Bab 12 : Perang Strategi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hei, lihat. Siapa ini? Kalian tahu teman-teman, kudengar ada tukang bersih-bersih baru di sekolah kita." Brigita berkata kepada teman-temannya dengan nada mengejek saat aku melewati bangkunya sambil menenteng makanan. Harusnya aku berputar lebih jauh untuk menghindari bibir menyebalkan itu.

Aku berusaha tidak memedulikannya, tetapi sepertinya gadis itu memang berusaha memancingku. "Benar, kan? Chloeee?"

"Oh, entahlah, Brigita. Tapi, kudengar gajinya lumayan. Bahkan bisa sampai membeli omongan orang-orang kurang kerjaan."

Gadis dengan lipstik tebal itu sepertinya mulai tidak suka dengan reaksiku. "Katakan saja, berapa yang kau sogok agar kau bebas berkeliaran lagi di sini? Jujur aku sempat terkejut kau masih bisa menampakkan diri."

Aku mendecih. "Bukan urusanmu. Lagi pula, harusnya kau senang, kan? Bukankah kau yang melakukan semua itu padaku?" tanyaku ketus. Brigita sudah siap menampakkan taringnya.

"Sudahlah, Chloe," Anastasia menginterupsi sebelum kami memulai perang mulut. "Tidak ada gunanya berbicara dengan makhluk seperti dia." Sahabatku itu menyeretku mencari bangku yang lain untuk makan.

...

Untungnya pertemuan klub hanya dilakukan seminggu sekali. Jadi, aku masih bisa menyelesaikan tugas bersih-bersih setelah sepulang sekolah seperti biasa. Hal yang aku masih heran adalah ... bagaimana Brigita tahu kalau aku mendapat tugas ini? Namun, mengingat kejadian belakangan yang ada hubungannya dengan ia, gadis itu benar-benar harus diwaspadai.

Aku jadi ingat pernah mendengar suara langkah kaki saat bersih-bersih kemarin. Jangan-jangan itu Brigita dan komplotannya. Aku harus berhati-hati kalau ada di dekatnya.

Clowny masih suka melihat air berputar di dalam jamban. Aku jadi takut kalau itu adalah bawaan alam bawah sadarku. Norak sekali aku senang hanya karena melihat hal itu. Aku lebih suka melihat air terjun yang indah, bukannya pusaran air mini di kamar mandi. Kemudian tanpa sadar aku menekan tombol flush untuk kedua kalinya.

Samar-samar aku mendengar suara orang masuk ke kamar mandi. Lama kelamaan suaranya semakin jelas. Gerombolan gadis super heboh sedang menginvasi kamar mandi yang sedang kubersihkan. Aku diam mematung sampai mereka selesai mengobrak-abrik cermin yang ada.

Suara tawa melengking yang ada kini perlahan mulai menghilang seiring langkah kaki yang menjauh. Setelah kupastikan semua gadis itu pergi, aku keluar dari bilik. Entah ini sengaja atau tidak, tetapi lantai yang baru kupoles kini kotor kembali. Dan aku bisa bilang kalau tingkat kekotorannya setara dengan petani tradisional yang baru pulang dari sawah dan lupa untuk membuka sepatu botnya, lantas membawanya ke dalam rumah yang menyebabkan penghuni rumah marah-marah—oke, aku terlalu jauh mendeskripsikannya, tetapi tahu, kan, apa maksudku?

Aku melirik ke arah cermin tempat para gadis biasanya merias diri. Ada tulisan berwarna merah yang aku yakin ditulis menggunakan lipstik. Tulisan itu berbunyi, "Selamat bersih-bersih, Office Girl!"

Sekarang aku yakin lantai kotor itu memang perbuatan kurang kerjaan mereka. Aku membersihkan lantai itu untuk kedua kali.

...

Aku akan menyingkat bagian ini agar tidak ada orang yang berkata kalau aku ini orangnya suka bertele-tele—walaupun pasti masih ada saja orang yang bilang begitu setelah aku tidak menceritakan beberapa bagian.

Ok, begini.

Brigita dan kawanannya ketahuan mengerjaiku, mereka diskors, kemudian gadis berlipstik merah tebal itu menghilang tanpa jejak.

Ok, sudah. Gosip selesai.

Apa? Itu terlalu pendek? Aku tidak akan menceritakan semuanya karena terlalu panjang. Jangan memaksaku melakukannya. Jangan memaksa .... Ja—Baik! Baik! Kalau itu keinginan kalian. Akan kupastikan kalau ini akan jadi cerita yang ... dapat dinikmati.

Seperti ini kisahnya.

Saat itu hari—aku lupa waktunya, pokoknya hari yang kurang menyenangkan—setelah kejadian cermin berlipstik. Aku sedang di kamar mandi melakukan hal yang sudah bisa kautebak. Gerombolan gadis kurang waras—itu bukan penghinaan, kan?—menyerang salah satu bilik kamar mandi dengan seember air diiringi suara jeritan yang terdengar sangat keras, tetapi itu bukan aku. Lalu kabur. Sepertinya mereka salah mengira kalau aku yang ada di sana. Ya, memang, aku di sana semenit sebelumnya, lalu aku pindah ke sebelah. Beruntungnya aku.

Oh, aku lupa. Lakukan keajaibanmu CCTV.

Namun, hari-hari berikutnya aku tidak mendengar gosip-gosip aneh tentang murid yang dihukum atau sejenisnya. Mungkin CCTV tidak bisa melihat wajah para pelaku atau buktinya kurang kuat. Sialan.

Sebut aku aneh dan sejenisnya karena membawa payung di dalam ruangan sambil memutar-mutarnya. Benda itu kubawa untuk berjaga-jaga dari hal-hal tak terduga yang sudah aku prediksi kemarin-kemarin.

Hujan lokal di dalam bilik kamar mandi. Untungnya aku tepat waktu membuka payung di tempat sempit itu sehingga pakaianku tidak basah. Aku langsung membuka pintu bilik dan menyuruh Clowny untuk menyerang mereka yang ternyata memakai topeng—pantas mereka tidak diadili. Avatarku langsung menarget bagian kepala salah satu dari mereka—gadis-gadis lain sudah pergi menjauh—dan berusaha melepas topeng kain yang dipakai. Awalnya gadis itu memberontak dan mencoba menjauhkan Clowny darinya, tetapi avatarku keras kepala sehingga tidak mau lepas. Setelah beberapa waktu perlawanan, akhirnya Clowny dapat melepas topeng sialan itu dan si gadis lari tunggang langgang. Sepertinya itu membuat mereka jera.

Beberapa hari setelahnya baru aku mendengar gosip kalau ada lima orang siswi yang kena hukuman skors selama seminggu dan salah satunya adalah Brigita. Aku dengar-dengar ia langsung mengurus surat kepindahannya ke kepala sekolah—ini kudapatkan dari pernyataan saksi mata yang melihat orang tua gadis berlipstik tebal itu di ruang kepala sekolah. Ada yang bilang ia pindah karena malu.

Oh, gosip, sangat menyenangkan.

Ah, tidak ada dialog di sana. Mungkin nanti aku harus belajar lagi bagaimana menyampaikan kilas balik. Masa bodo.

Sudah puas mendengar cerita kelakuan orang-orang bodoh itu? Bagus kalau iya, karena aku akan beralih ke cerita lain.

...

"Kau kenapa? Mukamu lebih kusut dari pakaian yang belum disetrika." Anastasia menggodaku dengan melontarkan lelucon yang telah kedaluwarsa.

"Sebentar lagi UTS. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana mengerjakannya."

"Ah, santai saja. Ini sama seperti ujian mingguan. Hanya saja—"

"Hanya saja kita mengerjakan soal di tengah-tengah labirin! Di arena ujian mingguan saja aku sudah pusing, apalagi nanti di sana!" Aku menarik rambut dengan histeris. Gadis di sebelahku itu hanya menahan tawa.

Anastasia mencoba menenangkan. "Mungkin saja tahun ini berbeda."

"Orang konyol macam apa yang membuat ujian sekolah serumit ini?!"

"Oh, sudahlah. Nikmati saja."

Bel berbunyi menandakan jam pertama akan segera dimulai. Pelajaran kali ini lumayan menantang: Biologi.

Guru yang mengajar kami adalah seorang pria tinggi dengan rambut berwarna gelap. Dia memakai kemeja biru langit polos dengan dasi hitam dan celana bahan yang juga berwarna hitam. Tidak lupa kacamata khas para guru bertengger di wajahnya (Sudah kukatakan, kan, apa fungsi kacamata itu?).

Satu hal yang membuat kami—mungkin aku saja—tegang adalah, guru ini selain selalu memberikan pre-test seperti guru-guru lainnya, beliau juga sering memberikan kuis dadakan berupa pertanyaan-pertanyaan lisan yang terkadang sulit, tetapi memberikan poin yang lumayan banyak.

Seperti saat ini, para siswa sedang menunggu sumber poin keluar dari mulut sang guru. Ada yang tegang, ada yang antusias, ada wajah khawatir tidak bisa menjawab dan terancam kehilangan poin untuk diraih seperti aku.

Saat mulut itu akan terbuka, beberapa tangan sudah ada di atas meja dan sebagian di antaranya sudah siap meluncur ke udara dengan ragu—ke atas-bawah cantik. Suara samar terdengar di otakku. Bersiap meluncur dalam 3 ... 2 ... 1! Teeet! Houston kita ada masalah! Soalnya sulit! Misi dibatalkan, kuulangi, batalkan!

"Ada yang suka jamur?" tanya Pak Ollie—kalau kau ingin tahu namanya—memulai. Kelas hening. Tidak menyangka dengan apa yang didengar. Pertanyaan macam apa itu.

"Saya suka, Pak." Salah satu siswi menjawab dengan antusias sambil mengacungkan tangannya. Pak Ollie mengangguk. Terdengar suara ting samar-samar. "Eh, poin?"

Suara keheranan terdengar seperti dengungan lebah pekerja. Wajah-wajah yang menyiratkan pertanyaan "Kok, bisa?" terpasang hampir di setiap siswa. Kalau cuma pertanyaan sepele begitu, sih, aku juga mau, Pak!

"Sabar, Anak-anak. Ada pertanyaan lanjutan." Pak Ollie menghela napas. "Ada yang tahu bentuk jamur kancing?"

"Ya, seperti kancing, lah, Pak." Seorang siswa berkelakar. Sebagian tertawa dan guru di depan hanya tersenyum.

Pak Ollie mengangguk setuju. Kini matanya yang hitam berubah serius. "Ada yang tahu divisi dari jamur tersebut?" Sebagian siswa menegang karena pertanyaan yang tadi seperti lelucon kini berubah drastis.

Arennga mengangkat tangan di tengah heningnya suara. "Basidiomycota," jawab pemuda itu kalem.

"Bagaimana mereka bereproduksi?" Pak Ollie melanjutkan.

Lagi, Arennga meluncur sebelum yang lain dapat lepas landas. "Mereka dapat bereproduksi secara aseksual menggunakan konidiofor dan secara seksual menggunakan basidiospora."

"Ada yang bisa berikan salah satu contoh nama ilmiah mereka?"

Aku melesat ke langit. "Agaricus bisporus," jawabku lantang. Kulihat Arennga menatapku dengan tajam. Kami saling tatap, mengibarkan bendera perang. Tatapan kami sangat panas sampai mungkin dapat membakar kelas dan seisinya.

"Oke, sepertinya kalian bersemangat sekali," kata Pak Ollie sambil membetulkan kacamatanya yang melorot karena tawa. "Pertanyaan selanjutnya: spesies fungi apa yang digunakan untuk membuat salah satu antibiotik peni—"

"Penicillium notatum!" jawab Arennga memotong pertanyaan yang belum selesai.

"Penicillium chrysogenum!" Aku menimpali tidak mau kalah.

Kami berdua sama-sama meluncur ke udara, menciptakan tabrakan yang tak dapat terelakkan. Menghasilkan ledakan besar yang membuat suasana menjadi semakin panas.

"Ragi—"

"Saccharomyces cerevisiae!" Kali ini aku yang memotong, walaupun tahu itu kurang sopan dan jawabannya belum tentu mengarah ke sana.

"Jamur tempe—"

"Rhizopus oryzae!" Arennga ikut menyela.

"Anak-anak, jangan memotong kalau pertanyaannya belum selesai," ingat Pak Ollie.

Guru di depan menghela napas panjang. "Simbiosis antara akar tanaman dengan fungi?" tanyanya cepat.

"Mikoriza!"

"Mikoriza!"

Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya hanya membuat aku dan Arennga memasuki suasana seperti badai matahari. Kami saling bersahut-sahutan saat soal diberikan. Sesekali menjawab secara bersamaan menghasilkan paduan suara yang buruk. Kami saling menabrak, berusaha menjatuhkan, dan melontarkan peluru kebencian.

Pak Ollie mengakhiri sesi kuis dadakannya dengan rasa lelah dan agak kecewa. Mungkin karena yang menjawab hanya dua orang atau karena sesi itu berubah menjadi medan perang dua orang yang saling tidak suka.

"Aku tidak tahu kau bisa sepintar itu," Anastasia yang ada di sebelah kiriku bertanya keheranan.

"Anastasia, aku ini bodoh. Makanya aku harus banyak belajar untuk mengalahkan orang menyebalkan itu dan membuktikan kalau aku tidak seperti yang dia kira."

"Kau hanya merendah."

"Ya, terserah apa katamu. Aku harus terus belajar agar bisa menghancurkan kesombongan Arennga," pungkasku sambil berbisik.

"Jangan terlalu memaksakan diri. Nanti otakmu bisa terbakar dan kau tidak bisa lagi mengalahkan orang itu." Aku hanya mengangguk sambil terus melihat ke depan mendengarkan penjelasan Pak Ollie.

Kelas hari itu berakhir dengan otakku yang panas hampir terbakar. Pasti sistem pendinginnya rusak. Anastasia benar, aku terlalu memaksa diri. Maka dari itu aku langsung pergi keluar ketika bel berbunyi untuk merendam kepala. Namun, jalanku harus terhalang oleh sesuatu yang menyebalkan.

"Bisa kau menyingkir? Tidak sadar, ya, kalau tubuh jangkungmu itu menghalangi pemandangan?" tanyaku pada seseorang yang sedang mengobrol sambil memunggungiku.

Tubuh itu berbalik. Menampilkan pemuda yang sedang tersenyum sinis padaku sambil menyimpan tangan kanannya di pinggang. "Kukira siapa. Ternyata hanya badut."

Aku menahan geram sekuat tenaga. "Cepat halangi jalan yang lain sana! Aku mau lewat."

"Oh, silakan." Pria menyebalkan itu memiringkan tubuh. "Aku tidak ingin mengganggu pentasmu," cibirnya.

Aku berhenti beberapa meter di depannya, lantas berbalik untuk menyerang. "Apa hanya itu kalimat yang bisa kau lontarkan setelah aku bisa menyamaimu?" Aku tersenyum sinis. Arenna memicingkan mata.

Pemuda bermata tajam itu berdecak. "Mana mungkin kau menyamaiku. Itu hanya keberuntungan."

"Tidak perlu mengelak."

"Ha! Jangan bermimpi."

"Itu adalah kata-kata yang sering kudengar dari seorang yang akan kalah."

"Kita lihat saja nanti." Kami saling bertatapan lagi. Tatapan yang panas dalam artian bisa membakar lorong sekolah.

Anastasia menyeretku paksa, sementara Arennga tersenyum miring melihatku.

"Sudah cukup kau membuatku gerah dengan tingkahmu mencari masalah dengan anak itu, Chloe."

"Kami hanya bersaing," belaku.

"Ya, dan dengan penuh rasa kebencian."

Aku mendengus. Ingin segera mendinginkan kepala dan menyelesaikan "tugas" yang ada.

-oOo-

A/N

Semoga terhibur!

Diterbitkan: 1-3-2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro