Bab 7: Chrysan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perhatian: Cerita ini hanya dirilis di platform W A T T P A D.

...

Introspeksi itu tidak ada. Setidaknya untuk Chrys. Di saat aku sibuk mengurung diri di kamar untuk belajar, mempelajari strategi yang efektif, dan mengumpulkan berbagai informasi terkait lawan, anak itu malah kelayapan entah ke mana. Dia baru kembali ke kamar saat hampir tengah malam dengan wajah berbinar seperti habis kencan. Pak Ben menegurnya, tetapi anak itu berdalih dengan alasan pengamatan.

Namun, kepercayaan dirinya luntur di waktu sebelum fajar ketika aku tidak menemukannya di atas kasur. Saat aku keluar akan ke kamar kecil, anak pirang itu sedang mondar-mandir di depan televisi sambil menggigit kukunya.

Aku gemas. "Kau kenapa?" tanyaku membuat lelaki itu berhenti seketika. Dia tersenyum rikuh sambil memegang belakang kepala.

"A ... ah, tidak, tidak apa-apa."

"Gugup?" terkaku. Dia hanya memandang ke arah lain. Aku menghela napas sebelum melanjutkan ke tujuan awal.

Aku bisa kena serangan jantung kalau Chrys muncul tiba-tiba dari balik pintu kamar mandi dengan kostum seram—tetapi, untungnya tidak. Dia hanya terpaku di depan sana sambil menunduk. Namun, tetap saja itu membuatku kaget. Saking terkejutnya, aku hampir terjengkang ke belakang kalau saja dia tidak menarik lenganku dan berakhir dengan kami saling bertindihan. Chrys langsung bangkit dan melesat ke kamar mandi tanpa menghiraukanku yang masih syok.

Ada apa dengan anak itu ...?

Aku memutuskan untuk menyalakan televisi sebelum mandi. Tak lama berselang, Chrys datang dan langsung duduk di sebelahku. Dia lagi-lagi menggigit kuku sembari menonton.

"Kegugupanmu akan membuat kita dalam masalah," ujarku tanpa melihatnya.

"Maaf, aku hanya ... takut gagal." Chrys berhenti menggigit kuku dan berganti meremas-remas jarinya.

"Kalau begitu, menyerahlah untuk jadi ketua dan serahkan semuanya padaku."

"Hah? Mana bisa! Aku sudah bilang pada Pak Ben kalau mau jadi ketua."

Aku meremas bahu Chrys. Kutatap dalam mata birunya yang secerah langit. "Kalau begitu, buktikan dan berhentilah mengeluh."

Chrys menegang. Dia lari ke kamar mandi lagi. Aku melihatnya heran.

"Beser karena gugup?"

...

Kelakuan Chrys semakin menjadi saat kami sarapan bersama. Dia makan dengan terburu-buru sampai sering tersedak dan Pak Ben mesti memberinya air sesering mungkin sebelum dia mati kehabisan napas. Anak pirang itu juga bisa menandaskan seluruh makanan yang tersedia kalau dia tidak bisa mengatasi kegugupannya secepat mungkin. Berulang kali bolak-balik ke tempat makanan disediakan. Dia bisa saja kena diabetes kalau yang diambilnya makanan manis melulu.

"Calon ketua kita ini bersemangat sekali, ya," kelakar Pak Ben yang telah menghabiskan makanannya. Chrys di depannya mengunyah dengan sangat cepat sebelum menjawab.

"Aku harus punya banyak tenaga untuk memimpin!" timpal Chrys. Guru pembimbing kami hanya tertawa.

"Ya, tentu saja. Bapak akan mengurus sesuatu dahulu. Kalian duluan saja ke mobil kalau sudah selesai," ujar Pak Ben sambil lalu.

Nafsu makan Chrys memancing komentar Chloe. "Kau harus mengendalikan diri, Chrys. Kau bahkan lebih parah dari aku yang tidak makan seharian."

"Mahu bhagaimmana lagh—"

Chrys tersedak untuk kesekian kalinya. Mischa dengan tanggap memberi segelas air. Chloe panik karena yang ini lebih parah dari sebelumnya. Aku hanya bisa melihat semua itu pasrah sambil menumpu dagu.

"Kau bisa mati muda," sindirku.

Anak itu hanya cemberut.

Di mobil saat perjalanan, Chrys tidak menggigit kukunya. Sebagai gantinya, dia mengentak-entakkan kaki pelan. Hal itu membuatku cukup terganggu sebagai orang yang paling dekat dengan posisinya. Muak oleh suara ketukan yang tidak berirama sama sekali, aku pun menginjak kakinya sampai anak itu mengaduh nyaring.

"Ren, sakit! Kau itu kenapa, sih?"

"Kau yang kenapa?! Kelakuanmu sepagian ini membuatku hampir gila!"

"Hoy! Hoy, Para Bujang!" Pak Ben menegur kami dengan tatapan tajam dari spion tengah. "Selesaikan masalah kalian nanti setelah latihan."

Tidak ada pembicaraan di antara aku dan Chrys selama sisa perjalanan ke tempat latihan.

Setelah briefing singkat mengenai latihan yang hari ini akan digabung dengan dua tim lainnya, kami menunggu di tempat yang telah ditunjuk seperti kemarin. Sebuah area putih sebelum arena terpilih dimunculkan. Sekat antar lapangan ditiadakan. Kami bisa melihat tim lain jauh di sana, kecil seperti semut saking jauhnya.

"Kau tidak apa-apa, Chrys?" tanya Chloe khawatir.

"Aku? Tidak apa-apa ...." Kaki berjinjit-jinjit. Tangan tak bisa diam. Mata terus melirik ke sembarang arah. Sangat tidak apa-apa.

"Chrys, dengar," kata gadis berkucir kuda itu sambil memaksa si rambut pirang membungkuk karena terlalu tinggi. "Kau harus bisa membuktikan kepada kami—terutama Arennga, kepada Pak Ben, kepada dirimu sendiri, bahwa kau bisa jadi seorang pemimpin." Chloe melihatku. Ia berbisik pada Chrys yang masih bisa kudengar. "Jangan sampai orang egois itu jadi ketua. Kita tidak akan tahu apa yang bakal terjadi." Ada jeda sebelum ia melanjutkan. "Aku dan Mischa percaya padamu."

Chrys mengangguk patuh. Dia tersenyum. Rasa gugupnya terasa hilang sedikit. Aku hanya bisa tersenyum miring melihat tingkah mereka.

Agar suasana lebih panas, aku pun ikut menyemangatinya. Kucengkeram kedua bahu Chrys. Kutatap mata birunya dalam. "Buktikan padaku, Rival. Bawa kami pada kemenangan. Aku akan mematuhimu sampai akhir. Sebagai gantinya, kau akan mematuhiku besok. Kita lihat siapa yang terbaik."

"Persaingan sehat?" tanya Chrys.

"Persaingan sehat," tegasku.

Sebuah pengumuman bergema. "Sebentar lagi latihan akan dimulai."

Tak lama berselang, arena tempat kami menunjukkan perubahan. Dalam sekejap, arena putih telah berubah menjadi pedesaan abad pertengahan. Rumah-rumah kayu beratap ijuk. Jalan setapak tanah dengan paving block di beberapa tempat. Sumur di sebagian rumah.

Chrys menelan ludah. Dia berbalik ke arah kami dengan tangan bergetar. "Oke, begini rencananya. Hindari konflik seminimal mungkin, karena tujuan dari tahap pertama ini nanti adalah mendapatkan tim yang paling cepat menjawab. Kalau kita terpaksa berduel, waktu yang didapat akan lebih lama. Jangan berpencar, tetap bersama. Oke, Teman-teman?"

"Oke," jawab kami serempak.

Chrys mengulurkan tangannya yang terkepal. "Tos tim?"

Aku memutar bola mata. Terpaksa mengikutinya. Aku yang jadi terakhir mengulurkan tangan setelah Chloe dan Mischa.

"Tim SeS Altherra! Sukses!" teriak Chrys sambil meninju langit. Kami menirunya.

"Sukses!"

Kami kemudian mengeluarkan avatar masing-masing. Bel tanda latihan dimulai berbunyi setelahnya.

Kristal soal oktahedron terpencar bagai butiran salju. Benda-benda itu melayang di beberapa tempat secara acak. Chrys memimpin untuk memilih soal mana yang akan dikerjakan terlebih dahulu.

Permulaan ini cukup berjalan lancar. Soal-soal mudah seperti menghitung penggunaan katrol yang sesuai agar seorang nenek bisa menimba air dengan tenaganya yang tersisa atau soal tentang berapa banyak pohon aren yang harus ditebang untuk membuat satu atap rumah yang terbuat dari ijuk. Terlampau mudah, sampai sebuah soal tersilap dari perhitunganku. Permainan kata-kata.

Tanah bergetar, bumi merekah. Kami melompat mundur ketika seekor makhluk panjang mengular tiba-tiba muncul dari bawah. Tubuh monster itu seperti terbuat dari kumpulan huruf dan angka berwarna putih. Mata dari angka nol. Gigi tajam dari angka empat yang runcing. Keempat tangannya yang serupa pita tertiup angin berkibar-kibar. Makhluk itu mengaum.

"Bersiap, Semua!" teriak Chrys. Aku tidak langsung menyerang, menunggu aba-aba dari anak itu.

Makhluk itu menerjang. Tangannya yang lentur menghunus tanah kami berada. Seperti pita kain yang diikat mata tombak, tangan monster itu bergerak sangat luwes. Kami hanya bisa menghindari setiap serangan yang datang sambil menunggu Chrys selesai menganalisis situasi.

Setelah sekian tusukan yang menyebabkan tanah berlubang, akhirnya anak pirang itu memberikan instruksi. "Mischa! Ikat makhluk itu dengan akar. Chloe! Alihkan perhatiannya. Ren! Kau dan aku akan menghadapinya."

Tidak ada bantahan. Semua mengangguk.

Mischa mengeluarkan akar dari dalam tanah. Chloe menyuruh badutnya melemparkan cincin-cincin raksasa. Chrys mempersenjatai Krishna gada emas. Setelah aku memberikan excalibur pada Arthur, kami berdua menerjang.

Arthur dan Krishna menghindari lecutan-lecutan yang ada. Akar Mischa beberapa kali memeleset dan berhasil diputuskan. Sementara itu, Clowny masih melemparkan cincin-cincin raksasa yang kini berapi.

Makhluk itu mengaum, menggeliat, meronta. Akar Lakshmi berhasil mengikatnya. Arthur mengoyak, Krishna menumbuk. Bersamaan dengan serangan akar avatar Mischa yang menusuk si monster, Clowny menyemburkan lidah api.

Aku dan Chrys memberikan serangan pamungkas. Di antara api yang membakar makhluk itu, Arthur dan Krishna menyerang kepala yang serupa kadal tersebut. Ledakan mengiringi musnahnya si monster disertai cahaya berkelip bagai kunang-kunang yang naik ke langit.

"Kerja yang bagus, Ren!" puji Chrys. Dia menepuk bahuku sambil memberikan satu jempol.

"Aku tahu kau bisa jadi pemimpin!" ujar Chloe pada Si Anak Pirang. Laki-laki itu hanya tertawa malu.

Chrys memutuskan untuk lanjut agar waktu yang ada tidak terbuang percuma. Aku berusaha lebih fokus agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Dipimpin Chrys yang sangat menikmati suasana desa abad pertengahan ini seperti jalan-jalan, kami dengan mudah mengerjakan soal-soal yang ada dengan santai. Setelah "jalan-jalan" yang cukup panjang, kami berakhir di sebuah tempat seperti ladang pertanian.

Karpet hijau tanaman pangan terhampar sejauh mata memandang. Banyak dari tanaman itu berupa gandum dan barli. Di kejauhan, sebuah rumah pertanian dengan silo logam menjulang di sebelahnya. Seorang pria tua bungkuk melambai ke arah kami.

Kami menghampirinya.

Pria itu memakai kemeja panjang putih dengan kancing kerah terbuat dari tali yang terjalin. Bercelana hitam dan sepatu bot kulit. Dia menggenggam garpu rumput dengan bagian runcing menghadap ke atas.

"Bisakah kalian menolongku?" tanyanya dengan suara bergetar. Kami mengangguk.

Sebuah antarmuka hologram muncul.

[SOAL]

[Bantu Si Petani! Jika ladang yang harus disiram berjarak 100 m dari sumber air berupa semprotan dengan diameter lubang 5 cm dan setiap air menyentuh tanah menyebabkan tanah basah sebesar 1 m2, hitung berapa sudut yang harus diberikan, tekanan air yang harus keluar, serta berapa kali sudut dan tekanan harus diganti, apabila luas area 1 hektare!]

Sesaat setelah soal kujawab, kami digiring ke ladang yang dimaksud. Sebuah tanah tandus yang belum digarap. Soal-soal yang ada mengharuskan kami menerapkan apa yang kami jawab. Oleh karena itu, aku harus bermain dengan air dan selang sesuai dengan jawaban yang kuberikan.

Chloe, di lain pihak, harus menghitung berapa orang yang dibutuhkan untuk menanam benih bila setiap orang hanya bisa menanam lima butir dalam satu menit untuk ukuran satu hektare dalam satu hari. Chrys harus menjawab soal tentang gaya yang harus dikeluarkan dan sudut ayunan cangkul yang tepat agar tenaga yang dikeluarkan bisa efektif. Terakhir, Mischa harus memperkirakan waktu panen dengan tanda-tanda yang telah diberikan.

"Kalian sangat cerdas dan senang menolong. Kalau saja orang-orang yang ada punya sifat seperti kalian, permasalahan yang ada pasti mudah diselesaikan," puji si Petani setelah kami semua selesai menjawab persoalan yang ada.

Chrys tertawa canggung sambil mengusap belakang kepalanya. "Ini sudah tugas kami." Kata-katanya seperti merendah. Nyatanya, kami memang harus melakukan ini agar semua cepat berakhir.

Kami baru akan keluar dari area pertanian dan mengambil soal yang lain ketika sebuah lecutan petir tiba-tiba muncul menghalangi. Kami semua terpaku, melihat ke arah tanah yang tiba-tiba telah menjadi gosong. Refleks, aku dan yang lain berbalik ke belakang dan mendapati tim Prima Sophia sedang berdiri menantang.

Aryza Satya mengulurkan tangannya ke depan. "Sekali lagi, Merlin," perintahnya dingin. Avatar lelaki berkacamata itu menghunuskan tongkat. Dari ujungnya muncul cahaya yang berkumpul dan melesat dengan cepat.

Mischa menerjang. Lakshmi mengadang. Dinding akar yang dibuat avatar dewi itu berhasil memblok lecutan petir kedua.

"Semuanya, mundur!" titah Chrys. Kami mengikuti lelaki itu yang lari ke arah hutan.

"Kalian tidak akan ke mana-mana!" teriak Zea May.

Tanah di sekitar kami bergetar. Dinding es menghalangi jalan. Kami terkepung. Di belakang, anak-anak Ascent mendekat. Chrys mengingatkan kami agar menghindari konflik.

"Chloe, bakar hutan ini dan butakan mereka! Mischa, tutup semua jalan! Ren, hancurkan dinding ini."

Arthur dengan excalibur-nya menghunjam dinding es yang telah diretakkan oleh gada Krishna. Perlu beberapa kali hantaman sampai dinding itu benar-benar bisa bolong. Di belakang sana, Clowny tengah membakar hutan sampai asap pekatnya menghalangi pandangan.

"Ayo!" ajak Chrys. Dia yang terakhir keluar lewat lubang yang telah dibuat.

Langkah kaki terdengar disertai siluet yang perlahan terlihat. Dinding es itu telah hancur sepenuhnya sehingga kami tahu apa yang terjadi. Mischa menutup jalan yang kami lewati dengan akar dan batang yang menjuntai agar mereka tidak dapat mengejar. Kami terus berlari sampai merasa cukup aman dari kejaran mereka.

"Apa yang mereka pikirkan?!" keluh Chloe sambil mengatur napas. Keringat mengucur dengan deras dari dahinya.

"Entahlah," jawab Chrys sembari ngos-ngosan.

"Sepertinya ... mereka berniat menghambat kita," terkaku.

"Kenapa?" Gadis berkucir kuda itu tampak tak terima.

"Mana kutahu!"

Chrys melerai kami.

"Sebaiknya kita lebih cepat ... dan lebih hati-hati," saran anak pirang itu.

Kami mengerjakan soal-soal yang tersisa dengan lebih cepat, tetapi tetap cermat. Di setiap langkah, kami semakin waspada. Hampir lima langkah sekali akan ada yang melihat sekeliling untuk memeriksa keadaan. Bahkan pergerakan kecil seperti lompatan tupai atau liukan ular di pohon tak lepas dari pengawasan kami.

"Sepertinya mereka sudah tidak mengejar lagi," terka Chloe seraya menengok ke segala arah.

"Kita tidak boleh lengah," sanggahku. Mau bagaimanapun, musuh dapat menyerang ketika kesempatan datang.

Kami semua terdiam. Pertanyaan-pertanyaan berikutnya bergulir bagai angin lalu sampai ke pertanyaan pamungkas.

"Final Boss," gumam Chrys.

Soal terakhir memberikan kami petunjuk untuk pergi ke suatu tempat. Melewati padang rumput dan sungai, kami tiba di sebuah kaki bukit dengan kastel besar dari batuan andesit. Pilar-pilar menjulang. Undakan tinggi dengan pintu gerbang megah di atasnya menunggu. Aku dan Chrys mendorong pintu itu sampai bergerak dan memberikan kami jalan agar bisa masuk.

Aula kastel itu terhitung megah tanpa ada barang satu pun. Jendela-jendela melengkung runcing membiarkan berkas-berkas cahaya masuk. Langit-langit tinggi dengan bentuk cekungan. Terdapat dua tangga besar di sisi kanan dan kiri yang melingkar.

"Woah." Chloe terkagum. "Besar."

"Apa ada orang di sini?" teriak Chrys sampai suaranya bergema. "Halo?"

Tidak ada jawaban.

"Di sana." Mischa menunjuk ke tengah-tengah di antara dua tangga. Kristal putih berpendar redup berputar-putar.

Chrys menawarkan diri untuk mengambil penanda soal itu. Dia berlari menaiki tangga dan berusaha menggapai kristal yang terus menjauh dari jangkauannya.

"Woy, hati-hati!" peringatku.

"Jangan memaksakan diri, Chrys!" Chloe berteriak.

"Chrys ...."

Anak pirang itu terus berusaha menggapai sampai lututnya menjauh dari birai. Satu tangan menumpu, tangan lainnya meraih. Saat dia berhasil mengambil kristal oktahedron itu, Chrys jatuh. Anak itu memekik. Para gadis terpaku.

"Chrys!"

Aku berlari ke arahnya. Terlambat. Chrys jatuh dengan suara debum yang keras. Dia telentang tidak bergerak, tetapi masih bisa meringis. Anak itu terbaring lemah.

"Kau tidak apa-apa, Jagoan?" tanyaku.

"Apa aku terlihat baik-baik saja?" balas Chrys ketus. Aku membantunya duduk. Dia merintih sambil memegang punggung.

Mischa dan Chloe datang menyusul.

"Kau baik-baik saja, Chrys?" tanya Chloe khawatir.

"Sepertinya tulang belakangku patah ...."

Aku menepuk punggungnya. Chrys mengaduh nyaring. Aku mengalihkan topik. "Kau dapat kristalnya?"

Anak pirang itu menunjukkan penanda soal yang kemudian terpecah menjadi cahaya. Titik-titik berpendar muncul perlahan di seluruh penjuru ruangan menjadi sebentuk kristal oktahedron. Sedikit demi sedikit, kristal-kristal itu bergerak ke tengah aula dan mewujud menjadi sesosok raksasa batu mulia dengan dua tangan dan dua kaki berkilauan. Mata merah delima. Gigi runcing berlian. Aku yakin monster ini akan berharga sangat mahal kalau betulan ada di dunia nyata karena kandungan mineralnya yang tinggi.

[PETUNJUK]

[Golem Mineral terdiri dari kumpulan kristal soal yang menyatu. Hancurkan tubuhnya dan jawab semua soal yang ada untuk mengalahkan makhluk tersebut!]

Cukup mudah. Namun, saat monster itu meraung diiringi bebatuan tajam yang melesat cepat ke arah kami, aku tahu kalau ini tidak akan semudah petunjuk yang diberikan.

~~oOo~~

Beta reader: n_Shariii

A/N

Ayo, berikan kesan kalian pada bab ini!

Kritik dan saran yang membangun saya nantikan.

Jangan lupa memberi vote kalau suka ceritanya.

Terima kasih sudah membaca. 'v')/

Salam literasi!

***

Diterbitkan: 19/09/2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro