08.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menghampiri Papa yang tengah menikmati teh sorenya di teras. Memeluknya erat, kukecup pipi kanan dan kirinya dengan penuh kasih. Mama muncul dari ruang tengah dan memelukku sejenak lalu pergi lagi. Ada kue kering di oven yang harus segera diangkat.

“Tumben sudah datang berkunjung. Biasanya seminggu sekali, kadang dua minggu. Ini baru saja tiga hari sudah ke sini.” Papa berujar.
Aku hanya tersenyum seraya duduk di kursi sebelahnya.

Sejak memutuskan tinggal sendiri dan mengurus butik, aku memang rajin mengunjungi Papa dan Mama seminggu sekali. Bahkan pernah dua minggu atau tiga minggu sekali karena aku harus mengurusi pekerjaan ke luar kota. Walau begitu, hubungan kami tetap harmonis. Kami masih jadi keluarga yang bisa diandalkan satu sama lain.
Papa sudah tak terlalu sibuk mengurusi perusahaan. Jadi ia punya banyak waktu luang untuk bersantai di rumah dan mengurusi hobinya menanam bonsai.

“Butik lancar?”

Aku mengangguk.

“Bagaimana dengan ide tentang Yayasan Sosial yang ingin kamu dirikan?”

Aku kembali manggut-manggut. “Sedang proses. Dan mungkin dalam beberapa bulan ke depan akan beres,” balasku.

Raut wajah Papa terlihat lega. Untuk beberapa waktu berikutnya kami asyik mengobrol hal remeh. Tentang bonsai, tentang pekerjaanku, dan juga tentang hobi Mama membuat kue kering. Hingga akhirnya, aku mulai mengajaknya bicara tentang hal serius yang mengganjal di pikiranku.

“Pa, boleh Nessa menanyakan sesuatu?” tanyaku ragu.

Papa menatapku sejenak, lalu mengangguk. “Ada hal serius rupanya.”

Aku mengangguk. Menarik napas sejenak untuk mengumpulkan kekuatan, aku bertanya hati-hati pada Papa. “Sejak aku dan Dru bercerai, apa ia pernah kemari berkunjung?”

Kali ini raut wajah Papa tampak kaget. Pantas saja ia berekspresi seperti itu karena sejak bertahun-tahun lalu, ini pertama kalinya aku membicarakan tentang Dru. Selama lebih dari dua tahun kami tak pernah membicarakan tentang Dru ataupun perceraian kami. Di samping karena aku memang tak mau membahasnya, Papa juga tahu betapa dalam luka yang kualami. Mungkin karena takut menyinggung perasaan, kami sepakat untuk tidak membahas masa laluku bersama Dru.

“Kamu … ingin membicarakan tentang Dru?”

Aku mengangguk.

“Serius?”

Lagi-lagi aku mengangguk. “Aku sudah baik-baik saja, Pa. Ceritakan saja tentang Dru, dan aku akan mendengarnya,” jawabku seolah memahami keraguan di kedua mata Papa.

Papa mengambil cangkir teh, menyesap pelan, lalu mulai menjawab, “Ya. Dia sering berkunjung kemari. Kadang seminggu sekali, kadang dua minggu sekali. Kenapa kalian nggak bertemu? Karena setiap kali ia akan kemari, ia selalu menghubungi Papa dulu apakah kamu ada di sini atau enggak. Setelah memastikan bahwa kamu nggak di sini, dia baru akan berkunjung.”

Mengetahui fakta bahwa selama ini Dru pun menghindar untuk bertemu, dadaku rasanya berdebar.

“Karena dia bilang, setelah apa yang ia lakukan, ia memang tak pantas bertemu denganmu.” Papa menarik napas berat lagi.

“Ness, tanpa mengesampingkan apa yang sudah kamu alami, tetap saja nggak bisa dipungkiri kalo dia pria yang baik. Setiap kali berkunjung, ia membawakan sesuatu dan akan senantiasa menanyakan keadaanku dan mamamu. Ia tak segan mengirimkan dokter bila kami merasa kurang sehat.”

Aku menelan ludah. Tak menyangka akan apa yang Dru lakukan selama ini untuk papa dan mama.

“Jadi, Papa tahu kalau ia sudah nggak jadi Direktur Utama?”

Papa mengangguk. “Sudah sejak setahun lalu ia memutuskan mundur.”

“Kenapa?”

Papa tak segera menjawab. Ia menatapku ragu.

“Jadi kenapa Dru mundur?” tanyaku lagi.

Papa menarik napas berat. “Alasan kesehatan. Sama seperti dirimu, ia juga terpuruk dan perlu waktu untuk menyembuhkan diri. Karena nggak ingin mengganggu pekerjaannya, makanya ia memutuskan mundur.” Ia menjawab kemudian. “Jangan khawatir, dia masih jadi pemegang saham terbanyak di PT. Marine Raya Logistic dan PT. Sentra Energy.” Ia melanjutkan.

Aku menggigit bibir, merasakan jemariku bergetar. Apakah benar Dru sama terpuruknya seperti diriku?

“Nessa ….” Papa kembali memanggil namaku dengan lembut. “Papa nggak ingin berada di pihak siapapun. Tapi Papa tahu bahwa kalian sama-sama terluka dan perlu waktu untuk nggak bertemu satu sama lain. Dan ketahuilah, setelah perceraian itu, Dru juga tidak baik-baik saja.”

Aku menunduk. Untuk sebuah luka di relung hati, air mataku rasanya nyaris berjatuhan. Tak mau perasaan semakin larut, aku memilih untuk menyudahi obrolan kami tentang Dru.

Aku tak lama berada di rumah Papa. Setelah mencicipi kue Mama, aku pamit pulang. Dalam dalam perjalanan, perasaanku membuncah. Takut hilang kendali, aku memutuskan untuk menepikan mobil dan berhenti di bahu jalan.

Dan di sana, aku menghabiskan waktuku untuk menangis. Menutup isak dengan telapak tangan, bahuku terguncang. Entah mana yang kutangisi. Luka yang kembali terbuka, ataukah semua penjelasan dari Papa, bahwa Dru juga terluka, bahwa pria itu juga tak baik-baik saja.

***

Anggrek merah bermakna cinta, gairah, dan harapan. Sementara Gerbera memiliki arti kesungguhan seseorang pada yang terkasih. Dan sekarang, lihatlah! Bunga-bunga itu kini ada di ruanganku. Tidak hanya satu atau dua buket, tapi puluhan.
Pengirimnya? Dru, tentunya. Terlihat jelas di kertas segi empat warna hijau di sela-sela bunga.

Menggaruk kepala yang tak gatal, kutatap buket bunga tersebut dengan gemas. Sementara Linda dan Santi berdiri di samping pintu dengan wajah merona. Mereka pasti mengira bahwa aku sedang dalam hubungan percintaan.

“Masih ada lagi, nggak?” tanyaku.

“Bunganya? Nggak ada, Mbak. Cuma yang di sini. Tapi, anu---”

Mendengar penuturan Linda yang gelagapan, hatiku mulia curiga. “Apa?”

Linda dan Santi berpandangan, lalu sepakat berujar padaku, “Sini, deh, Mbak.” Mereka menggamit lengan tanganku lalu mengajakku melangkah melewati pintu samping menuju taman di sisi butik.

“Itu … ngirimin ini juga.” Linda menunjuk taman, dan seketika rahangku terbuka lebar. “POHON PISANG?” teriakku. Suer! Ada dua pohon pisang di sana, lengkap beserta potnya.

Linda dan Santi manggut-manggut lalu menunjuk kartu pengirim di pot. “Dru.” Itu tulisannya.

Mengerjap, kutatap kembali pohon pisang yang menjulang sekitar dua meter di hadapanku. Lirih aku mengumpat, “Sinting.”

Aku berbalik lalu kembali ke ruanganku dengang langkah terhentak karena kesal. Sebelum Linda dan Santi mengekori, aku buru-buru menutup pintu. Mengambil ponsel di tas, kulakukan panggilan. Pada Dru? Tentu saja.

Menunggu beberapa saat, panggilanku tersambung. Tak perlu menunggu waktu lama untuk membuat panggilanku terjawab.

“Ha—,”

“MAKSUDNYA APA NGIRIMIN POHON PISANG? KAMU PENGEN AKU JUALAN PISANG APA GIMANA?!” semprotku, tanpa membiarkan Dru berbicara lebih dulu.

“Oh, sudah sampai, ya?”

WHAT THE HELL ARE YOU THINKING?”

“Sebentar, Ness. Aku bisa jelasin kok kenapa aku mengirimkan itu.” Dru mencoba membela diri.

“NGGAK BUTUH PENJELASAN APAPUN. AMBIL KEMBALI POHON PISANG ITU, ATAU KUTEBANG DAN KUBUANG!” Pembicaraan ditelpon kuakhiri. Napasku terengah kalau terlalu banyak menghabiskan energi untuk berteriak. Lapar menyerang, padahal tadi aku sudah sarapan.

Menatap layar, aku kembali melakukan panggilan. Kali ini pada Allen.

“Hallo, Mbak?” Allen menyapa ketika panggilanku sudah tersambung.

“Al, apa kepala kakakmu pernah kejedot sesuatu?” tanyaku tanpa basi-basi.

“Hah? Gimana?” Suara Allen terdengar kaget.

“KAKAKMU MENGIRIMIKU POHON PISANG! PASTI ADA SESUATU YANG NGGAK BERES DI KEPALANYA!” Astaga, hasrat untuk berbicara dengan nada tinggi meronta-ronta. Aku tak mampu mengendalikan diri. Membayangkan Dru yang berwajah dingin berbuat iseng padaku, membuatku bertanya-tanya apa dia benar-benar Dru? Mantan suamiku?

What?” Allen ikut berteriak. Tapi sejurus kemudian ia terbahak, membuatku mengernyitkan dahi. “Apanya yang lucu?” tanyaku gemas.

“Aku nggak nyangka kalau Mas Dru benar-benar akan melakukannya, Mbak,” jawab Allen.

“Kalian bersekongkol?” tebakku. Nyaris kembali meluapkan amarah.

“Enggak, bukan gitu. Tadi, pagi-pagi sekali Mas Dru menelpon. Nanya-nanya padaku, selain bunga, yang melambangkan cinta apa, sih? Aku jawab asal aja, pisang. Eh, ngga tahunya, dia nanggepin serius.”

“Kenapa kamu harus jawab pisang?” Aku membuka jendela, memiringkan kepala, menatap pohon pisang di taman samping. Masih tak percaya bahwa pria itu mengirimkan ini padaku.

“Itu, Mbak. Aku teringat sama acara manten keluarga om dari Surabaya beberapa waktu lalu. Ada pisang di sisi pelaminan, berbuah lagi. Aku tanya ke om, katanya biar cintanya awet gitu. Makanya, kubilang saja ke Mas Dru soal pohon pisang. Duh, maaf.”

Aku menepuk kening pelan. “Al…,” erangku.

“Tapi kata Mas Dru itu bener juga, kok. Mengingatkan dirinya akan sebuah lagu lama di tahun sembilan puluhan. Apa gitu judulnya.”

Aku tercenung.

Lagu lama? Tentang pisang? Tahun sembilan puluhan?

Entah bagaimana, tiba-tiba saja liriknya terngiang seketika di kepala.

Lihat pohon pisang
Bila berbuah hanya sekali
Itulah cintaku, yang takkan mungkin
Terbagi-bagi

Cukup kamu saja
Kamu saja yang di hati
Aku tetap setia
Tetap setia sampai mati

“Lagunya Nia Lavenia?” desisku tak percaya. Umurku mungkin baru empat tahun ketika lagu itu dirilis. Tapi sampai akhir tahun 1999-an, lagu itu masih wara wiri di televisi. Aku ingat kalau Mama juga sering memutar kasetnya setiap pagi.
Damn, bisa-bisanya Dru membuatku teringat akan lagu itu?

“Al, sini kamu,” titahku kemudian.

“Mbak Nessa marah, ya?”

“Udah, pokoknya datang ke sini, kutunggu. Kalau nggak muncul di butikku dalam waktu setengah jam, awas.” Pembicaraan kuputus.

***

Allen patuh untuk datang ke butikku setengah jam kemudian. Mengajaknya ke taman samping, ia tercengang menatap pohon pisang kiriman kakaknya. “Busyet, bisa-bisanya dia kepikiran begini.” Ia menggumam, sambil berdecak. Antara kagum dan setengah tergelak.

Sebenarnya aku menyuruhnya kemari bukan untuk membahas tentang pohon pisang tersebut. Well, walau ini juga tentang itu, tapi aku lebih ingin tahu tentang apa yang terjadi pada Dru dua tahun belakangan. Demi Tuhan, Dru yang dingin layaknya gunung es di antartika, sekarang kenapa bisa geje seperti ini?

“Sudah kubilang, kan? Pasti ada sesuatu yang nggak beres di kepala kakakmu. Apa ia pernah jatuh di kamar mandi? Kepalanya membentur sesuatu? Atau apa?” tanyaku bertubi-tubi.

Dan kali ini Allen tak mampu menahan gelak tawanya. “Nggak gitu, Mbak. Mas Dru baik-baik saja, kok. Kepalanya nggak kenapa-napa. Tapi sejujurnya, aku juga nggak tahu dengan arah pikirannya.”

“Anggap saja kali ini aku meminta saran dari orang yang salah.”

Suara itu membuat kami menoleh. Tampak Dru tengah melenggang menghampiri kami.
Seketika aku mematung, merasakan detak jantung berpacu lebih cepat dari biasanya. Ini pertemuan keduaku dengan pria itu setelah pertemuan tak sengaja karena kencan Madam Rose. Dan perasaanku tak berubah. Tetap campur aduk. Benci, kesal, tapi juga berdebar. Aku layaknya abege yang tengah mengalami masalah hormonal.

Mengenakan celana jins dipadu kaos tipis abu-abu, penampilannya kali ini terlihat lebih kasul, santai. Dan lagi, aku gagal untuk tak terpesona.

Apakah wanita yang cintanya pernah bertepuk sebelah tangan memang senantiasa seperti ini? Lemah tak berdaya akan pesona mantan suami yang ternyata makin terlihat tampan?
Ataukah memang selama ini perasaan yang kukira sudah move-on ternyata masih kecantol pada dirinya?

Atau mungkin … yeah, sespertinya hanya terjadi pada diriku saja. Diriku yang membingungkan.

“Loh, ngapain Mas Dru ke sini?” Allen bertanya ketus.

“Kamu sendiri ngapain di sini?” Dru balik bertanya sembari berdiri di tengah-tengah kami. Aku buru-buru mundur beberapa langkah, menjauh.

“Mbak Nessa yang minta aku datang ke sini,” jawab Allen bangga.

“Aku cuma mampir, sih. Mau bertamu.” Dru menjawab. Ia menoleh ke arahku.

Buru-buru aku melengos. “Aku sedang nggak menerima tamu, apalagi tamu yang nggak diundang,” jawabku ketus.

Terdengar Dru tertawa lirih lalu berujar, “Ya sudah lah, kalau begitu aku cuma mampir sebentar, besok-besok bikin janji sama yang punya rumah.”

Aku menatapnya tajam, lalu melengos lagi.

“Ngomong-ngomong soal pohon pisang, walau Allen memberikan saran asal, ternyata setelah dicari-cari, filosofi pohon pisang itu keren, lho.” Dru kembali berujar seraya menatap ke arah pohon pisang yang ia kirim, lalu beralih ke arah Allen dan diriku, bergantian.

“Kan aku sudah jelaskan juga, Mas. Seperti kata Om Awan, kalau pohon pisang itu bisa melambangkan cinta yang terus tumbuh, nggak habis-habis, gitu. Cuma aku nggak nyangka saja kalau Mas Dru bakal serius ngirim beginian ke Mbak Nessa.” Allen terdengar kesal. “Tuh, Mbak Nessa marah-marah, tuh.” Ia menunjuk diriku dengan dagunya.

Aku terdiam, berusaha mempertahankan wajahku agar tetap kelihatan judes. “Bawa balik, atau terserah. Aku nggak mau nerima,” jawabku.

Dru tetap asyik menatap pohon pisang di hadapannya. “Kata orang, pohon pisang mempunyai kemampuan untuk tumbuh merumpun dan berumpun, tidak sebatang kara. Itu artinya, konsistensi dalam kebersamaan itu penting. Andai ini diibaratkan manusia, mereka nggak bisa hidup sendiri. Harus ada pendamping. Ya, kan, Ness?” tatapan Dru yang tiba-tiba ia layangkan padaku membuatku mengerjap.

“Keren, kan?” Ia berujar lagi.

“Tauk, ah,” ucapku cepat.

“Perlu kunyanyikan lagu tentang definisi pohon pisang? Itu, yang ada liriknya cinta merah jambu dan pohon pisang. Kayaknya aku masih ingat kok lagunya.” Lagi-lagi pria itu menawarkan.

Aku bergidik. “Ogah.” Buru-baru aku beranjak meninggalkan kakak beradik tersebut, menghentakkan kaki dengan kesal menuju ruanganku.

Manakala melewati pintu tengah, iseng aku menghentikan langkah lalu berbalik menatap dua pria yang masih ada di taman samping. Tampak kini mereka tengah beradu argumen. Allen terlihat membantah sesuatu, sementara Dru tetap tak mau kalah untuk menjelaskan dengan deretan kalimat yang menggebu.
Menyaksikan dirinya yang seperti itu, tiba-tiba saja bahuku luruh. Cukup lama aku tercenung. Terlihat jelas bahwa sekarang Dru lebih banyak bicara. Kedua matanya pun sekarang lebih ekspresif. Tidak datar seperti beberapa tahun lalu.

Mengawasi cukup lama, akhirnya aku menyadari sesuatu.

Yang ada di sana sekarang adalah sosok baru dari Dru.

***

Hallo, terima kasih sudah mampir membaca. Terima kasih juga atas vote dan komentarnya. Mohon maaf kalau jarang membalas komentar. Itu artinya, saya sedang sibuk ‘mbabu’ sama jagain si krucil. Haha…
Yang penting update ya. Hehe.

I love you.
©Winset

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro