Bab 8 : Sistem yang Merepotkan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku merebahkan diri di kasur setelah lelah mental seharian ini. Ditambah aku mulai mencoba membersihkan toilet—padahal baru lima—dan itu sudah membuatku pegal-pegal. Aku tidak terbayang bagaimana harus membersihkan toilet seluruh gedung selama satu semester.

Satu pemberitahuan muncul di komputer hologramku. Aku pun segera memeriksanya. Sebuah surel anonim baru di kotak masuk. Aku membukanya dan sudah menduga dengan isinya.

"Bagaimana hukumanmu? Dikeluarkan? Sekarang kau tidak bisa lagi mengganggu Ardian. Ha ha ha!" Tidak apa-apa Brigita. Semoga kau puas dengan apa yang telah kau perbuat. Aku juga tidak tertarik dengan Kak Ardian.

Bunyi lain terdengar, sekarang yang ini berasal dari ponselku. Anastasia ingin melakukan panggilan hologram. Aku meletakan ponsel di atas meja belajar sebelum mengangkatnya.

"Chloe!"

"Ada apa?"

"Beri tahu aku apa yang terjadi," pinta Anastasia.

"Memberi tahumu apa?"

"Kejadian tadi. Katanya kau akan memberi tahuku."

"Baik. baik. 'Tapi hanya sebagian. Hal yang terpenting adalah aku tidak dikeluarkan. Sebagai gantinya aku dihukum membersihkan toilet seluruh gedung selama satu semester."

"Wah, kau hebat. Bisa lepas dari keadaan seperti itu. Lalu?"

"Lalu apa?"

"Mana mungkin hanya segitu." Gadis itu mulai menuntut.

"Aku, 'kan, bilangnya sebagian. Sisanya lagi rahasia." Aku tidak akan memberitahukan Anastasia bagaimana aku memohon sampai berlinang air mata.

"Wah, wah, sekarang kau mulai main rahasia-rahasiaan, ya," ledek gadis berambut sebahu itu. "Tidak apa. Tidak apa. Aku masih punya lebih banyak rahasia dibanding siapa pun." Anastasia mulai berbangga diri, dan itu sama sekali tidak menarik minatku.

"Kenapa kau ingin tahu sekali?" Aku mulai memancing.

"Tidak ada. Hanya penasaran. Sudah lupakan saja." Sepertinya gadis itu ingin mengganti topik. Pancingannya gagal.

"Kalau begitu sudah dulu—"

"Tunggu, Chloe!"

"Apa lagi?" Aku mendengus. Sebenarnya aku sudah lelah untuk meladeninya, tetapi aku tidak tega melihatnya.

"Selamat karena sudah jadi terkenal." Gadis itu tersenyum sinis.

"Apa maksudmu?" Aku sungguh tidak mengerti apa yang ia katakan.

"Kau sudah belajar? Besok ujian mingguan." Anastasia ini senang sekali mengganti topik pembicaraan, ya.

Aku berusaha memasang wajah terkesal yang kupunya. "Aku baru mau melakukannya!"

"Okey, okey. Maaf sudah mengganggu malammu. Dah!" Panggilan itu terputus. Anastasia akan kecewa karena aku tidak meladeninya sampai akhir, tetapi bagaimanapun, aku sudah lelah. Aku ingin tidur. Tanpa belajar apa pun. Oh, ide buruk. Mungkin aku akan belajar nanti pagi.

...

Aku tidak bisa tidur nyenyak. Jadi, kuputuskan untuk bangun dan pergi ke kelas lebih awal. Aku sangat beruntung karena tidak perlu bertemu dengan orang-orang yang sering, terkadang, dan pasti akan merisakku. Aku sudah bosan dengan mereka. Belum genap seminggu pembelajaran, tetapi aku sudah menjadi bahan perundungan.

Kantin juga sangat lengang. Aku jadi bisa lebih leluasa untuk membeli sarapan. Biasanya aku sarapan di kantin asrama, tetapi karena pergi lebih awal, jadi di sinilah aku sekarang. Bersama orang-orang yang datang lebih pagi sepertiku dan mendapati delikan dari seseorang yang sedang mengunyah makanan. Kak Ardian melihatku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan. Apa, ya? Jengah? Sebal? Jijik, mungkin? Aku tidak tahu. Dia langsung mengerling dan membuang muka ketika kutatap balik. Sebegitu hinakah aku?

Aku tidak tahu bagaimana reaksi orang-orang biasa mengetahui aku yang bermasalah ini—bahkan sampai dipanggil ke ruang Wakil Kepala Sekolah—masih berada di sini dan tidak dikeluarkan. Aku kemarin sempat membaca berita di laman sekolah—jurnalis sekolah sangat cepat sekali mengenai hal yang seperti ini—dan mendapati berita tentang diriku. Berita itu menyebutkan bahwa aku melakukan hal itu karena ingin mendapatkan perhatian seseorang. Berita itu bahkan tidak bersusah payah untuk menyensor nama yang dimaksud. Sungguh, mereka bahkan tidak repot-repot menanyai kebenarannya padaku. Aku yakin Brigita ada di balik ini semua. Rumor pun menyebar cepat seperti kentut tertiup angin. Baunya menyebar dengan cepat, tetapi setiap orang yang menciumnya enggan mencari kebenaran siapa pelaku sebenarnya.

Sudahlah. Sekarang itu tidak penting.

"Role: mage. Type of attack: range. Strenght: ..., agility: ...."Aku membaca status milik Clowny di kelas. Karena aku tidak tahu apa yang harus kupelajari, akhirnya aku memutuskan untuk mempelajari avatarku sampai bel berbunyi. Namun, sumpah! Aku tidak mengerti sama sekali dengan angka-angka itu. Hal yang kuketahui hanyalah Clowny termasuk ke dalam tipe penyihir dengan serangan jarak jauh. Sudah itu saja. Aku bahkan belum membaca kemampuan apa saja yang dimiliki avatarku ini.

Cukup lama aku mempelajari tentang Clowny. Orang-orang bahkan mulai berdatangan. Tatapan mereka kebanyakan menyiratkan kebingungan kenapa aku masih di sini. Bagaimana mungkin murid yang sudah membobol sistem keamanan masih bisa berada di sekolah? Mungkin begitu arti dari tatapan mereka. Aku tidak peduli.

"Chloe!" Seseorang menggebrak mejaku dengan keras sampai pin avatarku hampir terlempar. "Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Anastasia tanpa dosa. Kebiasaan sekali anak ini kalau aku sedang merenung di meja.

"Aku sedang belajar," jawabku kesal.

"Belajar? Tapi yang kau lakukan hanya membolak-balikan pin avatarmu."

"Memang." Belum sempat Anastasia membalas, bunyi bel masuk menginterupsi. Itu berarti sebentar lagi ujian mingguan akan dilaksanakan.

Selang lima menit setelah bel berbunyi, para murid sudah duduk di bangkunya masing-masing dan seorang guru pun masuk kemudian meletakkan barang yang dibawanya di atas meja. Guru itu memperhatikan sekeliling sebelum akhirnya tertuju padaku. Dia menatapku cukup heran seperti halnya murid yang lain. Namun, aku berpura-pura tidak melihatnya agar tidak terlihat canggung. Hal tersebut tak berlangsung lama karena akhirnya guru itu mulai berbicara kepada seluruh penghuni kelas.

"Selamat pagi, Murid-murid," sapanya. "Seperti yang kalian tahu, hari ini adalah ujian mingguan. Bapak akan menjelaskan teknis dan peraturan ujian ini karena kalian masih baru," lanjutnya sambil mempersiapkan presentasi menggunakan proyektor tiga dimensi.

Bapak Dereck—yang kuketahui namanya dari name tag yang dipakai di dada kanan—mulai menjelaskan apa yang harus dilakukan saat ujian nanti.

"Ujian mingguan ini berupa survival tag. Jadi, kalian nanti akan menjawab soal-soal yang telah disebar di sebuah arena yang telah dipilih secara acak. Kalian harus menjawab semuanya, baik salah ataupun benar. Setiap soal yang dijawab akan mengeluarkan potongan kunci yang nantinya bisa kalian gunakan untuk keluar arena. Ada pertanyaan sampai sini?"

"Kalau kami ingin keluar tanpa menyelesaikan semua soal bagaimana? Misal kami kebelet ingin ke toilet atau menyerah," tanya seorang laki-laki di barisan kedua di tengah sambil mengangkat tangan. Aku juga jadi bertanya-tanya, apa di arena—misal hutan—ada toilet? Itu pasti jadi menggelikan. Bayangkan saja, di hutan ada toilet modern. Aku jadi ingin tertawa.

"Kalian akan diberi kata kunci khusus. Kalau kalian butuh ke luar arena, kalian bisa menggunakannya. Nanti sistem secara otomatis akan membuka jalan keluar. Namun, ingat, waktu kalian tetap berjalan di sana."

"Ada pertanyaan lain?"

Jauh di seberang kanan sana—aku duduk di paling kiri kalau mau tahu—Arennga mengangkat tangannya. "Bagaimana sistem penilaiannya?"

Guru di depan itu hanya mengangguk sambil memegang dagu. "Pertanyaan yang cerdas. Penilaian didasarkan pada jawaban kalian. Maksudnya adalah kalau kalian menjawab benar semua pertanyaan yang ada di sebuah lembar soal, kalian akan mendapat nilai seratus tentu saja. Kalau kalian menjawab salah, berapa pun jumlahnya, akan ada sesuatu yang harus kalian lawan. Sesuatu itu memiliki hit point setara dengan nilai jawaban yang salah. Kalahkan ia dan kalian akan mendapat nilai setara dengan jumlah nilai sebelumnya ditambah damage point yang diberikan. Ada yang mau ditanyakan lagi?"

"Apa ada kemungkinan kami bisa kalah dari soal tersebut?" Aku penasaran ingin bertanya. Kalau ada murid dari sekolah lain mengeluh tentang ujian yang dikerjakannya dan mengatakan, "Soalnya menyakiti mataku!" Aku bisa bilang, "Aku malah dihajar soal itu, secara harfiah." Dan mereka akan tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya saking tidak percayanya.

"Kalian tidak mungkin kalah. Kalau kalian kewalahan, kalian bisa menunda atau membatalkan menjawab soal tersebut. Jika menunda menjawab soal, kalian bisa beralih ke soal lain dan melanjutkannya nanti. Bila membatalkan berarti kalian tidak akan bisa menjawab soal itu lagi. Namun, hal itu berarti kalian hanya mendapat sejumlah poin yang benar saja. Ada lagi?" Tidak ada yang mengangkat tangan, hanya suara bisik-bisik yang terdengar.

"Baiklah, Bapak akan membagikan rincian tata cara ujiannya. Nanti kalian bisa baca sendiri." Bapak Dereck terlihat mengotak-atik PHC-nya. Sesaat kemudian, sebuah pesan masuk di gawai milikku. Rincian ujian. Aku membacanya sekilas agar tahu seberapa panjangnya rincian itu. Apa kau tahu? Sangat panjang. Aku saja sampai lelah melihatnya.

"Seperti yang Bapak katakan di awal, ujian ini berupa survival tag. Jadi, kalian akan menjawab soal secara berpasangan. Strategi dan kerja sama sangat dibutuhkan. Hal ini juga agar kalian bisa mempererat tali pertemanan. Ada yang mau bertanya lagi sebelum dilanjut?" Hampir semua murid saling tatap, kemudian kompak menggeleng.

"Kalau begitu kita tentukan pasangan-pasangannya terlebih dahulu." Bapak Dereck menyambungkan PHC miliknya dengan papan tulis LCD secara wireless. Tak lama kemudian, barisan nama muncul dalam dua kolom.

Guru di depanku itu menggulirkan layar raksasa berisi nama-nama kami. Secara cepat, barisan nama-nama itu berputar sampai akhirnya berhenti ketika tangan Bapak Dereck berada di atas layar. Putaran itu mungkin mencapai sepuluh detik—iya aku iseng menghitungnya.

"Nah, ini adalah nama-nama pasangannya. Semoga kalian bisa bekerja sama." Aku menelusuri deretan nama di papan tulis itu. Berharap semoga namaku dipasangkan dengan orang yang bisa mendukungku sepenuhnya. Namun, sepertinya harapanku sudah kandas terlebih dahulu.

"Sekarang kita pergi ke gedung ujian," ajak Pak Dereck. Semua murid mengikutinya dengan pasangan masing-masing. Total semuanya ada sepuluh pasangan.

"Kau masih hidup rupanya," kata Arennga yang menjadi pasanganku. Sial sekali aku harus terus bersamanya selama ujian. Sepertinya takdir ingin bermain denganku agar cerita ini tetap berlanjut.

"Siapa yang bilang aku sudah mati?" timpalku sinis. Orang yang berbicara denganku hanya tersenyum mengejek.

"Berapa yang dibayar orang tuamu agar kau bebas?" tanya pemuda itu dengan nada menghina. Mendengarnya aku langsung naik pitam.

"Mereka tidak tahu apa-apa. Lagi pula itu bukan urusanmu!" Lagi-lagi lelaki itu hanya tertawa sambil membuang muka. Kalau saja dia tidak menyebalkan, mungkin aku akan menyukainya. Namun sayangnya, dia memang menyebalkan dan mengesalkan. Setelahnya, tidak ada lagi percakapan panas yang terjadi.

Di perjalanan ke gedung ujian, kami bertemu dengan beberapa kelas yang juga akan menghadapi ujian yang sama. Total ada lima kelas dari anak kelas sepuluh Scienta dan lima kelas dari Social, belum dari kelas lain—kelas sebelas dan dua belas maksudku.

Gedung ujian dengan enam lantai di antara gedung belajar dan gedung klub. Untunglah ruanganku berada di lantai satu sehingga kami tidak perlu repot-repot naik ke atas. Kami digiring ke sebelah kiri gedung dari "lorong" yang menembus ke daerah asrama.

"Hei, Chloe!" panggil seseorang sebelum kami masuk ke gedung. Rama menghampiriku dengan wajah yang ceria. Kedua matanya yang berbeda warna tampak cerah bersinar. Kuasumsikan dia sudah sangat siap dengan ujian ini.

"Kenapa, Ram?" tanyaku heran dengan sikapnya yang tiba-tiba mendatangiku.

"Ah, tidak." Ada jeda dalam kalimatnya. "Aku hanya tidak menyangka kau ... masih di sini," jawabnya ragu. "Kau tahu, kan, apa maksudku?"

"Ya, ya. Aku tahu. Dan aku tidak ingin membicarakannya."

"Oh, baiklah." Dia hanya memasang wajah kecewa. "Kau sudah siap?"

"Sepertinya," jawabku tidak percaya diri. "Kau, bagaimana?"

"Tentu saja aku sudah siap menghadapi monster-monster itu!" jawabnya sambil memamerkan otot lengan. Kata-katanya menyiratkan kalau dia tidak akan menjawab soal-soal itu dengan benar dan hanya akan menikmati saat-saat pembantaian. Ke mana anak cupu yang kukenal?

Rama melirik ke arah orang di belakangku. "Hai, Ren. Apa kau yang jadi pasangan Chloe?" tanya pemuda itu sambil tersenyum jail. "Jaga ia baik-baik, ya. Chloe ini sangat ceroboh. Dah, kalian berdua."

Lelaki itu berlalu sambil melambai. Senyum jailnya masih terpatri di sana. Bisa-bisanya dia menyebutku ceroboh. Aku, kan, hanya sering menabrak orang—lalu aku teringat kejadian yang menyebabkan aku hampir dikeluarkan—oh, itu ceroboh, ya. Sudahlah. Kadang aku heran dengan sikap orang-orang di sekitarku.

"Kalian saling kenal?" tanyaku pada Arennga yang sedari tadi memulai perang dingin. Laki-laki itu hanya melihatku tanpa membalas. Sepertinya dia ingin tembok di antara kami masih berdiri. Dasar menyebalkan!

Kami akhirnya menyusul rombongan yang sudah berada di gedung ujian. Tempat itu sangat luas. Bahkan lobinya melebihi lobi hotel yang pernah kudatangi. Di sana, Pak Dereck siap menjelaskan lagi.

"Di sisi kanan kalian adalah ruangan-ruangan khusus yang diperuntukkan untuk kelas sepuluh Social-A, sedangkan di sebelah kiri adalah ruangan untuk kalian." Aku melihat ke pintu-pintu kaca buram di kedua sisi. Mereka terlihat sama saja.

Dari pemaparan Bapak Dereck, gedung ini dibagi berdasarkan tingkat dan kelas. lantai satu dan dua untuk tingkat satu atau kelas sepuluh. Kelas A dan B berada di lantai satu dan kelas C, D, dan E di lantai dua. Pembagian berlanjut ke jurusan Scienta dan Social. Lantai tiga dan empat untuk tingkat dua atau kelas sebelas dan seterusnya.

Kami masuk ke ruangan ujian khusus itu. Hal pertama yang kami lihat adalah banyaknya tombol-tombol pengendali di suatu ruangan khusus. Sementara Bapak Dereck bermain dengan mainannya, kami dibiarkan menunggu di kursi-kursi panjang. Aku memanfaatkan jeda waktu yang ada untuk melihat rincian ujian agar tidak ada kecerobohan lain yang kuperbuat.

Pukul delapan kurang lima menit, Bapak Dereck memanggil kami secara berpasangan agar masuk ke sebuah ruangan lewat pintu di sebelah kiri dari tempat kami menunggu. Jantungku berdetak kencang. Akhirnya ujian pertamaku di sekolah elite dengan sistem yang "unik" akan segera dimulai.

-oOo-

A/N

Update!!!

Maaf update-nya gak tentu. Yang penting update, kan?

Diterbitkan: 13-12-2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro