Segmen 04

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai, hai, hai, terima kasih readers-ku semua yang sudah
berbaik hati menunggu update Aveolela. Maafkan masa hiatusku yang cukup mengganggu.

Eniwei, happy reading readers. Berjejaklah di sini ya... 😊

*--*---*--*--*--*---*--*--*---*--*--*--*--*

“Sepertinya kalian tetangga baru kami.”

Maia membeku. Tubuhnya bagai tersiram segalon air es. Rasa dingin menyusupi seluruh tulang belakangnya. Meski begitu, tubuhnya justru merespon berkebalikan. Alih-alih kaku, Maia langsung berdiri tegak.

Dan di sanalah dia. Berdiri tegak dengan sorot mata tajam yang sangat dihafal Maia. Maia syok berat. Jantungnya nyaris copot.

“Kamu?”

Maia nyaris ingin mencekik lehernya sendiri.

Kenapa Tuhan, kenapa Engkau sangat murah hati di saat yang tak tepat? Kenapa dari sekian milyar orang di dunia ini, justru dengan wanita tengil ini aku harus bertemu?

Maia menggigit bibir gugup menunggu reaksi dari si tengil cantik yang berdiri di hadapannya. Wanita itu terlihat kaget berat, sama seperti dia. Matanya melotot membuat Maia diam-diam merasa geli. Pasti yang ada di pikiran wanita ini adalah, “Apakah dia sekarang sedang melihat hantu?”

Mendadak Maia berteriak keras seiring sepasang tangan yang menangkup pipi dan mencubitnya super keras.

“Aduuuhhh!!!”

Wanita itu belum puas. Jarinya cepat turun ke bawah dan mencubit lengan ramping Maia.

“Aduh, aduh, aduh, Trea hentikan! Ini gue! Beneran gue!” Maia meronta-ronta, membebaskan diri dari cubitan Trea. Sufiks panggilannya berubah sekejap. Dari aku-kamu menjadi lo-gue.

Wanita yang Maia panggil Trea segera melepaskan cubitannya,. Tapi bukan karena jerit kesakitan Maia, melainkan sentakan keras tangan David.

“Lepaskan istriku.” David mendesis dingin.

Namun, intensitas ketegangan mendadak naik saat sesosok tangan kukuh yang lain juga mencekal pergelangan tangan David.

“Kamu juga, Sir. Lepaskan tangan dari istriku.” Pria tampan yang sedari tadi berdiri di belakang Trea berkata tajam.

Maia dan Trea mendongak. Menonton dua pria bertinggi sama sedang beradu tatapan tajam. Seandainya tatapan tajam bisa membunuh, sudah dipastikan tubuh dua pria tampan ini sekarang pasti hancur berkeping-keping.

“Elo beneran manusia?” Trea akhirnya bertanya.

Maia mengangguk lemah. “Untungnya gue masih manusia,” jawab Maia sambil mengelus-elus lengannya.

Dia yakin bakalan muncul lebam parah di lengannya efek vandalisme brutal yang diluncurkan Trea.

Maia melirik Trea dan aliran darah serasa menghilang dari wajahnya. Itu ekspresi terakhir yang ingin dilihat Maia dari sosok Trea. Buru-buru wanita itu menahan laju emosi Trea.

“Trea, Trea, tunggu dulu. Gue bisa jelasin semuanya. Please, jangan marah dulu
” Maia mengiba.

Trea mengertakkan gigi hingga rahangnya terasa sakit. “Menurut lo, gue cukup marah gitu? Gue rasanya pengen nyekik lo sampai koit, tahu!”

“Gue mati dua kali dong, Tre?” Maia mencoba melucu. Gugup.

“Sekalian saja sampai sembilan. Stok nyawa lo kelihatannya banyak.” Trea berkata ketus.

“Ya Tuhan, Trea, lo sadis bener sama gue?” Maia tanpa sadar tersenyum. Dia tahu Trea sangat sayang padanya.

“Sadisan mana dengan lo yang dikabarin meninggal terus tahu-tahu muncul di hadapan gue kayak gini?”

Suasana hening menyeruak. Maia membisu tak mampu bicara sepatah katapun. Takeru khusuk memperhatikan dua wanita mungil itu yang terlihat seperti berdebat seru. Sementara David mengerutkan dahi tajam memandang Trea.

“Gue bahkan lihat sendiri mayat lo dikuburin.” Trea mendesis tajam.

“Eh ... oh ... itu ....” Maia gugup. Dia menundukkan kepala. Jemarinya refleks meremas-remas ujung baju.

Maia terkejut saat Trea tiba-tiba memeluknya erat. Dia merasakan bahunya basah.

“Elo beneran masih hidup?” bisik Trea lirih.

Pertahanan Maia jebol sudah. Dia sangat rindu kehangatan ini. Dibalasnya pelukan Trea dan mereka saling meluapkan emosi. Maia tak peduli jika lelehan air matanya membasahi bahu Trea.

“Gue masih hidup, Trea. Beneran gue masih hidup. Gue bakal cerita ....”

“Jangan cerita dulu. Biarin gue meluk elo sebentar,” potong Trea cepat.

Maia bisa merasakan kebahagiaan Trea dengan perjumpaan ini. Pelukan wanita itu menjelaskan begitu banyak hal. Tanpa sadar Maia memejamkan mata. Pelukan Trea hangat dan nyaman.

Serasa pulang ke rumah ....

***

Sepanjang perjalanan menuju lantai tujuh, David terus menatap sepasang wanita yang berdiri berangkulan di depannya. Tubuh mereka sama-sama mungil, sama-sama nampak rapuh, tapi David yakin seribu persen kemungilan mereka menipu.

Sudah jelas wanita mungil satunya ini sangat mengenal Maia-nya. Seharusnya dia waspada, tapi entah mengapa David tak tega mengusik kebersamaan mereka yang bagaikan reuni haru biru. Entah bagaimana tapi David tahu bahwa dialah yang paling bertanggung-jawab untuk pertemuan sarat emosi antara Maia dan Trea.

Perhatian David beralih ke sosok jangkung yang berdiri di sebelahnya. Fokus pria itu juga sedang terpusat ke dua wanita mungil yang tengah berangkulan melepas rindu. David tahu jika pria itu pastilah punya hubungan khusus dengan Trea.

Ya, David yakin sekali hal itu. Dia bisa melihat sorot penuh cinta yang melimpah dari sepasang mata hitam kelam milik pria itu. Tak sadar bibir David tersenyum. Dia familier dengan sorot cinta itu karena dia pun memilikinya.

Apakah pria ini kekasih wanita bernama Trea?

Diam-diam David memperhatikan lebih seksama pria di sampingnya. Merekam profil wajahnya dan menyimpan dalam salah satu ruang di otaknya.

Mata tajam David menelusuri kontur wajah oriental milik pria ini. Untuk ukuran kaum adam, pria ini sangat tampan. David bahkan dengan berat hati mengakui ketampanan pria ini. Tinggi pria ini sejajar dengannya dengan tubuh yang atletis, hasil menghabiskan waktu berjam-jam di gym.

David mengerutkan dahi saat menyadari sesuatu. Kecerdasan fotografisnya mulai bekerja saat melihat pose pria ini. Dia tersentak kaget, tapi sangat lihai menutupi perasaannya.

Ini adalah aktor terkenal Take Takeru. Bagaimana dia bisa tak menyadari hal ini dari awal? Dia bahkan baru saja menonton film terakhir pria ini.

Take Takeru sangat berbeda saat tidak berada di depan layar. David tersenyum.

“Lo sekarang di Jepang?” Maia bertanya.

Perhatian David kembali pada istrinya. Untung saja dia mahir berbahasa Indonesia. Karena sepertinya Take Takeru sama sekali tak tahu bahasa ibu sang kekasih.

Menyadari hal itu diam-diam David merasa kasihan. Sepertinya dia harus menyarankan Take Takeru untuk belajar bahasa Indonesia. Karena lebih mudah merayu wanita Indonesia dalam bahasa Indonesia.

“Gue kuliah di sini. Lo tinggal di Jepang?”

“Cuma sementara doang.”

Suara pintu lift bergeser lembut menghentikan percakapan dua wanita itu. Pemandangan koridor yang nyaman, lengkap dengan siraman cahaya kuning dari lampu memberi kesan hangat.

Hanya ada dua pintu di lantai ini yang saling berhadapan. Di samping masing-masing pintu tertata meja kaca dengan mangkok keramik berisikan potongan kuntum bunga. Di atasnya adalah lukisan bergaya art deco yang menampilkan pemandangan musim gugur Jepang.

“Lo tinggal di sini juga?” Maia takjub.

“Kami.” Trea meralat. “Ini apartemen suami gue.”

Maia langsung menoleh ke sosok yang berdiri tepat di belakang Trea. “Elo udah nikah?”

David manggut-manggut. Jadi Trea ini lebih dari kekasih bagi Take Takeru. Pantas saja pria itu tampak tergila-gila pada Trea.

“Sama kayak lo.” Trea akhirnya bisa mengulas senyum.

“Besok kita bisa makan siang bareng?”

“Selama lo yang traktir.”

“Oke, gue punya utang banyak sama lo.”

“Mai?”

Maia menatap Trea. “Ya, Tre?”

“Gue bahagia banget lo masih hidup,” Trea kembali memeluk Maia. Pelukan yang sentimental. Membuat Maia mulai merasakan keanehan dari perilaku Trea.

"Lo nggak jadi lesbong kan, Tre?”

David menahan tawa dan pilih terbahak dalam hati. Sepertinya dia tahu darimana sikap penuh optimisme cenderung anarkis Maia berasal. Dia punya guru yang hebat rupanya.

“Aduh, lo kenapa mukul kepala gue, Trea?” Maia memekik.

“Biar konslet di otak lo hilang.” Trea sewot. “Gue masih suka lekong, Bodoh! Lagian gue punya suami cakep gini masak mau gue anggurin?”

Maia melirik Takeru. “Cakepan suami gue lah.”

“Enak aja! Cakepan suami gue ke mana-mana." Trea menolak keras.

“Hah, suami gue punya kepribadian yang lebih baik.”

“Maksud lo mobil pribadi yang baik, apartemen pribadi yang baik, uang pribadi yang baik?” Trea berkomentar jahil.

“Trea ih, lo tengil banget, sih?” Maia cemberut.

“Karena gue kangen tengkar sama lo.” Trea terkekeh, “See you tomorrow!”

***

“Jadi siapa Trea?”

David sudah tak sabar. Baru menginjakkan kaki di foyer apartemen dia langsung meluncurkan pertanyaan.

Maia menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. “Menurutmu?”

“Aku sudah menyelidiki semua tentangmu dan dia bukan saudaramu,” David berpikir-pikir.

“Mungkiiiin... kamu belum terlalu seksama menyelidikiku?” Maia meledek, sengaja dia menarik suaranya menggoda David.

Alis David terangkat naik. Senyumnya terkembang. “Mau bermain detektif-detektifan denganku, Nyonya Rossier?”

“Boleh meski aku tahu aku bakal kalah darimu.” Maia terkekeh.

“Jika kamu kalah, apa yang akan kamu tawarkan padaku?”

“Emm ....” Maia pura-pura berpikir. “Aku akan membuatkanmu sashimi.”

“Kenapa sashimi?”

“Karena kita di Jepang, bahan sashimi melimpah di sini,” Maia menunjuk udara dengan tangannya.

“Kamu benar-benar hanya memberiku sashimi?” David tak percaya.

“Tentu saja! Mau apalagi?”

“Bagaimana jika kita ubah aturan mainnya?” David memberi tawaran

Alis Maia terangkat tinggi. “Maksudmu?”

“Aku akan terima tawaran sashimimu. Asalkan ....”

Yes, Dave?”

“Kamu menyajikannya di atas tubuhmu,” David menyeringai licik. “Di atas
tubuh polosmu tanpa sehelai benang pun.” David mengeja setiap kata-katanya.

Wajah Maia memerah. Tangannya langsung melayangkan gebukan maut ke bahu suaminya.

“Dasar om-om mesum! Genit! Abnormal!”

“Stop, stop, jangan memukuliku, ayolah Sweetheart, kamu suka kan, ideku? Aduh, aduh, berhenti memukuliku!”

***

Jam di nakas menunjukkan pukul enam pagi. Maia masih melingkar pulas di atas ranjang. Sementara David justru segar bugar di belakang meja kerja.

Insomnianya kambuh lagi. Membuat David harus merelakan jam tidur malamnya berlalu sia-sia. Tapi dia tak menyesal, karena insomnia ini membawa berkah tersendiri. Dia bebas melakukan banyak hal tanpa harus diketahui sang istri.

Sudah berjam-jam yang lalu David tekun di depan laptop. Di kanan-kiri laptop berjajar beberapa ponsel. Pekerjaannya kali ini memang membutuhkan banyak panggilan internasional.

Ada yang menggoda rasa penasarannya tentang sosok Trea. Si mungil yang sepertinya berkarakter hampir sama dengan Maia. Berjam-jam berselancar di dunia maya, kerja keras David membuahkan hasil.

Surelnya kini dipenuhi data-data tentang Trea hasil penyelidikan detektif swasta sewaan. Oh, jangan salahkan David jika bertindak sejauh itu. Dia punya sumber daya, juga keinginan untuk melindungi istrinya, sementara sampai beberapa jam lalu dia tak tahu apakah Trea lawan atau kawan.

Namun, sekarang David yakin wanita mungil itu bisa menjadi kawan yang menyenangkan. Maia benar, penyelidikannya tentang latar belakang istrinya belum paripurna. Sama sekali tak menyeluruh. Baru sekaranglah David menyadari kekeliruannya.

Jemari David menggulir tetikus. Layar laptop segera menampilkan lembaran-lembaran data diri Trea. Mata David sekali lagi menjelajahi berkas yang sudah dua kali dibacanya. Dia tersenyum.

Trea adalah tetangga Maia. Rumahnya tepat berada di seberang rumah Maia. Selain Oma Nadine, rumah keluarga Trea adalah tempat kabur paling nyaman bagi Maia saat orang tuanya bertengkar.

David lagi-lagi tersenyum. Hatinya mengucap terima kasih pada Trea yang telah memberikan perlindungan pada kekasihnya. Wanita itu baik, meski terlihat ceriwis.

David berutang budi pada Trea.

“Sayang, sudah bangun?”

Suara lembut Maia menyadarkan David dari kesibukannya. Pria itu mematikan laptop dan berdiri. Berjalan ringan mendekati istrinya.

“Kamu juga sudah bangun?” David mengecup puncak kepala Maia.

“Aku tak menemukanmu di tempat tidur.” Maia melemparkan diri ke pelukan suaminya.

“Tidurmu sangat lelap.” David mengelus kepala istrinya.

Maia diam. Menikmati belaian lembut tangan besar David di kepalanya. Dia tahu prianya ini mengalami insomnia berat. Seandainya David tahu jika Maia sudah mengetahui penyakit susah tidurnya ini sejak lama.

Suara dering ponsel memutus keintiman pagi hari David dan Maia. Wanita itu mengerutkan kening melirik deretan ponsel yang tergeletak di atas meja kerja suaminya.

“Sebentar, Sayang.” David menyambar salah satu ponsel yang berdering nyaring. Keningnya berkerut membaca nama Sebastian di caller ID.

“Halo, Sebas? Ya, siang ini kami akan ke rumah sakit. Ada apa?”

David mendengarkan Sebastian bicara di seberang. Pria itu manggut-manggut.

“Benarkah itu? Bagus jika Angela sudah memutuskan siapa kandidatnya.”

David kembali diam. Lawan bicaranya mengatakan sesuatu lagi.

“Oke, siang ini aku akan ke sana bersama Maia.”

David menutup sambungan telepon. Dia menoleh pada Maia.

“Angela sudah menemukan calon penggantinya. Dia meminta tolong Sebastian untuk melakukan wawancara online dengan pelamar tersebut.”

“Oh ya?” mata Maia berbinar
“Itu bagus! Angela jadi bisa fokus pada kesembuhannya.”

David mengangguk. “Kuharap Angela bisa sembuh lebih cepat.”

“Kenapa?”

“Entahlah, Sayang. Aku selalu merasa ide Angela tentang mencari pengganti dirinya itu adalah sebuah ide buruk. Meskipun pergantian ini hanya bersifat temporer.”

“Insting, Dave?”

“Mungkin.” David mengangkat bahu. “Hanya saja aku lebih memilih mengosongkan posisi Angela sampai wanita itu sembuh ketimbang mencari penggantinya. Tapi dia memaksa, dan aku harus menghormati keputusannya.”

Maia memeluk kekasihnya. Dikecupnya ringan pipi David. Dia tahu bagaimana perjuangan David mengumpulkan sembilan anggota timnya. Dia sendiri yang melakukan proses rekrutmen selama bertahun-tahun. Bagi David, kesembilan anggota timnya bukan hanya sebatas rekan kerja semata. Mereka sudah seperti saudara baginya. Karena itu Maia paham, jika David cukup sulit menerima anggota baru meskipun statusnya hanya pegawai sementara.

“Akan kubuatkan sarapan.” Maia beranjak ke dapur.

David melepas kepergian istrinya dengan pandangan mata. Dia sangat senang melihat semangat Maia sudah mulai pulih. Apalagi semalam, perdebatan kecilnya dengan Trea sedikit banyak mengembalikan sosok Maia yang dikenalnya selama ini.

Terdengar suara lirih dari salah satu gawai koleksinya. David sekali lagi menyambar peralatan canggih itu. Suara yang masuk merupakan email dari Sebastian. Dia sudah bisa menduga apa isi surel yang dikirim oleh sahabat terbaiknya itu.

Venus Gerritsen.

David mengeja dalam hati subyek surel yang dikirim Sebastian. Dia menduga jika inilah kandidat yang dimaksud Sebastian di telepon tadi.

Cepat jari David mengklik ikon unduh. Dalam hitungan detik, sebuah berkas sudah terpampang di layar ponsel. David membaca seksama dan tertegun.

Berkas lamaran ini terlalu sempurna.

David suka kesempurnaan. Setiap pekerjaannya harus dikerjakan dengan teliti dan seksama agar membuahkan hasil yang sempurna. Namun, kesempurnaan bagi David hanya bisa diletakkan pada kata benda dan kata kerja saja. Bukan pada karakter.

Wanita ini, David mengerutkan kening, memiliki karakter yang terlalu sempurna.

Entah mengapa bulu kuduk David meremang. Sekali lagi dia membaca portofolio yang terunduh di layar ponsel.

Dan matanya kembali terpaku pada sepetak foto wanita cantik yang tersemat di atas. Foto cantik milik seorang wanita cantik.

Venus Gerritsen.

***

New York City
05.10 pm

Seorang wanita cantik berlari cepat ke gerobak hotdog.

Ooops ... I’m so sorry, but Lady first.” Wanita itu menyeringai lebar.

“Venus, kamu baru saja melakukan tindak kejahahatan!” Seorang pria dengan setelan jas mahal menggerutu kesal.

“Dan apa catatan criminal yang akan tersemat di diriku?”

“Sabotase antrean.” Pria itu berkata kesal.

"Tidak, aku tidak menyerobotmu. Kamu saja yang berjalan sangat lamban. Seperti kura-kura.”

Wanita cantik bernama Venus itu tertawa terbahak-bahak. Sementara pria berjas mahal senewen berat.

“Miss Venus benar, Mister Eric. Anda memang berjalan sangat lambat.” Tom, sang pemilik gerobak ikut tertawa. “Atau jangan-jangan anda memang sengaja mengalah untuk Miss Venus?”

Shut up your big mouth, Tom,” Eric mengibaskan tangan, “berikan kami dua hotdog ekstra pedas. Si cantik sedang bergairah malam ini.”

“Kata-katamu sangat vulgar, Eric. Tom bisa salah paham.” Venus mencebik kesal.

“Hah, kamu takut kehilangan satu fan karena dirimu ternyata juga vulgar, Venus?”

“Diam, Eric!” bentak Venus. “Jangan dengarkan dia, Tom. Aku memang bersemangat. Hanya bersemangat, catat itu, bukan bergairah.”

“Apapun ucapanmu aku percaya, Miss.” Tom terkekeh. Lantas dengan kecepatan super, dia meracik dua hotdog pesanan Eric. Kali ini sedikit tambahan mustard dan ekstra saus pedas.

“Silakan.” Tom menyerahkan hotdog pesanan.

Eric menerimanya dan segera menutup transaksi malam itu dengan dua lembar dollar. Dia memberi isyarat pada Venus untuk mengikutinya duduk di salah satu bangku taman. Beruntung malam itu tak banyak orang lalu-lalang. Cuaca sejuk ditingkahi semilir angin membuat Eric serasa tengah berpiknik di Central Park.

“Jadi, kamu diterima oleh Safety Global Rossier?” Eric menggigit sepotong besar hotdog.

Venus mengangguk penuh semangat. “Aku tak menyangka mereka akan menerima aplikasiku. Padahal aku hanya iseng mengirim lamaran.”

Eric menggoyang-goyangkan jari telunjuk, “No, no, aku sama sekali tak percaya kamu hanya iseng. Pasti kamu sudah mengincar perusahaan itu sejak lama.”

Venus tertawa. Suara tawanya merdu dan menyenangkan. Sejenak menghipnotis Eric.

“Wah, kamu benar-benar sahabat sejatiku, Eric. Ya, kamu benar. Aku memang ingin sekali bekerja di salah satu anak perusahaan Rossier. Mereka perusahaan top. Usaha mereka banyak sekali dan semua prestisius. Sayangnya susah sekali menjadi pegawai di Rossier Group.”

“Aku harus acungi jempol untuk konsistensi ambisimu. Berapa tahun kamu mencoba masuk ke sana, eh?” Eric menatap wanita di sampingnya.

“Dua tahun.” Venus menghitung dengan jarinya.

“Wow, kamu layak dinobatkan jadi calon pekerja paling berkonsistensi.” Eric terperangah.

Mereka sejenak diam. Menikmati cuaca malam hari yang sejuk dan lezatnya hotdog Tom McPherson. Pria Kanada itu tahu persis bagaimana meracik bumbu hingga menjadikan hotdognya lezat dan nyaris membuat candu siapapun yang menyantapnya.

“Bagaimana dengan Nic, dia sudah tahu kabar ini?” Eric memecah kesunyian di antara mereka.

Venus menyeruput jus jeruknya
“Dia belum tahu.”

“Kapan rencanamu memberitahunya?”

“Saat aku sudah di bandara.”

“Kamu gila, Ve! Dia bisa mati berdiri jika tahu kamu kabur.” Eric tertawa

“Aku tidak kabur.” Venus meralat. “Aku hanya mengejar masa depan yang lebih baik. Nic hanya akan menahanku di sini.”

“Masa depan yang lebih baik?” Eric mencibir. “Lalu kamu sebut apa kariermu sekarang, eh?”

“Batu loncatan.” Venus menjawab mantap. “Dari kuliah aku sudah menetapkan Rossier Group sebagai karier seumur hidupku.”

“Kamu gila.” Eric geleng-geleng kepala takjub.

“Pernahkah aku tidak gila, Eric?” Venus tersenyum manis.

Eric melirik wanita yang duduk di sampingnya. Wajah wanita itu berseri-seri, sorot matanya berbinar. Pertanda wanita itu tengah mengalami salah satu fase membahagiakan dalam hidupnya. Eric mengembuskan napas panjang. Dari dulu sampai sekarang, dia hanya mampu berdiri di belakang wanita ini.

“Jangan membuat masalah di sana, Ve.” Eric menasihati.

“Hah, aku trouble maker?” Venus menunjuk dirinya sendiri dengan nada tak percaya.

Eric mengangguk. “Aku dan Nic yang paling tahu hal itu, selain keluargamu tentu saja.”

“Tergantung perspektif masalah yang kamu maksud." Venus menyeringai. "Karena aku tak bisa menjanjikan hal itu.”

“Jika kamu melakukan hal itu, kamu bisa kehilangan kariermu dalam sekejap.”

“Tidak akan. Akan kujaga posisi di Rossier sekeras mungkin. Akan kusingkirkan siapapun yang menghalangi jalanku.”

“Termasuk bosmu sendiri?” Eric penasaran.

“Bos yang mana dulu?” Venus tertawa. “Jika maksudmu supervisor yang memberiku pekerjaan sekarang, ya akan kulibas dia jika berani menghalangiku. Tapi ....”

“Tapi?”

“Jika sang CEO yang menghalangiku, akan kubuat dia bertekuk lutut di bawah kakiku.”

Eric terperangah. Dia tahu persis siapa CEO yang dimaksud oleh Venus. Tak lain tak bukan dia adalah David Gerald Rossier.

“Sinting!” Eric tertawa.

“Hidup di dunia yang sinting, kita harus menjadi sinting juga, kan?” Venus tersenyum manis. Dia berdiri, menepuk roknya yang tak kotor, menyingkirkan debu-debu bandel yang sempat hinggap sejenak di sana.

“Ayo, pulang?”

“Kamu mau mentraktirku makan malam?”

“Boleh, ayo kita makan di The Plaza.”

Great! Itu baru gadisku!” Eric tertawa.

Mereka berdua berjalan beriringan kembali ke mobil yang terparkir tak jauh dari Central Park. Ini akhir pekan, jam kerja mereka sudah usai sejak dua jam yang lalu. Tak ada salahnya menghabiskan malam sejenak dengan sang sahabat, kan?

***

Maia duduk mematung di kursi. Matanya nanar menatap sosok yang hanya berjarak tak sampai semeter di depannya. Jantungnya berdegup kencang. Senyum terasa sangat sulit keluar dari hatinya.

“Ini pesanan anda, Nona.” Seorang pelayan meletakkan tiga porsi beef steak jumbo ke atas meja. Setelah mempersilakan tamu-tamunya menyantap makanan, dia melenggang pergi meninggalkan tiga orang yang tengah adu tatapan.

“Makanan .... makanannya sudah siap. Ayo kita makan.” Maia menelan ludah gugup.

“Santai saja, Mai. Lo bisa cerita-cerita dulu ke kita soal kehidupan lo.” Trea tersenyum manis.

Di sebelahnya Mauri masih syok berat. Wanita itu bengong parah melihat sosok Maia yang sedang duduk gugup di depannya. Dalam kondisi segar bugar. Sehat walafiat. Tak kurang suatu apapun. Dan jelas-jelas terdefinisikan “tidak bau tanah”.

Lalu siapa dong, yang terkubur di dalam tanah waktu itu? Mauri mendadak penasaran.

“Itu ....” Maia menggigit bibir.

Pada akhirnya embusan napasnya terdengar panjang. Dia memejamkan mata, mengumpulkan keberanian untuk menceritakan tentang kejadian setahun ke belakang.

“Gue minta maaf karena sudah bohong ke kalian semua.” Maia memulai ceritanya. “Tapi percayalah, itu keputusan terbaik yang pernah gue ambil dalam hidup gue.”

“Gue baru percaya jika lo cerita lengkap.” Trea tersenyum. Berusaha tak mengintimidasi wanita cantik di depannya ini. Meski jari-jari Trea sebenarnya sudah gatal ingin mencekik leher mulus itu sejak Maia mengetuk pintu apartemennya berjam-jam yang lalu.

Kemudian meluncurlah dari bibir Maia semua hal yang harus diketahui oleh Trea dan Mauri. Dimulai dari pertemuannya dengan David di Singapura bertahun-tahun silam, kemudian drama penculikannya yang super ikonik, ide gila David yang memalsukan kematiannya demi membuat Maia tetap berada di sisinya, pernikahan diam-diam mereka, dan tragedi tragis yang menyebabkan Maia dan David harus menetap sementara di Jepang.

Sepanjang cerita Maia yang mengular bagai kereta api, Trea dan Mauri berlomba parah-parahan bengong. Mereka berdua takjub berat dengan kisah Maia yang bagai serial drama tiga puluh babak.

“Elo mencintai David Rossier?”

Maia tersentak, kaget karena akhir penuturannya diinterupsi oleh Trea. Wajah wanita kecil itu memerah. Trea dan Mauri langsung memekik heboh.

“Ya Tuhan, ya Tuhan, ya Tuhan, gila! Adek kecil kita sudah dewasa, Maur.” Trea tertawa keras.

“Tak disangka dia sekarang bisa jadi sumber referensi elo, Tre.” Mauri terbahak.

“Eh, apa maksud lo sumber referensi gue?” Trea mendelik.

“Halah, gue tahu persis elo sama Takeru gimana. Kalian belum beranjak blas dari zona demiliterisasi roman cinta.”

“Tunggu, tunggu.” Maia menggebrak meja keras. “Maksud elo, si Trea ini belum ada perkembangan apa pun sama Takeru?”

“Hei, kenapa kita jadi membahas tentang aku?” Trea berusaha mengembalikan fokus obrolan.

“Ya ampun Tre, elo bego apa goblok, sih? Kemarin elo bilang cowok seganteng Takeru nggak bakal lo anggurin? Lah, ternyata lo malah belum digrepe-grepe sama Takeru, gitu? Jangan-jangan dianya yang hombreng.

Aduh, aduh, Trea, lo keturunan barbar mana, sih? Dari dulu suka banget jitak kepala gue.” Maia protes keras.

“Lo diem atau gue tambah jitakan gue? Mumpung gue loyal kasih diskon jitakan, nih?”

Maia dan Mauri mengkeret. M2M itu bersedekap memelototi beef steak yang mulai dingin.

“Jadi beneran lo cinta sama David?” Trea mengulang pertanyaannya.

Definitely yes,” Maia mengangguk mantap, “Lagian gue juga sadar diri, Trea. Ortu gue sepertinya lebih nyaman setelah kepergian gue.”

“Tante hampir depresi.” Trea memberitahu. “Berbulan-bulan setelah lo dikuburkan, Tante mengurung diri terus di kamar.”

Maia mengaduk jus anggurnya. “Kurasa ini pilihan yang tepat untuk kami semua.”

Trea mengembuskan napas panjang. “Mungkin lo benar. Sikap Om juga sadis banget ke elo. Gue salut lo masih bisa waras saat jadi anak Om Joko.”

“Sampai sekarang pun gue masih anak mereka.” Maia berkata cepat. “Biarpun sikap Papa sering jahat sama gue, tapi gue nggak bakal bisa benci dia. Papa, meskipun ucapannya sangat kasar, tapi sudah bersedia merawat gue sebagai anaknya.”

Trea manggut-manggut. Di sampingnya Mauri juga latah manggut-manggut. Mereka berdua sudah tahu jati diri Maia sebenarnya. Bahwa gadis itu bukanlah anak kandung dari Joko Sudibyo, melainkan anak sahabat Joko yang terlanjur hadir di rahim sang ibunda Maia.

“Ngomong-ngomong, gimana kabar Om dan Tante?” Maia memotong beef steak.

Trea tertegun. Kerongkongannya mendadak terasa sakit. Mauri meletakkan pisau dan garpunya.

“Kenapa? Apa yang sudah terjadi?” Maia keheranan.

“Lo sudah baca beritanya, kan?”

“Berita apa?” Maia menatap sahabatnya

“Kecelakaan pesawat di perairan Jepang?”

“Oh, kecelakaan kemarin? Iya, gue sudah baca. So?” Maia bertanya tidak mengerti.

“Papa dan Mama ada di penerbangan itu.”

Maia terperanjat kaget. Sedetik kemudian dia menghambur memeluk Trea. “Oh Trea,” tangis Maia pecah.

Sejenak mereka menjadi obyek tontonan pengunjung restoran yang mulai padat di jam makan siang.

“Kabar terakhir bagaimana?” Maia bertanya setelah menyusut sisa air mata.

“Pihak kepolisian memperkirakan tak ada penumpang yang selamat. Pesawat meledak di udara dan langsung jatuh ke perairan. Evakuasi mungkin akan memakan waktu sangat lama.”

“Ya Tuhan.” Maia menutup mulut.

“Gue udah nggak apa-apa." Trea tersenyum tipis.

Mauri dan Maia diam. Sama-sama tahu bahwa senyum itu hanyalah sebuah kamuflase. Bahkan senyum Trea tak sampai ke mata. Wanita itu berbohong, mencoba berkata pada dunia bahwa dirinya baik-baik saja.

“Gue selalu ada buat lo, Tre.” Maia mengusap lembut punggung Trea. “Apalagi kita tetanggaan. Makin asyik deh.” Maia mencoba berkelakar.

“Gue yang makin ngenes.” Trea menyahut.

“Yaelah, sekarang keadaannya udah beda. Kita ada di negeri orang, kita adalah saudara. Okay, sister?”

“Lah, terus gue gimana?” Mauri menunjuk dirinya sendiri.

“Lo kan, bakal balik ke Indo?” Maia mengangkat alis heran.

Mauri menggelengkan kepala, “Nggak, gue bakal stay di sini.”

“Hah, apa?”


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro