Segmen 03

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maia mencubit-cubit bibir. Mata almond-nya menatap lekat-lekat sesosok mumi seksi yang terbujur tak berdaya di atas tempat tidur. Tangannya dengan teratur memindahkan potongan chips dari kantong ke dalam mulut.

Tak jauh dari tempatnya duduk, berderet di sofa panjang adalah David, James, dan Sebastian. Dua dari mereka bertampang masam. Sementara David malah bertopang dagu, asyik mengamati wajah cantik istrinya yang dari sejam lalu sibuk menggiling makanan di mulut.

Tepat di sebelah sofa adalah Andrew yang duduk di kursi roda. Ekspresinya mengenaskan, campuran antara takut dibantai sahabat-sahabatnya dan kesakitan hasil luka yang masih segar-segarnya.

Mendadak pintu kamar terbuka. Muncul dua sosok berkilau dari balik pintu. Seandainya yang ada di ruangan ini adalah orang normal, sudah pasti mereka langsung terpukau dengan keberkilauan dua makhluk Tuhan itu.

Sayangnya orang-orang di ruangan ini abnormal semua. Mereka sudah kebal dengan pesona malaikat ala Moran Bersaudara. Jadilah respon mereka lempeng-lempeng saja melihat dua makhluk cantik nan tampan itu berjalan masuk.

"Nih, burger daging." Jacque meletakkan kantong kertas ke atas meja.

"Tak ada pizza?" Andrew memelas.

"Aku bersedia melemparmu ke depan dan membiarkanmu beli pizza sendiri," gerutu James.

"Ya Tuhan," desah Andrew.

Mendadak suasana di ruangan itu terpecahkan oleh tawa halus Maia. Tujuh pasang mata langsung terbeliak kaget mendengar tawa itu. Bahkan bagi si Ratu Es Zooey.

Pantas semuanya kaget berat mendengar tawa Maia. Pasalnya sudah enam bulan lebih wanita itu tak pernah tertawa. Boro-boro tertawa, tersenyum saja nyaris tak pernah.

"Biar kusuapi kamu, Andrew." Maia beranjak dari kursi, menyambar sekantong kertas burger dan duduk di sebelah Andrew.

"Hei, kenapa kamu menyuapinya?" David protes.

"Dia sedang sakit, Dave," jawab Maia kalem.

"Tangannya baik-baik saja." David menunjuk tangan Andrew.

Maia cuek, tak peduli protes David. Sementara Andrew bagai mendapat angin segar. Sengaja dia meleletkan lidah, meledek David yang langsung disambut pria itu dengan lemparan bantal sofa ke kepala.

"Aduh, aduh, aduh, Princess suamimu melukaiku," rajuk Andrew.

"David Gerald Rossier?" Maia mencemooh, "Sikapmu sangat kekanak-kanakan."

"What? Aku? Kekanak-kanakan?" David menunjuk dirinya sendiri. "Apa maksudmu, Lady?"

"Maksudku tak ada jatah untukmu malam ini jika terus mengganggu Andrew."

Sunyi. Senyap. Hening.

David melotot kaget. Sebastian dan James terperangah takjub mendengar vulgarisme ucapan Maia. Jacque dan Zooey sibuk dengan kuku-kuku mereka.

"Kamu ... Kamu lebih pilih Andrew ketimbang aku?" David tak percaya.

"Dave, tolong. Andrew sedang sakit. Jangan berlebihan begitu." Maia mengibaskan tangan.

"Hah!" David mendecih sebal. "James, jika kamu ingin membunuh Andrew aku siap jadi relawan."

Andrew tersedak burger yang dikunyahnya. Maia meluncurkan tatapan tajam menusuk pada David. Setelah dirasa cukup kondusif, Maia beralih pada Angela.

"Angie, kamu boleh makan fast food, kan?"

"Daging bagus untuk proses penyembuhanku.* Angela menjawab susah payah. Rahangnya masih sakit tertekan bebatan perban.

"Bagus!" Maia tersenyum. Lagi-lagi gerakan tak sengaja yang dilakukan Maia membius seisi ruangan itu. Sayang, yang diperhatikan tak sadar diri.

Cekatan Maia membuka bungkus burger dan meletakkan isinya di piring. Dipotongnya kecil-kecil burger dan menyuapkan ke Angela. Wanita itu menerimanya dengan suka cita.

"Sepertinya kamu tak bisa bergerak." Maia berkomentar.

Angela yang terjebak dalam balutan gips dan perban menganggukkan kepala. Dirinya nyaris menyerupai mumi sekarang. Kecelakaan ini cukup parah mengeliminir ruang geraknya.

"Pasti repot jika harus pulang ke New York sekarang." Maia menyorongkan lagi sepotong burger ke mulut Angela.

"Aku harus operasi tulang dulu, Maia." Angela meratap sedih. "Yah, pasti cukup merepotkan. Setidaknya aku harus berada di sini sampai operasiku selesai."

"Jangan khawatir, aku akan merawatmu."

Lagi-lagi hening. Semua bengong mendengar tawaran Maia.

"Maksudnya?" Angela memecah keheningan.

"Yup, kamu dapat tambahan baby sitter untuk merawatmu di sini, Angie."

"Tunggu dulu, baby sitter apaan?"

"Tenanglah, aku akan merawatmu seperti bayi yang baru lahir. Ekstra hati-hati dan penuh perhatian. Bukan begitu, Dave?"

David gelagapan ditodong pertanyaan tiba-tiba oleh Maia.

"Eh yah, begitulah." David garuk-garuk dagu.

"Bagus, sudah ditetapkan. Sampai kalian berdua sembuh, aku akan merawat kalian."

"Tunggu dulu," Angela menyela cepat. "Kamu tak akan tinggal bersamaku di sini, kan?"

"Why not? Aku suka Jepang, kok."

"Oh tidak," Angela mengerang keras.

"Kenapa sepertinya kamu keberatan?"

"Maia, jangan salah paham. Aku tidak keberatan. Tapi bagaimana dengan Big Boss? Semua orang tahu dia tak bisa terpisah jauh darimu dalam radius semeter lebih."

"Oh, omong kosong!" Maia mengibaskan tangan. "Tentu saja kami tak boleh berjauhan. Aku juga tak bisa berpisah darinya, Angie."

"Lalu?"

Maia menyuapkan potongan terakhir burger ke mulut Angela.

"Tentu saja David Gerald Rossier yang harus mengalah. Bukan begitu, Sayang?"

"Eh, apa?" David lagi-lagi gelagapan.

"Ya ampun, kenapa kamu jadi tulalit begini, sih? Hegh, ini pasti efek terlalu lama berlibur," Maia mengomel, "David Sayang, kamu bisa kan, berkantor sementara di Jepang? Sampai Andrew dan Angela sembuh?"

"APA?"

***

Maia tak main-main. Kemauan keras wanita itu tak semungil ukuran tubuhnya. Walhasil David akhirnya bersedia mengalah. Meski begitu, tak ada rasa kesal di hati David. Pria itu justru bersyukur karena Maia mulai menunjukkan antusiasmenya lagi.

Setelah berbulan-bulan bagai hidup di kutub selatan. Efek dari sikap pasif tanpa senyum non semangat istrinya. Kini David serasa melihat semburat jingga matahari terbit.

David tertular semangat Maia. Begitulah. Hanya sesederhana itu. Dan membuatnya mengiyakan permintaan wanitanya.

Gerak cepat dilakukan David untuk membuka kantor sementara di Jepang. Sumber daya Rossier Group bekerja sangat efektif dan efisien. Tak perlu waktu lama mereka sudah mendapatkan apartemen mereka sendiri. Sesuai permintaan Maia, tempat yang mereka huni tak boleh terlalu mewah namun memberikan privacy dan keamanan yang memadai.

Dan di sinilah mereka sekarang. Di sebuah gedung bertingkat tujuh yang nyaman. Karena David suka ketinggian, maka dia memilih lantai puncak sebagai pilihan huniannya.

Hari sudah menjelang sore saat mereka tiba di apartemen baru. Setelah setengah hari penuh menghabiskan waktu di rumah sakit, kini mereka berharap bisa bersantai sejenak.

"Siapa yang mengatur ini semua?" Maia tercengang takjub begitu membuka pintu.

Apartemen ini benar-benar siap huni. Seluruh ruangannya sudah terisi furnitur. Kejutannya lagi interior ruangan benar-benar sesuai selera Maia.

"Kamu yang membereskan ini semua?" selidik Maia.

David tertawa, "Dengan bantuan Moran tentu saja."

"Ya Tuha" Maia membekap mulut dengan tangan. "Dave, thank you so much."

Maia melemparkan diri ke pelukan David. Kekasihnya terhuyung mundur menahan beban tubuh istrinya.

"Sejak kapan kamu jadi berat?" David menyeringai.

"Aku? Berat?" Maia bertengger manis pada David. Kakinya melingkar erat di pinggang pria itum "Kamu yang sudah tua, Paman. Tenagamu benar-benar payah."

"Hah, aku tua? Omong kosong!" David terkekeh.

"Uncle, please deh. Kamu-memang-mulai-tua." Maia tertawa.

David terpesona. Suara tawa istrinya bagaikan musik merdu di telinganya, bagaikan mata air di tengah gurun pasir yang tandus. Menyejukkan hatinya yang mendamba.

"Dave Sayang, ada apa?" Maia mulai khawatir melihat suaminya terdiam.

Jemari David terangkat mengelus pipi lembut sang istri. "Kamu tertawa."

Alis Maia terangkat naik. "Benarkah?"

"Ya, tertawalah lagi. Aku ingin mendengarnya."

"Tak ada yang perlu ditertawakan, Dave." Maia meninju dada bidang suaminya. Tapi tak urung, kekehan lembutnya terdengar juga.

David tersenyum lebar. Dikecupnya dahi Maia.

"Terima kasih, Sayang."

"Untuk?"

"Karena telah tertawa lagi."

"Oh, ayolah jangan hiperbola begitu."

David tersenyum. Maia membalas senyumnya. Wanita itu tahu suaminya telah menanggung beban batin sangat berat beberapa bulan belakangan. Dalam hati Maia mengucap berjuta syukur karena David tak pernah sedetik pun pergi dari sisinya.

"Aku akan memasak dulu." Maia turun dari tubuh suaminya.

"Jangan pergi." David menahan Maia.

"Kita harus makan, Dave." Maia membujuk lembut.

"Kita baru saja makan." David membenamkan wajah di lekukan lembut leher istrinya.

"My handsome uncle, aku harus memasak. Aku benar-benar lapar." Maia berusaha lepas dari belitan suaminya.

"Sayang, kamu tadi sudah menghabiskan semangkok besar ramen. Sekarang sudah lapar lagi?"

"Itu ...."

"Juga sesi cemilanmu di mobil dalam perjalanan pulang tadi. Itu jatah sekompi pasukan."

"Bah, omong kosong! Aku hanya memakan tiga mochi dan dua bungkus keripik kentang."

"Bungkus ukuran jumbo." David menyindir.

"Yay, pokoknya aku lapar!" Maia cemberut.

Rontaannya langsung membebaskan tubuh mungilnya dari dekapan David. Sesaat David merasakan kekosongan setelah istrinya lepas. Tapi detik berikutnya dia langsung menyusul Maia ke dapur. Tujuannya jelas.

Membantu istrinya sekaligus menggodanya. Bisa dipastikan acara masak-memasak sore ini akan berlangsung lama. Sangat lama.

***

Pagi itu di ruang rawat inap Angela. David tengah sibuk berkutat depan laptop. Maia pergi bersama Zooey ke kamar Andrew. Sementara yang lain sibuk dengan berbagai tugas di luar.

Hari ini Sebastian dan James mengawal kedatangan kapal pesiar mewah milik David Gerald Rossier. Salah satu hasil pengalahan David pada Maia.

Sesuai dengan kesepakatan yang sudah dibuat, sampai Andrew dan Angela sembuh, Safety Global Rossier akan berkantor cabang di Jepang.

Namun, alih-alih menyewa kantor berbasis tembok dan lantai beton, David justru memboyong kapal pesiarnya ke perairan Jepang. Di kapal pesiar itulah David akan mengerjakan seluruh pekerjaannya.

Kantor yang menyaru sebagai kapal pesiar. Begitulah sejatinya markas temporer David selama di Jepang. Tak ada yang menyangka di kapal super mewah terdapat kantor super lengkap dengan peralatan super canggih.

"Bos?" Angela memanggil.

David mendongak, kesibukannya merancang cetak biru keamanan terinterupsi sejenak.

"Yes, Angie?"

"Aku sedang memikirkan sesuatu."

"Jangan banyak berpikir, fokus saja pada jadwal operasimu besok."

Angela nyengir. Seolah diingatkan akan sesuatu yang menyeramkan.

"Ah, ya  Operasi itu." Angela mengerang. Besok adalah jadwal operasi pertamanya untuk membenahi kerusakan tulang kaki.

"Tapi aku serius, Bos."

"Oke, ini tentang apa?" David menutup laptopnya.

"Kamu butuh sekretaris baru."

David tertawa, "Kamu bukan sekretaris, Angie. Kamu rekan satu timku."

"Hah, tapi pekerjaanku nyaris serupa seorang sekretaris." Angela manyun.

Tawa David makin keras. "Tapi gajimu setara dengan direktur karena memang itulah posisimu."

"Dave, ayolah," Angela merajuk, "lihat kondisiku sekarang. Aku tak bisa bekerja maksimal setidaknya sampai enam bulan ke depan."

"Maksudmu, kamu ingin cari pengganti?"

"Hanya sementara saja." Angela mengangguk.

Kening David berkerut. "Kurasa ini bukan ide yang bagus, Angie."

"Siapapun sekretarismu akan berada di bawah pengawasanku langsung."

"Susah mencari kandidat berkualitas super." David mendesah.

"Tapi kamu tak mungkin meng-handle tugasku juga." Angela mengingatkan. "Sementara pekerjaan terus berjalan."

"Anak buahmu yang lain?"

"Mereka sudah sibuk dengan pekerjaan di New York dan London. Apalagi baru-baru ini ada serangan teror lagi di London."

David mencubit-cubit bibir. Angela tak salah. Sejak serangan di Londin yang menewaskan tiga orang penduduk sipil, permintaan keamanan dari klien VIP pada Safety Global Rossier meningkat pesat. Bisa dikatakan mereka kekurangan sumber daya manusia sekarang.

David menimbang-nimbang sejenak. "Kamu yakin?"

"Hanya untuk enam bulan saja."

"Baiklah. Akan kubuka lowongan pekerjaan. Kandidatnya kuserahkan padamu."

"Thank you, Bos!" Angela tersenyum cerah.

"Persiapkan saja dirimu untuk operasi besok."

"Jangan mengingatkanku terus." Angela menggerutu. "Ngomong-ngomong ada yang berubah dari Maia."

Senyum David merekah. "Jepang membawa pengaruh untuknya."

"Aku senang melihatnya sedikit ceria," komentar Angela.

"Sepertinya kecelakaanmu membawa keceriaan untuknya."

"Semoga aku tidak harus mengalami lebih banyak luka lagi untuk mengembalikan keceriaannya." Angela masam.

David tertawa keras. "Jika memang diperlukan, aku 'pasti' akan melakukannya."

"Ya Tuhan Bos, apa kamu akan membantaiku dalam tidur?"

"Jika perlu."

"Sadis!" Susah-payah Angela mengangkat bantal dengan tujuan sangat mulia, menimpuk mulut keterlaluan bos besarnya.

"Tahan dirimu, Lady. Lukamu bisa tambah parah nanti." David buru-buru menghampiri Angela.

Wanita yang masih tampak cantik, meski terbalut perban di mana-mana itu mendengus kesal. Pada akhirnya dia pilih mengurungkan niat mulianya dan memenangkan niat jahatnya.

Tidur bermalas-malasan menunggu datangnya waktu operasi.

David memastikan Angela sudah berbaring nyaman sebelum kembali ke laptopnya. Dia tekun mengerjakan sesuatu selama beberapa menit sebelum tersenyum puas.

"Aku sudah mengunggah lowongan yang kamu inginkan. Kevin dan Kathleen akan mengurus aplikasi yang masuk."

"Lewat email?"

"Semuanya lewat email. Kita butuh gerak cepat."

"Minta Kevin untuk menelusuri latar belakang pelamar yang lolos."

"Sudah pasti!"

"Thank you so much, Bos."

"No problem. Aku yang harusnya berterima kasih. Tanpamu aku tak bisa optimal bekerja."

"Pulanglah!"

"Sekarang kamu mengusirku?"

"Memangnya kamu tak ingin menengok yacht raksasamu?"

David menyeringai. "Ide bagus. Apa Sebastian sudah menyelesaikan apa yang kusuruh, ya?"

Angela terpekur sejenak. Ada sesuatu yang menggelitik hatinya. Namun, wanita itu memilih menyimpan isi benaknya dari David. Sebagai gantinya dia malah mengutarakan kekaguman pada Maia.

"Sungguh beruntung Maia menikah denganmu."

"Kamu salah, akulah yang beruntung mendapatkan Maia." David mengoreksi.

"Bisa kulihat itu." Angela tertawa. "Pergilah!"

"See you soon, Angie."

***

Tiga pria tampan melompat keluar dari speedboat hitam metalik yang telah terparkir rapi di dermaga. Disusul dengan speedboat kedua yang menumpahkan dua orang penumpang lagi ke lantai dermaga. Formasi mereka lengkap sudah berlima.

Tiga penumpang pertama adalah Sebastian, Kevin, dan James. Sementara dua penumpang sisanya merupakan bidadari maut SGR, Freya dan Kathleen. Sosok mereka berlima yang kelewat berkilau sontak menarik perhatian seluruh pengunjung dermaga. Namun lima orang itu acuh tak acuh dan terus berjalan menuju sebuah mobil SUV yang terparkir di luar dermaga.

"Welcome home, Guys!" Jacque tersenyum lebar.

Kathleen mengangkat alis. "Hanya satu mobil?"

Jacque menyeringai. "Siapa yang bilang kalian akan naik ini?"

Dengan kedikan kepala, Jacque menunjuk lima tiga lamborghini yang terparkir tak jauh dari SUV-nya.

"Lamborghini Centenario?" Kevin bertepuk tangan girang melihat penampakan mobil berakselerasi super tinggi di parkiran.

"Sorry Girls, tak ada warna yang feminim." Jacque nyengir.

Mata Freya dan Kathleen menelusuri bodi mobil yang terlapis cat warna hitam dof. Nyaris seluruh bodi berwarna hitam, kecuali selapis tipis kuning mustard di bodi bawah mobil.

"Kita perlu gerak cepat ke Tokyo. Sayangnya kalian lupa membawa helikopter ke sini." Jacque mendesah.

"Kita terburu-buru," Kevin membela diri, "Semua heli masih di hanggar."

"Kenapa kamu tak menyewa saja di sini?" Kathleen bertanya.

"Tak efisien. Lebih bagus transportasi darat ketimbang udara." Jacque naik mobilnya.

"Yakin mau naik rongsokan itu?" Kevin meledek seraya menunjuk SUV yang bakal ditunggangi Jacque.

"Aku harus belanja. Lamborghini terlalu mencolok."

"Sejak kapan Jacque jadi pembelanja pribadi?" tawa pecah berderai.

"Terserah kalian mau bilang apa. Zooey minta "sayur segar" dari Hokkaido." Jacque sudah duduk di belakang kemudi.

"Distributormu di Hokkaido?" Sebastian geleng-geleng kepala. "Ceroboh sekali dia menanam sayur?"

Jacque tak mendengarkan. Dia sudah melesat pergi meninggalkan lima sekawan itu. Sepeninggal Jacque, Kevin bergumam tak percaya.

"Aku tak akan pernah menjadikan Zooey sebagai kencanku."

"Kenapa memangnya? Dia sempurna," bingung Kathleen.

"Berkencan dengan wanita yang hobi mengoleksi senjata? Euh, no way!" Kevin bergidik.

Semua menyeringai mendengar penolakan Kevin. Lima sekawan itu sudah tahu sayur segar apa yang dirujuk oleh Jacque. Sejenis butiran-butiran amunisi yang kerap disebut peluru dan memiliki daya mematikan luar biasa.

Tak perlu menunggu lama untuk Lamborghini Centenario itu melaju kencang membelah keramaian jalan. Tujuannya jelas menuju ke pusat kota Tokyo untuk menggenapi formasi yang tersisa.

***

Angela tersenyum-senyum sendiri. Dugaannya seribu persen tepat. Nama besar Safety Global Rossier sudah cukup jadi jaminan bagi para calon pelamar. Bagai stok gula berlimpah, semut-semut berebutan datang berkunjung. Itulah perumpaan yang tepat bagi lowongan yang diunggah David ke situs web resmi mereka pagi tadi.

Hanya enam jam dan kotak surel perusahaan sudah dibanjiri tiga ribu email lamaran. Tak pelak hal itu membuat Zooey cemberut. Pekerjaannya harus bertambah dengan memindai lamaran sebelum masuk validasi Angela.

"Senyummu cerah sekali, Angie?" Maia mencolek lengan perban Angela.

Angela memberi isyarat pada Maia untuk mendekat. Patuh wanita itu mendekati Angela. Dari samping bahu Angela, Maia melongok layar laptop yang terbuka lebar.

"Sebanyak ini pelamar yang datang?" Maia terbelalak.

"Dan kita masih belum menutup lowongannya, jadi ada kemungkinan server kita down kebanjiran pelamar lagi." Zooey nyeletuk dari sofa.

"Serius kamu mencari asisten pengganti?" Maia bertanya.

"Sekretaris Maia, bukan asisten," ralat Angela, "Aku tak ingin schedule Dave terbengkalai. Harus ada yang meng-handle pekerjaanku juga."

Maia termangu. Lekat dia menatap Angela. Wajah cantik itu nampak serius menyeleksi hasil screening Zooey.

Otak cerdas Maia berputar cepat. Seandainya dia punya kapabilitas sehebat tim sembilan David, setidaknya dia bisa menggantikan sementara pekerjaan Angela. Tak perlu repot-repot mencari pegawai temporer seperti sekarang.

Sebuah ide melintas di benak Maia. Wanita itu tertegun.

"Angela?"

"Yes, Princess?" Angela mendongak sejenak dari pekerjaannya.

"Menurutmu jurusan kuliah apa yang harus aku ambil agar bisa sinkron dengan perusahaan David?"

Angela terdiam. Zooey diam-diam ikut mendongak. Mereka berdua mengamati wajah Maia yang polos dan datar. Menerka-nerka apa yang ada di dalam kepala mungil itu sebenarnya.

"Well, kita tidak terlalu membutuhkan personil akunting meskipun kita punya tim akunting yang hebat." Angela membuka prolog.

Maia lekas mencoret akuntansi dari daftar imajinernya.

"Kamu bisa mencoba jurusan manajerial." Angela mengusulkan.

"Atau bidang politik dan ekonomi." Zooey tiba-tiba angkat bicara. "Dia bisa jadi partner diskusi yang bagus untuk Big Boss."

"Ah ya, kamu betul, Zooey!" Angela bertepuk tangan, tapi langsung menjerit kesakitan. "Aduh, aduh, aduh, tanganku!"

"Angela, please," Maia membetulkan posisi berbaring Angela.

"Apa yang sedang kamu pikirkan?" selidik Zooey.

"Sesuatu," Maia menyimpul senyum, "aku juga ingin punya aktivitas selama berada di sini. Dave pasti akan sibuk bekerja dan aku terancam mati bosan di apartemen."

"Dan apa aktivitas yang akan kamu kerjakan?" Zooey mengejar.

"Rahasia." Maia mengedipkan sebelah mata. Dia melirik arloji dan bangkit.

"David sudah selesai belum, ya?" Maia menyambar tas selempangnya, "Aku ingin pulang sekarang."

"Seharusnya sudah." Zooey ikut beranjak pergi.

"Kalian sudah mau pulang?"

Maia mengangguk, "Jangan khawatir. Besok pagi kami akan ke sini lagi. Istirahatlah dan persiapkan dirimu untuk operasi besok."

Maia dan Zooey keluar kamar. Suara keletuk sepatu terdengar jelas di lorong yang sepi. Sudah lewat jam bezuk. Rumah sakit mulai terasa lengang.

David sudah menunggu di lobi. Dia menyambut istrinya dengan sebuah kecupan mesra. Hanya sampai di lobi rumah sakit Zooey menemani Maia, karena David segera mengambil alih.

Percakapan ringan mengalir lancar dalam perjalanan pulang ke apartemen. Maia mengoceh banyak hal dan David, seperti dahulu kala, dengan sabar menjadi pendengar setia.

Sungguh, Maia tak tahu betapa bahagianya David sekarang. Berbulan-bulan lamanya dia bekerja keras membuka topik obrolan dengan istrinya tapi hasilnya selalu nihil. Maia hanya membalas obrolan seperlunya dan mendadak berubah irit bicara.

Namun, malam ini berbeda. Wajah wanitanya berbinar-binar, sesekali senyum terukir di wajah cantik itu. Mulut mungilnya bagaikan senapan mesin memuntahkan ratusan kata sejak mereka keluar dari rumah sakit.

"Sayang, tak lapar?" David menyela saat istrinya mulai mengerem obrolan.

"Aku sudah makan."

"Sudah?" David mengangkat alis. "Kapan?"

Dia saja belum sempat makan malam karena terus berkonsentrasi pada proyek Recep Erdogan. Namun, istrinya malah sangat santai menjawab sudah.

"Iya, tadi aku dan Zooey delivery order pizza."

"Junk food lagi?" David mengernyitkan dahi
"Kenapa kamu suka sekali makanan cepat saji itu, Sayang? Itu tak bergizi."

"Enak saja! Pizza yang aku pesan sangat sehat, tahu." Maia menolak argumen David
"Ekstra keju, ekstra zaitun, ekstra jamur. Nah, kurang apalagi coba?"

"Habis berapa potong?"

"Tiga kotak."

David mengerem mendadak. Maia ngomel-ngomel di sebelahnya. Mata David terbeliak kaget memandang Maia.

"Tiga kotak sendirian?" tanya David tak percaya.

"Sebenarnya Zooey pesan empat kotak. Tapi dia berbagi dengan suster yang menyuntik Angela tadi."

"Ya Tuhan, Maia perutmu tak apa-apa?" Refleks tangan David mengelus perut datar istrinya.

Ada gelenyar aneh saat tangan David yang besar mengusap perutnya. Gelenyar yang terasa hingga bagian inti tubuhnya. Tanpa sadar sebuah desahan lolos dari bibir Maia. Wanita itu buru-buru menggigit bibir bawahnya, menahan desahan lagi yang ingin meloloskan diri.

David mengangkat alis. Hampir setahun menikah dengan Maia telah membuat David hafal berbagai ekspresi wajah istrinya. Kali ini adalah salah satu ekspresi favoritnya, saat Maia mati-matian menahan gairah yang muncul.

"Ayo pulang." David tersenyum geli.

Maia terperanjat kaget. "Eh, pu--pulang?"

"Tentu saja. Sekarang sudah hampir dini hari. Kamu pasti capek."

Gambar kecewa tercetak jelas di wajah Maia. Kekehan David lepas. Tangannya mengacak rambut lembut sang istri.

"Sabarlah, aku akan melayanimu di apartemen."

Pipi Maia merona. David tak tahan lagi. Dia melumat keras bibir istrinya.

"Aku juga menginginkannya, Maia. Tapi kita tak cukup bodoh untuk bercinta di tepi jalan, kan?"

Tawa Maia berderai keras. Dia setuju dengan suaminya. Memaksakan diri bercinta di tepi jalan raya yang masih ramai kendaraan sama saja menceburkan diri ke dalam segalon penuh masalah. Maia masih cukup waras untuk tak mengundang kecurigaan patroli polisi dan menerima resiko digelandang ke pos polisi karena bertindak asusila di tempat umum.

David melajukan mobilnya kencang. Dalam hati bersyukur karena Sebastian malam ini memilihkan mobil otomatis untuknya. Dia akan mentransfer bonus ke rekening Sebastian jika tindakannya kali ini sukses dengan gemilang.

Mobil otomatis memberi sedikit kebebasan pada tangan David. Pria itu seorang gentleman sejati dan pantang mengecewakan keinginan terpendam seorang Lady. Karena itu, sambil menyetir tangan David sibuk bergerilya di balik rok istrinya.

"Dave, fokus menyetir," tegur Maia setengah hati. Namun, tegurannya tak serius sama sekali.

Sumpah, tak ada apapun yang bisa dipikirkan Maia sekarang selain ingin mendesah sekeras-kerasnya. Jemari David begitu mahir melaksanakan tugas, hingga napas Maia mulai tersengal-sengal.

"Kamu sudah basah." David mengacuhkan teguran Maia. Satu jarinya menyusup masuk dan tersenyum puas mendengar desah keras sang istri.

Bayangan gedung apartemen sudah terlihat di depan mata. David mempercepat gerakannya, mengantarkan Maia menuju puncak kenikmatan. Timing-nya pas, tak meleset sedetikpun, karena begitu mobil melesat melewati gerbang apartemen, Maia memekik keras dan menggelepar letih. Dia sudah mencapai puncak tepat saat mobil masuk ke parkiran bawah tanah.

"Oh Dave, itu sangat sempurna." Maia berbisik lembut saat mesin mobil mati.

David tersenyum. "Bisa jalan?"

"Masih bisa. Kamu belum seganas biasanya hingga membuat kakiku lemas." Maia menyeringai.

Mereka keluar mobil dan berjalan menuju lift khusus. Sudah ada orang di depan lift. Maia menggamit tangan David dan berlari cepat.

"Tunggu, tunggu kami!" Maia berteriak keras menahan orang di depan lift untuk masuk.

Terengah-engah Maia sampai juga di lift. Sialan, hasil perbuatan David sangat tak cocok jika langsung dilanjutkan dengan olah raga kecil meski cuma berlari cepat dari tempat parkir ke lift.

"Sepertinya kalian tetangga baru kami."

Maia tertegun. Cepat dia berdiri. Nyaris melompat keluar dari tempatnya, Maia melotot. Jantungnya serasa hendak berhenti berdetak.

"Kamu?"

***

Siapa ya kira-kira yang ditemui Maia hingga membuat wanita itu kaget berat?

Eniwei, happy reading readers. Tinggalkan jejak untukku ya. ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro