Bab 5 : Kantin Bukan Hanya Tempat Makanan, Tetapi Juga Penggosip

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku tidak pernah berharap memiliki musuh. Namun, tentu saja tidak semua harapan bisa jadi nyata. Aku harus menerima kenyataan kalau hari-hari pertamaku di sekolah ternyata diwarnai dengan perasaan benci seseorang. Tidak perlu mengasihaniku.

Pukul enam pagi saat aku mengecek pesan di komputer hologramku—sebuah perangkat berupa komputer hanya saja keyboard dan monitornya terbuat dari hologram dan bisa diatur tingkat kejenuhannya—sebuah pesan singkat muncul dan membuatku terjatuh dari kursi. Pesan itu berisi gambar bergerak berupa wajah hantu wanita yang bisa keluar dari monitor—terima kasih teknologi—disertai kalimat ancaman.

Pesan itu menegaskan bahwa aku adalah orang yang suka cari perhatian dan harus menjauhi Ardian. Memang siapa juga Ardian itu. Dan bagaimana pula mereka mengetahui alamat surelku. Dasar penguntit.

Saat di kelas, aku bertanya pada Anastasia tentang nama yang harus kujauhi itu. "Kau benar-benar tidak tahu siapa dia?" tanya gadis itu heran.

"Kenapa juga aku harus tahu?" tanyaku balik.

"Astaga, Chloe. Dia itu orang yang menyelamatkanmu saat tenggelam. Dasar tidak tahu berterima kasih."

"Hey, jangan menghakimiku. Aku sedang 'trauma' saat itu. Jadi, aku tidak terpikirkan untuk bertanya macam-macam."

"Ya, tentu saja. Kenapa memangnya?"

"Ada yang mengancamku," kataku sambil berbisik.

"Benarkah? Waw, mereka sudah mulai bergerak ternyata."

"Apa maksudmu? Siapa 'mereka'?"

"Orang yang merisakmu tentu saja. Mereka tidak puas dengan hanya menghinamu tetapi juga mulai mengancam."

"Sepertinya itu dua hal berbeda." Keningku berkerut saat berpikir. Menerka-nerka hal apa yang bisa jadi penyebab aku harus menjauhi orang bernama Ardian itu.

"Sudah, jangan dipikirkan. Kalau ada yang mengancammu laporkan saja pada guru. Kau punya buktinya, kan?"

"Iya, ada." Aku mencoba melihat kembali pesan yang dikirim tadi, tetapi saat aku mencarinya, pesan itu sudah hilang.

"Sepertinya mereka menggunakan fasilitas pesan waktu yang berdurasi satu jam setelah dibaca. Kalau aku jadi mereka, aku juga pasti akan melakukan itu agar tidak ada bukti yang bisa membahayakanku." Aku hanya bisa menghela napas berat mendengar komentar Anastasia.

"Kau punya ide?"

"Sejujurnya? Tidak. Tetapi mungkin aku tahu kenapa alasan mereka menyuruhmu menjauhi Kak Ardian."

"Apa itu?" tanyaku penasaran.

"Mungkin karena kau pernah diselamatkan olehnya."

"Hanya itu?" Anastasia mengangguk. Aku kesal sendiri mendengar alasan remeh mereka.

"Aku bilangnya 'mungkin', loh. Jadi, masih ada alasan-alasan lain."

Aku menghela napas panjang. "Ya, sudahlah."

Akan tetapi, kata-kata itu tidak seperti maknanya.

Bel berbunyi menandakan istirahat jam pertama. Para murid langsung berhamburan meninggalkan kelas. Aku mengajak Anastasia ke kantin dan langsung dihadiahi gelengan.

"Aku malas. Lagi pula aku masih ada sesuatu yang harus kukerjakan. Bisa kau belikan sesuatu untukku?"

Aku mengerling. "Mana uangnya?" pintaku sambil menjulurkan tangan. Anastasia mengeluarkan geniusphone-nya dan langsung memintaku untuk mengeluarkan gawaiku juga. Perangkat kami saling didekatkan untuk memulai proses. Setelah beberapa saat akhirnya transfer itu selesai. Untuk diketahui, di sini—tidak hanya di sekolah, tetapi di berbagai tempat—kami lebih sering menggunakan uang digital dibanding uang fisik. Alasannya adalah praktis digunakan dan tidak memerlukan dompet yang tebal karena terlalu banyak uang.

Setelah aku menerima pesanan dari Anastasia, aku langsung bergegas ke kantin yang berada di antara gedung belajar dan gedung ujian. Kelasku berada di paling ujung sehingga aku harus melewati beberapa kelas sebelum akhirnya berada di kantin. Di perjalanan, beberapa pasang mata terasa melihat ke arahku dengan berbagai macam tatapan. Delikan, tatapan sinis, mata yang memicing. Aku tidak memedulikan itu semua. Tujuanku ke sini bukan untuk mencari musuh melainkan untuk mencari makan.

Sepertinya seelite apa pun sekolah, kantin selalu menjadi tempat yang sesak saat istirahat. Aku harus menghindari tabrakan dan senggolan yang disengaja ataupun tidak. Barbar sekali mereka. Entah karena masih kelas satu atau memang begitulah sifat-sifat mereka.

"Chloe!" teriak seseorang. Suaranya seperti laki-laki yang aku kenal. Aku mengedarkan pandang untuk mencari asal suara itu, tetapi aku tidak bisa menemukannya di mana pun.

"Di sini!" teriak suara itu lagi. Aku melihat seorang lelaki melambai-lambai di bangku panjang dekat dinding.

Sial. Itu Kak Ardian. Dikelilingi oleh gadis-gadis yang berdandan menor; bedak setebal aspal, bibir semerah darah dan bulu mata sepanjang ekor merak. Penampilan mereka bahkan lebih dari Clowny. Okey, semua itu berlebihan, tetapi kurasa tepat di bagian menornya. Hal yang lebih penting adalah untuk apa dia memanggilku?

"Ayo, sini, Chloe!" panggilnya dengan senyum lebar sambil masih menggerakkan tangannya seperti patung kucing pemanggil pelanggan. Untuk menghindari tatapan orang-orang sekitar, akhirnya aku mendatangi laki-laki tersebut.

Ada tiga orang gadis yang duduk di hadapan Kak Ardian dan semua raut wajah mereka menunjukkan ketidaksukaan. Dapat kuasumsikan kalau laki-laki itu cukup populer. Buktinya dia dikelilingi gadis-gadis yang sangat mengaguminya—kurasa. Mungkin karena dia cukup tampan—kadar ketampanannya tidak berbeda jauh dengan Arennga yang baru kusadari ada di sebelah kirinya—dan termasuk ke dalam anggota klub renang yang ... kalian tahulah.

"Ada apa, Kak?" tanyaku gugup.

"Aku cuma ingin tahu keadaanmu," timpalnya dengan senyum lebar sampai matanya menyipit.

"Aku baik-baik saja," jawabku sambil melihat masing-masing raut wajah mereka.

"Kau mau bergabung dengan kami?" tawar Kak Ardian antusias. Berbeda dengan lelaki itu, Arennga tampak dingin saat menatapku dengan mata hitamnya yang kelam. Dia tidak berkomentar apa-apa karena mulutnya sedang penuh dengan burger. Sementara teman di sebelah kanan Kak Ardian malah tersenyum menggoda ke arahku, sedangkan tiga gadis di depan seolah menguarkan aura permusuhan yang sangat terasa.

"Ma-maaf, Kak. Aku tidak bisa."

"Kenapa?" Apa dia tidak peka atau bagaimana? Sudah jelas-jelas para gadis di seberangnya itu sangat tidak suka dengan keberadaanku.

"Te-temanku sudah menunggu." Aku tidak berbohong hanya untuk menghindari tawarannya. Anastasia memang sedang menunggu makanannya datang.

"Kau yakin? Temanmu mungkin bisa menunggu sebentar lagi." Tatapan menusuk mulai terasa menyayat kulitku terlebih dari gadis yang berada di tengah. Sialnya, baru kusadari kalau ia adalah gadis yang pernah terkena lemparan bola dariku. Sepertinya ia masih dendam.

"Aku yakin." Aku mengangguk mantap. "Temanku akan sangat kelaparan kalau aku tidak segera ke sana."

"Kau ini pembantu atau apa?" sahut si-gadis-yang-tidak-sengaja-kulempar-bola. Baiklah, itu menggelikan. Aku memang tahu namanya, tetapi aku terlalu tidak suka dengan nada bicaranya itu.

"Apa itu salah, Brigita? Setidaknya aku berniat membantu seorang teman," timpalku dengan nada meninggi.

"Ya, setidaknya itu membuatmu lebih berguna," sahut gadis itu dengan senyum mengejek.

"Apa kau—" Belum sempat aku membalas perkataan gadis itu, seseorang sudah memotongnya.

"Sudah, sudah. Jangan bertengkar." Kak Ardian tiba-tiba mengangkat kedua tangannya mencoba menengahi kami. Aku dan Brigita langsung diam, tetapi tidak dengan tatapan mata kami.

Aku mendengus sebal. "Aku benar-benar menyesal tidak bisa bergabung denganmu, Kak." Itu bohong. Aku sangat ingin pergi dari sini sekarang.

"Baiklah kalau begitu. Hati-hati, ya." Kak Ardian melambai sambil tersenyum seiring aku menjauhinya. Tatapan orang-orang yang bersama Kak Ardian masih sama dan tidak berubah sedikit pun. Untunglah tidak ada hal heboh yang terjadi.

"Ini pesananmu," kataku sambil menyimpan beberapa makanan pesanan Anastasia.

"Lama sekali," timpal gadis itu dengan nada bertanya.

"Tadi aku bertemu dengan Kak Ardian."

"Wow, kau nekat," komentar gadis itu sambil masih mengetik sesuatu di portable holo-comp-nya. "Ada hal menarik yang terjadi?"

"Sayangnya tidak ada. Kau masih ingat Brigita?"

"Ya, tentu saja. Aku tidak akan lupa saat kau melemparkan bola itu." Anastasia berhenti mengetik sebentar kemudian tertawa.

"Aku sedikit cek-cok dengannya tadi, tetapi Kak Ardian menghentikan kami sebelum berkelahi dan masuk berita sekolah."

"Nah, berhati-hatilah, Chloe. Orang-orang seperti Brigita-lah yang sering menjadi sosok pengganggu di cerita-cerita berlatar sekolah." Anastasia kembali menekuri gawainya dengan serius.

"Ya, kau benar." Aku memperhatikan temanku itu dengan gemas. "Kau sebenarnya sedang apa?"

"Aku sedang belajar pemrograman." Aku hanya bisa mengatakan "Oh" sambil mengangguk-angguk tidak paham.

Bel masuk berbunyi membuat semua murid berlari masuk dan langsung duduk dengan rapi di tempat masing-masing. Ada alasan kenapa semuanya refleks seperti itu, bahkan untuk laki-laki yang memiliki sifat dingin sekalipun. Ya, aku sedang membicarakan Arennga, entah kenapa tatapan dinginnya itu memiliki arti lain.

Guru yang masuk adalah guru Matematika yang terkenal tegas dan tidak segan memberi hukuman berat kalau pelanggarannya memang pantas untuk dihukum seperti itu. Guru itu juga terkenal dengan disiplin waktunya. Aku pernah dengar kalau kakak kelas ada yang dihukum untuk lari keliling lapangan sebanyak lima putaran di lapangan tengah itu—lapangan yang menjadi salah satu alasan aku kurang suka salah satu kakak kelas yang ada di klub memanah—saat pulang sekolah, hanya karena telat satu menit. Ingat, kan, seberapa besar lapangan yang pernah kujelaskan itu?

Bu Mera—guru yang kumaksud—datang dan membuat ruangan menjadi hening, hanya terdengar suara sepatunya yang berkeletak. Wanita ramping itu mengenakan kemeja putih lengan panjang yang dilapis rompi warna kelabu dan celana berwarna hitam. Wajahnya yang kalem berkacamata seolah tidak mencerminkan rumor yang beredar tentangnya. Berbicara tentang rumor, aku juga pernah dengar kalau guru-guru di sini semua memakai kacamata. Bukan untuk gaya atau karena mata mereka bermasalah semua, tetapi karena benda itu memiliki fungsi khusus. Mungkin seperti kacamata mata-mata? Entahlah.

Mungkin kau bertanya-tanya, bagaimana aku mendapat semua informasi itu? Tidak? Akan tetap kuberitahu. Begini ... tentu saja dari kantin! Semua gosip beredar di seluruh kantin. Di sana tidak hanya tempat mulut mengunyah, tetapi juga untuk mengeluarkan sumpah serapah. Baik untuk guru—dengan suara kecil agar tidak terdengar kamera pengawas (Iya, kameranya punya telinga!)—maupun sesama teman. Dan bila kau menajamkan kuping sedikit, kau akan mendengar informasi yang sangat penting.

Ok, lupakan yang barusan. Itu tidak penting. Jangan hiraukan bagian itu.

Guru Matematika itu duduk di depan dan menaruh sebuah gawai. Pandangan matanya memindai ke seluruh kelas. Entah kenapa suasananya begitu mencekam. Padahal pelajaran belum dimulai tetapi atmosfernya sudah seperti ini. Aku tebak Bu Mera adalah manusia berkekuatan super yang dapat memanipulasi pikiran lawan bicaranya (Aku serius saat mengatakannya. Di sini memang ada manusia-manusia seperti itu—oh, perhatikan, ada unsur fantasi di dalamnya).

"Siapkan PHC kalian. Kita akan mengadakan pre-test," kata Bu Mera datar. Sudah kuduga. Hal yang selalu dilakukan setiap guru ketika akan mengajar dan pasti akan disusul dengan post-test di akhir jam pelajaran.

Aku belum menjelaskan satu hal yang mungkin agak penting. PHC atau Portable Holograpic Computer—benda sama yang digunakan Anastasia di jam istirahat tadi—adalah gawai berbentuk kotak yang berfungsi seperti komputer biasa—di zaman dahulu (hei, ini berlatar masa depan, ingat?)—hanya saja bentuknya lebih mungil. Benda yang dibawa Bu Mera juga merupakan PHC.

Bu Mera mengetikkan sesuatu di layar PHC-nya. Sesaat kemudian, di layar milikku terpampang hitungan mundur dari angka sepuluh. Pre-test akan segera dimulai. Aku harap ini semua akan berjalan lancar.

Di akhir jam pelajaran, Bu Mera mengingatkan sesuatu yang sangat penting. "Ingat, anak-anak. Belajarlah yang rajin. Jangan lupa kalau setiap hari Jumat kalian ada ujian mingguan." Setelah mengatakan hal itu, guru Matematika tersebut langsung pergi dan meninggalkan kelas yang kembali ribut sebagaimana mestinya.

Aku berteriak histeris saat memeriksa ponsel. Untungnya saat itu jam sekolah sudah berakhir sehingga tidak ada orang yang terkaget karena suaraku. "Anastasia! Orang misterius itu mengirimiku pesan ancaman lagi," kataku sambil memperlihatkan isi pesan itu.

"Bukankah sudah kubilang untuk menjauhi Ardian?! Sekarang kau akan menerima akibatnya!" sitir gadis itu dengan nada datar. "Sebaiknya kau simpan pesan ini. Bisa dijadikan bahan bukti kalau dibutuhkan."

"Apa kau bisa melacak pengirimnya?"

"Pesan itu dikirim anonim. Sayangnya kemampuanku belum bisa sampai tahap melacak alamat IP," jawab Anastasia sambil membereskan barang-barangnya.

Aku mendesah kecewa. "Sayang sekali. Kau langsung pulang?"

"Tidak. Aku ada pertemuan klub. Memangnya kau tidak ikut klub?"

"Aku belum mau ikut," timpalku. "Sepertinya aku akan pulang sendiri hari ini."

"Oke. Berhati-hatilah."

Langkah kakiku di lorong terhenti ketika seseorang berdiri menghalangi jalan. Aku yang sedang menatap sepatu sendiri lantas mendongak. "Apa yang kau inginkan, Brigita?"

Gadis berambut pirang itu tersenyum kaku. "Halo, Chloe. Kuharap aku tidak mengganggumu. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan."

-oOo-

Letupan kecil mulai terasa, semoga nggak garing, ya.

Semoga menghibur.

Diterbitkan: 28-10-2019

Oh! Selamat Hari Sumpah Pemuda! Kobarkan semangatmu, Pemuda/i. Jadikan Indonesia lebih baik dari hari ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro