Bab 7 : Eksekusi Mati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sepanjang pagi aku tidak bisa diam. Gelisah, panik, khawatir, semua berkumpul menjadi satu. Anastasia yang duduk di sampingku tidak membantu sama sekali. Seolah tidak ada apa pun yang terjadi. Padahal gadis itu yang paling memperingatkanku untuk tidak melakukan hal berbahaya itu. Namun, nyatanya sekarang ia tidak peduli sedikit pun. Mungkin Anastasia sudah lelah dengan tingkahku.

Aku yang menggigit jari sedari tadi tampaknya memancing perhatian gadis itu. "Oh, sudahlah. Berdoa saja," ucapnya sambil memainkan gawai.

Dua mata pelajaran terlewati, tetapi belum ada tanda-tanda aku akan dipanggil. Mungkin aku tidak jadi ketahuan? Akan tetapi, itu tidak mungkin. Jelas-jelas kemarin tanda peringatan muncul di PHC-ku. Dan semalaman aku tidak bisa tidur tenang seperti ada yang mengawasi. Semoga saja tidak jadi. Semoga saja.

"Chloe Natalia kelas 10 Scienta-A. Ditunggu di ruang Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan saat jam istirahat kedua. Terima kasih." Semua tatapan seolah tertuju padaku. Suara itu berasal dari pengeras suara yang tersebar di seluruh sekolah. Itu artinya seluruh sekolah nanti akan tahu kalau aku berurusan dengan salah satu pihak tertinggi itu. Laman sekolah bisa-bisa menampilkan beritaku lagi. Ah, sial! Rasa takut mulai merambati tubuh. Kalau panggilan itu memang karena kesalahanku kemarin, maka ... mati aku.

Anastasia tiba-tiba memegangi bahuku. "Ingat kata-kataku. Kalau ada celah untuk mengelak, maka pakailah. Setidaknya itu akan meringankan hukumanmu," kata gadis itu sambil memicing. "Meringankan hukuman"? Tetap saja itu namanya hukuman. Memangnya apa hukuman lain yang dapat meringankan hukuman terberat yaitu dikeluarkan? Membersihkan semua ruangan toilet selama setahun? Atau merawat bonsai di taman? Mereka bahkan sudah menggunakan Humanoid AI untuk melakukannya.

Apa pun itu, aku harus bisa menerimanya dengan penuh rasa tanggung jawab. Meskipun aku tetap takut. Buktinya tanganku gemetar terus.

Bel istirahat kedua pun berbunyi. Sebelum aku beranjak, Anastasia memegangi tanganku dan berbisik, "Ingat kata-kataku tadi." Aku mengangguk. Terakhir aku tidak menuruti nasihatnya, aku berurusan dengan ini. Nasibku esok hari ditentukan dengan pertemuan yang akan kulakukan sebentar lagi.

Aku berjalan gontai ke arah ruang eksekusi. Berbagai tatapan melihat ke arahku. Dan mereka menatapku dengan sebelah mata. Wajah mereka seolah mengatakan, "Oh, ia lagi," ... "Kali ini apa yang ia lakukan?" ... "Si pembuat onar," ... "Sudah abaikan saja," .... Oh, aku setuju dengan yang terakhir. Ya, abaikan saja aku. Aku bukan tontonan yang dapat kalian nikmati penderitaannya. Sungguh, menjadikan penderitaan orang lain sebagai hiburan? Sangat tidak etis.

Ruang eksekusi itu memiliki pintu kaca yang buram. Satu jendela yang sama buramnya berada di sisi sebelah kanan. Aku mencoba mengintip ke dalam, tetapi hasilnya nihil. Saat aku bingung mau melangkah maju untuk mengetuk atau diam terpaku sampai ada yang menegur, pintu kaca buram itu berubah menjadi jernih sehingga aku dapat melihat isinya.

"Masuk," kata seseorang dari dalam. Aku melangkah ragu. Pintu itu terbuka otomatis ke sebelah kiri saat aku tepat berada di sensornya.

Ruangan itu cukup luas. Untuk satu orang yang memiliki jabatan "Wakil Kepala Sekolah" kurasa itu adil. Mengingat ia memiliki tanggung jawab yang berat sehingga harus senantiasa menjaga perasaan dan emosinya agar tetap stabil. Dan hal itulah yang sepertinya tercermin dalam ruangan ini. Misalnya, tanaman hijau di berbagai sisi dari ukuran tanaman meja sampai tanaman ukuran sedang yang dapat mencapai satu meter di sudut-sudut ruangan. Cat putih yang mendominasi—sepertinya Wakil Kepala Sekolah senang warna putih. Hiasan-hiasan dinding dari yang sederhana sampai ukiran rumit. Lukisan-lukisan pemandangan alam yang detail sampai yang abstrak. Sofa-sofa panjang yang cukup untuk berselonjor di kala senggang. Dan berbagai furnitur berwarna kelabu yang kalem. Secara keseluruhan, warna dominan di sini adalah putih, abu-abu, dan hijau. Oke, itu bukan seleraku, tetapi beliau pasti senang karena gesturnya sangat tenang saat ini.

"Silakan duduk," perintah Wakil Kepala Sekolah sambil melihat gawainya. Tanpa diperintah dua kali, aku langsung mengambil kursi tepat di depannya. Sebuah kursi dengan dudukan dan sandaran yang cukup nyaman.

Cukup lama aku duduk termenung tanpa ada pembicaraan. Aku bahkan sampai menduga kalau Wakil Kepala Sekolah—aku akan mempersingkat panggilannya dengan Wakasek saja—lupa dengan kehadiranku. Aku ingin memberi kode kalau sebenarnya aku masih ada di sini, tetapi terlalu takut untuk melakukannya. Lagi pula, sepertinya itu tidak perlu. Mata cokelat hazel Wakasek menatapku dengan tajam seolah bisa mencabikku berkeping-keping sampai membuatku tertunduk kembali. Ini kali pertama aku bertemu dengannya secara langsung dan aku sudah mau mati rasanya.

"Chloe," panggilnya dengan suara lembut. Aku mencoba menatap matanya, tetapi terlalu takut. "Apa kau tahu, kenapa kau dipanggil ke sini?"

"Ma ... maaf. Saya ti ... tidak tahu." Aku mencoba berpura-pura tidak tahu terlebih dahulu, mungkin saja itu bisa membantu.

"Kau dituduh membobol sistem keamanan sekolah. Apa kau tahu apa hukumannya?"

Aku menggeleng dengan lemas.

"Dikeluarkan." Jantungku mencelus. "Akan Bapak telepon orang tuamu."

"Tu ... tunggu. Jangan beri tahu orang tua saya. Saya mohon." Aku bisa mati kalau Papa sampai tahu, dan Mama bisa terkena serangan jantung.

"Berusaha meretas sistem keamanan sekolah bahkan di hari-hari pertama pembelajaran. Apa yang sebenarnya kau inginkan?"

"Itu ...." Sepertinya aku harus jujur dari sini. "Itu semua ide Brigita." Baik mungkin aku akan memelintirnya sedikit.

"Brigita?"

"Teman saya. Brigita Sandra. Kelas 10 Scienta-D." Maaf Brigita, tetapi aku memang harus melibatkanmu.

Setelah mendengarku menyebut nama itu, Wakasek langsung memerintahkan seseorang memanggil Brigita. Tak lama kemudian, orang yang dimaksud langsung datang.

"Apa saya ada salah?" Pertanyaan pertama yang keluar dari bibir merah tebal Brigita.

"Kau dituduh menjadi bagian dari tindakan peretasan kemarin."

"Apa? Bisa dijelaskan lebih rinci? Saya tidak paham." Apa-apaan gadis itu. Sudah jelas ia terlibat.

"Ja ... jangan pura-pura tidak mengerti, Brigita," kataku dengan nada gemetar. "Aku mendapat semua program peretasan itu darimu. Aku juga tidak tahu bagaimana kau mendapat semua program itu."

"Tunggu, apa aku mengenalmu?" tanyanya dengan mata memicing, memperhatikan setiap senti tubuhku. Sialan! Apa-apaan ia. Aktingnya kelihatan natural.

Aku menggeram. "Jangan pura-pura kita tidak pernah bertemu dan membuat kesepakatan—"

"Oh, ya. Kau yang melempariku dengan bola saat kegiatan MOS."

"Apa—"

"Sudah, kalian berdua." Wakasek mencoba menengahi kami.

"Pak! Saya bisa buktikan kalau Brigita terlibat." Aku buru-buru merogoh saku rok dan mengeluarkan sebuah rapid-disk.

"Hei, itu milikku! Pantas saja aku kehilangannya kemarin."

"Ya, dan kau yang memberikannya padaku kemarin."

"Jangan membual." Brigita berusaha mengambil benda itu dari tanganku, tetapi aku berhasil menepisnya.

"Bapak bisa periksa isinya untuk memastikan kata-kata saya." Aku memberikan rapid-disk itu dan berusaha meyakinkan Wakasek dengan tatapanku.

"Baik, baik. Kalian diam dulu. Bapak akan putuskan setelah ini." Bapak Wakasek menerima benda yang kuberikan dan langsung memasangkannya di PHC miliknya.

Setelah sekian lama memeriksa, akhirnya bapak Wakasek berbicara. "Tidak ada apa-apa di sini. Isinya kosong." Aku terperanjat. Bagaimana mungkin? Seingatku aku tidak menghapus berkas apa pun.

"Sudah saya bilang, saya tidak terlibat dalam hal ini. Boleh saya minta rapid-disk milik saya kembali, Pak?"

"Maaf, tapi ini akan dijadikan barang bukti," kata Wakasek sambil mencabut benda itu dan menimangnya sebelum dimasukkan ke dalam laci. Kami berdua terperanjat.

Kulihat gadis itu menjadi cemberut. "Kalau begitu, apa saya masih diperlukan di sini?"

"Tidak. Kau boleh pergi sekarang." Seiring dengan kalimat itu, Brigita langsung berdiri, memberi salam, kemudian melenggang pergi. Samar-samar saat ia telah di luar, aku melihat gadis itu menyeringai penuh kemenangan. Aku telah dijebak!

Sekarang hanya tinggal aku berdua kembali dengan Wakasek. Hening menyelimuti kami. Sekarang aku tidak punya lagi pembelaan. Ayolah, otak. Pikirkan kembali sebuah alasan agar aku bisa keluar dari situasi ini.

Wakasek menautkan kedua tangan dan membuatnya menjadi tumpuan dagu. Matanya menelisik ke arahku. "Jadi, ada pengakuan?" Aku seperti terdakwa yang sedang disidang di depan hakim. Seorang diri tanpa pengacara dan pembela.

"Sa ... saya ...." Sepertinya sebentar lagi akan ada hujan lokal.

"Bapak akan menghubungi—"

"Saya mohon, jangan hubungi orang tua saya. Hukum saya apa pun, asalkan saya tidak dikeluarkan dan orang tua saya tidak terlibat! Saya mohon! Saya mohon!" Aku merapatkan kedua telapak tangan sambil memejam. Tangisku sebentar lagi pasti akan pecah. Akan kulakukan apa pun agar kedua orang tuaku tidak terlibat dan aku tidak dikeluarkan, walaupun itu artinya aku harus bersujud sekalipun. Mungkin aku akan melakukannya sebentar lagi.

"Angkat kepalamu," perintah Wakasek. Dia melihatku dengan tatapan iba. "Pelanggaran adalah pelanggaran. Walaupun tidak ada kerusakan sistem, tetapi pelanggaranmu ini sudah termasuk berat."

"Saya akan lakukan apa pun asalkan tidak dikeluarkan dan orang tua saya tidak terlibat," ulangku untuk menegaskan kesungguhan. "Saya yakin bahwa saya sudah dijebak. Rapid-disk yang saya berikan awalnya berisi program peretasan. Saya mengaku salah." Akhirnya air mataku keluar juga.

"Tapi tolong, jangan libatkan orang tua atau mengeluarkan saya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka. Sekali lagi, hukum saya semau Bapak, tetapi tolong, dua hal tadi. Saya mohon." Mataku basah, pipiku banjir. Ada air terjun keluar dari hidung. Mungkin kalau dibayangkan, ini adalah wajah terjelek yang pernah kubuat.

"Baiklah. Karena kau murid baru yang belum mengerti aturan-aturan tak tertulis di sini dan katanya dijebak, Bapak akan memberikan sedikit keringanan. Dilihat dari aktivitas log-mu kemarin, kau peretas yang sangat ceroboh."

"Saya dijebak, Pak." Tangisku sudah reda sekarang.

"Ya, Bapak mengerti."

Aku kembali duduk. Merenungi semua yang telah kukatakan barusan. Melakukan "apa pun". Bagaimana kalau aku disuruh berlari keliling lapangan sebanyak sepuluh kali sampai pingsan? Bagaimana kalau aku disuruh mengepel seluruh ruangan? Bagaimana kalau aku disuruh memotong rumput di seluruh taman sekolah? Bagaimana kalau—cukup, Chloe, cukup! Aku harus mengendalikan prasangka ini.

"Kau dihukum membersihkan toilet semua gedung selama satu semester." Jantungku berhenti satu detik. Ini sama seperti dugaanku yang pertama. "Kebetulan satu robot pekerja yang ada sedang diperbaiki. Meskipun perbaikannya hanya selama satu bulan, tetapi robot itu tidak akan membantumu." Setidaknya aku bisa bernapas lega. Meskipun melelahkan, itu lebih baik dari dikeluarkan.

"Apa itu cukup? Atau harus ditambah lagi?"

Aku menggeleng cepat. "Itu cukup. Terima kasih karena tidak mengeluarkan saya." Aku berusaha tersenyum. Bapak Wakasek menyodorkan sekotak tisu, sepertinya tidak tega melihatku yang menangis.

"Oh, iya. Bersihkan sebersih robot pembersih." Napasku berhenti sejenak. "Baiklah, kau boleh kembali sekarang. Jangan lupa hukumanmu, selalu ada CCTV yang mengawasi." Aku mengangguk cepat kemudian berterima kasih sekali lagi.

Aku keluar dari ruang eksekusi itu dengan perasaan lega. Aku tidak bisa menggambarkan perasaan ini hanya dengan kata-kata. Aku sampai senyum-senyum—miris—sendiri di sepanjang koridor meskipun aku tetap mendapatkan hukuman. Ya, lebih baik daripada dikeluarkan.

Aku langsung kembali ke kelas dan memeluk Anastasia di bangkunya. Gadis itu sampai terheran-heran dengan tingkahku. "Ada apa denganmu?"

"Nanti kuceritakan," sahutku dengan lirih. Aku tidak bisa membendung perasaan ini. Entah bahagia atau miris. Tetap saja berita yang akan kuberikan berupa "aku mendapat hukuman". Namun, itu lebih baik daripada "aku dikeluarkan".

-oOo-

A/N

Update!!!!

Sebentar lagi ujian, persiapkan diri kalian!

Semoga terhibur!

Diterbitkan: 5-12-2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro