Bab 22 : Informan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

UAS sudah semakin dekat. Apakah aku sudah siap? Tentu saja belum. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya agar aku tidak tersesat. Hal pertama yang terpikirkan adalah bertanya kepada kakak kelas, lalu sadar kalau aku tidak punya kenalan yang bisa dimanfaatkan (jangan ingatkan tentang Kak Ardian yang sudah membenciku). Anastasia mungkin punya satu-dua orang yang bisa ditanyai. Akan tetapi, aku ingin berusaha sendiri dahulu sebelum merepotkan orang lain.

"Merepotkan? Chloe, jangan berpikiran seperti itu." Anastasia tiba-tiba masuk dalam monologku, bisa-bisanya ia melakukan itu. "Walaupun kita akan jadi lawan saat UAS nanti, aku akan tetap membantumu, kok. Mencari informasi akan menguntungkanku juga, kan? Kita bisa saling berbagi, he he."

Dua kata terakhir membuatku sebal.

Jadi, setelah kami berdiskusi di kamarku dari pagi sampai siang hari, aku dan Anastasia memutuskan untuk jalan-jalan ke gedung asrama milik kelas dua. Di sana ada kakak kelas Anastasia yang satu klub dalam bidang pemrograman. Kalaupun ia tidak bisa memberi kami jawaban yang memuaskan, setidaknya kakak kelas itu dapat membantu kami menerobos masuk jaringan—oh, tidak, itu buruk. Kami tidak ingin dapat hukuman apa-apa lagi. Aku hanya bercanda soal itu.

Kebetulan sekali kakak kelas Anastasia berada di lantai dua (ingat, kamarku juga ada di lantai dua), sehingga kami hanya perlu melewati kafetaria di ujung yang menghubungkan setiap gedung untuk sampai ke sana.

Kami melewati beberapa kamar sebelum akhirnya tiba di kafetaria yang sesaknya minta ampun. Anak-anak berlalu lalang tanpa henti, berdesakan di antrean, menyenggol satu sama lain karena tidak sabar, meneriakkan pesanan pada teman yang sedang memesan, dan masih banyak lagi kekacauan yang menumpuk tak keruan. Belum lagi bau keringat yang berseliweran bercampur aroma makanan menambah daftar "kekacauan" yang ada. Ya, tidak heran seperti itu. Ini, kan, waktunya makan siang.

Pada awalnya, kami ingin langsung melanjutkan perjalanan ke gedung siswa kelas dua, tetapi ternyata perutku minta diisi. Alhasil, dengan sangat terpaksa kami berhenti dan mencari tempat duduk untuk makan (aku bahkan harus adu argumen dengan seorang laki-laki tentang siapa yang dahulu tiba) agar tidak perlu meminta—atau merampok lebih tepatnya—camilan yang dimiliki si tuan rumah. Akan sangat merepotkan bila si pemilik rumah harus keluar dahulu untuk jajan, dan itu akan menyita waktu kami untuk menginterogasi—menanyai si kakak kelas.

"Kau yang memesan," kataku ketika Anastasia kalah suit untuk menentukan siapa yang maju ke medan perang. Sementara aku melindungi benteng dari serangan lawan.

"Cih." Anastasia hanya bisa cemberut karena ia akan segera baku hantam. "Pesananmu?"

"Roti isi nasi goreng ayam dan es teh lemon," jawabku cepat.

"Itu saja?" tanya Anastasia lagi, memastikan.

"Ya, kurasa."

"Okey, jangan sampai ada pesanan tambahan lagi." Setelah mengatakan itu, Anastasia langsung melenggang pergi. Aku yang baru terpikir untuk pesan makanan lagi langsung berteriak.

"Tambah puding cokelat satu, ya!" Si gadis yang baru setengah jalan langsung berhenti dan berbalik sambil memberikan tatapan tajam. Aku hanya bisa tersenyum polos melihat reaksinya.

Sambil menunggu pesanan datang, aku berusaha menajamkan telinga untuk mencuri dengar setiap percakapan yang sekiranya penting. Sudah kusebutkan, kan, kalau kantin atau secara umum tempat makan adalah sumber-sumber gosip teraktual?

"... Kau sudah kerjakan PR?"

"Belum."

Tidak penting.

"... Ganteng, kan? Kan? Kan?"

"Kyaaa, ganteng banget!!"

Sungguh tidak penting.

"Kau mau lanjut ke mana setelah lulus?"

"Universitas Cognitia ...."

Bukan urusanku.

"Kau sudah dengar rumornya?

"Apa?"

"Katanya pernah ada siswa yang terluka saat ujian."

"Hah?!"

Oh, menarik. Aku harus lebih menajamkan kuping agar tidak ada informasi yang terlewat.

Percakapan itu berasal dari dua orang siswa laki-laki yang lewat di belakangku. Mereka lantas mengambil tempat duduk yang tidak jauh sehingga aku masih bisa mendengar apa yang dibicarakan.

"... Katanya sistem keamanan tiba-tiba mati saat pertarungan berlangsung ...."

"Ih, seram ...!"

"Aku jadi khawatir bagaimana kita nantinya."

"Berdoa saja semua sistem berjalan dengan lancar."

Brugh!

"Hayo! Kau sedang apa?" Anastasia datang di saat yang tidak tepat sambil menggebrak meja sampai aku terkaget dibuatnya.

"Sssstt, aku sedang mengunduh informasi," bisikku sambil menempatkan jari telunjuk di depan bibir.

"Maksudmu menguping?" tebak Anastasia seraya memberikan pesananku. Aku menerimanya dan langsung makan dengan lahap tanpa menghiraukan pertanyaan gadis itu.

...

Kami mungkin sudah makan selama setengah jam diselingi obrolan tak bermutu dan canda tawa lelucon garing. Setelah menunggu lima menit tambahan agar makanannya dapat diproses sempurna, akhirnya kami melanjutkan perjalanan.

"Aku terkena food coma[4]," kataku sambil berjalan gontai. Rasa kantuk yang mendera membuatku menguap berkali-kali. Belum lagi rasa lelah yang tiba-tiba datang. Aku jadi ingin langsung berbaring saat menemukan kasur.

"Makanya jangan makan terlalu banyak. Merasa perutmu dari karet apa? Jangan sampai kau tidur di sana saat kita sampai, memalukan ...." Bla-bla-bla-bla. Anastasia mengoceh tanpa henti selama perjalanan kami.

Gedung asrama kelas dua tidak berbeda jauh dengan gedung kami, hanya cat temboknya saja yang menjadi ciri khas. Jika gedung dalam kami berwarna merah, gedung ini berwarna biru tua. Tidak banyak yang bisa diceritakan dari isi gedung ini selain banyak anak kelas dua—tentu saja—yang hilir mudik, musik dari salah satu kamar yang terdengar sampai ke luar, suara tawa yang menggelegar, dan lain sebagainya. Ya, seperti kataku, tidak berbeda jauh dari gedung kami.

Setelah kami di depan pintu kamar nomor tujuh puluh, Anastasia mengetuk pintu. Ketukannya berbeda sekali saat ia melakukan itu pada kamarku. Alih-alih menggebrak, gadis itu mengetuk dengan halus dan sopan. Sesaat kemudian, seorang gadis muncul dari balik pintu geser.

"Taci!!" teriaknya sambil memeluk Anastasia sebelum menyuruh kami masuk.

Shanya, nama si kakak kelas, penyuka boyband dan maniak algoritma. Hal itu dapat kalian lihat dari isi kamarnya yang kontras terbagi dua. Sisi kanan penuh dengan poster anggota boyband ganteng tempat fangirling, sementara sisi lainnya penuh dengan coretan bilangan biner dan kode-kode yang tidak kumengerti, tempat di mana ia harus serius. Ceria, hiperaktif, dan ramah adalah karakter yang dapat kulihat sekilas dari dirinya.

"Kalian sudah makan?" tanya Kak Shanya seraya mengambil sesuatu dari kulkas mini di sebelah meja belajar di area serius.

"Ya, sudah. Kau tidak perlu repot-repot, Kak," jawab Anastasia.

"Tidak apa, tidak apa. Aku punya kue keju. Ukurannya terlalu besar untuk kumakan sendiri. Sayang juga, kan, kalau terbuang karena sudah basi," timpal si pemilik kamar. Ia membawa tiga piring kecil kue keju stroberi. Aku menerimanya dengan senang hati, sementara Anastasia merasa merepotkan. Rencana makan siang sebelum ke sini agar tidak merampok camilan jadi sia-sia.

Kak Shanya duduk lesehan di area fangirling sambil bersandar ke sisi kasur. "Aku senang sekali kau akhirnya berkunjung," katanya sambil menyuap krim putih sampai mulutnya berlepotan.

"Ha ha, iya." Anastasia tertawa garing. "Kenalkan, Kak, ini Chloe—"

Belum sempat aku menyapa, Kak Shanya sudah memotong. "Oh! Jadi ini yang namanya Chloe! Taci senang sekali membicarakanmu saat kumpul klub!" Aku melihat Anastasia dengan sinis. "Dia sering membicarakan kekonyolanmu—"

"Kak!" potong Anastasia. "Kami ke sini ingin bertanya sesuatu."

"Oh, ya? Apa itu?" Kak Shanya memasukkan satu buah stroberi ke mulutnya.

"Ini tentang UAS yang akan datang—"

"Uhuk!" Si pemilik kamar tersedak. Anastasia buru-buru mengambilkan minum dari dispenser di dekat kulkas mini. Sementara aku menikmati kue yang sudah hampir habis.

"Kau tidak apa-apa, Kak?" Aku bertanya seolah peduli.

"Kalian bertanya pada orang yang salah!" sembur Kak Shanya setelah selesai minum. Aku dan Anastasia saling tatap, bingung.

"Kenapa?" tanya Anastasia, sama penasarannya denganku.

"Itu adalah masa-masa terkelam dalam hidupku ...." Lawan bicara kami mulai menunduk seperti memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak dibahas. Kontras dengan tindakannya yang memasukkan satu potong kue ke mulut sampai pipinya menggembung.

"Kak, jangan mulai mendramatisi sesuatu, deh," pinta Anastasia.

"Cih."

Kak Shanya mulai bercerita. Katanya, UAS adalah saat-saat di mana para siswa memperlihatkan hasil belajar mereka selama satu semester—ini masih sama seperti kebanyakan sekolah—hanya saja yang membedakan, mereka harus menggunakan strategi untuk bertahan kalau tidak mau mendapat nilai yang buruk. Bertahan di sini adalah maksudnya mendapatkan nilai sebanyak-banyaknya sampai hanya tersisa satu orang yang tersisa. Siapa yang dapat berdiri sampai akhir, dia yang jadi juara pertama. Semacam permainan bertahan hidup.

Si kakak kelas bilang kalau ia jadi orang kesepuluh yang terlebih dahulu keluar dari arena dari seratus orang. Hal itu menjadikannya peringkat 91 dari 100—pada semester satu. Ia juga bilang kalau sisa pertarungan yang ada menjadi tontonan yang menghibur bagi para guru—selain menjadi bahan evaluasi, tentu saja.

"..., dan itulah alasan kenapa aku masuk ke klub pemrograman, agar aku bisa masuk ke jaringan sekolah dan meretas soal-soal yang sulit! Ahahahahaha!" tawa Kak Shanya seperti penjahat super yang telah menyusun rencana sempurna.

"Jangan dengarkan. Otaknya hilang seratus gram saat dilahirkan," bisik Anastasia. Kak Shanya masih tertawa sampai tersedak.

Aku heran bagaimana Anastasia bisa berteman dengan orang ini.

"Jadi Kakak tidak bisa membantu kami?" tanyaku memberanikan diri.

"Tidak, Sayang. Aku saja kewalahan saat itu. Rasanya seperti mau mati."

"Itu dulu, kan? Bagaimana dengan sekarang? Keahlianmu dalam pemrograman pasti sudah tingkat lanjut, pastinya?

"Taci, jangan nakal. Kita tahu keahlian kita harus digunakan pada hal yang berguna—"

"Perkataan itu tidak mencerminkan alasan Kakak masuk ke klub, tahu?"

"Aah, sudah, sudah. Lebih baik kalian cari saja di internet dengan benar daripada merusak jaringan lalu dikeluarkan."

Pada akhirnya, kami tidak mendapat apa-apa selain kue keju dengan buah stroberi dan sebuah cerita singkat. Setelah menghabiskan jatah kue untuk yang kedua, kami berniat pamit untuk pulang, tetapi Kak Shanya malah merengek.

"Eeeh, ayo kita main dulu! Kalian jarang-jarang ke sini, kan? Ayo, temani aku main sekali saja," pintanya sambil menahan kaki kanan Anastasia yang ingin pergi.

"Kak, kumohon. Kami masih ada urusan," jawab gadis itu sambil berusaha melepaskan tangan kakak kelasnya.

Setelah perjuangan panjang, kami akhirnya bisa pergi dengan si kakak kelas terkapar karena kembali bosan.

"Kau jahat sekali," kataku sambil tertawa.

"Sesekali orang itu memang harus dibegitukan," sahut Anastasia sambil memijat pelipisnya, mungkin tak habis pikir dengan kelakuan kakak kelasnya sendiri.

"Ada saran lain kita harus cari informasi di mana?" tanyaku setelah jeda beberapa saat.

"Perpustakaan ... bagaimana?"

"Hm, boleh juga."

...

"Silakan mengisi daftar kunjungan Anda." Seorang Humanoid AI penjaga perpustakaan menyapa kami. Dari balik meja kerjanya, ia memberikan senyuman teramah yang bisa diberikan berdasarkan program yang telah dipasang.

Perpustakaan tampak tak biasa hari ini. Padahal sekarang hari Sabtu, tetapi banyak anak-anak yang hampir memenuhi ruangan.

"Ada yang aneh," ungkapku.

"Dan kau baru menyadarinya?" Anastasia menyahut.

"Ya. Tidak biasanya Rama belajar sendirian sampai otaknya mengepul." Aku menunjuk seseorang yang sedang duduk di dekat jendela. Dagunya menempel ke meja dan dia terlihat sangat bosan.

"Oh, aku salah terka."

Kami menghampiri lelaki yang terlihat lelah belajar itu. Rama mendongak dan memperlihatkan ekspresi seperti ingin menangis.

"Chloe ...," katanya mengenaskan.

"Ada apa dengan laki-laki penuh semangat yang pernah kulihat?" sindirku melihat penampilannya yang kacau. Ironis sekali dengan lelaki sama yang pernah kutemui pertama kali.

"Aku sudah tidak tahan lagi ...." Rama menggeleng. Kepalanya seperti mau copot.

"Kau kenapa, sih?" Anastasia ikut bertanya. Nadanya terdengar khawatir.

"Aku disuruh mengerjakan latihan soal yang sama sekali tidak kumengerti."

"Itu saja?" tanyaku penasaran kenapa hal itu bisa membuatnya sestres ini.

"Aku tidak boleh pulang sebelum berhasil mengerjakan semuanya."

"Kasihan sekali." Aku berusaha bersimpati.

"Siapa yang suruh?" gadis di sampingku bertanya lagi.

"Kakak kelasku di klub."

"Kenapa kau mau-maunya? Pulang saja kalau kau sudah lelah," saranku yang tidak tahan melihatnya tersiksa.

"Mereka meretas kunci kamarku! Aku jadi tidak bisa masuk. Chloe ... Anastasia ... bantu aku ...." Rama merengek lagi.

"Mereka jahat sekali, astaga." Anastasia menutup wajahnya. Mungkin berpikir kenapa bisa ada orang yang seperti itu.

Aku merasa iba sebenarnya, tetapi tidak yakin bisa membantu.

"A ... aku ... aku akan lakukan apa pun! Asal kalian bersedia membantuku."

Aku melihat Anastasia dengan senyuman penuh arti.

"Apa pun yang kau pikirkan, singkirkan itu jauh-jauh!" kata gadis itu sambil menggetok kepalaku.

"Apa? Aku tidak memikirkan apa-apa!" kataku. Semua rencana jahat yang baru kupikirkan lenyap begitu saja ketika gadis itu memukul.

Rama merengek kembali. "Kumohon ... aku ingin tidur ...."

Setelah perdebatan panjang dengan bisik-bisik, kami akhirnya setuju untuk membantu Rama dengan imbalan yang sepadan, tentu saja. Harta! Tahta! Data! Kuota—

Oke, aku bercanda. Namun, kami tetap setuju dengan bagian "melakukan apa pun". Sebagian memang aku yang memikirkan apa yang akan terjadi pada anak itu, tetapi Anastasia juga menyetujui. Menjadi budak dari dua gadis yang berpikiran "kriminal". Siapa yang tahu?

Ehe ... he he ... he he he ... he he ....

-oOo-

A/N

[4] Food coma: Sebuah keadaan di mana rasa kantuk dan lelah muncul setelah makan, biasanya karena makanan banyak mengandung karbohidrat tinggi.

...

Mungkin mulai saat ini dan seterusnya bakal pendek-pendek nulisnya, mungkin.

Semoga menghibur!

Diterbitkan: 17-1-2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro