CHAPTER 2 Ruelle Peltier

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Keparat!" umpat Zev. "Keparat! Keparat! Keparat!"

Pria itu mondar-mandir dengan gelisah di ruang kerja. Rambut coklat gelap yang diselingi helai-helai keemasan itu berantakan akibat terus-menerus dijambaki. Dia bahkan secara tak sadar mulai mencabuti rambutnya.

Di atas meja kerja, sebuah tab dan ponsel tergeletak dengan layar yang menampilkan foto serta video kampanye koleksi terbaru dari Dominique Desiree. Tepat seperti yang ia khawatirkan, seluruh perhiasan yang ditampilkan memiliki desain sama persis seperti koleksinya yang baru akan dirilis awal Februari nanti.

Zev terlonjak ketika ponselnya berdering. Ia mendelik dan menatap benda itu dengan ngeri ketika membaca nama yang tertera pada layar.

Investornya, Ruelle Peltier.

Pria itu mempertimbangkan untuk melemparkan ponsel tersebut dari jendela ruang kerja dan membiarkan panggilan itu tak terjawab. Ia bisa beralasan kalau benda itu rusak karena tanpa sengaja terjatuh dari lantai enam gedung apartemennya. Namun, Zev segera menyingkirkan gagasan konyol tersebut.

Dia tidak bisa lari. Tidak akan--tidak mau. Harga dirinya melarang Zev untuk melakukannya. Itu merupakan tindakan yang hanya akan diambil oleh seorang pengecut.

Zev akan menghadapi masalah ini beserta segala konsekuensinya. Bahkan jika itu berarti tubuhnya harus dicincang halus oleh sang investor--meski dia berharap tak sampai sejauh itu. Ia berdeham sebelum kemudian menjawab panggilan.

"Ya, Ma--"

"Tidak perlu berbasa-basi!" sela suara di seberang sambungan telepon dengan ketus. "Kami dalam perjalanan menuju kantormu. Kuharap kau bisa menjelaskan semua kekacauan ini. Yakinkan aku untuk tidak menarik investasi dari perusahaanmu dan tidak menuntutmu atas tuduhan penipuan!"

Kemudian, Ruelle Peltier memutuskan sambungan.


Zev hanya menatap kosong layar ponselnya selama beberapa saat, kemudian terenyak.

Pria itu duduk memerosot di kursi. Wajahnya menghadap ke atas, kedua mata terpejam. Salah satu lengannya menutupi mata sementara lengan yang lain terkulai lemah di sisi tubuh. Kepala Zev berdentam-dentam, seolah ada yang memukuli tengkoraknya dari dalam.

Zev mulai membayangkan kemungkinan terburuk. Dia bisa melihat akhir dari mimpi-mimpi besarnya.

Perusahaan yang susah payah dia bangun akan hancur, sementara dirinya dipenjara. Orang-orang akan mengenalnya sebagai penipu, bukan seorang seniman hebat yang telah menghasilkan berbagai karya luar biasa.

Tidak! Zev membatin.

Pria itu yakin dirinya masih bisa memperbaiki semua kekacauan itu. Dia tak akan diam saja dan duduk pasrah menunggu kehancurannya seperti seorang pecundang. Dia tidak mau menyesal di kemudian hari karena tidak berbuat apa pun untuk menyelamatkan mimpinya.

Zev menegakkan tubuh. Dia meraih ponselnya, kemudian menghubungi nomor Vincent yang menjawab panggilannya pada dering keempat.

"Ruelle sedang dalam perjalanan ke kantor kita." Zev memberitahu.

"Hah? Kenapa tiba-tiba sekali?" tanya Vincent terkejut. Terdengar suara orang-orang yang berbicara di latar belakang.

Zev menduga Vincent belum mengetahui tentang kampanye terbaru DD. "Entah bagaimana, desainku bocor dan jatuh ke tangan Dominique Desiree. Beberapa jam yang lalu, mereka meluncurkan koleksi terbaru dengan desain yang sama persis seperti milikku dan kabar itu sudah sampai ke telinga Ruelle Peltier," ujar Zev datar. Penjelasan Zev membuat masalah tersebut terdengar lebih sederhana daripada kenyataannya.

Vincent menyumpah.

"Lalu bagaimana sekarang? Apa yang akan kau lakukan?"

Zev mengangkat bahu, kemudian menyadari Vincent tidak bisa melihatnya. "Apa lagi? Aku harus menghadapinya kan? Aku harus melakukan apa pun demi menyelamatkan perusahaanku."

***

Tak sampai setengah jam kemudian, Zev sudah tiba di gedung D'Vereaux berada.

Dia sudah mengganti setelan jas biru tuanya yang kusut masai dengan kaus turtleneck krem, jas semi formal hitam, celana gabardin hitam, mantel biru tua selutut, serta sepatu bot coklat se-mata kaki. Meski hidupnya kini mendadak kacau balau, ia tetap harus terlihat layak di hadapan sang investor. Setidaknya, jika Ruelle Peltier memutuskan untuk--misal--membunuhnya, Zev akan mati dengan berpenampilan keren dan membuat sang adik bangga akan pilihan busananya.

D'Vereaux menempati sebuah gedung dua lantai yang letaknya masih di sekitar 6th Arrondissement, sehingga tak butuh waktu lama baginya untuk sampai.

Lantai pertama bagian depan gedung itu difungsikan sebagai galeri bernuansa biru tua dan perak--warna khas D'Vereaux, sedangkan di bagian belakangnya menjadi bengkel tempat para pengrajin membuat perhiasan-perhiasannya. Di lantai itu juga terdapat ruang tamu yang biasanya digunakan untuk menerima klien-klien khusus.

Zev bergegas naik ke lantai dua, disambut oleh Faye Beaulieu--sekretaris Zev--yang memberitahukan bahwa Ruelle Peltier sudah menunggu di ruang rapat. Seolah masalahnya masih belum cukup, kali ini wanita itu tidak datang sendiri. Sang suami, Graham Peltier--seorang multijutawan keturunan Britia, sekaligus pemilik perusahaan Peltier Investment turut hadir dalam pertemuan itu.

Zev memerintahkan Faye untuk tetap di luar dan tidak membiarkan siapa pun mengganggu selama pertemuan berlangsung. Zev menarik napas panjang. Dia mendorong pintu--merasakan bobot serta dingin pegangan logam pada kulitnya, lalu memasuki ruangan tempat dua sosok yang menentukan nasib perusahaannya itu menunggu.

***

Orang-orang yang tak mengenalnya mungkin akan mengira Ruelle Peltier berusia sekitar awal sampai pertengahan tiga puluhan. Namun kenyataannya, usia wanita itu sudah mencapai pertengahan empat puluh tahun. Bukan hal yang mengherankan. Sebab, dengan uang sang suami yang tak terbatas, Ruelle jelas mampu melakukan perawatan tubuh mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki--tanpa ada yang terlewat satu milimeter pun.

Wanita itu mengenakan setelan formal berupa blazer dan rok selutut berwarna biru langit, dipadukan dengan stoking hitam dan sepatu tumit tinggi dengan warna senada, serta mantel yang panjangnya menyentuh mata kaki. Rambutnya yang semerah dedaunan musim gugur digelung tinggi. Sebuah kalung dengan berlian berukuran besar menggelayuti leher wanita itu. Berlian itu begitu besar sampai Zev yakin Ruelle akan mengalami sakit leher nanti malam.

Sementara sang suami, Graham Peltier memiliki tubuh sebesar beruang dan rambut tebal sehitam arang. Janggut serta kumisnya dicukur rapi. Sebuah cincin dengan desain sederhana yang merupakan versi maskulin dari cincin yang tersemat di jari manis Ruelle menghiasi jari manis pria itu.

Dari saku depan jas Graham, Zev melihat sehelai sapu tangan dari salah satu merek terkenal seharga hampir seribu franc--lebih tepatnya 999,99 franc. Zev ingin tahu, mungkinkah alih-alih ingus, yang keluar dari hidung pria itu justru berupa uang pecahan seratus franc, lembaran saham, serta cek--mengingat kain untuk mengelapnya saja semahal itu.

Singkatnya, penampilan suami istri tersebut menjeritkan "uang".

Zev menjabat tangan Graham Peltier sembari menyunggingkan senyum terbaiknya, senyum yang selalu dia gunakan ketika berusaha menggaet calon klien potensial--kebanyakan lawan jenis. Selama ini, senyuman itu belum pernah mengecewakannya.

"Monsieur Peltier," sapa Zev.

Graham Peltier menyambut uluran tangan Zev dan balas menjabatnya. Genggaman pria itu sangat kuat. Tangan Zev berdenyut-denyut ketika multijutawan itu akhirnya bersedia melepaskannya.

"Madame Peltier," sapa Zev, "maaf karena sudah membuat kalian harus jauh-jauh datang ke sini dan menunggu."

Dia mengulurkan tangan ke arah Ruelle Peltier. Namun, alih-alih menyambut uluran tangan tersebut, wanita itu justru mengamati Zev dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan sorot menilai. Ruelle mengibaskan tangan, sepenuhnya mengabaikan tangan Zev yang masih terulur.

"Monsieur Devereaux, untuk seseorang yang sedang tertimpa masalah, kau sepertinya memiliki banyak waktu luang untuk memilih pakaian dan bersolek," cemooh wanita itu. Dia memandang Zev dengan sorot mata angkuh dan merendahkan. Sisi kanan mulut Ruelle Peltier terangkat membentuk ekspresi sinis.

Senyuman Zev goyah. Tangannya masih menggantung di udara, yang kemudian ditariknya kembali dengan canggung. Usahanya untuk mengesankan pasangan Peltier sepertinya sia-sia. Zev penasaran, akankah Ruelle Peltier akan merasa iba padanya jika dia datang ke kantor dalam keadaan telanjang?

Tanpa menunggu dipersilakan, pasangan itu duduk, seakan-akan tempat itu milik mereka.

Melihat sikap keduanya membuat darah Zev mendidih. Dia tidak terima diremehkan. Mau bagaimanapun, dialah yang membangun perusahaan ini. Nama yang tercantum dalam surat kepemilikan adalah namanya.

Andai aku tak membutuhkan mereka, aku pasti sudah merobek mulut jalang sialan itu. Setelah itu, aku akan memotong penis si suami dan kujejalkan ke tenggorokannya, batin Zev geram.

Zev berusaha menenangkan diri, kemudian duduk di seberang mereka.

Ruelle Peltier mendorong sebuah tab yang sedang menayangkan video pertengkarannya dengan Blanche. Dari sudut yang tepat, Zev terlihat seperti mendorong supermodel itu.


Tanpa bisa menahannya, pria itu mendesis.

Sundal keparat!

Selama beberapa detik, Zev menyumpahi Blanche dengan kata-kata paling buruk yang dia ketahui. Hanya di kepalanya, tetapi untuk sekarang, itu saja cukup.


Zev mendorong kembali tab tersebut ke arah Ruelle. Dia menatap mata wanita itu. Kemudian, dengan penuh keyakinan dan ketenangan seorang pertapa, pria itu berkata, "Yang kau lihat itu tidak sepenuhnya benar. Aku bisa menjelaskan kejadian sebenarnya."

Baik Ruelle Peltier maupun suaminya tidak mengatakan apa pun, sehingga Zev beranggapan bahwa mereka memberinya kesempatan untuk menjelaskan. Jadi, Zev mulai menceritakan pertengkaran itu dari sudut pandangnya.

Ketika Zev selesai bercerita, baik Ruelle maupun Graham tidak langsung merespons.

Setelah beberapa saat, wanita itu menggeleng. "Bukan tentang apa yang sebenarnya, tetapi apa yang orang-orang lihat. Apa yang orang-orang percayai," ujarnya. "Brigitta Blanche salah satu model paling terkenal di negara ini. Akun media sosialnya memiliki lebih dari 7 juta pengikut--hampir 8 juta. Kau sama saja menggali kuburanmu sendiri dengan mencari masalah dengan gadis itu."

Ruelle terdiam sejenak. Kemudian, wanita itu mengatakan sesuatu yang membuat Zev berharap agar sang investor memerintahkannya untuk melompat dari puncak menara Eiffellia tanpa alat pengaman.

"Minta maaflah pada Blanche. Katakan bahwa kau bersalah dan menyesal karena sudah mendorongnya. Kau menyesali perkataanmu. Aku akan mengatur jumpa pers agar kau bisa meminta maaf di hadapan media, sehingga Blanche tidak bisa menolak permintaan maafmu tanpa membuatnya tampak seperti seorang pendendam."

Di bawah meja, tangan Zev terkepal. Selama hampir semenit, dia hanya diam.

"Tidak," ucap Zev pelan.

"Apa katamu?"

"Tidak!" ucap Zev dengan suara lebih keras. "Aku tidak akan pernah meminta maaf pada ular itu untuk alasan apa pun. Aku tidak akan merendahkan diri untuk orang seperti dia. Dia tak pantas menerima permintaan maafku. Aku tak pernah mendorongnya. Aku juga tidak menyesali apa yang sudah kukatakan, karena semua itu memang benar."

Ruelle bangkit dari kursi. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua tangan bertumpu ke meja. Matanya menatap Zev dengan seluruh kehangatan lautan beku di puncak musim dingin.

"Ada satu yang perlu kau ingat, Monsieur Devereaux. Akulah yang membiayai proyek ini. Aku sudah mengeluarkan banyak uang. Kita punya kesepakatan. Dan aku memerintahkanmu, bukan meminta," ujar wanita itu dengan suara rendah.

Zev balas menatap Ruelle tanpa merasa gentar sedikit pun. "Kita punya kesepakatan, memang benar. Tapi kesepakatan itu hanya menyatakan bahwa kau menginvestasikan uang ke perusahaanku. Yang kau beli hanya keahlianku. Tidak ada poin yang menyatakan bahwa kau juga membeli ideologi serta harga diriku. Kau tidak berhak menghina dan merendahkanku, terutama di perusahaanku sendiri," tukasnya.

Wajah Ruelle merah padam. "K-kau ... kau sudah membohongiku dengan mengakui desain orang lain sebagai desainmu! Setelah itu, kau juga mencari masalah dengan seorang supermodel. Pembohong! Tidak beretika! Penipu! Tidak tahu malu! Kalau kau menolak meminta maaf, coba beritahu aku apa yang akan kau lakukan untuk membereskan semua masalah ini!"

Zev menggertakkan gigi. Ketenangan pria itu akhirnya retak. "Jaga mulutmu, Madame!" geram Zev. "Desain-desain itu milikku! Ada pengkhianat yang mencurinya dan menjual desainku pada orang-orang itu. Beri aku waktu, maka aku berjanji akan membuatkan kalian desain baru yang jauh lebih indah dari yang sekarang. Aku juga akan menyeret pengkhianat itu ke hadapan kalian."

Ruelle Peltier sudah membuka mulut, tetapi sang suami bangkit dan menyentuh bahunya dengan lembut. Kemudian, Graham Peltier bersuara untuk yang pertama kalinya.

"Satu minggu, Monsieur Devereaux. Seminggu dari sekarang, bawakan kami satu contoh desain terbarumu. Buat kami terpukau. Yakinkan kami."

Zev merasa seminggu tidaklah cukup. Namun, jika meminta waktu tambahan, maka dia akan terkesan tak yakin pada kemampuannya sendiri. Jadi, Zev menyanggupinya.

Graham Peltier mengambil tas sang istri, kemudian memberikannya kepada wanita itu. Lalu, dengan kemarahan Ruelle Peltier yang masih menyala-nyala, keduanya berjalan ke pintu keluar.

Ketika tiba di depan pintu, Graham Peltier berbalik, lalu berkata dengan riang, "Oh ya, Monsieur Devereaux. Andai kau berhasil meyakinkan kami, aku ingin tanggal kampanye dan perilisannya tetap seperti rencana semula. Awal Februari. Dan kami tidak mau mengeluarkan uang lagi--satu peser pun, karena semua ini terjadi akibat kelalaianmu sendiri. Selain itu, kuharap kau akan mempertimbangkan opsi untuk meminta maaf kepada model itu."

Kemudian pasangan itu pergi.

Tak sampai semenit, Vincent menyerbu masuk. Dia sudah membuka mulut, siap memberondong Zev dengan pertanyaan, tetapi langsung mengurungkannya ketika melihat ekspresi hampa di wajah pria itu.

Vincent menepuk bahu Zev, kemudian menarik lengan bos, sepupu, sekaligus sahabatnya itu. "Berdirilah! Kita ke Papita's. Aku traktir minum sepuasmu."


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro