalnya serba tahu."

Mereka berdua tertawa terbahak-bahak.

Pemandangan berganti dari padatnya jalan raya ke taman kota yang penuh dengan pepohonan dengan guguran daun dan bunga flamboyan, gedung pencakar langit dengan kaca-kaca yang memantulkan langit biru berawan putih, sampai kami menemukan sebuah bangunan besar sewarna gading dengan lapangan yang cukup luas. Di depan pagar pembatas lapangan dengan jalanan, terdapat plang hitam bertuliskan "Museum Sejarah Peradaban" berwarna emas mengilap.

Kami melewati penanda itu dan masuk ke pelataran parkir. Di sana, tim Ascent dan Canidae sudah tiba terlebih dahulu. Mobil-mobil hitam terparkir rapi di sebelah kiri bangunan museum yang memanjang dengan tiang-tiang besar penopang di depannya.

"Woah!" Chrys berseru takjub melihat bangunan museum yang megah sesaat setelah keluar dari mobil. Kepalanya menengadah memperhatikan bangunan yang besar menjulang sampai tiga lantai.

"Ayo, Anak-anak. Kalian bisa mengaguminya nanti," ajak Pak Ben sambil menggiring kami ke dekat patung di depan museum.

Pak Alvin selaku sopir kami memisahkan diri dengan sesamanya, begitu pula Pak Ben yang langsung berkumpul dengan Pak Oxa dan Bu Eva. Para guru pembimbing berdiskusi dengan seseorang yang kuasumsikan sebagai pihak museum yang bertanggung jawab atas kunjungan ini.

Selagi menunggu para guru pembimbing berdiskusi, kami mengobrol sedikit dan "mengakrabkan diri".

Kami semua berkumpul di depan patung marmer berwarna hitam. Patung itu mirip seperti patung yang ada di arena latihan fase pertama, kecuali dengan pakaiannya yang berupa setelan lengkap jas, bukannya jubah. Ada tongkat di tangan kanan dan perkamen tergulung di tangan kiri. Chrys menghampiri patung tersebut dan memperhatikannya seperti seorang anak yang mendapat mainan baru.

"Lihat, Ren!" serunya. "Final Boss!" Dia merentangkan kedua lengan ke arah patung itu seperti memperlihatkan mahakarya.

Aku mengerling menanggapinya. Yang lain hanya tertawa.

"Kalian tahu? Ada yang bilang kalau patung seorang tokoh memegang gulungan perkamen menandakan bahwa orang tersebut adalah anggota dari suatu perkumpulan rahasia," celetuk Alva tiba-tiba sambil tersenyum angkuh seperti memamerkan pengetahuannya.

"Ho, benarkah?" tanggapku skeptis. "Kau sepertinya banyak tahu. Apa kau juga penikmat teori konspirasi?"

Alva tersenyum congkak. "Kalau kau tahu kebenarannya, banyak dari teori itu yang tidak salah."

Kami berdua bertatapan tajam.

"Oke, Anak-anak. Kalian sudah siap untuk perjalanan waktu?" Seseorang dari pihak museum membuyarkan apa pun yang kami lakukan.

Kami langsung menghadapnya.

"Perkenalkan, Anak-anak, ini adalah Bapak Guido." Pak Ben menunjuknya dengan lima jari. "Beliau akan membimbing kita selama di sini sebagai bagian dari latihan untuk olimpiade fase dua nanti. Di sini, kita akan mempelajari perkembangan peradaban dan kebudayaan dari teknologi yang ada. Mulai dari yang primitif sampai ke tingkat lanjut."

Pak Oxa menyambung setelah diberi aba-aba giliran oleh Pak Ben. "Kalian mungkin tidak akan mendapat ilmu ini di sekolah nanti. Melihat perkembangan sejarah dari perspektif yang berbeda." Dia membetulkan kacamatanya yang melorot. "Jadi, kami harap kalian serius dengan 'tur' ini." Guru pembimbing dari Canidae itu membuat kutip dengan jari telunjuk dan jari tengah.

"Pemahaman kalian nanti akan sangat berpengaruh di pertandingan," timpal Bu Eva tegas. Guru pembimbing Prima Sophia itu mengangkat satu jari mengingatkan. "Jangan sungkan untuk bertanya bila ada yang tidak paham. Mengerti?"

Kami semua mengangguk. "Mengerti."

"Oke, Anak-anak, Bapak akan memperkenalkan diri sekali lagi." Pak Guido berdeham, mengatur suaranya. "Saya Guido Theseus, bertugas sebagai pemandu di museum ini. Sebelum kita menjelajahi waktu, Bapak akan menjelaskan secara singkat mengenai museum ini."

Pak Guido menunjuk patung yang sedari tadi menjadi pusat perhatian kami. "Ini adalah patung dari Wisesa Sagita. Jika kalian lihat pada bagian pedestal"—Pak Guido menunjuk balok bagian bawah yang menjadi alas patung—"di sana tertulis bahwa beliau adalah pendiri museum ini. Karena jasa beliau, benda-benda cagar budaya yang ada bisa lestari sampai sekarang."

Kami memperhatikan patung itu dari atas sampai bawah.

"Sekarang, kita mulai turnya. Berbarislah yang rapi, jangan berdesakan seperti orang barbar. Jangan kalah dengan bebek," ujar Pak Guido sambil menggiring kami ke depan museum.

"Atau semut," bisik Chrys terkekeh di telingaku. Aku hanya memutar bola mata sebagai jawaban.

Kami menaiki beberapa anak tangga sebelum akhirnya tiba di depan pintu ganda besar museum yang terbuka lebar. Pak Guido berhenti untuk menjelaskan satu-dua hal sebelum lanjut.

"Museum Sejarah Peradaban didirikan pada tahun 1974 StP[2]. Gedung ini mengambil gaya neoklasik yang terinspirasi dari peradaban Iyonnan. Kalian bisa lihat dari gaya pilar-pilarnya yang 'bergerigi'. Di bagian atasnya terdapat ornamen-ornamen yang berbentuk tanaman meliuk-liuk. Ini disebut pilar bergaya corinthian, salah satu ciri khas arsitektur neoklasik selain pediment berbentuk segitiga yang ada di atap," papar Pak Guido sambil menunjuk tiang-tiang penyangga yang berjajar kokoh. "Gaya neoklasik diambil karena merupakan salah satu arsitektur dunia kuno yang terkenal serta bisa mencirikan bahwa bangunan ini adalah bangunan yang berkaitan dengan sejarah."

Pak Guido lanjut membawa kami melewati pintu yang seketika berperan selayaknya lorong waktu. Di lobi utama, kami langsung disambut oleh sebuah patung marmer putih raksasa yang menjulang sampai ke lantai dua—di mana orang-orang di tepi birai dapat melihat wajah patung yang hanya menampakkan dua mata seperti memakai topeng.

Omong-omong tentang orang, aku tidak melihat pengunjung lain selain kami. Mungkin karena masih pagi jadi tidak ada pengunjung atau karena museum telah disewa untuk digunakan sebagai tempat latihan olimpiade. Aku tidak yakin.

"Ini adalah mahakarya terbaik di museum ini," mulai Pak Guido sambil menunjuk patung dengan gaya tangan terbuka itu seolah menyambut kami dengan hangat. "Sang Hyang Adiwidya menggambarkan entitas kebijaksanaan dan pengetahuan yang banyak disembah oleh orang-orang kuno di benua Gheiya. Patung ini merupakan salah satu peninggalan ketika Kerajaan Zulmat menjajah benua Verdena dan kerajaan-kerajaan di sekitarnya."

Aku memperhatikan patung itu lebih saksama. Sangat mengesankan bagaimana orang-orang terdahulu dapat membuat berbagai benda-benda megalit dengan sangat presisi dan terstruktur. Lebih dari dua milenium yang lalu—seperti kata Pak Guido—kerajaan penjajah itu membuat berbagai arsitektur megah dengan bangunan-bangunan tinggi sebagai simbol keagungan. Belum lagi prasasti batu dan arca-arca yang banyak dipahat, mencirikan intelektualitas yang tinggi terhadap seni dan sains.

Bayangkan saja, di zaman yang belum secanggih sekarang, sebuah batu marmer dengan tinggi hampir lima meter dipahat sedemikian rupa sehingga membentuk figur dengan bentuk rumit dan detail. Alat apa yang dipakai? Teknik apa yang digunakan? Bagaimana orang-orang kuno dapat membuat hal-hal menakjubkan seperti itu selain karena pengetahuan mereka yang tinggi?

"Nah, agar kunjungan ini tidak membosankan, kita akan mengadakan permainan." Pak Guido memberikan selembar kertas dan bolpoin kepada masing-masing ketua tim. Saat kutelisik, kertas itu berisi total tiga puluh soal. Chloe, Chrys, dan Mischa—yang tidak terlalu antusias—berlomba mengintip dari balik punggungku. "Soal-soal itu berkaitan dengan isi museum ini. Tugas kalian cukup mudah. Kalian hanya perlu menjawab setiap soal yang ada sebelum makan siang. Ada beberapa peraturan." Pemandu tur kami mengangkat jari telunjuknya. "Pertama, jangan gunakan internet untuk mencari jawabannya, karena untuk apa kalian ke sini kalau semua bisa diakses lewat dunia maya? Lagi pula, ada pengalaman yang berbeda bila kita langsung ada di tempat. Kedua,"—jari tengahnya bangun—"Hanya satu tim yang boleh berada di satu tempat atau diorama dalam satu waktu. Ketiga, tim yang tercepat menjawab dan betul semua menjadi pemenangnya. Kalau cepat, tetapi banyak yang keliru percuma saja. Jika kalian sudah selesai, kembali lagi kemari untuk melapor. Ada pertanyaan?"

Tanpa diduga, Chrys mengangkat tangan kanannya. "Em, anu, Pak ... apa tidak ada hadiahnya? Hitung-hitung penyemangat ... ehe," tanyanya gugup. Dia menunduk sambil memegang belakang kepala.

"Kalian bisa tanyakan ke guru pembimbing kalian, ya," jawab Pak Guido.

Kami serempak melihat ke arah para pembimbing yang ada di belakang. Pak Ben pura-pura melihat ke arah lain sambil menautkan jemarinya di belakang tubuh, sementara Pak Oxa sibuk membersihkan kacamatanya dengan sapu tangan. Hanya Bu Eva yang menanggapi rasa penasaran kami. "Rahasia, ya. Biar jadi kejutan," katanya sambil tersenyum misterius. Hal itu hanya menambah keingintahuan kami.

"Ada lagi yang mau ditanyakan?" Pak Guido kembali bersuara.

"Kenapa pakai kertas dan bolpoin, Pak?" tanya Saka yang kebetulan juga menjadi pertanyaanku.

"Anggaplah untuk nostalgia." Pak Guido terkekeh. "Juga agar kalian bisa merasakan bagaimana teknologi dahulu mengilhami penemuan masa kini." Dia menjeda singkat. "Ada pertanyaan lain?" Tidak ada jawaban. "Kalau begitu, kita mulai permainannya!"

Aku menilik soal itu kembali dengan saksama. Bila dilihat lebih teliti, soal-soal itu terbagi menjadi tiga kategori: pertanyaan berkaitan tentang masa kepurbakalaan, zaman kerajaan, dan terakhir setelah perang besar berakhir (StP).

"Kita mau mulai dari mana?" tanya Chrys. Kepalanya berada di bahuku membuatku berat.

"Pertanyaannya sepertinya susah-susah." Chloe menyembulkan kepalanya di bawah ketiakku. "Apa kita akan berpencar seperti yang lain?"

Aku langsung mengangkat kepala seketika mendengar pertanyaan Chloe. "Ke mana tim yang lain?"

"Mereka sudah berpencar," jawab Chrys. Kusingkirkan kepalanya yang masih bertengger di pundakku.

Sial. Aku tertinggal satu langkah.

"Jadi, apa rencanamu?"

Aku melihat soal pertama.

"Kita akan ke area kepurbakalaan," tegasku. Aku langsung menggiring mereka ke sayap kanan di mana benda-benda kuno dari zaman pra-aksara sampai zaman awal peradaban berada.

Pertanyaan pertama: menuliskan benda apa saja yang menggunakan prinsip six simple machine atau pesawat sederhana dan mengategorikannya pada tipe apa.

Saat kami berada di tempat tujuan, sebuah benda megalit besar langsung menyambut. Benda itu berdiri di tengah-tengah ruangan menjadi pusat perhatian karena strukturnya yang megah. Terdapat coretan tangan berwarna merah dan binatang-binatang buruan menghiasinya.

"Mungkin ini cara orang purba pamer makanan mewah mereka. Telapak tangan itu pasti tanda 'suka'. Tipikal medsos jaman batu." Chrys berhenti di depan benda setinggi kurang lebih dua meter itu sambil mengoceh tidak penting. Tatapannya seolah-olah seperti seorang ahli arkeologi. "Ya, 'kan, Ren?"

Kuputar bola mataku sebagai respons.

"Hei!" Anak pirang itu menjerit ketika aku menarik kerahnya agar kembali mencari benda-benda yang menjadi jawaban pertanyaan.

Di kejauhan, kulihat Alva sedang mengamati salah satu diorama hologram tentang manusia zaman dahulu yang sedang berburu. Replika itu bergerak bagai animasi trimatra dalam kotak kaca. Saat kami lewat, anak itu tersenyum menantang.

"Maaf, tapi tempat ini sudah ada yang mengisi. Coba lagi lain waktu," katanya sambil mencatat sesuatu.

Merasa bukan tempat yang kucari, aku langsung pergi ke diorama yang lain. Namun, lagi-lagi anggota tim Ascent sudah ada yang menempati. Kali ini Olivia yang berada di diorama hologram manusia yang sedang membelah kayu untuk dijadikan kayu bakar dan bahan bangunan.

"Kapak menggunakan prinsip baji," katanya tiba-tiba. Ia menebarkan senyum manisnya. "Maaf, tapi aku masih akan ada di sini untuk beberapa waktu lagi. Kalian bisa pergi cari yang lain dahulu."

Seperti kata Chrys, tim yang lain berpencar untuk menghemat waktu. Akan tetapi, aku yakin Prima Sophia lebih ke untuk menghambat pergerakan tim lawan, khususnya kami.

"Kita ke area abad kegelapan," bisikku, takut gadis itu mendengar dan melancarkan strategi lanjutannya.

Abad kegelapan terjadi di benua Verdena Utara sebagai bentuk perlawanan terhadap Kerajaan Zulmat yang telah runtuh, kerajaan yang sangat memuja ilmu pengetahuan. Selama seratus tahun setelah runtuhnya kerajaan penjajah itu, teknologi peninggalannya masih digunakan membuat petinggi kerajaan-kerajaan yang ada di benua Verdena yang trauma akan masa lalu membuat kebijakan untuk "menyegel" semua yang berkaitan dengan Kerajaan Zulmat, menjadikan Verdena Utara tidak berkembang selama ratusan tahun. Mereka menganggap pengetahuan hanya akan membawa keserakahan dan kerusakan seperti yang telah terjadi terhadap mereka. Di zaman ini juga, permulaan tahun StP digunakan. Namun untungnya, renaisans dan zaman pencerahan menyelamatkan mereka semua.

Setidaknya, itulah yang kubaca di pintu masuk ruangan sebelum menjelajah lebih jauh. Masih ada penjelasan lebih lanjut, tetapi bukan itu fokusku kali ini. Kalau diteruskan, bab ini akan jadi buku sejarah dan aku akan tertinggal.

"Kasihan, ya, lima belas abad berada dalam kebodohan." Chrys berdecak sambil menggeleng. Dia merujuk pada masa renaisans.

Chloe menimpali, "Mungkin mereka menganggap pengetahuan adalah kekuatan, dan kekuatan dapat merusak—"

Sesuatu bergerak melintasi kami dengan gesit. Dalam waktu sepersekian detik, dapat kulihat Aryza mendelik ke arahku. Dia dan Zea telah menempati diorama-diorama dan artefak yang ada, lagi-lagi meninggalkan kami selangkah di depan.

"Cepat, menyebar!" perintahku. "Kalian sudah tahu apa yang harus dicari!"

Teman-temanku mengangguk. Aku sendiri memindai sekitar dan mencari tempat mana yang masih kosong. Pilihanku jatuh kepada diorama kereta angkut dengan sapi dan seorang bajingan (ini bukan umpatan, aku serius). Aryza tampak mengarah ke sana juga, tetapi aku bergerak lebih cepat.

"Terlalu lambat," kataku sambil tersenyum miring. Anak itu mendengkus, mengingatkanku pada hewan yang ada dalam diorama. Dia kemudian pergi secepat dia datang.

"Tahukah kalian kalau sebelum jadi bagian dari alat transportasi, roda yang ditemukan 3500 tahun SbP [3] digunakan untuk membantu membuat tembikar?" Diorama hologram seorang pria bajingan di depanku tiba-tiba bicara saat aku mulai menulis. "Dipercaya tiga ratus tahun kemudian baru menjadi bagian alat angkut ...."

Bodo amat. Aku sudah tahu. Aku langsung pergi meninggalkan hologram yang masih mengoceh itu selepas jawaban kudapatkan dan mencari tempat jawaban yang lain. Untungnya tidak jauh dari sana, terdapat diorama lain yang masih berkaitan dengan pesawat sederhana.

Diorama itu memperlihatkan seorang wanita berpakaian rakyat jelata—baju terusan dengan warna merah kusam dan terdapat anyaman tali di bagian perut seperti korset. Rambutnya digelung dan dihiasi penutup kepala berbunga. Wanita itu berdiri di samping sumur timba. Ia melemparkan ember kaleng ke dalam sumur sampai berkelontang sebelum menjelaskan.

"Katrol pada sumur timba memang tetap membuat gaya yang dikeluarkan setara dengan massa benda yang diangkat, tetapi teknologi sederhana ini mengubah arah gaya sehingga lebih efektif dari yang sebelumnya hanya mengandalkan otot lengan menjadi otot seluruh tubuh."

"Ya, terima kasih penjelasannya." Kuabaikan hologram itu yang lanjut bersuara dan pergi berniat mencari teman-teman yang lain untuk memeriksa perkembangan mereka.

Aku bertemu dengan Chrys di depan replika pesawat mekanik sederhana Leonard de Vince setelah melihat anak itu celingak-celinguk seperti orang tolol. Tak lama setelahnya Chloe dan Mischa datang menghampiri.

"Apa yang kau temukan?" tanyaku pada Chrys.

"Prinsip pengungkit ada dalam linggis dan timbangan kuno," jawabnya.

Aku langsung membalikkan tubuh Chrys dan menggunakan punggungnya yang lebar sebagai sandaran untuk menulis. Kucatat semua apa yang ditemukan anak itu.

"Ewh, Kesatria, tulisanmu jelek sekali," cemooh Chloe.

Aku sebisa mungkin mengabaikannya dan terus menulis.

"Kau tidak tahu, Chlo?" Chrys sedikit bergerak saat bicara. Aku memukul bahunya. Anak itu berjengit, tetapi melanjutkan penjelasannya. "Orang yang tulisannya jelek itu biasanya genius, karena mereka cenderung berpikir cepat tanpa memedulikan goresan abstrak yang mereka buat. Hanya mereka yang tahu artinya apa."

Aku tidak tahu harus senang karena ada yang mengerti atau kesal karena dia juga setuju tulisanku jelek.

"Apa yang kau temukan?" tunjukku pada Chloe.

"Sekrup Archimedes menggunakan prinsip sekrup, dipakai untuk mengaliri air dari tempat rendah ke tinggi," paparnya. "Sama halnya dengan kincir air, hanya saja benda itu memakai prinsip roda dan gandar."

"Mischa?"

"Cangkul, kapak, dan pahat semuanya menggunakan prinsip baji. Lalu, ada tangga dan jalan yang berkelok dengan prinsip bidang miring."

"Oh, benar juga. Aku jadi terpikir, kenapa jalan di gunung dibuat berkelok-kelok seperti itu? Bukannya itu malah membuang waktu dan tenaga?" tanya Chrys.

"Kenapa ususmu juga seperti itu dan tidak lurus saja, Chrys?" timpal Chloe. "Pft, aku bercanda. Itu agar jalannya tidak terlalu curam dan membahayakan. Bayangkan saja, jalan lurus dengan kemiringan 60 derajat dan 30 derajat , mana yang lebih aman?"

"Yang kedua," jawab Chrys. "Semakin besar sudut, semakin besar ketinggian, semakin besar usaha yang diperlukan, semakin besar ancaman yang ada. Bidang yang lebih landai juga akan mengurangi usaha yang diperlukan."

"Benar."

"Kalian sudah selesai mengobrol? Kita ketinggalan banyak."

"Berapa waktu yang tersisa?" tanya si Anak Pirang.

Aku melihat jam di tangan kiri. "Dua jam setengah," jawabku. "Tapi, aku tidak ingin terlalu mengepaskannya. Jadi, waktu kita tinggal satu jam setengah. Tenggat sampai pukul sebelas."

"Kau bercanda, 'kan?" Chloe tak terima.

"Lanjut!" tegasku.

~~oOo~~

A/N

[2] StP = Setelah Perang Besar Berakhir. Perhitungan tahun yang digunakan setelah berakhirnya perang yang melibatkan beberapa kerajaan terjajah dengan Kerajaan Zulmat.

[3] SbP = Sebelum Perang Besar Berakhir. Perhitungan tahun yang digunakan saat Kerajaan Zulmat masih menjajah sampai ke keruntuhannya.

***

Halo, Guys! Ada yang kangen? Setelah hampir setengah tahun (mungkin lebih?), akhirnya saya bisa melanjutkan lapak ini yang telah lama berdebu. Semoga saya bisa menamatkan cerita ini sebelum agustus supaya bisa diikutkan wattys. //ngarep.

Bukan hanya karena ada urusan di RL, tapi juga karena riset cerita ini memusingkan :"). Semoga saja, riset yang saya bawa bisa menambah pengetahuan kalian sambil terus menikmati plot cerita ini.

Btw, saya sudah lama bikin visual Arennga, Chloe, Chrys, dan Mischa. Kalau ada yang tertarik bentukan mereka kayak gimana, bisa mampir ke IG saya di 98pieces_write //promosi.

Oh, ya, semoga kalian tetap baca cerita ini sampai akhir. //Aamiin. Doakan saja saya bisa ketik sebelum batas wattys tahun ini.

Sudah dulu cuap-cuapnya. Sampai jumpa 'v')/

***

Ayo, berikan kesan kalian pada bab ini!

Kritik dan saran yang membangun saya nantikan.

Jangan lupa memberi vote kalau suka cerita ini.

Terima kasih sudah membaca. 'v')/

Salam literasi!

***

Diterbitkan: 10/07/2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro