16.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Have I ever told you
Pernahkah aku memberitahumu

I want you to the bone
Aku menginginkanmu

Have I ever called you
Pernahkah aku memanggilmu

When you are all alone
Ketika kau sendirian

And if I ever forget
Dan jika aku lupa

To tell you how I feel
Memberitahumu bagaimana perasaanku

Listen to me now, babe
Dengarkan aku, sayang

I want you to the bone
Aku menginginkanmu

Take me home, I'm fallin'
Bawa aku pulang, aku jatuh cinta

Love me long, I'm rollin'
Cintaiku lama, aku bahagia

Losing control, body and soul
Hilang kendali, raga, dan jiwa

Mind too for sure, I'm already yours
Pikiran pun pasti, aku sudah milikmu

(To The Bone - Pamungkas)

***

"Nessa ...."
Panggilan itu terdengar berulang, tapi samar. Entah siapa yang terus menerus memanggil namaku. Hendak membuka mata tapi gagal. Rasa-rasanya kelopak mataku lengket.

"Nessa ...."
Lagi, panggilan itu mengalun. Suaranya lembut, penuh kasih. Ingin kujawab panggilan itu namun tak bisa. Hingga akhirnya hanya erangan-erangan kecil yang mampu tercipta.

Pulang ...

Aku benar-benar ingin pulang.

"Ya, kita akan pulang."

Suara itu lembut. Berbisik lirih di dekat telinga. Seolah ia tengah memberikan janji manis untuk melakukan apa yang aku mau.
Membawaku pulang.

***

Ketika membuka mata, Dru yang pertama kali kulihat. Pria itu menghambur ke arahku dan segera menumpahkan tangis.

"Terima kasih karena kamu kuat, Ness. Terima kasih karena telah membuka mata," isaknya. Menumpukan siku di sisiku, wajahnya ia tutup dengan telapak tangan. Pria itu terguncang, menangis tergugu.

Menelan ludah, kurasakan cairan pahit di tenggorokan. Perlahan tanganku bergerak meraih lengan Dru. Menyadari sentuhanku, pria itu balas menggenggam tanganku. Ketika tatapan kami beradu, tanpa sadar aku juga menangis. Menahan rasa nyeri di perut, sekaligus berucap syukur.

Akhirnya aku bisa melihat wajah itu lagi.

***

"Papa?" Aku berujar lirih.

"Ada di rumah. Aku melarang beliau ke sini karena kesehatannya nggak begitu baik. Aku bilang padanya bahwa aku yang akan menjagamu." Dru menjawab lugas. "Beliau teramat mengkhawatirkamu. Mamamu juga terus saja menangis. Tadi ketika aku memberitahu dokter bahwa kamu sudah siuman, aku juga sudah memberitahu Papa bahwa tentang keadaanmu. Ah, syukurlah kamu baik-baik saja sekarang." Pria itu mengelus lenganku lembut.

Aku menelan ludah, menatap sekitar. Sempat berusaha bangkit namun urung karena nyeri hebat di perut.

"Bagaimana kamu tahu aku di sini? Siapa yang memberitahumu?"

"Aku ada di butik ketika kamu ambruk bersimbah darah."

Aku meringis sebentar lalu berujar, "Oh ya?"

Dru mengangguk. "Satu kopermu yang berisi oleh-oleh masih tertinggal di mobil. Akhirnya saat itu juga aku berinisiatif untuk kembali ke butik. Ketika sampai di sana, dua pegawaimu mengatakan bahwa kamu sedang ke rumah sakit untuk menjenguk seseorang. Akhirnya aku memilih untuk menunggumu." Kalimatnya terhenti sejenak. "Aku melihat taksi yang kamu tumpangi datang. Aku juga melihat ketika kamu turun dan sosok itu menghampirimu. Lalu ... semuanya berjalan dengan begitu cepat. Ia mendekatimu dan sekian detik kemudian ia melesat, meninggalkanmu tergeletak dengan perut berlubang." Kedua mata Dru berkaca-kaca menakala berbicara.

"Ya Tuhan, darah di mana-mana. Jantungku rasanya berhenti berdetak." Dru kembali mengusap wajah. Kedua matanya sembab kerena terlalu banyak menangis.

"Bajingan itu akan membalasnya di penjara," ucapnya geram.

"Apa ia sudah ditangkap? Ia juga menyakiti Linda."

"Polisi akan segera menangkapnya. Aku janji." Dru menatapku tegas. "Bahkan jika polisi nggak bisa menangkapnya dalam waktu dekat ini, aku sendiri yang akan mencarinya dan mematahkan lehernya!"

Aku menyentuh lengan Dru dan menggenggamnya dengan perasaan was-was. "Dia berbahaya, Dru," peringatku. "Jangan berurusan dengannya."

Menanggapi rasa khawatir dariku, Dru hanya menatapku dengan rahang kaku. "Oke, istirahat dulu ya. Jangan banyak gerak dulu." Pria itu merapikan selimutku lalu kembali duduk dengan patuh di sisiku.

Aku menatap pria itu dalam. "Aku membuatmu khawatir, ya?"

Ketika ia mengangguk, aku tersenyum haru. "Ketika aku ambruk di dekat taksi, ketika aku sadar tengah berada antara hidup dan mati, aku memikirkanmu," ucapku jujur.

Dru mengulurkan tangan, mengelus pipiku lembut. "Semoga bukan hal buruk. Semoga bukan kata makian untukku yang tengah kamu pikirkan." Ia terkekeh lirih. Aku ikut tersenyum lalu menggeleng.
"Bukan. Aku takut nggak bisa ketemu kamu lagi," jawabku.

Dru menarik napas lega. "Dan syukurlah karena sekarang kita ada di sini, bertemu kembali." Ia menjawab.

Obrolan kami terjeda ketika terdengar deheman. Menoleh, tampak Allen sudah berdiri di depan pintu. Melihat kedatangan Sang Adik, Dru menatapku sekilas lalu bangkit.
"Akan kutinggal kalian berdua, ya." Ia beranjak menghampiri Allen, menepuk pundaknya sekilas lalu melangkah keluar kamar. Benar-benar meninggalkan aku dan Allen sendirian.

Allen bergerak dan duduk di kursi yang tadi diduduki Dru. Pemuda itu menatapku dalam lalu menarik napas lega. "Aku benar-benar nggak tahu harus meluapkan rasa syukurku dengan cara apa karena Mbak Nessa sudah siuman dan baik-baik saja." Ia membuka percakapan.

Aku tersenyum. "Aku juga senang bisa bertemu kalian lagi," jawabku haru. "Kupikir, aku akan mati."

Allen menyentuh lenganku lembut. "Mbak Nessa akan panjang umur, itu doaku." Ia berbisik lirih.
Kami berpandangan lalu sama-sama tersenyum haru. Untuk selanjutnya, Allen dengan antusias membicarakan tentang yayasan yang kami kelola bersama. Ia bahkan dengan tegas akan mendampingi Linda mendapatkan keadilan.

"Tim kita sudah solid, Mbak. Banyak pengacara handal yang bergabung. Kita akan dampingi Mbak Linda mendapatkan keadilan. Lelaki itu nggak pantas jadi suami. Dia harus membayarnya di penjara atas apa yang ia lakukan pada Mbak Linda dan juga Mbak Nessa," ujarnya.

"Kuserahkan dia padamu, ya, Al?" pintaku. "Dalam beberapa hari ke depan, aku akan fokus memulihkan diri dulu."

Allen mengangguk cepat. "Siap," jawabnya.
"Makasih, ya," ucapku tulus. Dan pemuda itu kembali mengangguk.

"Ngomong-ngomong, Mas Dru bilang kalian akan berbaikan kembali, ya?" Nada suara Allen terdengar serak. Aku menggigit bibir dan manatapnya dalam. Bingung ingin memberikan jawaban yang seperti apa.

"Wah, sepertinya aku harus nyerah ya, Mbak?" Ia terkekeh datar.

"Al, itu---,"

"Aku akan senantiasa ikut berbahagia kalau Mbak Nessa bahagia," potongnya. "Sungguh, nggak ada yang lebih membahagiakan selain melihat Mbak Nessa tersenyum hangat dan banyak tertawa. Karena itu---," Ia menggigit bibir. "Hiduplah dengan bahagia ya, Mbak."

Aku tersenyum dan mengangguk. "Kamu juga, ya?" ucapku.

"Tentu." Allen menjawab cepat.

"Carilah cewek yang tepat dan berkencanlah," saranku.

Allen mengangguk. "Sementara aku ingin berkencan dengan pekerjaan saja." Ia terbahak. "Mbak, aku sudah bicara secara pribadi dengan Mas Dru. Pembicaraan antar lelaki gitu, deh. Aku bilang padanya, kalau sampai ia menyakiti Mbak Nessa lagi, akan kubawa Mbak Nessa kabur ke antartika." Pemuda itu terkikik.
Dan akhirnya aku ikut tertawa.

Dalam hati aku berdoa dengan tulus. Allen sosok yang baik, dan semoga Tuhan mempertemukannya dengan gadis yang tepat.

***

Dua hari berada di rumah sakit, keadaanku semakin membaik. Dru meminta pihak rumah sakit untuk membatasi kunjungan sehingga yang datang menjenguk hanya dia, Papa, Mama, mantan mertua, dan juga Allen. Santi dan Monik yang berniat datang menjenguk malah aku larang. Biar mereka fokus menjaga butik saja.

Sore itu, entah janjian atau apa, tiba-tiba saja mereka datang bersamaan. Papa, Mama dan juga kedua orang tua Dru. Dan ketika aku melihat gelagat Dru yang canggung, aku sadar ada yang tak beres di antara mereka.

"Ada apaan, sih?" tanyaku bingung.

Dru menatap bergantian ke arahku, ke arah papa dan mama, dan juga ke arah orang tuanya sendiri. Menggigit bibir sejenak, ia berujar, "Ness, ayo nikah. Secepatnya, di sini."

Ucapannya yang tiba-tiba membuatku ternganga.

"What?" desisku.

"Aku sudah meminta ijin pada papamu, dan beliau merestui. Asal kamu bilang iya, maka semua akan segera disiapkan."

Mengalihkan pandangan ke arah Papa yang duduk sofa, pria itu mengangguk. Seolah meyakinkan bahwa ia benar-benar telah merestui pernikahan kami.

"Kenapa buru-buru begini?"

"Dua kali, Ness. Dua kali aku menyaksikanmu berjuang antara hidup dan mati. Dan akhirnya aku sadar betapa kematian itu dekat dengan siapapun. Karena itu, aku nggak ingin menunda kebersamaan kita lagi. Ayo kita hidup bersama, saling menjaga."

"Tapi ... di sini?"

Dru mengangguk. "Nanti kita catatkan pernikahan kita secara resmi ke KUA kalau kamu sudah sehat. Yang penting, kita menikah dulu sekarang."

Aku masih menatap pria itu dengan ternganga. Bingung bercampur kaget. Mengajak menikah kembali dengan mendadak begini? Duh.

"Pria yang menyakitimu itu belum tertangkap, Ness." Papa ikut bersuara. "Dan dengan kondisimu seperti ini, papa nggak tega kamu pulang sendirian ke aparteman. Siapa yang akan merawatmu? Maka dari itulah, Papa minta secara khusus pada Dru untuk menjagamu agar papa bisa tenang."

Masih dengan perasaan bingung, tatapanku kembali singgah ke arah Dru. Dan pria itu kembali berujar, "Ayo nikah lagi."

Dan entah bagaimana mulanya ketika pada akhirnya aku merasakan kepalaku mengangguk lirih.

***

Esoknya, pernikahan itu benar-benar terlaksana. Serius, pernikahanku dengan Dru, di kamar rumah sakit. Hanya dihadiri kedua belah pihak keluarga. Allen pun ikut hadir. Menyaksikan pernikahan yang sederhana dan sakral. Diiringi tangis haru dari Mama, dan juga ... Dru.

"I love you, Ness. I promise to be there when you need me. I promise to hug you tight when you are lonely. I promise to wipe your tears when they fall and I promise to keep you, not for the rest of my life. But for the rest of yours, because your are my everything," bisiknya lembut.

***

I'll choose you.
And I'll choose you.
Over and over.
And over.
Without pause.
Without a doubt.
In a heartbeat.
I'll keep choosing you.

***

"Aku sudah memindahkan barang-barangku ke sini." Dru berujar semringah seraya menunjukkan sebuah lemari yang kini berada tepat di sisiku lemariku. Kamarku sekarang pun berbeda. Ada banyak barang Dru di sana.

Kami baru saja sampai di apartemenku beberapa waktu yang lalu. Setelah seminggu dirawat di rumah sakti, dokter mengatakan keadaanku sudah membaik hingga memperbolehkanku pulang.

"Kapan kamu membawa barang-barangmu ke sini?" tanyaku. Memegang perut yang masih nyeri, aku berjalan pelan menuju ranjang. Dru sigap membantu. Ia mengangkat tubuhku pelan ke atas kasur, menata bantal hingga aku bisa duduk bersandar.

"Sesaat setelah ketika menikah kembali," jawabnya. "Oh iya, aku sudah mengatur janji dengan dokter pribadi kita. Beberapa hari sekali dia akan datang ke sini untuk memeriksamu jadi kamu nggak perlu kontrol ke rumah sakit." Dru menjelaskan panjang lebar. Aku hanya manggut-manggut pelan.

"Akan kubuatkan teh dulu, ya." Ia bergerak.

"Dru," panggilku hingga membuat langkah pria itu urungku.

"Ya?" Ia berbalik dan menatapku lembut.

"Aku benar-benar nggak apa-apa, kan?" tanyaku.

Dru mengernyitkan kening. "Maksudnya?"

Aku meremas selimut yang menutupi bagian bawah tubuhku lalu kembali berkata-kata, "Aku jadi bertanya-tanya, tiba-tiba saja kamu buru-buru pengen nikah, apakah karena ... ada hal buruk menimpaku?"

"Aku nggak ngerti maksudmu, Ness." Kali ini Dru bergerak mendekatiku kembali.

Mendongak, kutatap pria yang menjulang di sisiku tersebut. "Aku pernah menonton ini di drama. Seorang perempuan terkena luka tusuk di perut, lalu rahimnya rusak dan diangkat. Akhirnya, tokoh laki-laki buru-buru mengajaknya menikah demi membuat si tokoh perempuan nggak bersedih lagi. Jadi ...." Aku menelan ludah. "Rahimku baik-baik saja, kan, Dru?"

Rahang Dru mengeras. Pria itu menatapku, kali ini dengan ekspresi bingung.


***

Bersambung...

Yuhuuu... nggak nyangka akhirnya bisa ngelanjutin cerita ini lagi walau lama.
/Lap ingus dengan perasaan haru/
Hik, sroottt...

Beneran deh, urusan di duta bikin hidupku nano-nano. Haha. Beberapa bulan ke depan saya akan sibuk menempuh pendidikan lagi. Doakan lancar dan lulus, ya. Aamin.
Pokoknya terima kasih bagi yang sudah sabar nungguin cerita ini, ya. I love you.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro