Bab 9 : Ujian Mingguan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku tidak menyangka ada ruangan yang seperti ini di balik pintu sederhana di ruang tunggu tadi. Ruangan ini memang tidak terlalu besar, tetapi berhasil mengingatkanku terhadap film Alisha di Negeri Ajaib. Ruangan ini mirip saat gadis itu membesar dan mengecil karena memakan kue agar bisa mengambil kunci dan masuk ke pintu yang kecil di ujung ruangan. Bedanya ruangan ini memiliki sepuluh pintu yang berjajar dalam bentuk melengkung.

Akan kudeskripsikan secara singkat agar Arennga tidak marah karena menunggu lama. Lantai di sekitar kami berbentuk kotak-kotak papan catur dengan warna cokelat-hitam. Langit-langitnya memiliki bentuk kubah melengkung berhiaskan lampu-lampu gantung berwarna emas. Dinding yang terlihat berwarna cokelat gelap dengan ornamen tanaman-tanaman menjalar berwarna hitam. Kelihatannya memang suram, tetapi indah dalam waktu yang sama.

"Kita harus apa sekarang?" tanyaku pada Arennga berharap bibir merah itu merespons. Seperti sebelumnya, dia belum mau bicara. Pemuda itu hanya mengangkat bahu dengan malas kemudian melangkah ke arah pintu yang ada di tengah.

Baru beberapa langkah, kami langsung dihadang oleh sebuah antarmuka hologram yang memperlihatkan satu judul besar dengan beberapa gambar di bawahnya. Judul itu berbunyi "Pemilihan Arena". Namun, gambar-gambar yang ada tidak merepresentasikan arena apa pun. Hanya gambar berupa beberapa jenis pohon besar dengan sebuah pertanyaan, "Mana pohon yang paling kau suka?"

"Apa ini? Tes psikologi?" gumamku pada diri sendiri, karena aku sadar Arennga tidak akan menanggapi.

Aku memilih pohon dengan kanopi lebar berwarna hijau tua mirip pohon beringin. Setelah kujawab, pertanyaan berikutnya muncul. Apa warna yang kau suka? Pertanyaan itu muncul disertai roda warna yang kompleks. Pertanyaan-pertanyaan itu total berjumlah lima. Aku menjawab semua itu tanpa ada kendala yang berarti.

Kulihat Arennga yang sedang memegang dagu dan memejamkan matanya; terlihat sedang berpikir. Dia terlihat menggemaskan ketika berekspresi seperti itu, tetapi perasaanku langsung kesal ketika tahu soal yang harusnya dia jawab belum disentuh sama sekali. Pertanyaan di depannya masih memperlihatkan gambar-gambar pohon.

"Hei, kau ini kenapa?!" protes lelaki itu ketika aku menarik paksa tangannya yang memegang dagu untuk menjawab soal. Ternyata tangannya hangat. Kukira dingin juga seperti sikapnya. Mungkin predikat "cool" harusnya disematkan pada mayat saja. Mereka, kan, dingin luar-dalam.

"Cepatlah! Aku ingin ini segera selesai."

Arennga melihatku dengan sebal sambil berdecak. Dia kemudian menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan cepat. Entah dikerjakan dengan sungguh-sungguh atau tidak. Loading bar berwarna biru pucat terlihat maju dengan cepat, kemudian memperlihatkan gambar sebuah arena: area hutan berbatu. Antarmuka itu hilang lalu sebuah cahaya yang berasal dari pintu tengah terlihat. Kami segera menghampirinya agar bisa menyelesaikan ujian ini segera.

Hal pertama yang menyambut kami adalah cahaya yang menyilaukan. Arena ini diatur menyerupai lingkungan luar padahal sudah jelas ini di dalam gedung. Langit biru cerah dengan awan yang menghiasi. Tanah di bawah kami berwarna cokelat dengan bebatuan berwarna gelap yang tersebar sejauh mata memandang. Pohon-pohon di sekitar kami tinggi menjulang. Ada tempat yang sangat padat oleh pohon dan tempat yang lain sangat lengang. Aku menghirup udaranya. Segar. Pihak sekolah bahkan bisa mengimitasi udara hutan dengan sangat baik—aku belum pernah ke hutan sebenarnya, ini hanya asumsiku saja.

"Jangan menggangguku," ujar Arennga dingin. Harusnya ini menjadi ajang saling mengenal satu sama lain dengan bekerja sama, tetapi sepertinya pria itu ingin menjadikan ini ajang kompetisi. Baiklah, akan kuladeni dia.

"Kenapa kau seperti sangat tidak suka padaku?" tanyaku menuntut.

Arengga tertawa menghina. "Kau itu gadis yang suka cari perhatian. Aku sangat tidak suka." Urat-uratku menegang. Aku sangat tidak suka alasan remeh!

"Kalau itu maumu." Aku mendengus. "Mewujudlah, Clowny!"

"Mewujudlah, Arthur!" Avatar kami muncul hampir bersamaan. Tepat saat avatar Arennga mendarat di bahunya, pemuda itu langsung berlari ke arah penanda soal berbentuk kristal oktahedron—kristal berbentuk limas segitiga ganda yang disatukan tepat di alasnya—jauh di depan sana.

Aku sadar lariku tidak akan bisa menyamai langkah lebar Arennga. Jadi, kuputuskan untuk memperlambat pemuda itu dengan melempar sesuatu. Pada awalnya aku ingin batu yang mengenai kepala menyebalkan itu, tetapi rasanya hal tersebut terlalu jahat serta sangat tidak sopan. Hal terpenting adalah aku tidak ingin memicu peperangan di kemudian hari. Akhirnya, kuputuskan untuk melempar Clowny ke arah dia.

Dengan beberapa putaran yang menyebabkan gaya sentripetal, aku melepas Clowny yang langsung mendarat tepat di kepala Arennga. Ketika pemuda itu sedang sibuk bermain dengan avatarku, aku langsung berlari dan mengambil kristal berwarna merah itu. Untungnya kami memakai baju olah raga sehingga tidak mengganggu pergerakan.

Clowny kembali melompat ke bahuku ketika aku berhasil membuka soal. Ada lima pertanyaan yang muncul di sebuah hologram kertas putih. Kulihat Arennga juga mendapatkan hal serupa.

"Sudah kubilang jangan menggangguku!" teriaknya murka.

Aku berusaha memberanikan diri. "Kerjakan saja soalnya!"

"Kau tidak membaca rincian, ya? Kita bisa saja mendapatkan soal yang mudah terlebih dahulu!" Apa maksudnya? Memang kristal tadi berisi soal apa? Aku yang penasaran langsung membaca pertanyaan-pertanyaan di depanku. Soal Matematika. Mampus.

Aku pasti melewatkan bagian itu. "Memang tadi kau berniat mengambil apa?" tanyaku penasaran.

"Soal Biologi yang ada di sebelahnya!" jawab Arennga sambil menunjuk kristal oktahedron berwarna hijau tidak jauh dari tempatku berdiri.

Aku berdecak. "Ya, sudah. Maaf." Kulihat lelaki itu memberikan tatapan seolah aku ini makhluk paling menyebalkan di dunia. Tidak sadar kalau dirinya sendiri juga menyebalkan di mataku.

Buru-buru kukerjakan soal Matematika yang mematikan itu. Kebanyakan pertanyaannya tentang pangkat, bilangan bulat, eksponensial dan bentuk akar. Kulibas semua soal dengan percaya diri, kemudian langsung kukirim. Tak lama setelahnya, nilai yang kudapat langsung keluar. Aku tercengang melihat hasilnya.

Tanah di sekitar kami bergetar. Dari arah pohon-pohon rimbun, kulihat sesuatu bergerak sampai bisa membuat burung-burung digital beterbangan. Ada sesuatu yang keluar. Ini pasti karena—

"Baru pertanyaan pertama dan kau sudah banyak yang salah?!" teriak Arennga melihat sesuatu menuju ke arah kami.

"Ya, maaf!" Hanya itu yang bisa kukatakan agar dia bisa bungkam sebentar. Saat kami bisa melihat bayangan makhluk apa yang datang, muncul berbagai soal mengitariku.

Pihak sekolah sangat kreatif dengan membuat model monster yang kami hadapi ini. Aku bahkan sempat berteriak histeris saking takutnya untuk beberapa saat. Makhluk itu berbentuk kadal berwarna merah dengan panjang mungkin kira-kira lima meter. Sisik-sisiknya yang mengilap bagai terbuat dari kristal. Di punggungnya terdapat tanduk-tanduk yang tumbuh sampai ekor. Tanduk itu tumbuh dari besar ke kecil seperti bilangan yang kami hadapi. Di atas kepalanya terdapat angka yang kuasumsikan sebagai hit point-nya. Hanya tiga puluh, tetapi bentuknya sangat menyeramkan.

Makhluk itu berdiri dan bertumpu dengan kedua kaki beserta ekornya. Kaki depannya di angkat tinggi-tinggi sampai memperlihatkan bagian perut yang berwarna putih, kemudian dijatuhkan dengan keras menyebabkan tanah di bawah kami hancur. Arennga sempat melompat menghindar ke belakang, sedangkan aku malah terhempas.

Kadal raksasa itu membuka mulut siap menyerang kami lagi. Dari sana, percik-percik api terlihat. Semburan api tak terduga keluar. Makhluk itu menyebarkan semburannya dengan menggerakkan leher. Aku yang terkaget dengan kobaran api yang ada hanya bisa bertahan dan menutup mata menerima apa yang akan terjadi. Aku tidak mengerti dengan mereka yang membuat soal menjadi seperti ini. Untuk apa membuat adrenalin terpompa melebihi tekanan waktu yang terus berjalan?

Aku menantikan sesuatu terjadi, entah itu rasa panas atau hempasan. Namun, tidak terjadi apa-apa. Ketika aku membuka mata, ada penghalang serupa dinding pelindung transparan berbentuk bola yang mengelilingiku. Tentu saja pihak sekolah tidak ingin anak didiknya terluka.

"Aku akan menghadapinya!" teriak Arennga sambil berlari berputar.

"Aku harus apa?!"

"Kau diam saja dan jangan mengganggu!" Dibilang seperti itu aku jadi tidak bisa diam. Monster itu muncul karena salahku juga, kan.

Setelah aku berhasil mengatasi ketakutanku terhadap monster itu, aku berlari ke arah yang berlawanan dengan Arennga. Saat merasa mendapat tempat yang cocok, aku mulai mempersiapkan serangan. Kucoba menjawab satu soal dari deretan soal-soal yang mengelilingiku. Setelah aku yakin bahwa jawabanku benar, aku langsung memerintahkan Clowny untuk menyerang. Damage point yang diberikan nanti sesuai dengan nilai yang baru saja aku peroleh. Sedangkan satu soal tadi bernilai sepuluh. Itu artinya, hanya butuh tiga kali serangan untuk mengalahkan monster kadal itu.

"Clowny, juggling ball!" Hanya satu jenis serangan ini yang kutahu. Aku belum mempelajarinya lagi.

Clowny langsung memunculkan tiga bola berwarna merah, hijau, dan kuning. Dengan tiga putaran ke atas terlebih dahulu sebelum dilempar, avatarku mengarahkan bola-bolanya tepat ke arah kepala si kadal. Namun, bukan kepala monster itu yang terkena, bola-bola Clowny malah mengenai Arthur—avatar milik Arennga—yang sedang akan menyerang dengan pedang.

"Hei, Badut! Apa yang kau lakukan?!" pekik pemuda itu. Serangan tadi sudah jelas meniadakan serangan milik Arennga. Itu artinya, kami harus menjawab soal lagi untuk mendapatkan poin serangan.

Kadal merah itu menggerakkan ekornya sampai Arthur terhempas dan harus ditahan oleh pemiliknya. Hempasan itu pasti sangat kuat. Kulihat Arennga sampai terguling. Sementara kedua kaki depan makhluk itu mulai terangkat kembali dan bersiap menyerangku, aku mulai menjawab soal-soal di sekeliling. Kujawab langsung tiga pertanyaan dengan percaya diri. Kali ini pasti betul semua.

Kaki depan kadal itu membuat tanah berdebum dan menjadi retak, untungnya kali ini aku bisa menghindar dengan berguling ke samping. Kulemparkan Clowny agar ia bisa menyerang dari atas sehingga tidak terganggu dengan kadal yang terfokus padaku. Lagi pula aku tidak akan apa-apa, ada pelindung transparan yang siap menjaga.

Sesaat sebelum kadal itu menyemburkan api lagi, bola-bola Clowny berhasil mendarat tepat di wajahnya. Makhluk itu mengerang kemudian terkapar tak berdaya. Serangan Clowny berhasil! Tubuh si kadal perlahan mengeluarkan cahaya kemudian menciut membentuk sebuah benda kecil yang melayang.

Aku segera menghampiri benda kecil itu. Warnanya bening seperti kristal dengan aksen warna-warni di berbagai sisi. Apa ini potongan kunci yang Bapak Dereck katakan? Bentuknya tidak seperti kunci mana pun. Malah lebih mirip seperti serpihan berlian yang dipecah. Ya, sudahlah.

Kusentuh kristal itu, dan seperti benda-benda lain, potongan kunci tersebut perlahan berubah menjadi partikel cahaya. Tiba-tiba sebuah antarmuka hologram muncul di depanku memperlihatkan gambar potongan kunci tadi dengan tulisan "1/5". Wow, seperti permainan VRMMORPG yang sering diiklankan di TV.

Aku masih heran, kenapa harus kadal raksasa? Apa itu personifikasi Matematika yang sangat sulit dan mematikan? Apa tidak ada binatang lain yang bisa dipilih? Hit point-nya saja masih tiga puluh dan makhluk yang keluar sudah seperti itu. Bagaimana kalau nanti soalnya sulit sekali? Naga yang nanti keluar?

Aku menghampiri Arennga yang sedang dibantu bangun oleh Arthur. Kulihat pemuda itu memegangi kepalanya sambil meringis. Apa dia terbentur? Aku jadi kasihan.

"Kau tidak apa-apa?" tanyaku sambil mengulurkan tangan.

"Singkirkan tanganmu," tolak Arennga sambil menepis tanganku. Apa-apaan dia. Rasa ibaku langsung luntur.

Pemuda menyebalkan itu bangkit kemudian menepuk-nepuk tubuhnya di bagian yang sekiranya kotor. Tanpa menoleh sedikit pun padaku, dia melangkah ke arah hutan yang lebih lebat.

Aku mencoba menghentikan kaki panjangnya. "Kau tahu, kan, ini harusnya jadi ajang kerja sama?"

Langkah lebar itu berhenti. Arennga memberikan tatapan mengintimidasi dengan mata tajamnya. "Mana sudi aku bekerja sama dengan orang sepertimu."

"Sepertiku?" Aku menahan rasa kesal. Entah kenapa kata itu seperti penghinaan. "Memangnya yang sepertiku itu, yang seperti apa, hah?"

"Gadis ceroboh yang suka cari perhatian. Terlebih lagi, kecerobohanmu bisa membuatku gagal mendapatkan nilai sempurna."

"Apa—"

"Arthur," panggil Arennga. "Pastikan badut itu jauh dariku. Jarak sepuluh meter sepertinya cukup." Avatarnya mengangguk, lalu menghalangi jalanku ke arah yang sama dengan Arennga. Avatar ksatria itu merentangkan tangan mungilnya dan terus menjaga jarakku dengan lelaki menyebalkan itu.

Aku yang merasa dianggap hama langsung meradang. Aku siap menendang makhluk itu sebelum dia mengeluarkan pedangnya. Melihat itu, Clowny langsung pasang badan di depanku, lalu mengoceh pada Arthur dalam bahasa yang tidak kumengerti. Kecerdasan AI sebesar ini ternyata.

Kulihat Arennga sudah jauh di depan sana. Dia membungkuk kemudian menyentuh benda berpendar di antara semak-semak. Ada butir-butir cahaya kuning yang menghilang ke udara. Tidak ada lembar soal yang tiba-tiba melayang di depanku. Sebagai gantinya, terjadi perubahan suasana di sekitar. Perasaan mencekam adalah yang kurasakan. Seperti sesuatu yang membahayakan akan datang.

Arennga yang berada di depan sana sepertinya merasakan apa yang kurasakan. Dia terlihat begitu waspada. Kakinya dibuka lebar membentuk kuda-kuda. Tangannya membentuk sikap bertahan. Dan kepalanya celingak-celinguk seperti menunggu sesuatu datang dari arah yang tidak bisa diprediksi.

Aku mencoba menggoda Arthur yang sedari tadi menghalangi jalanku. "Hei, Ksatria imut. Sepertinya majikanmu berada dalam masalah." Mendengar hal tersebut, avatar itu langsung melihat ke arah si pemuda menyebalkan. Arthur segera mendekati Arennga untuk membantu.

Tak ingin terpaku lebih lama lagi, kususul lelaki itu yang tengah diam menatap sekitar dengan awas. "Apa yang terjadi?" tanyaku setengah berbisik.

"Diamlah," timpalnya. Mungkin untuk waktu ke depan aku harus mengunci mulutku agar tidak terus dimarahi oleh pria dingin itu.

Suasana yang mencekam bertambah ketika ada sesuatu yang bergerak dari arah semak-semak. Semoga saja bukan kadal lainnya. Aku sudah muak dengan hewan itu dan mungkin keluarganya juga.

-oOo-

A/N

Akhirnya ada aksi! Bisa tambah tag. //plak

Semoga menghibur!

Diterbitkan: 26-12-2019


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro