07.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kau dan wangimu bersanding dengan
Riuh angin di luar

Udara mana kini yang kau hirup?
Hujan di mana kini yang kau peluk?
Di mana pun kau kini
Rindu tentangmu tak pernah pergi

Di jalan ini menguning langit
Berkendara denganmu
Tajam mentari menembus pelan
Bening teduh matamu

Kau dan wangimu berpadu utuh
Tabungan kelak rindu

Udara mana kini yang kau hirup?
Hujan di mana kini yang kau peluk?

Di mana pun kau kini
Rindu tentangmu tak pernah pergi

(Song: Dere - Kota)

***

Sempat terjadi keributan kecil antara diriku dan Dru di halaman parkir. Ia ngotot meminta waktu untuk berbicara, sementara aku tergesa untuk menutup pintu. Terjadi tarik ulur, akhirnya aku terprovokasi untuk turun dari mobil lalu memukul dadanya dengan kesal.

"Step back!" Kali ini aku mendorong tubuhnya dengan sekuat tenaga. Seperti yang sudah-sudah, tenagaku tak cukup mampu untuk membuatnya bergerak barang se-inci. Sempat terpikir untuk menginjak kakinya dengan sepatu bertumit tinggi, tapi kemudian aku ingat, oh, hari ini aku mengenakan flat shoes. Ah, andai aku punya firasat akan bertemu dengan mantan suami, akan kukenakan stiletto dua belas senti agar bisa kuhantamkan ke kakinya sampai puas!

"Apa Friska mencampakkanmu sampai-sampai kamu harus kurang kerjaan ikut kencan online seperti ini?" sindirku. "Ck, Direktur utama macam apa itu?" Aku terkekeh sinis.

"Kamu nggak harus menanyakan tentang Friska padaku," jawab Dru enteng.

Aku kembali terkekeh sinis. "Ini Friska, lho? Pujaan hatimu, satu-satunya perempuan yang kamu percaya untuk berbagi kisah, satu-satunya alasan yang akhirnya membuatku memutuskan untuk bercerai denganmu. Kalau nggak kutanyakan ke kamu, lantas ke siapa, Tuan Dru?" Nyaris saja kulayangkan pukulan ke dadanya, antara merasa gemas bercampur kesal. Tidak, aku memilih urung melakukannya. Terlalu berbahaya.

Mengenakan celana kasual dipadu sweater tipis, aku takut melakukan langkah yang salah.
Tadi aku sudah sempat mendorong dan memukul dadanya, dan bisa kupastikan, di dalam sana pasti masih saja keras dan ... kekar.

Duh, Nessa! Fokuslah!

"Kalau kamu ingin tahu tentang Friska, kamu salah orang. Aku pun nggak tau dia di mana. Sudah lama kami nggak berkomunikasi."

"Kamu pikir aku bakal percaya?" Nada suaraku meninggi.

"Apa selama ini aku pernah berbohong padamu tentang dirinya? Ketika kita masih resmi jadi suami istri, ketika kamu bertanya dia siapa, aku pun menjawabnya. Pernahkah aku membohongimu?"

Aku tertegun. Kalau dipikir, Dru memang tak pernah berbohong tentang Friska, tak pernah juga menyembunyikan kenyataan tentang kisah cinta mereka. Bahkan ketika mereka bertemu pun, Dru akan berkata yang sebenarnya. Bukankah pria itu juga jujur bahwa ia tak pernah mencintaiku?

"Sudah lama aku dan Friska nggak berkomunikasi, kami lama nggak bertemu. Aku bersumpah."

"Terserah," jawabku sinis. "Mau ketemu, mau nggak ketemu, bukan urusanku lagi."

"Ness!" Dru mendekat, aku buru-buru mengacungkan jemari ke arahnya.
"Menjauh dariku," peringatku. Seketika langkahnya terhenti.

"Pertemuan ini adalah kesalahan. Cukup sampai sini saja." Aku bergerak memasuki mobil kembali.

Ketika tampak Dru kembali bergerak, aku buru-buru berujar tegas, "Jika kamu mendekat lagi, aku akan berteriak. Dan kupastikan, kamu nggak bakal ketemu diriku lagi, selamanya." Kutatap dirinya dengan tajam. Dan nyali pria itu tampak ciut. Ia hanya diam mematung ketika diriku menutup pintu mobil, menyalakan mesin, lalu segera tancap gas.

Menatap dari kaca spion, terlihat pria itu masih berdiri mematung di sana, menatap kepergianku.

***

Aku sampai di apartemen dengan perasaan campur aduk. Kaget, sedih, marah luar biasa. Setelah melempar tas ke sembarang arah, kuhempaskan diriku di pinggir ranjang. Nyeri. Luka itu rasanya kembali terbuka, lebar.
Menyisir rambut dengan asal, sejenak kemudian aku tergugu, menangisi pertemuanku dengan Dru, barusan.

Menangisi masa lalu yang memuakkan. Menangisi rasa kehilangan. Dan bisa saja aku sedang menangisi diriku sendiri. Merasa bahwa ... aku tetap saja lemah akan dirinya.

Betapa Tuhan memang punya kuasa dalam membolak-balikan nasib manusia. Rasanya baru beberapa waktu lalu aku berdarah-darah pasca berpisah. Rasanya baru beberapa waktu lalu aku merasa percaya diri mampu berbahagia dengan cinta baru. Sekarang? Ketika aku sudah mencoba menata hati, kenapa dia harus hadir kembali?

Bangkit, kulangkahkan kakiku menuju meja komputer. Menyalakannya dengan tak sabaran, kugerakkan kursor ke arah aplikasi dating bertema bunga mawar warna pink.

Tanpa berpikir panjang, kuputuskan untuk menutup akun di aplikasi Madam Rose.

***

Keesokan paginya aku bangun dengan nyeri kepala yang hebat. Menenggak dua butir aspirin rasanya tetap tak mampu menghalau rasa sakitnya. Kurang tidur, terlalu banyak menangis, dan terlalu banyak memikirkan tentang Dru. Lagi.

Setelah mencuci muka dan meneguk segelas air putih hangat, aku meraih ponsel untuk memberitahu Monik bahwa hari ini aku tak ke butik. Masih diselimuti perasaan yang tak menentu, kali ini aku memutuskan untuk melakukan panggilan pada Allen.

"Al, ada yang ingin kubicarakan denganmu. Bisa datang ke apartemenku? Nanti, sekitar jam sepuluh pagi." Aku memijit pelipis dengan lelah.

"Kebetulan, Mbak. Aku juga ada sesuatu yang ingin kuomongkan sama mbak Nessa." Al menjawab.

Aku manggut-manggut. "Baiklah."

Akhirnya, kami sepakat bertemu, nanti di sini, jam sepuluh pagi.

***

Aku mondar-mandir dengan gusar, sementara Allen duduk di sofa sambil menatapku dengan bingung. Lagi-lagi aku didera rasa bimbang, apakah aku harus menceritakan tentang pertemuanku dengan Dru atau tidak? Atau mungkin seharusnya aku berbicara lebih dulu pada Milly? Luna? Atau cukup diam saja tak bercerita pada siapa-siapa?
Tapi, aku tak sanggup jika harus menahannya sendirian.

"Mbak ...."

"Al ...."

Kami nyaris membuka suara bersamaan.

"Ada yang mau kubicarakan sama Mbak Nessa."

"Aku duluan, ya?" ucapku. Allen menyahut pendek lalu mengiyakan.

Menarik napas sejenak, aku menatap pemuda itu dengan hati tak menentu. "Aku bertemu lagi dengan kakakmu," ucapku kemudian.

Allen tertegun, tapi wajahnya tak menunjukkan rasa syok yang berlebihan.

"Kamu nggak kaget?" tebakku.

Allen menggigit bibir. "Sejujurnya ... itu juga yang mau kubicarakan dengan Mbak Nessa. Aku sudah tahu kalo Mbak Nessa dan Mas Dru bertemu. Ia memberitahuku, kemarin."

Aku ternganga. "Apa dia juga bercerita bahwa kami bertemu lewat aplikasi kencan online?"

Dan di luar dugaan, Allen mengangguk. Pemuda itu tersenyum kaku lalu berujar lagi, "Aku yang mendaftarkannya di aplikasi itu."

Aku tersentak, menatapnya dengan ekspresi tajam. "What?"

Allen menelan ludah lalu mengangkat bahu. "Setelah Mas Dru berpisah dengan Mbak Nessa, ia terpuruk, hilang arah. Sumpah, baru kali itu aku melihat dia menghadapi masa-masa terburuk dalam hidupnya. Aku dan Papi melakukan banyak hal agar ia pulih. Mencoba memperkenalkannya pada orang-orang baru, mengirimnya bepergian ke luar negeri, apa saja, agar ia bersemangat lagi menjalani hidupnya. Nyatanya ... nggak mempan. Mas Dru kayak kehilangan separuh jiwanya." Pemuda itu menyugar rambutnya yang tebal.

Aku tertegun, menatap semua penjelasan Allen nyaris tanpa kedip.

"Beberapa waktu lalu, sepulang dari LA, aku iseng mendaftarkan Mas Dru di aplikasi Madam Rose. Berharap ia bisa bertemu orang-orang baru, cinta baru. Awalnya ia menolak, tapi setelah aku, Papi dan Mami meyakinkan dirinya untuk berubah, akhirnya ia mengiyakan."

"Friska? Bagaimana nasib perempuan itu?" potongku.

Allen kembali mengangkat bahu. "Sejujurnya aku juga nggak tahu, Mbak. Tapi setelah cerai, Mas Dru nggak pernah bertemu dengannya lagi. Aku ingat suatu sore ia pernah berkunjung ke rumah, tapi Mas Dru menolak bertemu."

Kali ini aku mengerjap. "Kenapa kamu nggak cerita?"

"Kan Mbak Nessa nggak pernah mau membahas tentang Mas Dru lagi." Allen membalas.

Bahuku luruh. Melangkah gontai, kuhempastkan tubuhku di sofa seberang Allen. Tanpa sadar kami nyaris melakukan hal yang sama, mengacak-acak rambutku sendiri. Lagipula, kenapa Allen harus kelihatan gusar. Toh, masalah ini nggak ada hubungan dengan dirinya, kan?

"Jangan balikan dengan Mas Dru ya, Mbak." Ucapan Allen kali ini kembali membuatku mengerjap bingung.

"Maksudnya?"

Allen menggigir bibir. "Aku mendaftarkan Mas Dru ke Madam Rose biar Mas Dru bisa ketemu orang baru, dan ... aku pengennya Mbak Nessa--" Kalimatnya terputus.

"Apa?" tanyaku penasaran. Pemuda itu menggigit bibir. "Nggak jadi, deh." Ia menyandarkan punggungnya ke sofa lalu kembali memijit pelipisnya sendiri.
Dia kenapa, sih?

Aku memejamkan mata sejenak lalu ikut menyandarkan punggungku di sofa. Lagi-lagi sakit kepala mendera.

"Ngomong-ngomong, jangan khawatir. Aku nggak bakalan balik ke kakakmu. Dia brengsek," ucapku.

Dan Bajingan Tengik.

Untuk beberapa waktu berikutnya, sumpah serapah kembali kulontarkan ke sosok yang - entah kenapa, masih saja berseliweran di kepala.

***

Aku baru turun dari mobil dan hendak memasuki butik ketika Linda dan Santi menyambutku dengan tergopoh. Wajah mereka semringah.

"Ada apa, sih?" tanyaku bingung. Mereka menggamit lenganku di sisi kanan dan kiri sambil tersenyum.

"Saya nggak nyangka kalau ternyata, Mbak Nessa sudah punya pasangan baru," jawab Linda.

Keningku mengernyit. "Hah? Maksudnya?"

"Tuh." Tepat ketika kakiku baru memasuki ruangan, Santi menunjuk beberapa buket bunga yang terhampar di lantai. Aku melongo.

"Semua dikirim untuk Mbak Nessa."

Aku buru-buru menghampiri buket-buket bunga tersebut. Mengambil kartu di salah satu buket dan membacanya, tertera nama Dru di sana.

Wait, WHAT?! DRU?

"Di ruangan Mbak Nessa juga masih ada. Saking banyaknya, tadi di sini nggak muat, jadi saya pindahkan ke ruangan," ceplos Linda.

"Hah?" Aku melotot. Buru-buru bergerak ke ruangan dan seketika aku ternganga. Benar apa yang dibilang Linda. Ruanganku sekarang sudah mirip toko bunga. Mengambil salah satu kartu lagi, dan pengirimnya orang yang sama.

"Gebetan, ya, Mbak? Dikirimin bunga segini banyak, pasti orangnya romantis. Duh, saya ikut seneng, Mbak." Linda kembali berkata dengan rona bahagia. Aku menelan ludah.

"Bentar ya, Girls. Aku mau ngobrol dulu sama seseorang." Buru-buru aku mendorong mereka halus untuk keluar dari ruanganku.

"Semoga bahagia ya, Mbak." Santi masih sempat berujar sebelum pintu tertutup. Menatap seluruh penjuru ruangan dengan bersungut-sungut, aku mengambil ponsel dan menelpon Allen.

"Halo, Mbak?" Pemuda itu menyapa lebih dulu.

"Kirimkan nomornya kakakmu," ucapku cepat tanpa menjawab salam darinya.

"Mas Dru? Ada apa?"

"Sudah, pokoknya kirimkan saja."

Walau terjeda sejenak, nomor Dru akhirnya ia kirimkan padaku. "Thanks," ucapku kemudian sambil menyudahi pembicaraan.

Menatap layar dan deretan nomor di sana yang baru saja kusimpan, aku menghela napas. Mengumpulkan seluruh energi keberanian, panggilan akhirnya kulakukan.

"Halo?" suara dari seberang sana menjawab pada detik ke sekian. Cepat sekali responnya.

Menelan ludah, aku menjawab. "Halo, ini--." Aku mondar-mandir, ragu hendak menyebutkan nama.

"Aku tahu." Suara dari seberang sana menjawab.

Langkahku terhenti seketika.

"Nessa." Ia melanjutkan.

Keningku mengerut. Darimana dia tahu itu aku? Apa ia mengenali suaraku? Atau ia sudah menyimpan nomorku?

"Darima kamu tahu ini aku?" tanyaku ketus.

Tak ada jawaban dari seberang sana. "Halo?" ulangku.

"Hm." Ia menyahut pendek. "Kamu suka bunganya?"

"Apa yang baru saja kamu lakukan itu ... norak. Kamu pikir ini pemakaman sampai-sampai kamu kirimkan bunga sebanyak itu, hah?" semprotku.

"Itu bunga-bunga kesukaanmu." Dru menjawab.

"Aku suka bunganya, tapi aku nggak suka dengan yang ngirim! Puas?" teriakku.

Terdengar tawa lirih dari sana. Aku makin meradang. Sempat-sempatnya dia tertawa?

"Ini nggak lucu!" teriakku lagi.

"Baiklah. Kalau begitu, bilang saja apa yang kamu suka-,"

"Apa saja, asal bukan kamu!" potongku. "Kamu belum menjawab pertanyaanku? Darimana kamu tahu itu aku? darimana kamu tahu nomorku?" Aku kembali nyerocos tak sabaran.

Dru tak segera menjawab. Nyaris saja aku kembali bersuara ketika pada akhirnya ia berkata, "Sudah lama aku menyimpan nomormu. Aku juga tahu alamat apartemen dan juga butikmu. Kalau selama ini aku nggak berusaha menghubungimu, karena aku tahu kamu masih marah padaku, dan aku pantas menerima semua kemarahanmu, semua sumpah serapahmu. Untuk semua dosa-dosaku padamu, aku ngerasa nggak sanggup bertemu denganmu lagi."

Lagi-lagi aku ternganga syok. Jadi, selama ini ia tahu di mana diriku berada? Padahal aku sudah berusaha menyembunyikan diri darinya, termasuk mengganti nomor telepon dan tempat tinggal.

"Sekarang apa yang membuatmu lancang menghubungiku kembali?" teriakku.

"Aku tahu semua tentang dirimu, Ness. Hanya untuk memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Tadinya hanya sebatas itu, nggak ada niat sedikitpun untuk menghubungi ataupun mengganggu kehidupanmu lagi. Tapi, pertemuan kita secara nggak sengaja di Madam Rose telah mengubah segalanya. Satu, Tuhan mempertemukan kita kembali tanpa direncanakan. Dua, kamu bersedia mengikuti acara kencan online dan itu artinya, hatimu siap untuk menemukan cinta baru. Karena itu--," kalimatnya terjeda sejenak. "Seperti yang sudah kubilang sebelumnya, kali ini aku nggak akan menyerah akan dirimu."

"Dru!"

"And for your information, aku sudah nggak jadi Direktur utama lagi. Jadi, kali ini aku punya baaanyak waktu untuk ngejar-ngejar kamu."

Telpon di tanganku nyaris meluncur jatuh. Menatap layar, aku menjerit kesal, "MISTER ANDREW SEBASTIAN! I HATE YOU!"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro