Bab 33

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebenarnya kami tidak akan apa-apa meskipun diam tak menghindar. Selubung elektromagnetik akan melindungi kami seperti benda itu melindungi bangunan-bangunan di sekeliling dari hantaman hologram padat. Namun, refleks bertahan hidup menggerakkanku untuk berlindung. Dan di sinilah kami, melayang dengan skyboard bersama avatar menempel di kaki atau bertengger di bahu.

Dan diserang oleh sulur-sulur akar serta burung-burung.

Aku melemparkan Arthur ke arah akar gantung yang menyerang. Pedang menyabet dengan brutal. Akar-akar seketika tercerai berai dan berubah menjadi butiran cahaya. Namun, satu sulur tidak terdeteksi dan melemparkan avatarku sampai membentur tanah.

"Arthur!" Aku langsung menghampirinya yang berusaha berdiri dengan menopang pedang. Luka digital melintang di baju zirahnya.

Seperti tidak memberi kami waktu istirahat, satu harimau menerjang dengan cakar terhunus dan mulut menganga. Aku lekas mengerjakan soal untuk memunculkan Excalibur. Butuh beberapa waktu sampai akhirnya skill itu muncul, tepat saat Arthur mengoyak hewan tersebut menjadi debu cahaya setelah mengulur waktu dengan menghindar berguling-guling.

Di sisi lain, kelopak-kelopak teratai dan akar, cincin-cincin api, dan cakram-cakram beterbangan menyayat dan mengoyak si Nymphae beserta hewan-hewan di sekelilingnya.

"Dasar makhluk-makhluk fana! Kenapa kalian tidak patuh!" seru sang Nymphae berapi-api.

Chloe membalas tidak kalah membara. "Bagaimana kami bisa patuh kalau tidak tahu apa yang harus dilakukan?!" katanya sambil memberikan Clowny bola-bola api. Hewan-hewan yang terkena lari tunggang-langgang dan melebur menjadi cahaya. Sisanya menerjang dengan membabi buta.

Aku menganalisa sekitar. Hewan-hewan menyerang dengan brutal. Batang-batang pohon dan sulur-sulur melilit dan melecut ke sembarang arah. Terlalu banyak kejadian dalam satu waktu. Pengganggunya harus dibereskan terlebih dahulu.

"Hei, Badut! Gunakan lidah apimu untuk membakar seluruh hewan yang ada!" pintaku. Chloe yang melayang mengelilingi musuh bersama badutnya yang melompat-lompat seperti monyet berhenti.

"Katakan sekali lagi dan kau yang akan kubakar!"

Aku tidak menghiraukannya.

"Mischa, ikat si Nymphae saat semua hewan dan sulur sudah hilang! Chrys, kau dan aku yang mengakhiri ini semua!" Kedua orang itu mengangguk mengerti.

Arthur, Krishna, dan Lakshmi, mundur ke jarak aman. Sementara itu, Clowny dengan aba-aba, "Bakar dia!" dari Chloe menyemburkan lidah api yang melahap para hewan dan tumbuhan secara memutar.

Jerit dan raung bersahut-sahutan. Si Nymphae berteriak agar kami menghentikan semua ini, tetapi tentu saja tidak kami gubris. Satu per satu, binatang dan tanaman yang mengganggu terpecah menjadi butir keemasan dan hanya menyisakan si Nymphae yang berbentuk monster pohon dengan senjata ranting tajam, cambuk akar, dan pisau daun.

Mischa dengan sigap memerintahkan Lakshmi mengikat si monster dengan akar yang mencuat dari dalam tanah. Cambuk akar yang melecut-lecut dan ranting-ranting yang menusuk ke segala arah seketika terikat kuat. Bagai beringin raksasa yang sudah berumur ratusan tahun, si Nymphae menjulang dengan akar pohon yang membelit ke tanah seolah akan rubuh kapan saja, ditambah makhluk itu menjerit-jerit seperti tahanan yang terkurung minta bebas.

"Chrys!" panggilku agar anak itu bersiap dan hanya dijawab dengan anggukan. Aku sendiri memberi Arthur Excalibur lagi.

Chrys melempar Krishna yang berwarna biru dengan gada emas di tangannya. Makhluk digital itu mendarat di salah satu akar Lakshmi sampai akarnya bergoyang ke atas dan bawah, lalu melompat-lompat mendekati musuh.

Pedang besar di tangan avatarku. Kutarik Arthur agar naik ke skyboard. Aku pun terbang mendekati si Nymphae dan mengelilinginya mencari celah titik buta sementara Krishna telah memukul-mukulkan gadanya dan dibalas dengan jerit yang memekakkan.

Satu akar Lakshmi terputus dan salah satu sulur hijau pun menggeliat bebas melecut-lecut.

Aku bermanuver di belakang si monster pohon. Kulecutkan Arthur bagai bola meriam ke arah kepala makhluk itu. Arthur dengan sigap menyabetkan pedangnya menghalau sulur pohon yang menerjang. Dengan sekali tebasan melengkung, dia memotong bagian pohon itu dan terpecahlah menjadi cahaya.

Si Nymphae tersentak ketika Arthur mendarat di belakang kepalanya. Makhluk itu menjerit sambil memecutkan sulur, tetapi Arthur sigap bersalto ke belakang sambil menebas belakang kepala lawannya.

Krishna kemudian membantu dengan memukul-mukulkan gadanya pada kepala si Nymphae yang meraung-raung. Dengan gerak cepat, avatar berwarna biru itu melompat ke belakang ketika satu sulur mengarah padanya.

Tinggal beberapa detik lagi sebelum skill Excalibur habis. Hit Point makhluk itu pun sudah tinggal sedikit lagi. Aku harus cepat menyelesaikan ini agar efektif.

"Mischa, ikat lebih kencang!" pintaku. "Chrys, dalam aba-abaku, penggal kepalanya!"

Kedua orang itu mengangguk patuh.

"Aku harus bagaimana?" tanya Chloe kesal, mungkin karena dia dari tadi tidak melakukan apa-apa.

Aku ingin sekali bilang, "Diam dan jangan mengacau!" tapi bukan seperti itu caranya kerja tim. Jadi, aku pun menjawab, "Bersiaplah untuk pembakaran kedua kalau serangan ini gagal!"

"Itu, sih, gampang!" sahut Chloe cepat.

Akar Lakshmi muncul lebih banyak, mengikat si Nymphae makin kencang. Arthur yang berdiri di salah satu sulur yang mengikat di belakang lawannya, berlari cepat. Pedang siap dihunuskan. Sementara itu, Krishna telah mengganti gadanya dengan dua cakram yang berputar kencang.

"Ayo, Arthur!"

Avatarku berlari dengan seimbang seperti pemain akrobat. Semakin dia dekat, semakin si Nymphae meraung-raung mencoba melepaskan diri. Pedang Arthur terhunus di samping tubuh. Dengan satu lengkungan cepat, dia menebas—

"Sial, Arthur!"

Akar melecut. Pijakan Arthur goyah. Pedangnya hanya cukup menyabet sedikit leher si Nymphae hingga hanya bisa menyebabkan sedikit poin kerusakan.

Aku refleks menangkap Arthur sebelum dia dapat menyentuh tanah.

"Chrys!" kataku cepat. Sigap, Chrys memerintahkan Krishna untuk melemparkan cakramnya, mencegah kehilangan momentum.

Dengan sekejap mata, dua cakram bergantian melewati leher si monster pohon. Jerit melengking diiringi hit point-nya yang semakin berkurang menjadi nol.

Seiring dengan suara yang mengecil, pudarlah makhluk itu menjadi cahaya. Butir-butir keemasan memadat menjadi kristal oktahedron hijau yang melayang-layang di atas air pancur yang tidak tergores sedikit pun. Chloe—dengan inisiatif yang patut diberi penghargaan—mengambilnya, lalu berkumpul kembali bersamaku, Chrys, dan Mischa.

"Kerja bagus, Kawan-Kawan," pujiku. Aku turun dari skyboard, begitu juga dengan yang lain.

Aku lantas meminta Chloe memperlihatkan kristal soal yang didapat. Benda berbentuk dua limas segi empat yang digabung berwarna emerald itu pun terpecah menjadi butiran kekuningan, lalu bergabung menjadi layar hologram dengan sebuah soal di dalamnya.

Chloe mengutip bait pertama. "Dalam hening, ia berdiri. Putih berkilau diterpa cahaya mentari."

"Kuat tegak, ia bertahan. Bahkan waktu tak kuasa menghancurkan," lanjut Chrys.

"Saksi bisu sebuah pertempuran. Sebuah lambang kekuasaan."

Sebuah bangunan kunokah?

Aku melihat sekeliling, menerka ada di mana tempat yang dimaksud. Namun, pepohonan dan bangunan-bangunan yang lebih tinggi lainnya menghalangi pemandangan. Aku harus terbang agar bisa melihat lebih jelas.

"Di Dvat ada situs arkeologi?" tanya Chloe.

"Ada."

"Ada."

Aku dan Chrys berkata bersamaan. Akan tetapi, wajah anak itu lebih serius seperti memikirkan soal matematika yang sulit alih-alih akan melontarkan sebuah lelucon garing. Sepertinya perkiraan kami bermuara pada hal yang sama.

"Ascent dulunya bekas jajahan kerajaan Alafathe," Mischa menjelaskan. "Makanya banyak keturunan Alafathe di sini."

"Seperti Pak Supir itu siapa namanya, Bu Eva, Alva, dan Olivia," balas si Gadis Badut.

Aku baru akan menyarankan sesuatu ketika Chrys berkata, "Aku tahu!"

"Tahu apa?" Chloe melihatnya heran.

"Bangunan yang dimaksud itu Kuil Parthina! Warnanya aslinya putih gading. Ia ada di ...." Chrys meraba-raba ke kiri dan kanan cakrawala mencari keberadaan bangunan tersebut. "Sana!" Dia menunjuk ke salah satu celah di antara dua gedung pencakar langit yang memantulkan angkasa biru berawan tipis dengan aksen merah selubung pelindung kota.

Aku tahu ada beberapa situs peninggalan kuno yang tersebar di Dvat, tapi aku tidak menemukan detail spesifik tentang Kuil Parthina yang berhubungan dengan soal. Beruntung sekali dia tahu informasi itu.

"Ayo, aku tunjukkan!" ajak Chrys. Anak pirang itu menaiki kembali skyboard-nya bersama Krishna di punggung.

Kami mengangkasa. Chrys memimpin di depan, sedangkan aku di belakang mengawasi. Kami melewati taman-taman hijau, rumah-rumah yang tertata rapi, dan bangunan-bangunan menjulang.

"Kau tahu dari mana, Chrys?" tanya Chloe, ketika kami melewati kawasan gedung-gedung.

Chrys merendahkan suaranya. "Aku tahu saat kencan dengan Olivia. Dia menjelaskan beberapa hal ketika kami bersama, termasuk beberapa bangunan bersejarah di sini," jawabnya. Wajahnya yang serius dan menekuk terpantul di kaca-kaca gedung pencakar langit yang kami lewati.

Perkataan Chrys mengingatkanku pada daerah yang sedang kami lewati. Aku ingat tempat ini. Beberapa bangunan masih kuhafal tempatnya. Taman, toko, gedung. Dari atas sini, semakin jelas tata letaknya. Sayang sekali aku tidak ingat ada situs bersejarah di sekitar sana.

Tidak lama setelah melewati kawasan permukiman, kami pun bergerak ke arah bukit batu dengan sedikit pohon di sana-sini. Di puncaknya, terdapat sebuah bangunan berarsitektur kuno khas Kerajaan Ionnan berdiri kokoh. Ada beberapa reruntuhan serupa pilar di sekitarnya, tetapi hal itu malah membuatnya semakin menegaskan bahwa dia adalah sosok yang penuh dengan sejarah.

Chrys mendarat dan langsung menengadah memperhatikan bangunan berpilar banyak di hadapannya. Kami menyusul di belakangnya, sama-sama takjub dengan arsitektur yang pantas masuk ke tujuh keajaiban dunia.

Chrys berbalik dan berdeham. "Kupersembahkan ... Parthina!" tunjuknya dengan kedua tangan seperti memperlihatkan mahakaryanya.

Aku mengangguk, lalu memeriksa kembali syair soal sebelumnya.

"Chrys, apa yang Olivia katakan tentang saksi bisu peperangan?" tanyaku memastikan.

"Eetooo ...." Chrys menggaruk rambut, berusaha menggali informasi. "Bangunan ini adalah sebuah kuil pemujaan dan jadi tempat tragedi pembantaian."

Aku heran kenapa informasi itu tidak tercantum di website-website yang kubaca. Apa aku terlewat sesuatu atau aku melupakannya? Sudahlah, tidak penting.

Chrys berinisiatif mencari kristal soal. Secara ajaib dia berhasil dengan cepat menemukannya di antara reruntuhan pilar-pilar di dekat bangunan utama, bahkan sebelum aku bergerak. Anak itu lantas menunjukkan benda berwarna kuning yang melayang di atas tangannya.

Kristal terpecah, hologram soal muncul. Soal tersebut menyuruh kami untuk menemukan berbagai kumpulan tulisan kuno yang tersebar di sepenjuru situs, lalu menerjemahkannya sebelum menyusunnya dalam sebuah cerita utuh. Sebuah rahasia yang mengungkap runtuhnya Parthina di masa lalu, katanya.

Setidaknya, kami diberikan kamus bahasa Ionnan kuno sebagai pegangan. Lalu, hitung mundur 30 menit pun dimulai.

"Semua, berpencar dan cari petunjuk apa pun yang terlihat," suruhku. Aku tidak yakin apa yang kucari, tapi setidaknya kami harus berusaha sebelum waktu habis dan harus menghadapi seekor monster lainnya bila gagal.

Tiga orang mencari di luar, sedangkan aku mencari di dalam kuil.

Saat aku menaiki tangga yang terbuat dari marmer, aku seolah kembali lagi ke masa lalu. Pilar-pilar tinggi bergerigi yang menyambut, langit-langit menjulang yang menaungi, dan dinding-dinding berlukis kisah-kisah kepahlawanan dan dewa-dewi menghias. Berkas-berkas cahaya matahari masuk dari celah-celah dinding dan menerangi ruangan serta lukisan warna-warni yang ada. Megah, artistik, dan kuno. Hal yang membedakan adalah adanya tali-tali pembatas berwarna merah dengan tiang-tiang logam yang menyangga.

Aku dan Arthur yang sedari tadi di sampingku celingukan. Kudekati tiang-tiang, kuperhatikan lukisan-lukisan, sampai akhirnya kutelaah satu-satunya patung raksasa berupa pria gagah brewokan bertelanjang dada memegang tombak yang terbuat dari batu marmer putih dan dikelilingi juga tali merah pembatas. Di atas kepalanya, kristal berpendar putih berputar-putar.

Aku berpaling pada avatarku. "Saatnya melompat," ujarku. Arthur mengangguk. Aku membungkuk, kubuat kedua tangan sebagai pijakan. Makhluk digital itu mengambil ancang-ancang, lalu dia melompat ke tanganku.

Dengan satu gerakkan gesit, kulecutkan Arthur sampai dia mendarat di bahu kiri si patung. Tanpa halangan yang berarti, dia sudah berada di puncak.

"Cepat sini!" perintahku. Arthur langsung melompat dan mendarat bak superhero. Baju zirahnya bergerincing saling beradu.

Kristal soal yang kudapat berubah menjadi layar hologram berbahasa Ionnan. Beberapa kata ada yang terasa familier, mungkin karena itu adalah akar kata yang diserap kemudian digunakan dalam bahasa sehari-hari. Kupindai cepat satu paragraf itu dan kusamakan dengan kamus yang kubuka di sebelahnya. Mataku tak henti-hentinya bergeser dari kiri ke kanan, bergantian antara bahasa asing dan terjemahan. Hanya dibantu oleh sinar mentari yang menyembul dari celah-celah dinding.

"Oke, aku sudah mengerti garis besarnya." Kutatap Arthur yang menatap balik dengan mata tajam kecilnya. "Saatnya berkumpul kembali."

Aku keluar dari ruangan yang redup ke tempat yang berlimpah cahaya sekaligus. Aku sampai harus menghalangi mata dengan tangan saking silaunya. Di lapangan depan, Chloe, Chrys, dan Mischa sudah berkumpul. Mereka menunjukkan layar hologram masing-masing.

"Kalian sudah selesai?" tanyaku, bergabung kembali dengan mereka.

Chloe menatapku jenuh. "Akhirnya datang juga."

Aku mengangkat alis. Selama itukah aku?

Chrys melerai kami sebelum terjadi perkelahian tak seimbang dengan bertanya, "Kau sudah menerjemahkan semuanya, Ren? Kami tinggal menyatukan potongan terakhir, dan sepertinya bagian pertama itu milikmu. Kebetulan ada empat bagian sampai jadi cerita utuh."

Aku menunjukkan hasil terjemahanku yang kubuat selama aku keluar dari kuil. Chrys lalu mengambil alih dengan cara menekannya lama dan menyeretnya ke jendela hologramnya sendiri.

"Apa ini ada hubungannya dengan cerita Olivia sampai kau bisa mengerjakannya dengan lancar?"

Chrys tergeregap sebelum akhirnya menjawab, "Tidak, kok." Dia mengabaikanku sesaat dan fokus merangkai paragraf-paragraf sampai membentuk cerita utuh.

Jendela jawaban memindai masukan yang diberikan. Karena bukan kata per kata yang diterjemahkan, sistem memeriksanya dengan memberi warna pada kata-kata kunci yang sekiranya mendekati maksud aslinya. Gabungan algoritma dan kecerdasan buatan yang canggih. Tak lama kemudian, kata-kata yang disorot berubah hijau, dan tanda berhasil pun muncul.

"Yay, berhasil!" seru Chrys.

Tanda centang yang melayang lantas berubah menjadi petunjuk soal.

"Ketika pengetahuan ada untuk semua orang. Beralaskan rumput, beratapkan angkasa. Apa pun yang kau mau tinggal bilang. Tidak ada alasan untuk tidak berwawasan," aku mengutip petunjuk ke tempat selanjutnya. Terlalu mengawang, tapi cukup.

"Ruang terbuka," celetuk Chrys.

"Semua juga di ruang terbuka," balas Chloe.

"Taman bacaan." Aku menginterupsi.

Chrys, Mischa, dan Chloe menatapku.

"Taman bacaan yang mana? Ada banyak taman bacaan di Dvat," cerocos Chloe.

"Tidak seluruh Dvat jadi arena pertandingan." Kutatap lurus kota di bawah yang terselubung tabir kemerahan tipis sampai ke tempat kami. "Lagi pula, aku tahu taman yang dimaksud. Satu-satunya taman bacaan dengan mesin peminjam buku otomatis dalam jangkauan arena." Aku melemparkan skyboard, lalu kunaiki. "Ayo."

Aku menukik menuruni bukit. Melihat kota dari jarak yang lumayan tinggi sebelumnya cukup memberikanku gambaran jelas. Berbeda dengan Chrys, aku memutuskan untuk mengambil jalan pintas, melewati gang-gang dan gedung-gedung sempit.

Chloe bertanya ketika kami melalui salah satu gang kecil dengan dinding-dinding bata tak berplester penuh tempat sampah di bawah. "Biar kutebak, kau tahu jalan ini juga karena sebab menyelamatkan Mischa," katanya.

"Memang," aku membenarkan. Kulirik sekilas kedua gadis yang ada di belakang itu. "Dan kau tidak perlu lagi mengungkit-ungkit hal itu." Perkataan Chloe memang tidak salah, tapi hal itu bisa jadi serangan tidak langsung pada Mischa. Melihat sifatnya, gadis pemalu itu bukannya semakin aktif, tetapi malah bisa lebih menutup diri karena dipojokkan.

"Maaf, Mischa, aku tidak bermaksud," sesal Chloe.

"Tidak apa-apa," jawab Mischa pelan.

Kami beberapa kali berbelok, sampai di gang terakhir menuju jalan utama. Namun, tepat beberapa meter sebelum mulut gang, terdapat penghalang yang mencegah kami melewatinya. Kami serta-merta berhenti.

Sedikit lagi.

Aku memperhatikan penghalang itu dan menyadari ada sebuah kristal soal yang melayang-layang di area bawah. Aku langsung turun dan memeriksanya.

"Jendela peretasan," aku mengumumkan. Terdapat barisan kode penuh tanda baca dan rumus pengkodean dari atas sampai bawah.

"Itu hanya akan buang-buang waktu," tolak Chloe. "Lebih baik kita memutar cari jalan lain."

"Benar, Ren." Chrys ikut-ikutan menganggap aku tidak mampu.

"Ini mudah, kalian lihat saja," yakinku. "Apa perlu kuingatkan kalau aku juga pernah membantu memperbaiki sistem keamanan sekolah tahun lalu?" Aku terus mengotak-atik kode, menuliskan baris demi baris.

"Sistem keamanan yang kau rusak sendiri agar kita bisa berduel sampai membuat sekolah hampir kebakaran."

Perkataan Chloe sukses membuat aku refleks tersenyum miring.

"Percuma pula aku menasihatimu," sesal Chloe. "Kau adalah orang paling egois dan keras kepala yang kutahu."

"Terima kasih pujiannya," timpalku, bersamaan dengan peretasan yang selesai. Tanda centang hijau muncul, penghalang kemerahan di depan kami menghilang dari tengah ke seluruh penjuru. Kami juga dapat poin tambahan.

Aku berbalik. "Piece of cake," kataku sambil bersedekap.

Gadis itu hanya bersungut-sungut. Dia terbang maju tanpa memedulikanku. Aku menyusulnya disertai Chrys dan Mischa di belakang.

"Banyak soal bonus, tuh!" seru Chloe sambil menunjuk beberapa kristal oktahedron berwarna-warni yang tersebar di sepanjang gang. "Kau pasti bisa menjawabnya dalam sekali kedip."

Sebuah tantangan yang menarik. Sejujurnya aku tergoda, tapi itu bisa menunggu. "Tim lain bisa saja sudah selangkah di depan," timpalku. "Kau bisa menjawab sebanyak yang kau mau setelah kita selesai dengan soal ketiga ini."

Chloe hanya mendengkus sebagai jawaban.

Kami kemudian keluar dari gang menuju jalan utama. Di seberang, taman bacaan yang luas terhampar.

Taman baca itu penuh dengan pepohonan rindang dan semak bunga-bungaan yang beraneka macam warna. Udara segar terasa tatkala menghirup napas. Di beberapa sisi, terdapat bangku-bangku semen sampai gazebo-gazebo luas dengan bantal kacang untuk membaca. Gabungan teduhnya suasana dan udara yang menyejukkan benar-benar cocok untuk menghabiskan waktu tidak hanya untuk membaca buku.

Aku bisa saja berdiam di sini untuk menikmati pemandangan dan melupakan segala hal termasuk bahwa kami telah sampai di pusat taman dengan beberapa mesin penjaja buku yang berdiri melingkar.

"Kau yakin ini tempatnya?" tanya Chloe skeptis.

"Aku yakin. Tidak ada lagi tempat seperti ini di luar jangkauan arena."

"Aku menemukannya."

Aku, Chloe, dan Chrys refleks berbalik pada Mischa yang menunjuk ke balik punggungku. Dia langsung terbang ke balik mesin-mesin berbentuk seperti kulkas transparan tersebut dan kembali dengan kristal soal di tangannya. Biru safir yang berkilauan.

Kristal pecah dan muncullah papan-papan hologram dua warna di hadapan kami yang membentuk dinding mewujud rangkaian teka-teki silang. Total ada sepuluh pertanyaan dengan kolom kosong putih dan sisanya berwarna merah transparan. Kibor hologram melayang di depan kami sebagai tempat memasukkan jawaban.

Pertanyaan-pertanyaan yang ada mayoritas berupa istilah-istilah yang jarang digunakan sehari-hari seperti, "Tiga hari setelah besok." Atau, "Bekas air di permukaan meja akibat gelas dingin atau basah." Yang lain, "Air seduhan dari bunga, akar, atau daun (selain tanaman teh) yang dikeringkan." Sampai, "Tangisan bayi yang baru lahir." Mengisi titik-titik dalam peribahasa juga jadi pertanyaan, contohnya, "Bergantung pada ... sehelai." Atau, "Ketika gagak putih, ... hitam." Yang lebih mudah ada pada soal-soal sinonim seperti, "Kaca pembesar/lensa." Atau, "Tempat lilin gantung."

Pertanyaan-pertanyaan itu lebih sering dijawab oleh Mischa saat aku akan menuliskannya. Bahkan dari sepuluh soal, aku hanya kebagian menjawab yang pertama dan sisanya gadis itu yang mendiktekan, ditambah Chloe di dua nomor terakhir. Aku tidak tahu dia terbentur apa, atau karena perkataan Chloe saat di gang jadi memengaruhinya?

Soal-soal terjawab dan semua susunan huruf-huruf itu membentuk petunjuk-petunjuk untuk ke tempat selanjutnya.

"Kau hebat, Cha!" puji Chloe membuat pipi Mischa bersemu.

"Kau juga hebat, Chlo!" Chrys balik memberi apresiasi.

"Hehe, terima kasih, Chrys. Jarang sekali aku mendapat pujian dari laki-laki." Dia melirik sekilas padaku.

"Kau ingin dipuji juga?" Aku mendapati kodenya. "Aku akan memujimu kalau kau bisa menyelesaikan soal-soal bonus yang kau singgung di awal."

Gadis itu mendengus sambil membuang muka. "Tidak perlu. Aku tidak butuh pujian apa pun darimu."

Aku mengangkat bahu. "Ya, sudah." Mataku tertuju pada jalan kami datang. "Aku akan membereskan beberapa soal bonus, kalian pergilah duluan." Kulirik kembali teman-temanku. "Biar waktunya efektif. Kapan lagi ada soal-soal bonus di depan mata."

"Ck, baiklah, Jagoan, kami mengerti."

"Kau mau ikut?" tanyaku pada Chloe, tetapi langsung ditolaknya. Aku tersenyum miring. "Oke, aku yakin aku bisa menanganinya. Kalian segeralah berangkat."

Chrys menyemangatiku. "Semangat berhasil, Ren!"

Chrys, Chloe, dan Mischa menaiki skyboard masing-masing dan langsung terbang ke tempat tujuan.

Aku berbalik ke arah gang sebelumnya. Akan kupastikan aku akan mengalahkan mereka dengan soal-soal bonus ini.

~~oOo~~

A/N

Halo, Kawan-Kawan '-')/

Siapa yang kangen??!!!

Gak apa-apa kalau gak ada yang kangen.

Aku cuma mau bilang kalau aku lagi nulis maraton bulan ini. Jadi kemungkinan besar akan ada update rutin. Niatnya sampai tamat. Karena olimpiade ini (bukan yang di Prancis 2024) tinggal 1,5 fase lagi. Doakan aku ya.

Kalau enggak sabar, kasih semangat, dong ._.

(Terakhir update kalau gak salah tahun lalu ya? Waw sudah lama sekali ya.)

Oiya, karena nulis maraton, aku bisa jadi kelupaan detail-detail penting gak penting, jadi kalau dirasa ada plothole, tolong kasih tahu ya, komen di line mana plothole-nya supaya aku bisa revisi. Makasih.

Doakan cerita ini tamat bulan sekarang. 

Dadah 'w')/

... 

Diterbitkan: 02/08/2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro