Bab 34

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku kembali ke gang sebelumnya dan mendapati ada beberapa soal tambahan. Tanpa pilih-pilih kulibas semua. Pertanyaan-pertanyaan yang ada berupa soal pengetahuan umum dalam kebahasaan seperti, "Apa nama pantun yang hanya terdiri dari satu sampiran dan satu isi?" Atau "Susunlah kata-kata berikut jadi susunan kalimat yang sesuai dengan SPOK!" Sampai yang menarik contohnya, "Sebutkanlah elemen-elemen pembentuk cerita novel!" Tidak ada konsekuensi apa pun bila salah menjawab. Baguslah. Kalau harus juga melawan monster, bisa-bisa soal utama terabaikan.

Semua pertanyaan berhasil kujawab. Nilai bonus sudah semua kudapati. Sekarang saatnya aku menyusul kawan-kawan. Sayang sekali tidak ada fitur panggilan telepon sesama tim. Aku jadi tidak tahu mereka sudah berhasil menjawab atau malah harus mengalahkan monster.

Aku berbalik dan kembali kunaiki skyboard. Kulewati perempatan jalan utama, jalan besar dengan pohon-pohon raksasa di kiri dan kanan, hingga mal-mal yang dipenuhi oleh orang-orang yang berbelanja dan sesekali menontonku lewat. (Sudahkah kukatakan kalau orang-orang di kota tetap beraktivitas seperti biasa terkecuali kendaraan-kendaraan yang lewat karena mereka dialihkan ke jalan lain? Aku jarang mendeskripsikannya karena lebih fokus pada pertandingan.)

Tujuan akhirku berupa galeri seni dengan arsitektur yang tidak biasa; fasad bangunan yang melengkung-lengkung seperti kain yang dijatuhkan, berwarna putih telur dengan jendela-jendela kaca raksasa yang memantulkan langit dan benda di sekitarnya.

Aku lekas ke bagian belakang gedung, di mana lapangan berada dan kemungkinan besar menjadi lokasi permainan. Namun, tidak hanya hamparan lantai batu, pohon-pohon rindang hijau di pinggiran, dan patung-patung hewan mitologis yang berjajar di sisi-sisinya, tetapi juga terdapat teman-temanku yang bersiap melawan sesosok naga setengah manusia berwarna merah. Sayap lebar makhluk itu mengepak membuat empasan angin yang kuat. Cakar-cakarnya yang tajam berkilau diterpa cahaya matahari. Ekor yang berduri dan ototnya yang besar mengintimidasi.

Aku lekas mendekati mereka bertiga dan berhenti di sisi Chrys.

"Ma ... maaf, ya, Ren," sesal si Anak Pirang. Aku hanya bisa menghela napas. Mau bagaimanapun, kemungkinan gagal itu selalu ada.

Chloe sepertinya salah menanggapiku. "Soalnya semaki sulit, asal kau tahu," belanya. "Wajar saja kan, karena sudah hampir soal terakhir."

Aku mendelik padanya. "Iya, iya, aku mengerti." Kutatap makhluk besar di hadapan kami. "Lagi pula ada hal yang lebih genting daripada saling menyalahkan." Contohnya mengalahkan monster ini agar bisa segera menaklukkan Bos Terakhir.

Si manusia naga yang terbang tinggi di udara sedari tadi lalu meraung. Dia menukik dan menyerang dengan cakar besar yang terhunus. Kami semua refleks terbang menghindar dan terpencar ke segala arah.

Para avatar balik menyerang bergantian. Clowny dengan bola-bola warna-warni yang bertubi-tubi. Krishna dengan gada emas yang menghantam dengan keras. Lakshmi menyerang menggunakan kelopak-kelopak teratai terbang yang menyayat perih. Sementara itu, Arthur menerjang dengan pedang dan tameng sebelum kuberi dia skill Excalibur. Mereka menyerang sambil melompat berulang-ulang dari skyboard.

"Mischa, coba ikat dia!" perintahku. Makhluk yang bergerak bebas itu harus dikekang terlebih dahulu.

Mischa mengangguk. Tak lama setelah serangan-serangan lain, akar-akar kayu muncul dari dalam tanah seperti tentakel gurita. Akar-akar itu berusaha mengikat si naga, tetapi akhirnya gagal. Sebaliknya, makhluk buas itu berhasil membakar akar Lakshmi sampai berubah menjadi abu.

Si naga menyerang balik. Sayapnya yang lebar mengepak keras, membuat kami terempas karena dorongan angin yang kuat dan memaksa mengaktifkan selubung pelindung yang berbentuk bola. Si monster melanjutkan serangannya dengan mencakar udara, membuat pisau-pisau angin yang mengoyak segalanya termasuk pelindung patung dan lantai.

Aku harus berpikir cepat untuk serangan balasan. Kalau mengikatnya dengan akar tidak efektif, maka pembatas pergerakannya harus secara tidak langsung. Area terbang makhluk itu harus dipersempit. Seperti pergerakan tim Ascent di fase sebelumnya.

"Chrys, gunakan pilar Krishna untuk membuat pagar pilar. Buat setinggi mungkin dan membentuk selubung!" perintahku. Dia yang sedang fokus mengawal avatarnya hilang fokus sebentar.

"Tapi, aku tidak yakin bisa!" teriaknya seraya menangkap dan melempar Krishna ke arah si naga. "Sudut pilar yang terbentuk itu acak!"

"Coba dulu!" Aku meyakinkannya. "Dengarkan instruksiku!" Aku pun beralih pada Mischa. "Mischa, gunakan akar Lakshmi untuk menutup celah yang dibuat Chrys!" Gadis itu langsung mengangguk, berbeda dengan si Anak Pirang.

Perintah terakhir.

"Chloe, alihkan perhatiannya berdasarkan aba-abaku!"

"Lalu kau melakukan apa?" balasnya berteriak. Dia berputar mencari celah, sementara Clowny menyerang musuhnya dari belakang yang sedang kewalahan dengan cakram berputar Krishna.

"Aku akan mengalihkan perhatiannya dulu! Setelah itu baru kau!" (Aku sengaja menjadi umpan pertama sebagai bentuk tanggung jawabku atas strategi ini sehingga aku tidak dinilai sebagai pemimpin yang hanya ingin enaknya saja.) Gadis itu pun mengangguk. "Oke, aku masuk!"

Aku memegang Arthur di punggung, lalu terbang cepat ke arah wajah si naga. Dengan sigap aku melemparkan avatarku yang menghunuskan pedang ke moncong si reptil yang bernapas api.

"Aku lawanmu, Buaya Buntung!" teriakku memprovokasi. Arthur mendarat tepat di hidung si naga. Makhluk itu menggoyang-goyangkan moncongnya. "Chrys, sekarang!"

Krishna meloncat ke tanah dan menghantamkan gadanya berkali-kali. Pilar-pilar terbentuk satu per satu. Aku dan Arthur terus mengalihkan perhatian si manusia naga.

Setelah pilar cukup mengelilingi arena, akar Lakshmi menutupi celah-celah yang tersisa. Bahkan berkas-berkas cahaya mentari hanya sedikit yang lolos. Si manusia naga yang terluka dengan serangan Arthur celingukan melihat sekeliling. Aku memberikan tongkat estafet pengalih perhatian pada Chloe yang langsung menyambut lawannya dengan pisau besar berapi.

Sementara itu, aku menyiapkan skill lain untuk mengakhiri ini semua.

Strategi ini terbukti berhasil. Pergerakan si naga yang berfokus pada Clowny yang menyemburkan bola-bola api menjadi sempit. Beberapa kali sayap dan tubuhnya menggesek pilar-pilar Krishna. Meskipun begitu, si naga masih berusaha untuk keluar dari kungkungan.

"Tidak akan kubiarkan!" teriak Chloe. Lidah api avatarnya memancari seperti keluar dari flame thrower. Si naga membalas dengan murka. Api saling beradu. Akan tetapi, kami lebih unggul karena ada tambahan kerusakan dari serangan-serangan lain.

"Cha, ikat seluruh tubuhnya dan pertahankan!" pintaku. Bersamaan dengan akar Lakshmi yang mengikat si naga lagi—yang kini berhasil—aku melempar Arthur yang sudah memegang dua pedang di tangannya. "Chrys, bantu aku dengan cakram Krishna!"

Aku berputar membantu Arthur menyerang dari berbagai sisi. Cakram-cakram keemasan berputar menyayat-nyayat si manusia naga kemudian. Makhluk itu meraung-raung karena tidak bisa bebas. Arthur dan aku terus bergerak cepat sebelum satu skill itu habis. Hit point si manusia naga berkurang terus menerus sampai akhirnya mencapai nol tatkala kedua pedang Arthur menebas lehernya.

Si manusia naga terpecah dan meluruh menjadi cahaya. Pun, pilar-pilar batu dan akar yang mengelilingi perlahan menghilang.

Aku turun dari skyboard dan duduk berselonjor. Kupegang kepala yang rasanya nyut—nyutan. "Kita istirahat sebentar," ujarku.

Ketiga temanku duduk mengeliling. Chloe bersila dan Chrys berbaring di sampingku, Mischa di seberang duduk bersimpuh. Aku tidak memperhatikan wajah-wajah mereka karena sibuk menenangkan pikiran. Namun, satu hal yang kuyakini, kami semua kelelahan, dan ini bahkan belum mencapai bos terakhir.

Aku membacakan petunjuk untuk ke tempat selanjutnya. Akan tetapi, aku tidak sempat ikut berdiskusi dan berspekulasi di mana tempat itu berada. Namun, Mischa dengan lancar dapat menerka tempat yang dimaksud.

"Bunga kehidupan yang mendasari pengetahuan bisa jadi adalah teratai. Dan hanya ada satu gedung yang berbentuk teratai di kota ini," jelasnya serius. "Makna itu bisa jadi berhubungan dengan Devi Sarasvati yang merupakan perwujudan pengetahuan. Dewi yang sering digambarkan duduk di atas teratai."

Satu-satunya gedung teratai di kota ini. Gedung yang sama yang kulihat paling mencolok saat terbang dengan pesawat. Mahavidya University. Gedung pertama yang kucari informasinya setiba di Dvat karena bentuknya yang unik.

"... meski mayoritas dewa-dewi sering dilukiskan di atas teratai—"

"Ya, kami tahu maksudmu," potongku. Teratai adalah kehidupan. Para "dewa" adalah sumber kehidupan. Pengetahuan adalah salah satu aspek dari kedewaan. Intinya, tempat itu adalah gedung universitas yang berbentuk teratai. Perlambang pengetahuan yang memajukan peradaban dan kehidupan.

Aku berdiri. "Ayo," ajakku. "Sudah cukup istirahatnya. Siapa yang tahu Tim Ascent dan Canidae sudah sampai mana. Jangan sampai mereka menemukan lokasi bos terakhir sebelum kita." Kunaiki skyboard dan kutancap gas ke arah utara, di mana gedung teratai itu berada.

Aku mungkin lelah, tapi tidak seharusnya bersikap seperi tadi seolah yang lain tidak kecapekan. Aku mungkin khawatir akan gagal, tapi tidak semestinya aku menyebarkan kerisauan yang sama pada yang lain. Sebagai ketua tim, aku sudah sepatutnya meyakinkan mereka bahwa kami bisa mencapai puncak tertinggi.

...

Gedung teratai Universitas Mahavidya yang terlihat dari pesawat merupakan gedung terbesar di antara gedung-gedung berbentuk teratai lainnya. Bentuk gedung-gedung itu benar-benar serupa bunga teratai yang setengah mekar, dengan kelopak-kelopak merah mudah keunguan berjendela kaca lebar. Bila sinar matahari terpantul membuat gedung itu berkilauan. Cantik.

Petunjuk mengarahkan kami pada area di tengah gedung terbesar. Kami masuk dari arah atas dan mendarat di tengah lapangan terbuka. Tempat itu seperti dikhususkan untuk istirahat para mahasiswa, dengan rumput-rumput hijau, semak-semak bunga, pohon-pohon rindang, dan meja-meja piknik kayu yang tersebar. Area itu bersih dari orang-orang, tetapi para mahasiswa—yang berjalan-jalan atau tinggal beristirahat—masih dapat menonton kami dari sisi lain tabir kemerahan.

Mischa mengerut dan muka Chrys menegang. Jakunnya bergerak-gerak. Di sisi lain, si Gadis Badut memandang sekelilingnya takjub.

"Kalau nanti aku kuliah, aku ingin belajar di tempat cantik seperti ini," kata Chloe.

Aku membuyarkan apa pun yang sedang mereka pikirkan. "Ayo, Kawan-Kawan, soal itu tidak akan menunjukkan dirinya sendiri," ucapku.

Kami berpencar. Aku terbang dari bawah ke atas, mencari di setiap celah dinding. Kuabaikan para mahasiswi yang melambai di lantai dua atau tiga karena terlalu fokus pada tugas. Namun, tidak lama berselang, dapat kutemukan kristal itu di sela-sela antara sebuah patung gajah bertangan empat yang menjorok ke luar dengan dinding putih. Kristal oktahedron serupa mirah delima.

"Aku dapat!" laporku. Kami kembali berkumpul di tengah.

Kristal terpecah. Petunjuk mengerjakan soal pun muncul, disertai hadirnya papan raksasa berisikan huruf-huruf acak. Kami disuruh menemukan sebanyak-banyaknya kata dalam kategori akademik, menggunakan sebuah pistol sebagai pointer. Dalam waktu 10 menit.

Aku mengambil alih dan menembakkannya. Bunyi "Ting!" terus berbunyi tatkala aku berhasil menembak huruf dan menyusunnya menjadi berbagai kata: skripsi, prosiding, disertasi, makalah, seminar, data, fluktuasi, dan lain sebagainya. Kalian bisa menebak seberapa besar papan itu dari kata-kata yang bisa kudapatkan.

Sementara aku menembak, Chrys, Chloe, dan Mischa menunjukkan kata mana saja yang ada. Mereka ribut bergantian berteriak, "Di sana, Ren! Yang mendatar! Itu dosen!" atau "Menurun, yudisium! Dibalik, wisuda!" Aku harus fokus antara menembak, gerak mata, dan mendengarkan saran mereka.

Saat semua berakhir, petunjuk terakhir kemudian muncul. Tidak perlu banyak berpikir karena kami semua langsung tahu jawabannya. "Sebuah tempat yang memulai segalanya." Tidak mungkin bandara karena tempat itu di luar jangkauan arena. Tidak mungkin juga hotel tempat kami menginap karena tidak ada tempat yang memungkinkan untuk pertarungan. Hanya ada satu tempat yang paling mungkin: Stadion Infinite.

"Susah-susah kita semua menjawab soal, ujung-ujungnya kembali ke stadion?" protes Chloe. Matanya berputar-putar jengkel. "Lebih baik kita menunggu saja di sana sampai semua soal beres dan kita tinggal langsung bantai bosnya."

"Itu tidak akan menjamin," timpal Chrys. "Bisa saja ada di tempat lain."

"Sudah, kalian berdua," aku melerai. "Lagi pula, itulah inti dari perlombaan. Siapa yang cepat menyelesaikan soal dan mendapat poin tercepat, dia yang menang." Aku naik ke skyboard. "Lebih baik kita segera kembali ke stadion sebelum tim lain. Ayo!"

Kami keluar gedung diiringi teriakan para mahasiswa yang menyemangati. Terbang di atas bentang kota yang penuh dengan gedung-gedung tinggi, rumah-rumah dengan panel surya di setiap atap, taman-taman dan ruang terbuka hijau, sampai Stadion Infinite yang kecil di kejauhan perlahan menjadi besar.

Namun, dari arah jam sembilan, sekumpulan anak mendekat, menuju arah yang sama dengan kami. Dua gadis dan dua lelaki. Tim Ascent.

"Itu Prima Sophia!" Chrys memberi tahu. "Ada Olivia!"

"Dari mana kau tahu?" Aku penasaran kenapa gadis itu yang pertama ada di pikirannya.

"Dari keanggunan yang dipancarkannya," kelakarnya. Pipinya merona sesaat. Aku hanya bisa memutar bola mata.

"Kau benar-benar jatuh cinta padanya, Chrys?" tanya Chloe. Aku pun heran kenapa anak itu bisa masuk perangkap musuh. Aku yakin Olivia dan teman-temannya merencanakan sesuatu. Aku masih ingat sensasi tersengat ketika aku menatap matanya. Seperti ada yang memaksa masuk ke pikiranku.

Si anak pirang tersenyum kecil, tetapi keningnya mengerut. "Mungkin," jawabnya, "tapi, seharusnya tidak, ya?" Dia beralih pada Chloe dan Mischa. "Aku gagal melindungi kalian karena malah memilih kencan dengan Olivia."

Dan sempat jadi canggung karena kejadian itu.

Aku menggeleng. "Tidak usah dipikirkan. Semua sudah terjadi," ingatku. "Kita hanya perlu berusaha lebih baik lagi. Ayo!"

Aku membungkukkan badan ke depan, menambah kecepatan. Sebisa mungkin aku tidak boleh tersusul. Namun, sebuah lecutan angin membuat mataku membulat. Serangan-serangan lain menyusul membuat aku tidak fokus hingga keseimbanganku menjadi goyah.

Aku berbalik dan mendapati Loki yang bertengger di punggung Alva sedang mengacungkan tongkatnya. Lecutan angin kembali menyerang. Aku refleks menghindar. Sesekali Arthur menangkis dengan pedangnya.

"Ren!"

"Arennga!"

Sial. Apa niat mereka sebenarnya?

"Kalian duluan dan jangan hiraukan gangguan apa pun!" perintahku, meskipun aku tidak yakin anggota Prima Sophia lain tidak akan membiarkan mereka. Untungnya, mereka mengangguk tanpa membantah. Baguslah.

Alva kembali menyerang, aku tepat waktu mengelak. Kuhadapi anak itu.

"Apa kau ingin mencelakaiku?" cecarku. "Seperti yang kau lakukan dulu?"

Anak itu tergelak angkuh. "Tidak akan," jawabnya disertai senyuman miring. "Tapi, kalau tidak sengaja itu tidak akan terhitung pelanggaran, karena itu kesalahan kalian."

Mataku berkedut. Aku berbalik cepat dan sebisa mungkin mengabaikannya. Sayangnya, Alva orang yang keras kepala juga. Dia kembali mengadangku dengan lecutan angin Loki.

"Alva, bertandinglah dengan jujur dan adil!" seruku.

"Aku sudah jujur dan adil," balasnya. Bahunya mengedik. "Hanya saja menghambat pergerakan lawan bukanlah kecurangan, seperti yang pernah kalian lakukan."

Untuk kesekian kalinya kuabaikan ketua Tim Ascent itu, bersamaan dengan terlihatnya Magna Prudentia dari arah jam empat. Sayangnya seperti Alva, mereka juga memisahkan diri dan Saka mendekat ke arah kami.

"Apa aku bisa ikut bermain dengan kalian?" tanya Saka.

Bagus sekali. Satu lagi gangguan yang aku harapkan telah tiba.

"Kalian masih belum menyerah ternyata," ucap Alva pada Saka. Dagunya menengadah sedikit. Kentara sekali pandangan merendahkan darinya. "Harusnya kalian ingat ini, Tim Canidae hanya beruntung bisa berada di sini. Kalian mungkin berpikir bahwa kalian setara, padahal kenyataannya ... kalian tidak layak."

Ini saat yang tepat untuk kabur sementara kedua orang itu berdebat.

Aku merendahkan sedikit skyboard-ku, lalu pergi. Sayangnya, Chrys, Chloe, dan Mischa ternyata tidak berhasil mencapai stadion ketika aku mendekat. Ketiga tim sedang bertarung menggunakan avatar masing-masing. Denting pedang, api menyembur, empasan angin. Pemandangan itu seperti tawuran antar geng hanya saja dilaksanakan di udara dengan efek visual yang megah.

Namun, mataku refleks terpaku pada sosok berwarna biru terempas dari area perkelahian dengan cepat menuju tanah. Chrys menukik tajam ke arah avatarnya. Aku langsung menyusulnya, khawatir bagaimana bisa dia kehilangan Krishna begitu saja.

"Chrys!" panggilku, dan mendapati anak itu terbaring di tengah jalan sambil memeluk avatarnya. Skyboard tergeletak tak jauh darinya. "Kau tidak apa-apa, Sobat?" tanyaku sambil turun dari skyboard. Aku memeriksa tubuhnya. Tidak ada lecet. "Bagaimana perasaanmu?"

Chrys mengerang pelan sebelum akhirnya bangkit duduk. "Aku tidak apa-apa. Sistem keamanannya bekerja dengan baik," pujinya.

"Dasar kau ini. Apa yang terjadi?" tanyaku heran.

Pertanyaanku tidak sempat terjawab karena Chloe dan Mischa yang datang. Mereka turun dari skyboard dan melontarkan pertanyaan yang sama denganku.

"Aku tidak apa-apa!" Chrys menjawab lagi. Dia menunduk hendak menjelaskan apa yang terjadi. "Sebenarnya ... saat keadaan menjadi tidak terkendali di atas, ada seseorang yang menghajar Krishna dari belakang saat lengah. Akhirnya terlempar. Aku tidak tahu siapa persisnya."

Aku menghela napas. Keadaan di atas memang kacau. "Ya, sudah, yang penting kau tidak apa-apa." Aku mengulurkan tangan. "Kita harus lanjut. Kau bisa berdiri tidak?"

"Tentu saja bisa!" jawabnya penuh semangat. Namun, kaki anak pirang itu bergetar sampai aku harus memegangi tubuhnya karena Chrys tiba-tiba saja oleng. Mata birunya melotot menatapku. "Aku tidak bisa menggerakkan kakiku ...." Napas anak itu memburu. Dadanya naik turun dengan cepat. "Kalian harus meninggalkanku atau kita akan gagal!"

Aku menatap bergantian antara mata biru Chrys dan langit. Anak-anak lain sudah tidak ada. Mereka pasti sudah tiba di stadion. Semoga saja mereka masih berkelahi. Aku tidak bisa membiarkan Chrys sendirian.

"Kami tidak akan meninggalkanmu, Chrys." Chloe bersuara. "Apa pun alasannya."

"Benar. Mau bagaimanapun, kau adalah bagian dari tim." Aku menatap matanya dalam. "Tenangkan dirimu. Tarik napas, buang," suruhku. Untunglah dia mau mendengarkan. "Lagi pula, kami tidak akan maksimal tanpa dirimu."

Setelah beberapa saat, Chrys akhirnya membaik dan bisa berdiri sendiri. Kami pun langsung kembali ke dalam Stadion Infinite. Namun, setibanya di stadion, kami sudah terlambat. Alva berdiri di atas skyboard-nya di puncak sebuah menara tinggi mirip menara pengawas berwarna krem dengan puncak mirip piramida. Tangannya terangkat tinggi memegang kristal oktahedron putih. Mukanya yang tersenyum pongah terpampang di empat layar hologram besar yang melayang di keempat sisi lapangan.

Melihat itu aku hanya bisa menyesali diri karena lagi-lagi tidak bisa membawa tim ini dalam kemenangan.

"Ren, maaf, semua ini salahku," sesal Chrys.

~~oOo~~

A/N

Doakan semoga aku konsisten bisa update 2 hari sekali seperti ini.

Yay!

...

Diterbitkan: 04/08/2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro