CHAPTER 3 Do You Need Help?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Kau sepertinya bersenang-senang,” sindir Azazel begitu Zev memasuki apartemen dengan langkah sempoyongan. Sudah hampir tengah malam ketika pria itu kembali entah dari mana——dalam keadaan mabuk pula.

Zev bersandar ke dinding. Tatapannya tak fokus dan tampak berkabut. Pria itu mengerutkan kening. Matanya menyipit ketika berusaha melihat Azazel dengan lebih jelas.

“Az, kau punya saudara kembar? Kenapa kau ada tiga?” tanya Zev. Bicaranya lambat dan agak diseret-seret.

Azazel memutar matanya, kemudian mendengus ketika melihat Zev tersandung kakinya sendiri. Umpatan meluncur mulus dari bibir pria itu ketika dia tersungkur ke lantai. Sungguh mengherankan dengan kondisinya saat ini, Zev masih bisa tiba di apartemen dalam keadaan hidup dan utuh.

“Apa sudah ada yang memberitahumu kalau kau terlihat tolol saat mabuk? Biar kutebak——pasti tidak.” Azazel bertanya, kemudian menjawab pertanyaannya sendiri.

Zev berusaha bangkit, sebisa mungkin menyelamatkan sisa-sisa harga dirinya yang tercecer. Dia melepas mantel dan melempar benda itu asal-asalan ke lantai, lalu menjatuhkan diri ke sofa ruang tamu. “Aku tidak mabuk,” gumamnya.

“Ya. Kau mabuk.”

Zev mendengus. Setelah terus-menerus gagal melepas sepatunya, dia menghentikan usahanya yang sia-sia itu. Dia memejamkan mata ketika gelombang pusing dan mual menyerang——membuat apartemennya seperti berputar, lalu kembali membuka mata ketika sensasi tersebut berlalu.

Dia mengernyit ketika melihat raut wajah Azazel yang sama sekali tak enak dipandang. Sorot matanya penuh permusuhan, serta sesuatu seperti perasaan ... terluka?

“Kenapa kau?” tanya Zev.

Azazel memalingkan wajah. “Bukan apa-apa!” katanya ketus.

Kemudian, Zev ingat raut wajah itu. Dia sering melihat keponakan-keponakannya memasang wajah seperti itu ketika merajuk.

“Kau ngambek?” tanya Zev.

“Tidak!”

“Lalu, kenapa kau memasang tampang seolah-olah ada orang yang berusaha menggunakan tandukmu sebagai gantungan mantel?”

Azazel memelototi Zev. “Aku.Tidak.Ngambek! Hanya saja, tadi siang ada seseorang yang melemparku dengan botol wiski dan sepertinya tidak berniat meminta maaf karena sudah hampir melukaiku.”

Zev mengerang dalam hati. Azazel kelewat sensitif. Padahal, wanita-wanita yang ada di hidupnya saja tidak se-perajuk itu.

“Tapi, nyatanya kau tidak terluka,” tukas Zev. “Botol itu menembus tubuhmu dan menumbuk dinding. Andai ada yang terluka, itu pasti harga diri dan egomu. Lagi pula, aku tidak akan melakukannya kalau kau tidak terus-menerus mengejekku. Asal kau tahu saja, tidak ada orang yang suka ditertawakan ketika hidupnya di ambang kehancuran.”

Selama sesaat, tidak ada yang berbicara. Zev sudah hampir tertidur ketika Azazel bertanya, “Lalu, bagaimana selanjutnya? Kau tadi bertemu investor, kan? Apa kata mereka? Biar kutebak. Kalau melihat dari kondisimu sekarang, kurasa pertemuannya berjalan buruk, ya?”

Zev agak heran dengan pergantian topik yang mendadak itu, tetapi memilih untuk tidak meributkannya.

Dia mempertimbangkan sebanyak apa yang bisa dibagi dengan Azazel. Namun, setelah dipikir-pikir, sepertinya tidak ada ruginya memberitahu pemuda itu. Lagi pula, dirinya memang butuh teman bicara.

“Sebenarnya, tidak sepenuhnya buruk. Kami berhasil menyepakati beberapa hal ....”

Selama beberapa menit, Zev menceritakan pertemuannya dengan pasangan Peltier, viralnya video pertengkaran dengan Brigitta Blanche, ketegangannya dengan Ruelle Peltier, tentang kesempatan kedua yang diberikan Graham Peltier, serta tenggat waktu yang diberikan pria itu.

Yang agak mengejutkan, ternyata Azazel bisa menjadi pendengar yang baik kalau mau. Pemuda itu duduk bersila di ujung terjauh sofa dan mendengarkan, tak menyela sedikit pun. Bahkan setelah Zev selesai bicara, Azazel tidak langsung menanggapi.

Pemuda itu terlihat memikirkan persoalan Zev dengan sungguh-sungguh. Jemari kedua tangannya bertaut. Kemudian, setelah beberapa menit dan Zev sudah hampir mengakar di sofa yang ditempatinya, Azazel berkata, “Mau kubantu tidak? Aku tidak bisa berbuat apa-apa soal Blanche, karena satu-satunya jalan untuk menyelesaikannya memang membuang ego dan harga dirimu jauh-jauh ke puncak Mont Bleu, lalu meminta maaf pada gadis itu. Tapi kurasa aku bisa melakukan sesuatu tentang perhiasan yang diinginkan investormu.”

Zev menyipit “Kenapa tiba-tiba menawarkan bantuan?” tanyanya curiga. “Kau merencanakan sesuatu, kan? Tidak mungkin kau memberikan bantuan secara gratis.”

Azazel memberengut. “Kau memang selalu berpikir negatif kepada semua orang, ya?”

“Hanya padamu,” sahut Zev datar.

Pemuda itu mencibir. “Aku hanya bosan dan kasihan melihat dirimu begitu merana dan putus asa. Itu saja. Atau ...”

Sebelah alis Zev terangkat. “Atau ... apa?”

Azazel menyeringai. Mata sewarna amethyst tersebut berkilat-kilat jail. “Atau ... kau bisa mencoba merayu Ruelle Peltier. Dilihat dari waktu yang kau habiskan setiap pagi di depan cermin untuk mengagumi dirimu sendiri, aku tahu kau sadar betul akan kelebihanmu.”

Azazel melayang ke belakang Zev. Tangannya terulur. Zev bergidik ketika merasakan angin dingin menyapu pipinya. “Dengan sedikit pujian tentang rambutnya yang berkilau, atau warna cat kukunya yang terlihat sangat cantik, dia pasti akan luluh. Karena jarang sekali pria yang mau repot memerhatikan dan mengapresiasi hal-hal kecil seperti itu. Kau juga bisa melakukan taktik yang sama pada Blanche.”

“Kau gila!” cetus Zev. “Aku tidak akan melakukan hal menjijikkan seperti itu!”

Azazel tergelak, lalu terbang menjauh. Dia mengangkat bahunya dan memasang ekspresi tak acuh. “Terserah kau saja,” ujar pemuda itu. Ada kesan geli di dalam suaranya. “Jangan bilang aku tak pernah menawarimu bantuan.”

***

Zev ingin mengatakan bahwa dia sudah melupakan gagasan gila dari Azazel. Namun, ketika sedang bersiap untuk pergi ke kantor, Zev memikirkan ide tersebut dan tergoda untuk mencoba. Dia berharap tak perlu bertindak sejauh itu untuk menyelamatkan perusahaan.

Kemudian, sebuah suara membuyarkan lamunan pria itu.

“Wow! Kau kelihatan payah, Zev!” seru Azazel.

Pemuda itu muncul tiba-tiba setelah semalaman pergi entah ke mana. Dia berbaring miring di tempat tidur dengan salah satu tangannya menopang kepala——mengamati Zev.

Hari ini, Zev mengenakan kemeja hitam, jas semi-formal coklat, celana chinos abu-abu gelap, serta sepatu bot semata kaki berwarna coklat.

“Terima kasih atas pujianmu. Aku merasa luar biasa,” balas Zev sembari memasang arloji.

Azazel tersenyum lebar. “Sama-sama,” sahutnya. Pemuda itu sepertinya kebal sarkasme.

Zev terbangun dengan sensasi asam di mulut, serta kepala yang berdentam-dentam menyakitkan. Dia sempat tergoda untuk tetap berbaring di tempat tidur——mungkin tidur lagi sampai pengarnya hilang. Namun, Zev menyingkirkan semua pikiran itu ketika teringat banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Sehingga meski enggan, dia memaksakan diri untuk menyibakkan selimut dan menyeret tubuh menjauh dari tempat tidur.

Dia menelepon Vincent untuk memberitahu bahwa dia akan terlambat dan memerintahkan pria itu untuk pergi ke gedung tempat calon galerinya yang baru guna melihat progres renovasinya, lalu meminta sang asisten ke ruangannya begitu kembali ke kantor.

Dua butir aspirin dan Alka Seltzer cukup membantu meringankan sakit kepalanya, meski denyutan konstan di pelipisnya samar-samar masih terasa.

“Dari mana saja kau?” tanya Zev sembari memakai kacamata hitam dalam upaya menyembunyikan matanya yang memerah akibat kurang tidur.

“Merindukanku?” goda Azazel.

Zev tersenyum lebar. Senyum itu tak sampai ke matanya. “Sama sekali tidak,” ujarnya datar. Kemudian melanjutkan, “Aku hanya penasaran, ke mana kiranya seorang hantu sepertimu kelayapan malam-malam dan apa yang kau lakukan.”

“Pasti kau berpikir aku sedang merencanakan hal jahat padamu, ya?” terka Azazel.

“Mungkin,” sahut Zev.

Azazel mencibir. Pemuda itu menjentikkan jarinya di depan wajah Zev. “Mungkin ini akan menyakiti egomu, tapi dengan senang hati harus kukatakan, dunia ini tidak hanya berputar mengelilingimu. Hantu sepertiku juga butuh bersosialisasi.”

Zev ingin tahu, apa yang dilakukan atau dibahas para hantu saat mereka berkumpul. Mungkin mengenang kehidupan mereka di masa lampau, atau beradu mengenai cara mati siapa yang paling keren. Atau mungkin ... Zev menggeleng-geleng ketika pikirannya mulai melantur. Terkadang dia agak mengkhawatirkan kemampuan otaknya dalam berimajinasi.

Pria itu mengambil tas kerja, kunci mobil, serta ponsel yang sedang dicatu daya, kemudian melangkah keluar dengan Azazel terbang mengikuti. “Yaaah ... kuakui kau berhasil membuat egoku terluka semakin parah dan kini berdarah-darah,” akunya.

“Senang sekali mendengarnya,” ujar Azazel riang. Kemudian, dia bertepuk tangan dengan penuh semangat. “Jadi, apa yang akan kita lakukan hari ini?”

“Aku akan berbicara dengan Vincent, memintanya mencari seseorang untuk menyelidiki siapa pengkhianat di perusahaan yang sudah mencuri desainku. Setelah itu pekerjaan membosankan seperti biasa——memeriksa laporan dan sebagainya. Juga berusaha merancang desain baru,” tutur Zev.

Dia tiba di pintu utama apartemennya. Alis Zev terangkat ketika melihat Azazel berhenti mengikuti.

“Kau tidak merengek minta ikut ikut?” tanyanya.

Ugh! Aku tahu kau tak ingin jauh-jauh dariku, tapi hanya dengan mendengar apa yang akan kau lakukan saja sudah membuatku hampir ketiduran. Lagi pula, aku menemukan mainan baru. Aku akan menyibukkan diriku dengan mainan itu. Pergi sana!”

***

Vincent Fjord berambut gelap pendek, dengan mata kelabu badai dan kulit sewarna madu yang menurun dari sang ayah. Wajahnya menarik dengan ketampanan yang terkesan klasik. Dia berusia 31 tahun, hanya setahun lebih muda dari Zev. Pria itu mengenakan kemeja putih, serta celana, jas, serta rompi garis-garis berwarna coklat.

Dia tiba di kantor sekitar pukul sebelas siang setelah sebelumnya mengunjungi gedung untuk galeri baru D’Vereaux yang berada di 7th Arrondissement——tak jauh dari Menara Eiffelia, dan langsung menemui Zev di ruangannya seperti perintah atasannya tadi pagi melalui telepon.

Dia menyapa Faye yang sedang sibuk menyortir berkas-berkas yang nantinya akan diserahkan kepada Zev, kemudian mengetuk pintu ruangan.

“Masuk!” seru Zev.

Ruangan bernuansa biru tua itu seperti baru diamuk badai. Kertas-kertas hampir menutupi seluruh permukaan meja kerja Zev. Di sebelahnya, tempat sampah dipenuhi gumpalan kertas kusut.

Menurut Vincent, untuk ukuran orang yang baru mabuk-mabukan semalam, Zev terlihat tidak buruk-buruk amat. Dia menyampaikan itu kepada Zev, yang kemudian ditanggapi dengan gerutuan.

Pria itu duduk di seberang Zev, kemudian mulai menyampaikan kemajuan renovasi galeri. Dia juga menunjukkan foto-foto yang tadi diambilnya dari lokasi.

“Jadi, dengan kecepatan pekerjaan saat ini, kemungkinan renovasinya akan selesai paling lambat sekitar pertengahan Januari——sesuai estimasi awal,” Vincent mengakhiri laporannya.

Mereka membahas beberapa hal lain, termasuk kelanjutan hubungan kerja sama antara perusahaan mereka dengan Brigitta Blanche. Pihak Blanche sampai saat ini masih bungkam, tak mau memberikan keterangan apa pun kepada awak media. Namun, tim legal mereka sudah mulai berkomunikasi dengan manajemen model tersebut.

“Ada satu hal lagi yang aku ingin kau lakukan,” ujar Zev. “Selidiki siapa pengkhianat yang sudah berani mencuri dan menjual desainku kepada Dominique Desiree. Lakukan secara diam-diam, karena aku tak ingin pengkhianat itu menjadi waspada. Aku tak peduli cara apa yang kau gunakan. Temukan pengkhianat itu beserta bukti-bukti yang kuat. Pastikan agar tak ada jalan baginya untuk lolos.”

Vincent mengangguk. “Bien—baik, Monsieur. Akan saya pastikan penyelidikan ini tidak akan bocor. Ada lagi?”

Zev berpikir sejenak, kemudian menggeleng. “Itu saja. Pergilah.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro