Bab 21 : Mimpi Buruk yang Nyata

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ini adalah hari pertama aku menjalani hukuman bersama Arennga.

Setelah bel pulang berbunyi, aku langsung disambut oleh benda melayang berwarna putih mengilap di luar kelas. Benda itu berbentuk bulat lonjong seperti telur dengan dua baling-baling berputar di kedua sisinya dan dua tangan mekanik mungil di bawah tubuhnya. Sebuah drone. Beberapa murid penasaran dengan apa yang dilakukan benda tersebut di sini, tetapi benda itu sepertinya tidak terganggu sama sekali. Mata kamera bulatnya terus menatap ke arahku saat aku keluar kelas.

Aku mencoba mengabaikannya, tetapi drone itu malah mengikutiku.

"Jangan mencoba untuk lari dari tanggung jawab." Drone itu memperingatiku dengan suara khas robotnya.

"Harusnya sudah ada dalam programmu kalau aku juga harus menjalankan hukuman lain selain yang sudah diberikan," balasku. Aku berjalan ke arah gudang kebersihan yang sudah lama tak terpakai.

"Terkonfirmasi: Hukuman kedua akan dilaksanakan pada pukul 17.00." Si drone menambahkan catatan pada programnya.

"Terserah." Aku memulai kegiatan bersih-bersih.

...

Kurang lebih sudah dua jam bersih-bersih saat aku membersihkan toilet mampat—aku heran bagaimana toilet mahal bisa berakhir seperti ini—ketika sebuah tangan mungil bersamaan dengan suara robot menggangguku.

"Saatnya hukuman dimulai," katanya datar. Aku berhenti sejenak sambil memasang wajah cemberut. "Jangan membuang-buang waktu."

Aku menghela napas sambil memasang raut malas. Tanpa disangka, si drone menyetrum pantatku dengan tiba-tiba lewat tangan mungilnya. "Aakh!" Aku menjerit kaget. "Iya, iya, akan segera kulaksanakan."

Aku langsung membereskan peralatan kebersihan dan langsung cepat-cepat mengembalikannya ke tempat asal. Si drone pengawas terus membuntutiku ke mana pun aku melangkah.

"Tempat pertama yang harus dirawat: taman yang terbakar," si drone memberi tahu. Aku lantas digiring ke tempat yang dimaksud. Di sana sudah ada Arennga yang sedang membersihkan rumput-rumput yang sudah kering dan terbakar. Dia terlihat kotor dan hitam karena tanah dan abu yang tersisa.

Arennga berdecak. "Akhirnya datang juga." Dia menatapku dengan tatapan sebal. "Aku sudah lelah dari tadi, tahu?"

"Hei, itu bukan salahku. Aku juga ada urusan lain. Lagi pula kenapa kau tidak minta istirahat?"

"Drone ini menyebalkan. Aku tidak diberi waktu istirahat." Drone pengawas Arennga menyetrumnya. "Gah! Bisakah kau berhenti melakukannya?!"

"Sedikit bicara, banyak bekerja," Si drone menimpali dengan suara yang terdengar sama dengan drone pengawasku.

"Lihat?" Arennga seperti meminta persetujuan.

"Mintalah baik-baik, mungkin dia akan mengerti," saranku. Lawan bicaraku hanya memperlihatkan tampang kesal.

"Hei, Drone. Aku bukan robot sepertimu, jadi bisakah aku minum sebentar? Dari tadi aku sudah haus."

Si drone memindai Arennga dengan cahaya kebiruan dari kepala sampai kaki. "Presentasi cairan 80%, ekskresi tubuh meningkat 25%. Kau bisa istirahat selama lima menit." Arennga yang mendengar hal itu langsung pergi tanpa mendengar ocehan lain dari si drone.

Aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang dikatakan benda itu.

"Cukup basa-basinya. Mulailah bekerja." Drone pengawasku mulai memerintah. Aku menurutinya sebelum listrik terpancar ke pantatku.

Aku mulai mencabuti rumput-rumput yang kering. Debu dan tanah mulai mengotori tanganku. Tidak banyak sisa rumput kering dan terbakar yang harus aku bersihkan. Itu mungkin karena Arennga sudah melakukannya selama dua jam aku tidak ada.

Aku memperhatikan tanah sekeliling. Aku tidak percaya data digital bisa membuat kerusakan seperti ini. Maksudku, bayangkan saja, data yang hanya berupa sekumpulan bilangan biner—0 dan 1—dapat menyebabkan rumput mati secara nyata. Data yang divisualisasikan menjadi cahaya bermassa menjadi sangat berbahaya. Bisa saja, kan, ada oknum yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan teknologi tersebut untuk membuat hewan-hewan berbahaya digital yang dapat melukai orang, membakar kota seperti aku membakar rumput-rumput ini, membuat klon penjahat yang paling mematikan, mengacaukan dunia dan membuatnya hancur atau—oke, mungkin cukup imajinasi liarnya. Tapi, mengerti kan, apa yang ingin kusampaikan? Ternyata cahaya bisa jadi penyebab kerusakan bukan hanya kegelapan seperti yang sering diceritakan di novel-novel atau permainan fantasi.

Sudahlah, tidak perlu dilanjutkan lebih jauh. Aku terlalu banyak bermonolog.

Arennga datang kembali bersama sebuah botol di tangannya. Dia kemudian melihat sekeliling sambil sesekali minum. "Sepertinya sudah selesai," komentarnya. "Seharusnya aku tidak perlu kembali lagi."

"Hey, setidaknya temani aku!"

"Yang benar saja. Mana sudi aku berlama-lama denganmu." Arennga membuang muka sambil mengibaskan tangan seperti menyuruhku pergi jauh-jauh.

"Sedikit bicara, banyak bekerja. Kau masih ada pekerjaan yang harus dilakukan." Suara itu berasal dari drone pengawas Arennga. Benda tersebut kemudian mengeluarkan sebuah gunting rumput besar dari bawah tubuhnya. "Saatnya membuat bonsai."

Aku yakin itu hanya bercanda.

Setelah aku selesai mencabut rumput kering terakhir, drone pengawasku juga memberikan gunting yang serupa. Aku disuruh jadi barber untuk para tanaman pagar. Kupotong semua bagian yang berwarna hitam karena terbakar. Hasil karyaku menghasilkan bentuk yang tidak karuan. Sangat berbeda jauh bila dibandingkan dengan para seniman topiari[3].

Aku terus memotong sampai akhirnya—"trang!"—guntingku beradu dengan milik Arennga. Mata kami bertemu. Dia memicing seperti ingin mengatakan kalau aku sudah mengganggu kegiatannya. Aku bisa bayangkan kelanjutannya.

Arennga akan menyumpah dan mencaci kalau aku tidak berguna. "Kalau kau tidak bisa jauh dariku, setidaknya jangan menggangguku!" Mungkin begitu katanya. Aku akan selalu menjadi pelaku penyebab kesialannya. Tidak tahu malu memang.

Emosiku memuncak. "Jadi aku mengganggumu, begitu?! Nih, rasakan!" timpalku sambil mengadukan kembali gunting rumputku. Bunyi "trang" kembali terdengar. Arennga yang kesal meniru aksiku. Bunyi-bunyi berisik dari hasil adu gunting rumput terdengar seperti kami sedang bertarung menggunakan pedang.

Aku menggeram. Ingin sekali aku menggetok kepalanya. Berdarah, berdarah saja sekalian (Aku terdengar seperti psikopat). Namun, sebelum itu terjadi Arennga sudah menahan guntingku di depan wajahnya. Dia lantas mendorongku sampai aku terjengkang. Lelaki itu mengayunkan guntingnya ke samping seperti ingin memotongku menjadi dua. Aku buru-buru menahannya sekuat tenaga.

"Kau berniat membunuhku, ya?!" teriakku sambil masih menahan gunting yang siap membuatku terluka.

"Kau yang mulai duluan!" pekik Arennga murka. Dia mendorong guntingnya lebih kuat.

"Aku cuma bercanda!"

"Mana ada bercanda mainnya gunting rumput!"

"Baik, baik, aku mengaku. Aku kesal padamu. Sekarang bisakah kita selesaikan ini?"

"Ya, tentu saja."

Namun, Arennga mengayunkan guntingnya lagi untuk melukaiku. Aku berguling ke samping menghindari sabetannya. Aku bangkit lantas menendang perutnya sampai dia terbungkuk menahan sakit. Arennga terlihat marah sekali. Wajahnya memerah dengan alis yang menukik turun, hidung kembang kempis dan gigi taring yang terlihat. Dia berlari ke arahku dengan gunting yang terhunus. Aku berhasil menghindarinya dengan cara melompat backflip ke balik punggungnya. "Trang!" Gunting kami beradu kembali. Kami saling berhadapan agar bisa saling menjatuhkan.

Kami saling dorong sampai akhirnya gaya reaksi memisahkan kami. Aku dan Arennga tersaruk mundur. Aku tidak mau kalah begitu juga Arennga. Masing-masing gunting terhunus dan akhirnya beradu kembali. Aku berusaha terus menahannya tetapi kuda-kudaku terasa kurang mantap. Kakiku bergetar. Arennga yang sepertinya menyadari itu lantas menjegalnya. Aku terjatuh. Arennga yang tidak menyia-nyiakan kesempatan aku jatuh kemudian menghunuskan guntingnya ke arahku dan—

"Aaakh!" Sesuatu menyetrumku!

"Jangan melamun. Kembali bekerja." Drone pengawasku membuyarkan lamunanku di saat yang tidak tepat. Usai sudah fantasi liarku. Arennga yang mendengar itu hanya tertawa kecil meremehkan. Dia kemudian pergi ke tempat lain karena bagiannya yang sejajar denganku sudah selesai dan terlihat rapi. Sementara aku belum selesai dan masih acak-acakan.

Saat aku bilang Arennga pergi ke tempat lain maksudnya adalah ke bawah naungan pohon. Dia sedang asyik duduk bersandar sambil minum. "Tumben sekali kau tidak cerewet. Biasanya kalau ada aku di dekatmu kau akan langsung menyuruhku menjauh."

Arennga meneguk minumannya untuk yang terakhir sebelum menjawab. "Kau tidak dengar apa yang dikatakan si drone? 'Sedikit bicara, banyak bekerja.' " Dia kemudian berdiri dan menjauh pergi.

"Hei, kau mau ke mana?! Aku belum selesai berurusan denganmu!"

"Tapi urusanku di sini sudah selesai. Lagi pula sudah malam. Aku tidak ingin semalaman di sini apalagi denganmu."

"Curang!"

"Hei, drone. Hari ini cukup sampai di sini, okey? Aku ini manusia perlu istirahat." Arennga menunggu jawaban si drone sambil melipat tangan. Drone pengawas itu seperti sedang mempertimbangkan apakah Arennga sudah pantas berhenti hari ini atau belum.

"Terkonfirmasi: hukuman hari ini telah diselesaikan." Akhirnya keputusan telah ditetapkan dan lelaki itu dapat beristirahat dengan tenang ... malam ini.

"Aku juga ingin pulang," keluhku.

"Pekerjaanmu belum selesai. Kau masih belum boleh pulang." Drone pengawasku memperingatkan. Aku terpaksa kembali menggunting daun-daun.

Sial.

Aku selesai kurang lebih pukul delapan malam. Badanku rasanya remuk. Sesaat setelah di kamar aku langsung memanggil Clowny untuk memijatku. Gerincing loncengnya terdengar ketika ia melompat-lompat di atas punggungku. Rasanya memang tidak seenak pijatan di spa, tetapi setidaknya aku dapat sedikit rileks.

Aku harap semua kesialan ini cepat selesai.

-oOo-

A/N

[3] Topiari: tanaman yang dibentuk menyerupai bentuk-bentuk tertentu, bisa hewan, manusia atau yang lainnya. Biasanya menggunakan tanaman pagar.

...

Terasa pendek? Tenang, masih permulaan. Dengan rilisnya bab ini, arc 3 resmi dimulai!

Semoga menghibur!

Diterbitkan: 27-12-2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro