2-6 | Awake

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dylan Grayson membuka kedua netranya perlahan dan melihat langit-langit berwarna putih bersih. Pemuda beriris cokelat itu mengerjap untuk menyesuaikan diri dengan pencahayaan sekitar. Tubuhnya terasa sangat berat. Dengan susah payah, ia berusaha duduk tegak.

Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati ruangan kecil serba putih nan steril, tempat di mana ia baru saja siuman. Pemuda itu duduk di ranjang yang tidak terlalu empuk, di sisi ruangan terdapat banyak peralatan medis dan mesin-mesin yang saat ini dalam keadaan tidak menyala. Bau obat-obatan menusuk indra penciumannya.

Dylan turun dari ranjang sambil meringis, masih merasakan pusing akibat pukulan yang diterimanya sebelum dirinya kehilangan kesadaran. Ia berjalan menuju pintu otomatis berbahan kaca tebal berbentuk segienam dengan kosen berlapis besi. Di sana, terdapat stiker yang bertuliskan 'RESTRICTED AREA' dengan lambang radioaktif. Dylan melekatkan kedua tangannya di permukaan kaca, mengamati keadaan lorong sepi di luar ruangan.

"Hello?" Pemuda itu berteriak sambil menggedor-gedor pintu kaca. "Anyone? Chloe?"

Dylan menggedor pintu semakin kuat, hingga tiga orang dengan hazmat berlari kecil memasuki ruang isolasi. Pemuda berambut cokelat itu berjalan mundur ketika pintu terbuka secara otomatis.

"Where's Chloe? Who the hell are you?" hardiknya.

"Dont worry, she's safe," jawab seseorang yang berada di posisi paling depan. Di balik pakaian pelindung, Dylan dapat melihat rupa seorang wanita cantik berkulit eksotis berpipi sedikit tembam dengan rambut ikal berwarna cokelat. "I'm dr. Bianca Valentine. Kau aman bersama kami."

"Di mana aku?" tanya Dylan yang pada akhirnya menurunkan nada bicaranya.

"Kau berada di ruang isolasi perbatasan zona kuning," jawab dr. Valentine.

"Isolasi? Mengapa aku di bawa ke sini?" tanyanya.

"Karena kami harus memastikan kau aman terlebih dahulu," jawab wanita itu. "Apa kau merasakan mual dan pusing?"

Dylan mengusap kepala belakangnya. "Sedikit pusing karena seseorang membentur kepalaku beberapa saat lalu, tetapi tidak dengan mual-mual."

dr. Valentine mengulurkan telapak tangannya pada Dylan. "Maaf, boleh kulihat kondisi kulit tanganmu?"

Pemuda berambut cokelat itu mengernyit, tetapi ia menurut saja pada akhirnya. Dylan mengulurkan lengannya pada dokter di hadapannya. Wanita itu mengamati kulit remaja laki-laki di hadapannya, semuanya terlihat normal dan sehat.

"Tidak ada tanda-tanda kulit melepuh atau terkelupas." dr. Valentine mendongak ke arah Dylan. "Berapa lama kau berkendara di luar tanpa pakaian pelindung?"

"Sebelum aku menjawab, bisakah kau jelaskan apa yang sebenarnya terjadi di sini? Di mana semua orang?" Dylan balik bertanya.

Wanita berambut ikal itu bergeming sesaat, kemudian menoleh ke arah dua perawat berpakaian hazmat lainnya. "Tinggalkan kami berdua."

Dua perawat itu menurut. Mereka berbalik badan dan berjalan menuju pintu otomatis, kemudian menghilang di persimpangan koridor. Dokter itu menarik kursi besi di sudut ruangan, kemudian mendaratkan bokongnya di sana. Ia tersenyum dan mengulurkan telapak tangannya ke arah ranjang, mengisyaratkan Dylan untuk duduk di sana.

"Have a seat," ujar wanita itu.

Pada akhirnya, Dylan berhenti bersikap defensif. Pemuda itu naik ke atas ranjang dan duduk di tepiannya.

"Apa yang ingin kau ketahui?" tanya dr. Valentine.

"Everything," jawab Dylan. "Apa perang nuklir itu benar-benar terjadi? Kapan?"

Sang dokter mengernyit, merasa sedikit aneh mengapa pemuda di hadapannya menanyakan pertanyaan semacam ini. "Perang nuklir itu sudah terjadi dua tahun yang lalu."

"Tahun berapa ini?"

"2024," jawab wanita berambut ikal itu, membuat Dylan terkejut setengah mati. 

"2024 katamu?" tanya pemuda itu untuk memastikan.

"Yeah." dr. Valentine mengangguk, sedikit bingung mengapa pemuda di hadapannya tidak tahu mengenai peristiwa itu.

Mendengarnya, Dylan bergeming sesaat. Rupanya, ia dan Chloe sudah menetap di dunia portal selama kurang lebih empat tahun. "Ke mana perginya semua orang?" tanyanya lagi.

"Masyarakat yang berada di zona kuning mengungsi ke tempat yang aman. Beberapa dari mereka mengungsi ke negara bagian lain yang berstatus zona hijau, sebagian lainnya mengungsi ke beberapa tempat yang disediakan pemerintah." dr. Valentine berbicara panjang lebar. "Sekarang, boleh sebutkan nama dan umurmu?"

"Dylan. Jika sekarang tahun 2024 ... umurku dua puluh dua tahun."

"Bagus, kau mengingatnya," ujar wanita itu. "Oke, Dylan, apa yang terjadi denganmu selama perang nuklir terjadi? Mengapa kau berkeliaran di jalanan tanpa hazmat? Di mana pengungsi selain dirimu menetap?"

Dylan bergeming. Pemuda itu bisa saja berkata sejujurnya, tetapi ia tidak mau kehadiran dunia portal dan kekuatannya diketahui publik. Maka, dirinya harus memutar otak untuk mengalihkan pertanyaan dokter di hadapannya, berharap Chloe juga menutupi rahasia mereka dari semua orang yang ada di sini.

Melihat tidak adanya respons, dr. Valentine menunduk sambil mengembuskan napas berat. "Dengar, Dylan. Keadaan di luar sangat kacau. Terpapar radiasi dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan penyakit serius, bahkan kematian. Semua orang yang masih hidup menjauh dari zona kuning dan merah." Wanita itu menjeda kalimatnya. "Lalu kemarin malam, kami dikejutkan oleh penemuan dua remaja yang berkeliaran tanpa pakaian pelindung di perbatasan zona kuning. Bisa bayangkan betapa syoknya kami?"

"Jadi, aku berkemungkinan terpapar radiasi?" tanya Dylan.

"Kau pasti terpapar, tetapi kami tidak tahu apakah sudah melebihi dosis maksimal atau belum." Wanita itu tersenyum tipis. "Kami perlu membuang pakaian yang kau kenakan sekarang untuk menghindari penyebaran partikel radioaktif. Tubuhmu harus disterilisasi. Kami juga perlu memeriksa keadaan fisikmu sebelum memindahkanmu ke tempat yang aman. Kami sudah melakukan hal yang sama pada remaja perempuan yang datang bersamamu."

"How is she? Is she alright? Apa radiasi di tubuhnya sudah melampaui dosis maksimal?" tanya Dylan bertubi-tubi, merasa khawatir pada Chloe.

"Kami sedang memproses hasilnya." 

"Apa lagi yang kau tunggu, Dok?" tanya Dylan. "Aku tidak akan melawan lagi, aku akan mengikuti seluruh prosedur pemeriksaan."

dr. Valentine tersenyum tipis dan mengangguk. "Beristirahatlah terlebih dahulu, aku tahu kau masih terlalu lelah untuk beraktivitas. Satu jam lagi, kau akan disterilisasi dan diperiksa," ucap wanita berkulit eksotis itu sebelum beranjak dan berjalan menuju pintu otomatis.

"Dok?" panggil Dylan.

Wanita itu menghentikan langkahnya, kemudian berbalik badan. "Yes?"

"I'm looking for my mother," ucap Dylan. "Bisakah kau membantuku mencari keberadaannya?"

dr. Valentine tersenyum dan mengangguk. "Sure. Setelah pemeriksaan selesai, kami akan mengantarmu ke bagian pencatatan sipil."

*****

Setelah berisitirahat dan memulihkan tenaganya, Dylan menjalani prosedur kesehatan yang telah ditetapkan. Pemuda itu membuang seluruh pakaian yang dikenakannya, kemudian menggantinya dengan yang baru. Setelah tubuhnya steril, Dylan kembali ke ruang isolasi untuk menunggu hasil pemeriksaan.

Dirinya kini berbaring di ranjang, menggunakan kedua tangannya sebagai bantal. Pikirannya melayang, pandangannya lurus ke langit-langit ruangan berwarna putih bersih, otaknya dipenuhi oleh Nancy dan Chloe, dua wanita yang paling ia khawatirkan keselamatannya.

Lamunannya buyar ketika pintu otomatis terbuka. Dengan refleks, pemuda berambut cokelat itu menegakkan tubuh, menyambut kehadiran dr. Valentine yang berjalan masuk ke ruang isolasi, lengkap dengan berkas di tangannya. Kini, wanita itu tidak lagi mengenakan hazmat.

"Apa hasilnya sudah keluar?" tanya Dylan.

"Yes." Wanita berambut ikal panjang itu duduk di bangku besi sebelah ranjang. "Maaf menunggu lama. Aku sedikit merasa aneh dengan hasilnya. Namun, setelah dicek kembali, hasilnya sudah benar."

"Well, apakah itu buruk?"

"Tidak sama sekali." dr. Valentine membolak balik berkas di tangannya. "Benturan yang kau terima tidak mengakibatkan sesuatu yang serius. Aku sempat menduga kau kehilangan sebagian ingatanmu pada awalnya."

"Thank God." Dylan bernapas lega.

"Sebelum kau dibawa ke sini, salah satu tentara kami telah mengecek seberapa banyak partikel radioaktif yang tubuhmu serap dengan dosimeter. Lalu beberapa jam yang lalu, kami kembali memeriksanya, dan hasilnya ...." Wanita itu mendongak, menatap iris cokelat pemuda di hadapannya. "Level radiasi di dalam tubuhmu berkurang drastis, bahkan jauh dari batas dosis maksimal."

Dylan mengernyit. "Itu artinya ... aku aman dan sehat?"

"Ya, partikel radioaktif itu tidak mengionisasi atom-atom di tubuhmu. Itu artinya, kau tidak akan mengalami hal-hal serius seperti luka bakar, muntah darah, atau mutasi genetik dan kanker di masa depan," terang dokter berkulit eksotis itu.

"Wow. Seburuk itu?" Dylan mendadak sedikit mual, ia mengerutkan hidung dan menyentuh perutnya sebagai respons. Dirinya tidak dapat membayangkan jika hal-hal buruk itu terjadi padanya.

 "Ya, tapi untuk berjaga-jaga, aku akan memberimu pil yodium," ucap dr. Valentine.

"Bagaimana dengan Chloe?" tanya Dylan.

"Dia sama sehatnya seperti kau." Sang dokter menggeleng tak percaya. "Benar-benar mengejutkan."

Dylan mengernyit. "Apa maksudmu?"

"Dengar." Wanita itu mendesah pelan, lalu mengubah posisi duduknya dengan sedikit merunduk. "Dalam ilmu kedokteran dan fisika, ini hal yang mustahil terjadi. Kadar partikel radioaktif di tubuh kalian berdua sekarang bahkan sama seperti seseorang yang tidak pernah menginjakkan kaki di zona kuning."

Dylan bergeming. Meskipun sedikit kesulitan untuk mencerna ilmu sains yang baru saja diterimanya, ia paham bahwa dirinya spesial, ia kebal terhadap partikel radioaktif dari sisa-sisa ledakan bom nuklir itu.

"Ya, memang, level radiasi di zona kuning sekarang sudah menurun jika dibandingkan dua tahun lalu." Wanita berambut ikal itu menjeda kalimatnya. "Namun, level radiasinya tetap bisa menyebabkan hal serius bagi siapa saja yang menetap di sana, terutama untuk waktu yang lama."

Lagi-lagi, Dylan kehilangan kata, tidak tahu bagaimana harus merespons.

"Kutanya sekali lagi. Berapa lama kalian berkendara di zona kuning tanpa pakaian pelindung?" tanya wanita itu lagi, kali ini dengan penekanan di setiap perkataannya.

Dylan enggan menjawab. Pemuda beriris cokelat itu mengalihkan pandangan ke arah lain, berharap wanita di hadapannya mengerti bahwa ia tidak nyaman dengan pembicaraan ini.

Wanita itu merunduk, berusaha menatap kedua iris cokelat tua milik pemuda di hadapannya. "Dylan? Apa kau kesulitan untuk mengingatnya?"

"A-aku ... tidak ingin membicarakannya," lirih pemuda itu.

dr. Valentine mendesah pelan. "Baiklah. Aku mengerti mungkin ada hal yang tidak mau kau ceritakan." Kemudian wanita itu beranjak dari posisi duduknya. "Besok pagi, salah satu dari tentara kami akan mengantarmu ke tempat yang lebih aman. Kau juga bisa menanyakan keberadaan ibumu di sana."

"Thanks, Doc," ucap Dylan tulus.

"Anytime." Wanita berambut ikal itu tersenyum, kemudian mengangguk. "Kau sudah aman untuk bertemu gadis itu."

Dukung Avenir: Redemption dengan menekan tombol bintang di pojok kiri bawah 🌟

*****

New character unlocked:

Akhirnya bisa update juga😭👍

Minggu kemarin mendadak asam lambung naik lagi (padahal nggak lagi stres juga, mungkin salah makan kali ya?), ditambah kemarin baru aja vaksin. Badan pegel-pegel plus pusing seharian, tapi untung masih bisa nulis dikit-dikit.

Ke depannya aku usahain up teratur, soalnya udah lumayan fit dan nggak writers block lagi. Sampai jumpa minggu depan✨❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro