Bab 10 : Finalisasi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suasana mencekam yang kami rasakan mungkin tidak sebanding dengan suasana di film-film horor, tetapi hal itu cukup untuk membuatku refleks bersembunyi di balik punggung Arennga. Pemuda itu bahkan tidak sadar aku sedikit memegang pakaiannya. Sepertinya rasa bencinya padaku sedang teralihkan ke tingkat waspada tahap lanjut.

Kami menunggu cukup lama—atau itu mungkin hanya perasaanku saja—sampai akhirnya seekor makhluk muncul sambil melompat. Dari sekian banyak makhluk seram yang terlintas di otakku, sistem ujian memutuskan untuk mengirim seekor makhluk berwarna cokelat muda dengan totol di beberapa titik dan memiliki tanduk yang indah. Makhluk itu melompat dengan keempat kakinya yang panjang.

"Rusa yang cantik," gumamku sambil melihat hewan itu yang seperti berlari menghindari sesuatu.

"Ck, menjauhlah dariku!" Arennga mulai kembali ke mode normalnya ketika sadar keadaan sudah tidak mengancam—kecuali untukku, dia yang menjadi ancamannya.

"Bisakah ksatria ini tidak berteriak dan memarahiku terus? Kita hanya akan terus bersama selama ujian ini. Setelah selesai, kau bisa mendapatkan kehidupan tenangmu kembali." Kudengar dia berdecak kemudian memalingkan wajah.

Suara gesekan semak-semak kembali terdengar. Hal itu membuat kami tegang kembali. Seekor rusa—ralat—beberapa ekor rusa tampak melompat dan berlarian melewatiku dan Arennga. Mungkin ada tiga sampai lima ekor dalam berbagai ukuran. Puncaknya adalah ketika muncul seekor rusa kecil bersamaan dengan seekor harimau berwarna jingga. Harimau itu berhasil menangkap si rusa kecil persis di depan mataku. Tepat ketika cakar si harimau menghunjam mangsanya, sebuah layar peringatan hologram muncul.


[PERHATIAN : INI ADALAH HUKUM ALAM!]

Lakukan apa yang harus kalian lakukan.


Aku refleks akan melempari si harimau dengan batu kalau saja Arennga tidak menahan lenganku. Tatapan wajahnya sangat dingin. Tanpa ekspresi. Bahkan matanya yang hitam kelam membuatku lebih takut dari mata si harimau yang kini sedang mencabik tubuh si rusa malang. Bibirnya bergerak seperti akan mengatakan sesuatu.

"Jangan bertindak bodoh," katanya masih mencengkeram tanganku dengan kuat.

"Lepas," pintaku sambil berusaha melepas genggamannya. Namun, bukannya melakukan apa yang kuminta, cengkeramannya malah terasa lebih kuat. "Sakit. Arennga, aku yakin kau bukan tipe laki-laki yang suka menyakiti perempuan."

Arennga melemahkan cengkeramannya, tetapi belum melepas sepenuhnya. "Jangan bertindak bodoh. Jangan gegabah. Dan jangan menggangguku."

"Iya, iya." Setelah aku mengatakan itu, si lelaki menyebalkan melepaskan genggamannya dari tanganku. Sumpah, sakit sekali. Tanganku bahkan menjadi berwarna merah.

Proses makan si harimau baru saja selesai. Hanya tersisa jejak darah di tanah dekat binatang itu. Rusa yang malang. Akan tetapi, entah apa yang akan terjadi bila aku melempar batu tadi. Saat aku meratapi nasib si rusa, sebuah layar antarmuka hologram muncul dan memperlihatkan beberapa pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu kebanyakan berkaitan dengan kejadian yang baru saja terjadi—mengenai si rusa kecil dan harimau. Tentang ciri makhluk hidup apa yang baru kulihat.

Setelah kujawab semuanya, sebuah potongan kunci muncul. Kini, total ada 2/5 bagian. Hal itu tidak menyelesaikan soal Biologi ini, melainkan memunculkan pertanyaan lain yang katanya "bonus". Sebenarnya itu pilihan, tetapi tanpa pikir panjang aku langsung mengiakan pertanyaan itu dan langsung dihadiahi makian oleh Arennga.

"Bodoh!" begitu katanya. "Sudah kubilang jangan gegabah!" tambah lelaki itu sambil memasang muka marah.

Sebelum aku sempat menjawab, harimau yang dari tadi mondar-mandir di depan kami berubah raut wajahnya—terlihat lebih garang dari sebelumnya—dan melihat kami seolah kami ini makanan yang sengaja disajikan untuk makan siang. Walaupun kami akan terlindungi dengan pelindung transparan, tetap saja rasa terancam itu masih ada. Kami refleks berlari menjauhi si harimau.

Aku dan Arennga terpisah. Kami sepertinya terpencar saat melarikan diri ke arah hutan. Entah ini bagus atau tidak, karena dari tadi pemuda itu ingin aku menjauh darinya. Aku tidak melihat Arennga dan harimau yang harus kami lawan di sekitarku. Sepertinya mereka berada jauh dari jarak pandangku.

Suara raungan terdengar di kejauhan. Itu pasti suara si harimau. Aku mencoba mencari asal sumbernya bersama Clowny yang ada di punggung. Kulewati beberapa pohon dan sesekali kulompati batu-batu besar.

"Sepertinya Arennga juga ada di sana," kataku pada diri sendiri. Tak disangka, Clowny menanggapi dengan anggukan kecil dan suara berdecit seperti tikus terjepit.

Arthur dan si harimau sedang berhadapan. Pedang kecilnya sedang menahan mulut harimau yang menganga. Hit point hewan itu sudah berkurang dari seratus menjadi lima puluh. Arennga terlihat bersiap untuk serangan selanjutnya. Apa aku harus membantunya atau tidak?

"Arthur, sekarang!" teriak laki-laki menyebalkan itu. Avatarnya menendang rahang si harimau dengan kaki yang mungil. Harimau itu pun mengerang. Dengan satu tebasan cepat, hewan di depannya itu pun langsung tumbang. Kelihatannya aku tidak perlu membantu sama sekali.

Aku menghampiri pemuda yang kelihatan lelah berpikir itu. "Jadi ...."

"Diamlah. Ini semua karena salahmu. Kalau kau tidak mengiakan soal bonus itu, aku masih punya banyak waktu untuk menjawab soal-soal yang lain." Aku hanya bisa cemberut sambil melipat tangan di dada.

"Waktunya tinggal satu setengah jam. Kalau aku tidak bisa menyelesaikan semua soal, itu semua jadi salahmu," tambah si pemuda menyebalkan.

"Hei, itu juga akan membuatku rugi, oke? Jadi, berhentilah menganggap masalahmu yang paling penting."

"Sudahlah. Aku hanya membuang-buang waktu." Arennga tampak membuka antarmuka hologram yang memperlihatkan peta arena. Peta itu menampilkan bentang alam sekitar, penanda murid, dan penanda soal. Aku tidak tahu kalau ada fitur yang seperti itu.

Dia melangkah pergi ke daerah hutan yang memiliki lebih sedikit pohon. Aku memutuskan untuk menjaga jarak dengan pemuda itu agar aku tidak terkena amarahnya. Sudah muak aku mendengar suaranya yang tinggi itu, ditambah lagi caci maki yang mungkin akan menyertai.

Arennga memilih kristal oktahedron berwarna putih. Sesaat setelahnya, muncul hologram soal. Aku tidak langsung melihat milikku melainkan malah melihat Arennga yang marah-marah entah kenapa. Dia melihat ke arahku dengan malas kemudian mengerling. Aku tidak tahu pertanyaan apa yang dia dapat, tetapi saat aku melihat soalku sendiri, aku langsung mengerti alasannya.

Aku menghampiri lelaki menyebalkan itu sambil tersenyum. "Jadi, mau kau dulu atau aku yang menjawab soal?" tanyaku yang puas melihatnya kesal. Pemuda itu tidak menjawab. Sebagai gantinya dia malah berbicara tidak jelas.

"Baiklah kalau begitu. Aku yang akan mulai dulu." Aku mengulurkan tangan. "Hai, namaku Chloe. Senang bertemu denganmu," kataku dengan senyuman. Ini sangat mudah. Soal tadi adalah tentang etika. Aku mendapatkan soal tentang bagaimana caranya berkenalan dengan baik. Aku akan mendapat nilai sempurna bila lawan bicaraku merespons dengan baik pula.

"Kau tidak mau menjawab?" Arennga masih cemberut. "Kalau kau tidak merespons juga, aku tidak yakin bisa menanggapi soal milikmu dengan benar dan sesuai keinginanmu." Benar-benar soal yang tidak diduga. Soal-soal ini bisa jadi awal gencatan senjata kami.

Pemuda itu berdecak. "Namaku Arennga. Senang bertemu denganmu juga," jawabnya datar sambil menggenggam tanganku malas. Dasar pria ini. Aku akan mencoba memancingnya. Mungkin saja berhasil.

"Mana senyumannya?" Arennga memicing kemudian menghela napas berat. Dia berusaha menampilkan senyuman yang terlihat dipaksakan. "Yang ikhlas, dong."

Dia mulai tampak kesal. Namun, kali ini, pemuda itu tampak berpikir dahulu sebelum bertindak. Saat dia mulai membuka mata, hal yang tak kuduga akhirnya terjadi. Arennga tersenyum. Senyum yang tak pernah kulihat sebelumnya—aku bahkan tidak menyangka dia bisa tersenyum. Harus kukatakan, dia sangat manis saat melakukan itu. Kedua bibirnya terangkat menghasilkan lesung pipit di kedua pipi. Matanya sampai tampak segaris. Kalau bisa, aku ingin melihat Arennga versi ini seterusnya.

"Aku Arennga. Senang bertemu denganmu juga." Suaranya bahkan terdengar ramah. Dia memegang tanganku dengan kuat, kemudian menjadi sangat kuat, bahkan terlalu kuat, rasanya dia—Arennga sialan! Dia malah menggenggam tanganku seolah ingin meremukkannya.

"Baik. baik. Aku mengerti! Kau bisa melepas tanganku sekarang." Aku meringis sambil menahan sakit. Hanya dalam waktu sepersekian detik, raut wajah Arennga kembali seperti semula: dingin, tanpa ekspresi. Seolah keramahannya tadi sudah hilang bersama angin. Akting yang sangat bagus.

"Baik, sekarang giliranmu." Arennga tampak berpikir ulang mengenai soal yang didapatnya. Dengan satu helaan napas dia mulai berbicara.

"Aku mau minta maaf," katanya malas. Kalau aku sedang minum, aku pasti akan menyemburkannya saking tidak percaya dengan apa yang kudengar. Aku tidak boleh langsung menjawabnya. Ini adalah sebuah kesempatan untuk memanipulasi keadaan.

"Permintaan maaf apa itu. Meminta maaf harusnya dengan ikhlas, bukan karena terpaksa." Walaupun sebenarnya ini memang termasuk paksaan.

Arennga memutar bola matanya. "Aku—"

"Aku akan merespons dengan benar kalau kau berjanji untuk tidak berteriak dan marah-marah lagi kepadaku."

"Kau licik sekali," komentar laki-laki itu. "Harusnya aku tidak setuju untuk tersenyum."

"Yang lalu biarlah berlalu. Sekarang kau setuju atau tidak?" Arennga menggeram seperti harimau yang baru saja dia lawan. "Aku akan menganggap itu sebagai 'ya' kalau kau tidak menjawab juga."

Untuk kesekian kalinya Arennga memberiku tampang sebal. Namun, wajah itu seketika berubah menjadi wajah penuh penyesalan. Aku yakin ini hanya bagian dari aktingnya lagi.

"Aku mau meminta maaf kalau aku punya salah," kata lelaki itu seraya tertunduk. Nadanya benar-benar seperti nada yang penuh rasa bersalah. Aku sendiri jadi iba mendengarnya.

"Aku memaafkanmu," jawabku. "Aku juga minta maaf kalau ada salah." Tanpa sadar aku ikut terbawa suasana.

"Kau memang banyak salah," timpal pemuda itu ketus. Mataku berkedut mendengarnya. Arennga sudah kembali seperti semula. Dasar menyebalkan!

Dengan perkataan terakhirnya yang membuat telingaku panas, sebuah potongan kunci muncul. Sekarang total kami memiliki tiga potongan. Tinggal dua lagi dan kami—aku akan terbebas dari laki-laki menyebalkan itu.

Aku memutuskan untuk mengikuti pemuda itu memilih soal. Tidak ada lagi perkataan menyebalkan dari mulutnya. Entah dia sudah lelah denganku atau karena hal lain. Sepertinya dia bersungguh-sungguh dengan perjanjian kami.

Sisa ujian ini sepertinya akan terasa sunyi. Soal Kimia tentang konfigurasi elektron pada sebuah model tiga dimensi pun terasa tidak ada artinya. Aneh sekali rasanya tidak mendengar Arennga bersungut-sungut. Bahkan saat kami harus membuat molekul dengan atom yang kami peroleh—aku atom H dan Arennga atom O—pemuda itu tidak berkomentar apa-apa. Padahal aku beberapa kali salah dan hampir membuat kami gagal sehingga hampir memunculkan seekor monster. Suasana di sekitar kami benar-benar seperti molekul yang kami buat dalam keadaan solid—mengerti maksudku? Ya, sudahlah kalau tidak mengerti.

Potongan kunci keempat telah kami dapat. Itu artinya tinggal satu soal lagi dan kami akan segera selesai.

Pilihan soal terakhir kami jatuh pada kristal oktahedron berwarna kuning. soal itu berisi pertanyaan-pertanyaan mata pelajaran fisika mengenai vektor. Aku bukan bermaksud sombong, tetapi karena ini masih awal-awal semua jadi terasa mudah. Potongan kunci kelima kami dapatkan tanpa ada masalah yang berarti.

Hal terakhir yang harus kami lakukan adalah mencari jalan keluar. Terakhir kali aku melihat peta arena, hanya ada penanda soal, vegetasi dan penanda murid. Namun, saat aku memeriksa peta kembali, ada penanda tambahan yang berada di ujung utara arena. Aku yakin itu adalah jalan keluar. Setengah jam terakhir kami habiskan untuk mencari tempat itu.

Aku dan Arennga berakhir di sebuah lapangan terbuka penuh rumput di tengah hutan. Tidak ada ciri khusus kalau ini adalah jalan keluar. Akhirnya, kami memutuskan untuk menggunakan kunci yang telah didapat sebelumnya. Mungkin saja ada petunjuk.

Arennga membuka antarmuka hologram. Beberapa kali menggulirkannya seperti mencari sesuatu. Setelah beberapa saat, antarmuka seperti inventory room dalam VRMMORPG berisikan kristal kunci yang telah kami dapat terbuka. Dia mencoba mengambil kristal itu dan secara ajaib dapat disentuh dan dikeluarkan.

Kristal itu sama seperti penanda soal lainnya. Berbentuk oktahedron dengan kedua ujung yang tidak terlalu lancip. Warnanya bagaikan berlian putih yang bersinar terkena cahaya matahari.

"Akh!" Arennga berteriak sambil melemparkan kristal yang digenggamnya ke depan. Dia memegang telapak tangannya seperti orang yang kesakitan.

"Hei! Kau kenapa?"

"Rasanya seperti terbakar." Kulihat telapak tangan pemuda itu yang berwarna agak merah. Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. Secara perlahan warna kemerahan di kulitnya berangsur-angsur memudar. "Sudah tidak apa-apa sekarang."

Kami sampai lupa dengan kristal yang baru saja Arennga buang sampai akhirnya kurasakan perubahan suasana di sekitar. Kristal itu berputar sangat kencang sampai dapat membuat embusan angin yang sangat besar. Cahaya terang muncul darinya sampai kami harus menutup mata karena silau. Di tengah hal tak terduga itu, hal tak terduga lainnya terjadi. Kristal kunci tersebut menghilang perlahan ke dalam tanah digantikan dengan pendar cahaya hijau yang perlahan membentuk sebuah lingkaran dengan pola aneh seperti segel.

Dari dalam segel lingkaran tersebut, perlahan muncul sebuah tangan berwarna hitam dengan cakar merah. Seperti orang yang sedang berusaha keluar dari dalam lubang, muncul tangan kedua bersamaan dengan kepala yang memiliki sepasang tanduk. Matanya kuning terang—hanya warna kuning tanpa tambahan warna yang lain lagi. Hidungnya seperti kerbau yang mengeluarkan asap. Taring-taring keluar dari mulutnya yang tebal. Warna keseluruhan kulitnya hitam legam dengan otot-otot yang kencang. Tinggi monster itu mungkin seperti pohon kelapa yang tumbuh maksimal.

"Apa-apaan monster itu?!"

Siapa pun yang merancang sistem ujian ini, mereka terlalu banyak menonton film fantasi dan fiksi ilmiah!

"Final Boss, huh? Sudah seperti video game saja," komentar Arennga.

Satu teriakan dari monster itu menandakan soal terakhir dimulai. Kulihat hit point-nya mencapai lima ratus. Gila. Soal-soal untuk menambah damage point pun merupakan campuran dari mata pelajaran yang telah kami selesaikan sebelumnya. Soal final yang merepotkan.

"Menjauh!" perintah Arennga. Sebisa mungkin aku menurutinya walaupun tetap terkena hempasan si monster.

Kulihat Arthur berusaha untuk menyerang bagian wajah si monster hitam, sementara Arennga menjawab soal-soal yang ada. Aku tidak boleh membiarkan lelaki itu berjuang sendirian. Meskipun dia tidak mau dibantu, tetapi monster dengan hit point sebesar itu mustahil dilawan sendiri.

"Clowny, bersiaplah!"

Aku mencoba menyerang dari titik buta si monster. Lima ratus hit point. Apa yang harus kulakukan?

"Hei, Ksatria!" Kucoba memanggil Arennga yang sedang berkonsentrasi mengerjakan soal. "Apa kau bisa terus mengalihkan perhatian makhluk ini? Aku yang akan menyerangnya!"

"Kau sudah gila, ya?!"

"Kalau Clowny yang mengalihkan perhatian, ia akan mati duluan! Kau, kan, ksatria, bisa menyerang sambil bertahan." Setelah kukatakan itu, aku langsung mencari titik teraman dan mulai menyerang. Kumpulan pertanyaannya terlihat lebih sulit. Semoga saja nilainya juga lebih besar.

Aku mulai menyerang dari sisi belakang. Dilihat sekilas, makhluk ini seperti golem yang terbuat dari aspal hitam yang telah mengering. Bola-bola Clowny berhasil menyerang ke tempat yang tidak ingin kusebutkan. Makhluk itu sepertinya terganggu dengan seranganku. Beberapa kali tangannya yang bercakar merah berusaha untuk menyerang seperti manusia yang menghalau nyamuk agar pergi. Samar-samar kudengar suara Arennga di kejauhan.

Hit point-nya masih cukup tinggi. Tiga ratus. Sementara waktu yang tersisa tinggal sedikit lagi. Kami benar-benar harus pandai berstrategi. Ayo, otak, berpikir!

Aku mencoba untuk mendekati Arennga yang tampak sedang sibuk. "Hei, Ksatria. Coba tusuk matanya! Mungkin itu bisa memperlambat si besar yang merepotkan itu!"

Si Pemuda tampak kesal karena diberi perintah olehku. Namun, tetap saja dia lakukan. Buktinya, saat tangan si monster ingin meraih Arthur, Arennga langsung memerintahkannya untuk melompat dan berlari di atas tangan makhluk besar itu yang terus berayun. Arthur terlihat sangat cepat. Dengan satu gerakan melompat dan menghunus, makhluk itu langsung memegangi kedua mata seperti orang yang kesakitan.

"Berhasil! Ini kesempatan kita," ucapku yang kegirangan sambil melihat avatar Arennga yang bersusah payah mencabut pedangnya.

Tanpa banyak bicara lagi, kami langsung menjawab soal-soal yang ada sebanyak-banyaknya agar bisa langsung digunakan dalam sekali serang. Aku tidak yakin semua soal yang kujawab benar semua, tetapi setidaknya aku sudah berusaha mengumpulkan poin serangan.

Monster itu tampak sudah bisa mengendalikan rasa sakit yang dirasa. Mata kuningnya kini berubah menjadi merah. Kami harus segera mengalahkan makhluk itu sebelum dia berhasil menyerang.

"Sekarang!" perintah Arennga. Arthur yang masih berada di kepala si monster melompat ke belakang kepalanya.

Tidak mau kalah, aku juga memerintahkan Clowny untuk segera menyerang. Serangan avatarku berhasil mengenai tepat di wajah si monster. Makhluk itu mengerang karena mendapat serangan dari depan dan belakang. Namun, serangan itu hanya mengurangi hit point si monster sampai bersisa tujuh puluh poin. Arennga sepertinya tidak senang dengan hal itu. Dia menggeram dengan keras sebelum akhirnya menjawab soal-soal yang ada dengan cepat. Entah semua itu benar atau salah. Kemudian dia memerintahkan Arthur untuk menyerang sekali lagi.

Monster itu mengeluarkan lengkingannya seperti saat pertama muncul. Hanya saja kali ini, teriakan itu bersamaan dengan runtuhnya tubuh si monster bagaikan bangunan yang dirobohkan. Perlahan tubuh itu melebur ke tanah menyisakan kepalanya dengan mulut menganga. Mulut itu mengeluarkan sinar putih yang baru kami sadari adalah pintu keluar. Akhirnya selesai!

Arennga sama sekali tidak menoleh ke arahku. Seolah aku ini tidak pernah ada, dia melenggang pergi tanpa peduli. Aku menyusul pemuda itu melewati mulut pintu yang baru terbentuk itu.

Kami berakhir di ruangan yang serupa tapi tak sama dengan ruangan yang dipakai untuk masuk ke arena. Ada beberapa pintu lainnya ternyata. Ada juga kursi-kursi yang berjajar untuk istirahat—sepertinya. Ada juga beberapa anak yang masih berada di sini.

"Hei, kau itu aneh, ya—" Aku belum selesai mengeluarkan isi kepala, Arennga sudah memotongnya.

"Apa lagi yang kau inginkan, hah? Tidak cukupkah kau menggangguku di dalam sana?"

Aku mengerutkan kening. "Kau ini kenapa, sih? Apa ini karena masalah nilai 'sempurna' itu?"

"Ya, dan orang sepertimu tidak akan mengerti masalahku."

"Lagi-lagi orang sepertiku. Dengar, ya. Orang sepertiku ini bisa saja mendapat nilai yang kelewat sempurna dan menjadi juara umum! Camkan itu baik-baik."

Arennga tertawa menghina. "Coba saja kalau bisa. Tetapi, aku tidak yakin kau bisa melakukannya." Lelaki itu menunduk mendekatkan wajahnya ke wajahku sehingga aku harus mundur selangkah. Arthur yang ada di bahunya membuatku lebih terintimidasi. "Karena aku yang akan menjadi juara umum itu."

Arennga melihatku dengan dingin kemudian pergi.

"Aku tidak akan pernah menganggap itu terjadi," komentar seseorang.

"Kau sangat berani dengan berbicara dengannya," timpal yang lainnya.

"Selamat ... Chloe. Kau baru saja mengibarkan bendera perang pada Arennga."

Benarkah itu? Apa yang akan terjadi padaku nanti?

-oOo-

A/N

Akhirnya! Akhirnya! Akhirnya!

Bab terakhir di tahun 2019!

Dengan diterbitkannya Bab 10, maka berakhir pula Arc Pertama dari buku ini. Masih ada aksi-aksi lain yang dijamin makin seru. Tunggu saja.

Semoga menghibur!

Diterbitkan: 27-12-2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro