Segmen 02

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jangan lupa tinggalkan jejak ya... ^_^
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

"Bagaimana persiapan di sana?"

Kathleen menggigit pulpennya. "Taman sudah dipersiapkan. Wolf bisa nyaman berpesta di sana."

Sebastian mengangguk puas. Dia beralih ke Freya.."Ring tiga?"

"Aman." Freya mengacungkan jempol.

"Tinggal Zooey dan Jacque." Sebastian mendesah.

"Mereka titip salam siap untuk Wolf." Kevin mengacungkan ponselnya, isyarat bahwa Moran bersaudara telah menghubunginya via telepon.

Zooey dan Jacque bertugas di perimeter empat dengan posisi mereka sebagai sniper. Tak butuh banyak tambahan personil. Kemampuan mereka berdua sebagai sniper profesional sudah cukup untuk melakukan pengamanan kali ini.

Akhirnya Sebastian mampu mengangguk puas secara paripurna. Meeting untuk Wolf Party dinyatakan selesai.

Wolf Party adalah kode sandi mereka untuk proyek terbaru yang mengacu pada sosok populer dunia asal Turki. Beberapa bulan sebelumnya seorang staf pribadi Recep Erdogan mengontak Safety Global Rossier. Tujuannya jelas, untuk menjamin keamanan sang Presiden Turki selama lawatannya di Somalia.

Sebastian yang mewakili David kala itu mengernyitkan dahi mendengar wilayah yang akan dilawat Presiden Erdogan. Somalia telah dinyatakan sebagai salah satu negara paling berbahaya di dunia. Perang saudara yang carut-marut tak karuan bertahun-tahun lamanya, ditambah cuaca ekstrem yang membuat penduduknya dilanda kelaparan parah telah mengubah negara itu menjadi medan pertempuran fisik dan mental yang berbahaya.

Dan ke sanalah Presiden Erdogan akan menghabiskan lima harinya di bulan November. Melawat sekaligus memberikan bantuan kemanusiaan bagi penduduk Somalia yang membutuhkan. Kevin mengajukan Wolf untuk sang presiden dan itulah yang disepakati. Permintaan Turki resmi diterima dan SGR akan mengamankan Wolf selama melakukan pesta kemanusiaan di negara berbahaya itu.

"Aku akan mengirim laporan persiapan Wolf Party ke Dave." Sebastian menutup notebook-nya.

"Sebaiknya jangan kau ganggu dulu Big Boss. Jacque memberitahuku mereka sedang memulihkan diri di Hawaii." Kevin menyarankan.

Semua yang ada di ruangan kecil itu sontak menghela napas panjang. Mimik keprihatinan kentara sekali di wajah mereka. Aroma kesedihan tercium jelas di ruangan meeting.

"Seandainya ada yang bisa kita lakukan untuk mengembalikan tawa itu." Angela bersuara.

Semua menganggukkan kepala. Ada nyeri yang mencubit hati mereka, teringat pada sosok seorang wanita mungil yang bagaikan bintang berkerlip dalam kehidupan mereka. Sosok yang sudah mereka anggap adik sendiri.

"Apa Hawaii akan menyembuhkannya?" Freya bertanya, lebih ke pertanyaan retoris karena mereka semua sudah tahu jawabannya.

"Jika memang bisa, pastinya Moran sudah ada di sini bersama kita sejak tadi." Kevin akhirnya menjawab.

Mereka menundukkan kepala. Tim mereka kali ini memang tak lengkap. Tiga dari mereka tengah mengawal Sang Putri untuk menenangkan diri. Proses yang membutuhkan waktu sangat lama ternyata.

"Baiklah, meeting kita bubarkan." Sebastian beranjak dari kursi.

Rombongan kecil itu dengan cepat berpencar. Sebastian, alih-alih kembali ke kantornya, justru turun ke parkir basement. Langkah kaki pria itu tertuju lurus ke mobil pribadinya yang terparkir di blok A7.

Suara raungan mesin gahar membahana di basement yang sepi. Sebastian menggeber gasnya dan memacu Lamborghini Reventon-nya menuju kondominium mewah yang berjarak hanya beberapa blok dari gedung SGR. Tak butuh waktu lama untuk Lamborghini Reventon miliknya tiba di salah satu unit hunian eksklusif di tengah Manhattan.

Sosok Sebastian sudah dikenal baik oleh petugas di lobi kondominium. Tanpa bersusah-payah, Sebastian masuk ke hunian mewah yang punya garda keamanan super ketat. Seorang diri Sebastian menumpang lift menuju lantai yang ditujunya.

Griya tawang.

Pintu lift membuka lembut, menampilkan pemandangan koridor yang sangat lengang. Sebastian melangkah ke satu-satunya pintu yang ada di koridor tersebut. Jemarinya mengetik sederet password dan suara klik halus terdengar, seiring pintu terbuka yang mempersilakannya masuk.

Langkahnya memasuki foyer berlantai granit dengan pola mozaik. Sebuah potret dalam bingkai raksasa memamerkan kemesraan David dan Maia dalam ekspresi santai tergantung di salah satu sisi dinding. Sebastian tersenyum memandang potret tersebut. Sorot penuh cinta sama-sama terlihat jelas dari mata mereka.

Sebastian ingat persis potret itu diambil di salah satu liburan mereka yang berharga di Thailand. Kevin yang mengambil gambar mereka dengan teknik candid. Beberapa minggu sebelum kecelakaan tragis itu terjadi.

Sebastian mengernyitkan dahi. Hatinya sakit bagai diiris sembilu hanya karena mengingat kecelakaan itu. Dia cepat-cepat meninggalkan foyer dan masuk ke dalam, melewati ruang tamu dan ruang duduk, kemudian naik tangga menuju ke lantai dua, dan berhenti di depan sebuah pintu bercat biru.

Jemari Sebastian membuka pintu. Nampaklah pemandangan memilukan hati terpampang lebar di hadapannya. Cat biru yang berbulan-bulan lalu cemerlang kini terlihat kusam. Box bayi teronggok menyedihkan di sudut ruang, sendirian tanpa pernah melihat sang pemilik.

Sebastian membuka tirai kamar. Sinar matahari sore menelusup lembut masuk ke ruangan. Meskipun kusam tapi ruangan di tempat ini sangat bersih. Secara khusus dia minta bantuan pemilik gedung untuk merawat kebersihan dan kerapian griya tawang ini.

Sebastian lantas duduk di kursi sofa tak jauh dari box bayi. Pikirannya berkelana sejenak. Menyadari seharusnya kursi sofa ini diperuntukkan khusus bagi Maia yang menyusui bayinya.

Sayang, kursi sofa dan seluruh barang di ruangan ini tak akan pernah menjalankan fungsinya dengan baik. Setidaknya sampai detik ini, berbulan-bulan setelah peristiwa tragis yang nyaris merenggut nyawa Maia.

Ingatan Sebastian melayang ke peristiwa setengah tahun silam. Merangkai memori setelah kecelakaan hebat yang menimpa Maia. Itu adalah kecelakaan beruntun, tabrakan karambol yang mengakibatkan satu truk tronton dan lima mobil rusak berat, serta tujuh nyawa menghilang.

Maia sendiri berhasil selamat dengan bayaran yang sangat mahal. Janin yang dikandungnya meninggal, proses kuretase yang hampir menghilangkan nyawa karena pendarahan hebat, dan sederet luka lain yang memaksa Maia harus istirahat total sebulan lamanya di rumah sakit.

Helaan napasnya berat. Sejak itulah tragedi dimulai. Maia depresi. Senyum menghilang dari wajahnya. Keceriaan seolah lenyap dari sifatnya. Maia terus murung dan muram. Meski berjuta penghiburan telah dilakukan David dan sahabat-sahabatnya.

Betapa dalam luka itu tertoreh. Sebastian merenung. Kegetiran ini terasa menyesakkan. Dia merindukan Maia yang dulu. Maia yang ceria, periang, dan optimis.

Tidak, bukan hanya Sebastian saja yang rindu ....

Semuanya juga merindukan Maia.
Sebuah pertanyaan bergelayut di benak Sebastian. Sampai kapan kabut kesedihan ini memayungi keluarga kecil Rossier?

*****

"Sweetheart, aku bawa tiramisu. Kita bisa makan di luar."

David seolah bicara dengan angin. Kabin ini kosong melompong. Dia membuka pintu kamar mandi hanya untuk mendapati tak ada siapa pun di sana.

"Maia ada di luar." Sekonyong-konyong Jacque masuk.

David menoleh. "Lagi?"

Jacque mengangguk. "Zooey menemaninya."

David bersandar di jendela kabin. Maia memang ada di luar. Duduk berdua bersama Zooey. Wanitanya tengah menunduk dengan buku berada di pangkuan, tapi David paham betul Maia tak pernah membaca bukunya.

Buku itu hanyalah kamuflase di pantai yang penuh orang ini. Lebih baik dianggap melakukan tindakan yang aneh dibanding kelihatan melamun terus-terusan.

"Dia sudah seperti itu sejak kamu pergi." Jacque melaporkan.

Yang artinya sudah sejak tiga jam lalu, karena selama itulah durasi kepergian David. Pria itu memang perlu melakukan pekerjaannya namun tak ingin mengganggu sang istri tercinta. Jadilah dia harus mengungsi ke sebuah kafe di kota untuk menyelesaikan pekerjaan.

"Hawaii sepertinya tak cocok untuk Maia." David bergumam.

"Kita sudah mencoba banyak tempat. Nyaris seluruh Eropa dan Amerika sudah kita kunjungi." Jacque geleng-geleng kepala.

"Psikiater bilang liburan akan bagus untuk Maia." David berkata letih.

Jacque memandang David prihatin. Begitu dalam cinta pria itu pada kekasihnya. Semenjak psikiater menyarankan untuk membawa Maia berlibur, David langsung membawa istrinya berkeliling puluhan negara. Mengesampingkan sejenak pekerjaannya yang menumpuk.

"Kalian harus beristirahat." Jacque menepuk bahu sahabatnya.

"Aku ingin dia bahagia." David menghela napas panjang.

"Beri dia waktu istirahat, Dave. Liburan ini tak memberikan manfaat apapun ke Maia."

David sekali lagi melirik istrinya yang masih bertahan dalam posisi yang sama.

"Aku harus menemuinya." David mengacuhkan saran Jacque. Disambarnya kotak tiramisu dan beranjak keluar kabin.

Zooey-lah yang pertama kali menyadari kehadiran David. Tanpa suara dia beranjak pergi. Tempatnya digantikan David yang langsung menduduki kursi lipat di teras kabin.

"Sore, Sweetheart." David menyentuh tangan Maia pelan.

Maia mendongak sedetik kemudian kembali menekuni buku di pangkuannya. David tersenyum tipis.

"Aku membawa tiramisu. Kamu mau?"

Maia mengangguk. "Suapi aku."

David tersenyum lebar. "Ke sini."

Maia menutup bukunya. Dia beringsut ke pangkuan David. Tangannya melingkari leher sang kekasih.

David menyuapkan sepotong kecil tiramisu yang disambut Maia dengan lahap. Potongan demi potongan cake lezat itu beralih masuk ke perut Maia. David akhirnya merelakan bagiannya dilahap sang istri saat mengetahui Maia masih lapar.

"Sudah kenyang?" tanya David setelah dua potong tiramisu ludes tak bersisa.

Maia menggeleng.

"Masih lapar?" David terbelalak tak percaya.

Maia mengangguk, "Aku lapar," tangan Maia mengelus pipi David, "tapi bukan lapar makanan."

David menyeringai. Dia menangkup wajah Maia dengan dua tangan, lalu menariknya mendekat. Bibirnya menyapu lembut bibir ranum Maia.

"Masih lapar?" David bertanya.

Maia mengangguk. "Sangat lapar."

David tertawa. Dia menarik wajah Maia. Kali ini bukan kecupan lembut yang diberikannya. Melainkan sebuah lumatan keras yang menuntut. David mencium sangat keras. Memasukkan lidahnya sendiri, mencari-cari kehangatan dalam mulut sang istri.

"Dave, please?" Maia terengah.

"Aku harus mengusir dulu Jacque dan Zooey." David menggoda.

"Mereka sudah lenyap sejak tadi." Maia menjilat cuping telinga David.

Tubuh David bergidik, "Penyihir," David terengah.

Dalam satu gerakan cepat, David berdiri. Tetap menggendong Maia, yang ngomong-ngomong masih terus menjilat dan menggigit telinga David, dia melangkah masuk ke kabin.

Seperti dugaan Maia, dua bersaudara Moran memang sudah lenyap dari pandangan. Entah di mana sekarang David tak peduli. Yang terpenting sekarang adalah menunaikan tugas utamanya.

Mengenyangkan rasa lapar sang istri.

***

Berjam-jam kemudian, mereka berdua berbaring nyaman dalam kegelapan. Satu-satunya sumber cahaya yang menerangi kamar di kabin itu hanyalah lampu-lampu yang menyala di luar. Suara ingar-bingar musik dan orang mengobrol samar-samar terdengar memasuki kamar. Tapi tak terlalu mengganggu. Keheningan yang damai masih mendominasi kabin mungil itu.

Jemari David mengusap-usap lembut punggung telanjang istrinya. Sementara Maia meringkuk nyaman dalam pelukan suaminya, menopangkan kakinya ke kaki David dan tergeletak nyaman di dada bidang David.

"Puas, Sweetheart?" Suara David parau.

Maia tak menjawab. Hanya menganggukkan kepala. Oh, bagaimana dia tak merasa puas? Kehebatan David di tempat tidur selalu menggetarkan dirinya. David bercinta seolah mereka baru pertama melakukannya. Begitu syahdu dan lembut namun di saat bersamaan juga panas dan menuntut.

"Capek?"

Maia mendongak. "Dua ronde lagi aku masih bisa."

"Oh ya Tuhan," David terkekeh, "Kamu selalu bisa menyenangkan hatiku, Sweetheart."

Maia membisu. Kekehan David terhenti. Seandainya senyum dan ceria itu kembali lagi, makin senanglah hati David.

"Mau berenang?"

Maia menggelengkan kepala. "Ini pantai umum, Dave. Aku tak mau."

"Hanya berenang, Sweetheart."

"Terakhir kali kamu berkata seperti itu, kamu melucuti bikiniku hingga bugil. Untung saja waktu itu kita di kolam renang pribadi."

David menyeringai. "Aku lebih suka melihatmu tanpa helaian benang."

Maia tiba-tiba duduk. Dalam sedetik dia menduduki perut rata David.

"Maksudmu seperti ini?"

Mata David terbeliak. Pose istrinya benar-benar menantang sekarang. Sesi bercinta terakhir mereka sudah selesai beberapa menit yang lalu, tapi sekarang istrinya sudah memberikan godaan lagi.

"Kamu ... telanjang ...." David berkata susah-payah. Tenggorokannya kering. Pandangannya melekat ke sepasang payudara Maia yang membusung indah.

"Tentu saja. Kita baru selesai bercinta dan aku belum sempat berpakaian."

Entah kenapa penjelasan Maia hanya sayup-sayup terdengar oleh telinga David. Fokus pria itu sangat intens tertuju ke puncak payudara istrinya dan sepenuhnya mengabaikan apa yang dikatakan sang istri.

"Sweetheart, mungkin kamu bisa sedikit mundur." Mata David tak lepas menatap payudara Maia.

Maia mengernyitkan dahi. "Kamu bicara padaku atau pada ini?" Maia menunjuk buah dadanya.

"Keduanya." David mendesah.

Maia mengedikkan bahu. Patuh, dia beringsut mundur dan bokongnya langsung bertumbukan dengan sesuatu yang keras.

Maia mengangkat alis."Ronde tiga, Dave?" Maia membawa tangannya ke belakang, membelai lembut David.

David mengerang keras. Jawabannya bukan dengan kata-kata melainkan sebuah tindakan manis. Tanpa menunggu persetujuan istrinya, David mengangkat panggul lembut itu dan menghunjamkannya ke dirinya sendiri.

Mereka berdua mengerang bersamaan saat menyatu. David tak sabar dan mulai bergerak. Maia dengan antusias membalas gerakan demi gerakan. Hingga puncak kenikmatan itu terdaki bersama-sama dalam waktu singkat. Menerbangkan mereka berdua dalam wilayah anti gravitasi yang menakjubkan.

"Maia ...." David merapalkan nama sang istri puas.

Maia ambruk ke dada David. Tubuh mereka masih saling bertaut. David mengecup kening sang istri penuh kelembutan. Sementara Maia, well, lagi-lagi dia meringkuk dengan manis di dada David.

Suara getaran mengusik kesyahduan mereka. Maia menyusup ke lekukan leher David. Lidahnya kembali beraksi. Membuat pria itu tertawa keras.

"Hentikan Sweetheart, kamu bisa membangunkan David junior." David memerintahkan. Tapi kontradiktif dengan ucapannya, tubuh David justru berkhianat dengan balas meremas bokong indah sang istri.

"Aku masih bisa memberimu satu ronde ekstra." Maia bergumam.

Bibir David melengkung. "Gairahmu luar biasa sekali hari ini, Maia?"

"Mungkin karena cuaca pantai panas." Maia masih terus melanjutkan demonstrasi seduktifnya.

Kali ini tangannya turut beraksi dengan membentuk pola lingkaran di perut bawah David. David mengertakkan gigi kuat-kuat. Dia suka melihat Maia bergairah padanya. Tapi malam ini, gairah wanita itu bisa-bisa membunuhnya.

"Jangan ... ke ... bawah ...." David terengah-engah.

Kali ini Maia tak patuh. Dia malah menjalankan telunjuknya mengikuti garis halus di bawah pusar David menuju ....

"Demi Tuhan, siapa yang menelepon jam segini?" David mengumpat keras.

Tangannya menyambar ponsel di nakas. Tanpa membaca nama penelepon, David menyapa getas.

"Halo?"

Tangan Maia semakin berani. David memejamkan mata. Punggungnya mulai melengkung menikmati belaian sang istri.

"Kalian di mana sekarang?"

Maia merayap turun. Rambut panjangnya menggesek kulit David. Pria itu bersumpah satu gesekan lagi kesadarannya akan hilang.

"APA? ANGELA KECELAKAAN?"

Maia membeku. David membeku. Suara di seberang masih terus bicara memberikan informasi.

Gairah Maia padam total. Buru-buru dia merapat ke telinga David yang tengah menelepon, menguping pembicaraan.

"Ya, kami akan segera ke sana."

David mematikan telepon. Dia menatap istrinya. Wajah cantik itu pias. Sepasang mata almon yang sangat dipuja David kini menatapnya penuh rasa penasaran.

"Angela mengalami kecelakaan di Jepang," lapor David hati-hati.

Maia terhenyak kaget. "Bagaimana keadaannya?"

"Umm, Sebastian tak menjelaskan." David mengamati sang istri. Dia tak ingin menyembunyikan apapun tapi dia juga tak ingin memicu post traumatic syndrome sang istri.

"Kita harus ke sana." Maia menatap David.

"Kamu yakin, Sweetheart?" David mengelus kepala Maia. "Ini di Jepang. Kita sekarang sedang liburan."

"Liburan bisa kapan saja," Maia menyela cepat, "tapi Angela lebih utama. Ayo, kita pergi sekarang juga."

David mendesah. "Baiklah."

"Bagus. Aku akan mengepak baju. Dave, kamu bisa menyiapkan private jet-mu, kan?"

David tersenyum geli. "Tentu, Nyonya."

"Kalau begitu cepatlah!" Maia meloncat turun dari tempat tidur. Dia tak peduli jika masih telanjang dan tetap seliweran keliling kamar, memasukkan baju-baju ke dalam koper dan berbagai perintilan lain.

Di atas tempat tidur David mengamati kehebohan itu. Ada perasaan familiar yang menyesak di dada. Melihat Maia nampak sibuk dan cemas, menghangatkan hati David. Tapi dia tak berani berekspektasi terlalu tinggi. Sudah berbulan-bulan lamanya Maia berkubang dalam kesedihan. Satu peristiwa kecil belum tentu jadi pemicu perubahan Maia.

Tapi tetap saja, David menaruh harapan kali ini. Harapan yang terangkai dalam doa panjangnya dalam hati.

Kembalikan senyuman cintaku, Tuhan....

***

Angela meringis. Andrew menundukkan kepala dalam-dalam. Sumpah, dua orang itu serasa ingin tenggelam saja ke dasar bumi dan tak muncul-muncul lagi, setidaknya sampai sepuluh dekade ke depan, saat para tukang ngomel ini tinggal nama dan menjadi bagian sejarah.

"Geez .... Aku tak percaya kau sebodoh ini, Andrew!" James meradang.

"Ini bukan salah Andrew, aku yang memaksanya mengantarku."

"Dan kamu sebegitu bodohnya membiarkan Andrew menyetir saat dia mabuk?" Kali ini Sebastian.

"Dia cukup sadar kok, waktu itu." Angela kalem.

"Demi Tuhan, Angela!" James melotot marah."Lihat apa yang sudah diperbuat Andrew pada tubuhmu dan kamu masih juga membelanya?"

Angela meringis lagi. Kombinasi nyeri, sakit, dan omelan James-Sebastian benar-benar tak bisa ditolerir oleh tubuhnya. Bahkan sedosis besar anti nyeri tak akan mampu menyembuhkan kolaborasi menyakitkan itu.

"Tolong, kalian keluar saja. Kepalaku benar-benar pusing sekarang." Angela memejamkan mata rapat-rapat.

James sudah membuka mulut hendak protes, tapi langsung bungkam lagi. Kernyit sakit di sisa wajah Angela begitu kentara. Membuatnya tak tega mengomeli wanita itu.

"Baiklah, istirahatlah Anggie. Kami akan keluar."

Angela mengangguk. James segera menyeret Andrew keluar kamar diikuti Sebastian. Namun, tiga orang itu tak kunjung pergi dari depan kamar inap Angela. Mereka masih bertahan di koridor yang sepi itu.

"Ya Tuhan, bagaimana ini bisa terjadi?" James menghela napas.

"Sangat susah mendiamkan polisi-polisi di sini dengan kadar alkohol kelewat tinggi di darahmu, Andrew."

Andrew menundukkan kepala. Dia tak menyangkal apapun. Kecelakaan ini adalah kesalahannya. Dan James serta Sebastian sudah bekerja keras agar kecelakaan ini tak diusut oleh polisi.

"Kondisi Angela juga buruk." Sebastian menggigit bibir. "Dua kecelakaan dalam setahun. Peruntungan kita benar-benar luar biasa tahun ini."

Mereka bertiga terdiam. Sama-sama memikirkan perkataan Sebastian. Pria itu benar. Satu kecelakaan sudah sangat tragis untuk Safety Global Rossier, kali ini ada tambahan kecelakaan lagi yang hampir menewaskan dua anggota terbaik SGR.

Beruntungnya keduanya masih diberikan kesempatan hidup oleh Tuhan. Namun kondisi mereka benar-benar buruk. Andrew yang berada di belakang kemudi harus mengalami patah tulang parah di kedua kakinya. Dia terpaksa harus rela menggunakan kursi roda sementara waktu.

Sementara Angela, wanita itu mengalami patah tulang tangan, retak di lutut dan tulang rusuk, serta gegar otak ringan. Kondisi mobil yang mengenaskan sudah cukup membuat orang bersyukur bahwa pengemudi dan penumpangnya hanya mengalami luka-luka sebanyak itu.

"Ayo, kita kembalikan Andrew ke kamarnya." Sebastian mulai mendorong kursi roda Andrew.

Mendadak, langkahnya terhenti. Telinganya yang lebih dulu mengetahui baru matanya mengolah siluet orang yang berjalan cepat ke arah mereka. Saat gelapnya koridor perlahan memudar dari siluet itu, Sebastian terhenyak kaget.

"Maia?" Sebastian memanggil nama itu pelan.

Maia terbelalak melihat mereka. Sedetik kemudian wanita itu menubruk keras tubuh Andrew yang terkapar di atas kursi roda.

"Aduh, aduh, kakiku, ya Tuhan tolong lepaskan aku. Sebas, James, tolong!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro