17.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Rahimku baik-baik saja, kan, Dru?” Aku kembali mengutarakan pertanyaan yang sama ketika pria itu tak menunjukkan tanda-tanda hendak menjawab.

“Dru, please,” desisku. “Bicaralah jujur padaku,” lanjutku.

“Apa ada cerita seperti itu?” Ia bertanya balik.

“Ada,” jawabku cepat. “Aku pernah menontonnya di drama. Dan pada akhirnya, si tokoh perempuan nggak bisa punya anak.” Bibirku bergetar. Air mataku nyaris merebak. Membayangkan seorang perempuan tak punya rahim dan tak bisa punya anak, tangisku nyaris tumpah. Bagaimana jika aku juga mengalaminya? Bagaimana jika aksi penusukan yang dilakukan oleh Davin membuatku rahimku terkoyak dan … tak berfungsi?

Tuhan, jangan lakukan ini padaku. Dru sangat ingin punya anak kembali, banyak anak. Apa yang akan terjadi padanya andai aku tak sanggup memberikannya keturunan?

“Ness ….” Pria itu memanggil lembut. Menggigit bibir sejenak, ia bergerak mendekatiku dan duduk di pinggir ranjang, tepat di sisiku. Menatapku dalam, ia mulai menjawab, “Si Keparat itu memang menusukmu beberapa kali, tusukan yang dalam dan membabi buta. Ada satu luka fatal di perutmu bagian bawah. Dokter bilang, tusukan itu mengarah ke kemaluanmu dan … benar, mengenai rahimmu. Ada luka robek di sana--,”

“Jadi, rahimku bermasalah, kan? Apa aku nggak bisa punya anak?” Air mataku tumpah sudah. Suaraku tercekat, menahan isak.

Dru menggeleng lembut. “Enggak, bukan begitu.”

“Lalu apa?” jeritku tak sabaran. Rasanya nyeri, tak hanya di bekas luka, tapi juga di hati.

“Dokter bilang rahimmu baik-baik saja, nggak ada masalah. Luka robek itu masih bisa diperbaiki. Jadi, dengan perawatan yang baik, semua akan pulih. Kamu masih bisa hamil.”

Aku menatap pria itu tak percaya. “Sungguh? Kamu nggak bohong, kan?”

Tangan Dru terulur, menyapu air mata di pipi. Dengan senyum lembut, ia menggeleng. “Aku nggak bohong. Nanti, setelah keadaanmu pulih, setelah dokter memastikan semua baik-baik, kita bisa segera melakukan program untuk punya anak. Oke?” Ia kembali mengelus pipiku lembut.

Aku menggigit bibir. “Awas kalau kamu bohong?” ancamku.

Dru tersenyum lalu menggeleng. Ia beringsut untuk memberikan ciuman lembut di pipi, lalu berkali-kali meyakinkanku bahwa aku tak kehilangan rahimku. “Segera, setelah kamu membaik, kita kan lembur untuk bikin banyak anak.” Ia memastikan seraya terkekeh. Dan mau tak mau, aku pun ikut terkekeh, haru.

Setelahnya tangisku reda, setelah aku merasa sedikit tenang, ia beranjak meninggalkanku. Membuatkan minuman hangat, dan juga mengupaskan buah. Ia juga sigap membuatkan makan siang. Seharian penuh, aku menghabiskan waktuku untuk berbaring di ranjang. Kadang jika bosan, aku berbaring di sofa di depan tivi.

“Aku ingin mandi,” ucapku, sore harinya.

“Ayo sini kumandikan.” Dru muncul dari dapur, membawa sepiring makanan ringan yang ia siapkan untukku.

“Nggak usah. Aku bisa ke kamar sendiri. Pelan-pelan saja, kok.” Aku bangkit pelan-pelan.

“Aku nggak mau ambil risiko. Ayo kumandikan.” Pria itu menaruh piring ke meja lalu mendekatiku dan mengangkat tubuhku dengan hati-hati. Membawa ke kamar mandi.

Ketika ia mulai membuka kancing bajuku, aku menahan lengannya. “Jangan ….” bisikku. “Kamu keluar saja. aku akan mandiri sendiri pelan-pelan  dan nanti setelah selesai, aku akan memanggilmu.”

Dru menatapku bingung. “Kenapa?”

Aku menunduk sejenak menatap diriku sendiri lalu menjawab, “Aku malu, Dru.”

“Malu kenapa? Ini bukan pertama kalinya aku melihatmu telanjang.”

“Iya, sih. Tapi itu sudah lama. Bertahun-tahun yang lalu. Dan sekarang, rasanya aneh,” ucapku.

Dru menyentuh dagu dan mengarahkan wajahku ke arahnya. Ia tersenyum. “Ayo kita lakukan ini pelan-pelan. Like the first time,” ucapnya.

Pria itu kembali melepaskan seluruh bajuku. Mengelap tubuh dan juga luka di perut dengan hati-hati. setelahnya, ia kembali membawaku ke tempat tidur, membaringkanku dengan pelan lalu mengganti perban.

“Luka itu akan membekas. Pasti jelek, ya?” ucapku. Dru yang tengah mengganti perban mendongak, menatapku sejenak lalu kembali beralih ke perutku. “Nggak apa-apa. Nanti bekas lukanya pasti bikin perutmu tambah seksi,” candanya. Aku menepuk bahunya jengkel. Dan ia terkekeh. “Serius.” Ia berucap lagi, sembari menyapukan jemarinya di atas luka tersebut.

“Apa rasanya sesakit itu?” Ia kembali menatapku. Aku mengangguk.

“Andai bisa bertukar tempat,” desisnya.

“Dan aku juga akan merasa sakit. Kamu atau aku yang terluka, sakitnya pasti sama.” Kusentuh kepala pria tersebut, menyapukan jemariku di rambutnya yang tebal. Kurasakan pria itu hanya mengangguk. Dan dapat kulihat kedua matanya kembali basah.

“Dru …,” erangku. Pria itu menarik napas dalam lalu menggigit bibirnya kuat. Sejenak ia tersenyum lagi. “Sorry, sekarang aku memang gampang baper. Apalagi kalau berhubungan sama kamu.” Ia tersipu.

“Nggak apa-apa. Aku suka dirimu yang baru,” ucapku jujur. Dan terlihat kedua matanya berbinar. “Oh iya, aku berniat membeli pohon pisang dalam pot. Mau kutaruh di samping pintu ruang tamu.” Ia mengalihkan pembicaraan sejenak setelah proses penggantian perban selesai.

“Untuk apa? Sejak kapan kamu suka pohon pisang?”

“Sejak aku sadar bahwa memperjuangkanmu itu perlu. Sebagai simbol bahwa cinta memang seharusnya sekali dan nggak terbagi.” Ia menyeringai.

***

Setelah sekian tahun menjanda dan tiba-tiba punya suami lagi, rasanya aneh. Terutama manakala membuka mata dan bangun di pagi hari dan kulihat sosok itu terbaring di sisiku.

Aku ingat dulu di pernikahan pertama kali, Dru lebih sering tidur membelakangiku. Aku bangun di pagi hari dengan perasaan hampa karena yang kulihat pertama kali adalah punggungnya yang terbuka.

Sekarang, tidak lagi. Ia berbaring ke arahku. Bangun di pagi hari dengan menatapku, memelukku lalu mengecup pipiku lembut, tak lupa membisikkan kata-kata penuh cinta. Membuatku merasa dihargai, dianggap ada. Dan tentunya, merasa cantik.

***

“Kamu sudah mengecek rekening yayasanmu?” tanya Dru.

Ia menyodorkan ponsel ke arahku dan aku mengeceknya. Terlihat di sana bahwa ada mutasi uang masuk dalam jumlah yang banyak.

“Aku sudah bilang padamu untuk membantu mencarikan dana CSR, kan? Dan sekarang sudah kutepati. Ini bukan kompensasi karena kita bisa menikah lagi. Tapi …” Ia berhenti sejenak. “Aku mengobrol banyak dengan Allen tentang yayasan yang kamu kelola. Dan jujur, aku tertarik untuk ikut bergabung setelah mempelajari visi dan misinya. Sudah kuduga, karena ini kamu, pemikiranmu pasti akan sangat keren sekali. Membantu perempuan-perempuan dan anak-anak bermasalah, melakukan pendampingan hukum agar mereka mendapatkan keadilan. Setelah menimbang, setelah tahu apa yang menimpa Linda, maka kuputuskan ingin bergabung.”

“Bergabung?”

Dru mengangguk. “Kita bertiga bisa menjadi tim yang solid. Aku, Kamu, dan Al. Kamu dan Al bisa fokus untuk melakukan program-program kalian, dan aku yang akan bertanggung jawab mengurusi dana operasional.”

Kutatap pria itu dengan haru. Jika saja perutku tidak dijahit, aku pasti sudah berjingkrak kegirangan.

“Serius? Kamu … akan membantuku?” ucapku tak percaya.

Dru mengangguk. “Apa sih yang enggak buat kamu,” jawabnya sambil terkekeh.

“Dru, kemarilah,” panggilku.

Ketika pria itu mendekat, duduk di sisiku, aku mengulurkan tangan dan beringsut dengan hati-hati untuk memeluknya.

“Terima kasih ya, Dru. Nggak salah rasanya kalau pada akhirnya aku akan jatuh cinta padamu berkali-kali.”

Dru tersenyum. “Dan pada akhirnya aku yang bucin sama kamu,” ujarnya.

Kami berpandangan dengan sorot hangat. “Ayo kita kelola yayasan itu bersama-sama.”

Ia mencondongkan tubuhnya dan mengecup bibirku lembut. “Siap menerima perintah darimu, Dear,” bisiknya. Aku tergelak. “Dan kamu harus patuh. Jika tidak, kamu kupecat.”

Ia ikut tergelak. “Aku akan patuh,” bisiknya. “Dan aku punya dua kabar baik lainnya untukmu?”

Keningku mengernyit. “Apa?”

“Pertama, Linda sudah siuman dan keadaannya stabil. Ia baik-baik saja.”

Aku menutup mulut dengan kedua tangan. Dengan haru yang membuncah, aku mengucap syukur berkali-kali.

“Kedua ….”

Kalimat Dru terhenti sejenak.

“Aku berhasil mematahkan dua gigi Davin.”

Kali ini aku melotot syok. “Polisi sudah menangkapnya?”

Dru mengangguk. “Kemarin malam. Setelah sempat terjadi perlawanan, bajingan itu sudah berhasil dilumpuhkan.”

“Kamu harus berhati-hati dengannya, Dru. Jangan pernah berurusan lagi dengannya. Dia gila.”

“Tenang saja. Polisi sudah mengamankannya.”

Dru melepaskan pelukannya lalu bangkit. “Ayo makan. Akan kusuapi,” ajaknya.

“Oh iya, Dru. Aku lupa bilang kalau nanti siang, Milly dan Luna akan datang berkunjung ke sini.”

“Milly dan Luna?” Ia menatapku heran. Dua nama itu pasti asing untuknya. Karena dulu, sewaktu kami menikah, ia nyaris tak pernah tahu siapa teman-temanku, atau bahkan circle pertemananku.

“Mereka sahabatku. Sahabat terbaik yang pernah kupunya.”

Dru mengangguk-angguk. “Oke.”

“Jika kamu merasa nggak nyaman dengan mereka, kamu nggak harus menemui mereka, kok.”

“Aku akan menyapa mereka dan menemui mereka dengan baik.”

“Yakin?”

Ia mengangguk. “Sudah kubilang, kali ini aku ingin melakukan hal yang benar. Sebagai suamimu, aku ingin bertemu dan mengenal teman-temanmu, dengan semua orang yang kamu kenal, termasuk dengan semua pegawai yang sudah kamu anggap keluarga. Kali ini, aku ingin menjalin hubungan yang baik dengan mereka semua.”

Aku kembali tersenyum haru. Betapa kebahagiaan ini begitu lengkap, sempurna. Semoga akan begini selamanya, Tuhan. Aku merapal doa.

***

Kasih salam buat Mas Gedhang:
Hideo Muraoka as Dru


*Gedhang = pisang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro