CHAPTER 4 What Do You Want?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah kunjungan Vincent, Zev mengurung diri di ruangannya. Selain tidak mau menemui siapa pun, Zev juga menginstruksikan kepada Faye, sekretarisnya agar menolak semua panggilan telepon yang masuk dan mengatakan kalau dia sedang sibuk.

Terakhir kali Faye masuk yaitu ketika sang atasan memintanya untuk membelikan kopi. Sejak saat itu, Zev masih belum memanggilnya lagi. Dia bahkan melewatkan jam makan siang.

“Masih belum mau keluar, ya?” tanya Vincent sembari menyerahkan berkas berisi daftar nama tamu yang akan diundang dalam acara pembukaan galeri——Maison de Vereaux, sekaligus acara perilisan koleksi terbarunya.

Faye menggeleng dan menatap sedih nampan berisi makan siang yang dia belikan untuk Zev.

“Beliau bekerja terlalu keras,” gumam Faye.

Alis Vincent terangkat mendengar kekhawatiran di dalam suara perempuan itu, kemudian pemahaman melintas di wajahnya.

“Itu makanan untuk Zev, kan? Kenapa tidak kau bawa masuk?”

Faye menatap lelaki berkacamata itu dengan tatapan ngeri. “Monsieur Devereaux akan langsung memecatku jika aku mengganggunya lagi. Tadi saja saat aku membawakan kopi untuknya, dia seperti tidak sabar ingin mengusirku——seakan-akan aku ini serangga pengganggu. Padahal aku tidak ada semenit di ruangannya,” keluh perempuan itu.

“Tidak akan,” Vincent meyakinkan. “Kalau tidak, bawa daftar nama tamu ini bersamamu sebagai alasan. Kalau bisa, minta dia memeriksa dan menandatanganinya sekalian, agar aku bisa segera menyerahkan daftar itu ke percetakan.”

Faye mencebik. “Itu sih, akal-akalanmu saja agar Monsieur segera menyetujui proposalmu,” omelnya. Namun, pada akhirnya Faye membawa berkas itu beserta nampan berisi makanan untuk Zev.

Zev mendongak ketika mendengar suara ketukan dan tanpa sengaja mematahkan ujung runcing pensil yang ia pegang. Konsentrasinya buyar seketika.

Dia sudah menggambar banyak desain, tetapi masih belum ada yang bisa memuaskannya. Zev ingin membuat sesuatu yang sangat berbeda——sederhana, unik, dan elegan. Namun, sejauh ini, gambar-gambar itu tampak seperti sampah di matanya.

Zev menatap kesal pintu itu dan merutuki siapa pun yang ada di baliknya karena sudah berani mengganggu. Padahal dia baru saja mendapatkan ide. Sekarang ide itu sudah menguap tak bersisa.

“Masuk!” serunya. Dan pastikan kau menggangguku karena sesuatu yang penting, imbuhnya dalam hati.

Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dan Faye melangkah masuk.
Perempuan itu tampak cantik seperti biasa. Rambutnya yang sewarna dedaunan musim gugur dipotong model bob berayun seiring dengan ketukan langkahnya. Tubuhnya memiliki lekukan dan tonjolan di tempat-tempat yang pas, dibalut blus putih tulang lengan pendek dengan motif garis-garis, serta celana panjang highwaist abu-abu. Dia memakai sepatu high heels berwarna coklat gelap, senada dengan ikat pinggangnya. Selayaknya pria-pria normal lain, kekesalan Zev sedikit mereda begitu disuguhi pemandangan indah itu.

Zev yang melihat perempuan itu kerepotan membawa sebuah nampan sarat makanan dan mengepit sebuah berkas bergegas bangkit, lalu mengambil alih nampan——mengabaikan protes Faye. Dia meletakkan nampan itu di meja, lalu kembali duduk.

“Ada apa?” tanya Zev.

“M-maaf mengganggu Anda, tetapi ada berkas yang harus segera ditanda tangani,” ujar Faye sembari mengulurkan berkas yang dibawanya. Kepalanya tertunduk, tidak berani menatap langsung ke mata sang atasan.

Dia menelan ludah, kemudian melanjutkan, “Ng ... anu, Monsieur. Saya juga membawa makanan, karena jam makan siang sudah lama lewat dan Anda tak kunjung keluar. Ini ... ini atas perintah Monsieur Fjord.”

Alis Zev terangkat. “Vincent yang menyuruhmu?”

Perempuan itu mengangguk kuat-kuat. “Oui—iya! Katanya beliau khawatir karena Anda tak keluar saat makan siang.”

Faye memuji tindakan cerdasnya tersebut dalam hati.

Lebih baik begitu. Jangan sampai Monsieur Deveraux mengira aku sedang berusaha menggodanya.

Zev menggeleng-geleng seraya tertawa pelan. Sembari membuka berkas yang diberikan Faye, dia berkata, “Tunggu sebentar, ya? Biar saya periksa. Duduklah. Ini tidak akan lama,” ujarnya.

Faye mengangguk, kemudian duduk.

Zev heran karena meski sudah hampir setahun Faye bekerja di perusahaannya, sang sekretaris tampaknya masih sangat gugup saat bicara dengannya. Sembari menekuri daftar nama di hadapannya, Zev penasaran kenapa Faye begitu takut kepadanya.

Setelah memastikan daftar tersebut sudah lengkap, Zev menandatanganinya, kemudian menyerahkan pada sang sekretaris.
Perempuan itu berdiri. “Kalau begitu saya permisi dulu, Monsieur,” ujarnya, kemudian melangkah keluar. Dia sudah hampir mencapai pintu ketika Zev tiba-tiba memanggil.

“Faye.”

Oui, Monsieur?” Faye tampak kebingungan.

Zev tersenyum. Matanya berkilat-kilat geli. “Tolong sampaikan pada Vincent, terima kasih banyak untuk makan siangnya. Katakan juga kalau dia seharusnya tak perlu repot-repot membelikanku makan siang sampai dua kali,” ujar Zev sembari menahan tawa.

Wajah Faye merona. Rambutnya bahkan tampak lebih merah daripada biasanya. “T-tentu, Monsieur.” Kemudian perempuan itu terbirit-birit keluar.

Tepat sebelum pintu tertutup, Zev mendengar Vincent berkata, “Kenapa kau? Kenapa wajahmu seperti tomat busuk?”

Terdengar Faye memekik. “Memalukan sekali ....”

Pintu tertutup, memblokir suara-suara dari luar. Kemudian, tawa Zev pun meledak.

***

Zev memelototi kertas kosong di hadapannya. Dia hanya memakai celana piama bermotif kotak-kotak serta kaus putih polos. Rambutnya acak-acakan bekas dijambaki, kebiasaan buruknya ketika sedang merasa tertekan.

Sudah hampir satu jam dia duduk di ruang kerja, tetapi ide seolah sedang menghindarinya. Padahal pertemuan dengan investornya tinggal dua hari lagi. Namun, jangankan contoh perhiasan, desainnya saja dia belum punya.

Zev berhasil menghasilkan beberapa desain selama beberapa hari terakhir, tetapi dia selalu merasa kurang. Entah terlalu sederhana, terlalu norak, tampak ketinggalan zaman, terlalu pasaran, dan berbagai alasan lain. Semua itu gagal memuaskan Zev dan berakhir di tempat sampah.

Pria itu mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi, lalu mengembuskan napas kasar. Matanya terpejam. Dia lelah dan kesal setengah mati.

“Kau butuh istirahat, Zev. Keluarlah! Cari udara segar! Dengan kondisimu sekarang, kau tidak akan menghasilkan apa pun selain sakit kepala, gerutuan, sumpah serapah, dan kebotakan dini jika kau tak berhenti menjambak rambutmu,” ujar Azazel tanpa sengaja menanggapi apa yang ada di pikiran Zev.

Pemuda itu duduk bersila di sofa di sudut ruangan. Kepalanya tertunduk dan raut wajahnya sangat serius. Jemarinya bergerak dengan lincah. Dia memegang sesuatu yang berkilau——atau lebih tepatnya, benda itu melayang di antara kedua tangannya. Azazel begitu fokus dengan pekerjaannya sehingga dia menggigit bibirnya tanpa sadar.

“Mana bisa aku keluar mencari hiburan ketika perusahaanku terancam runtuh!” Zev menggerutu. Matanya masih terpejam.

Azazel hanya memutar matanya, malas menanggapi perkataan Zev. Pria itu sudah menolak tawaran bantuannya mentah-mentah, dan saran apa pun yang dia berikan hanya akan dimentahkan oleh Zev. Azazel tidak mau membuang-buang energi hanya untuk ditolak lagi.

Zev membuka mata ketika tak ada respons dari Azazel. Keningnya berkerut. “Kau sedang buat apa, sih?” tanyanya. Zev penasaran dengan apa yang sedang dikerjakan Azazel sehingga membuat pemuda itu begitu sibuk akhir-akhir ini.

Azazel akhirnya mendongak. Mata sewarna amethyst itu menatap Zev dengan tatapan mencela. “Kan! Kau mulai rewel. Sudah kubilang, keluar sana! Minum-minum atau apalah!” Azazel mengomel.

“Aku bosan mendengarmu mengerang, mengeluh, menggerutu, dan mengumpat-umpat setiap malam. Cari angin. Cari perempuan. Dengan tampangmu itu, kurasa kau takkan kesulitan membuat perempuan merangkak ke tempat tidurmu dengan sukarela——kecuali kau impoten.”

Zev memelototi Azazel, tetapi pemuda itu tidak peduli. Dia justru melanjutkan, “Seingatku, sejak aku ikut denganmu selama ... berapa, sih? Delapan bulan, ya? Yeah, kurang lebih selama itu, aku belum pernah melihatmu membawa pulang perempuan. Sisihkan dulu pekerjaanmu untuk malam ini. Kau butuh pelepasan, man.”

“Aku tidak berkewajiban melaporkan ‘kencan-kencanku’ kepadamu. Dan aku tidak impoten!” tukas Zev panas. Dia menatap Azazel sengit. Baru kali ini dia diomeli oleh seseorang yang——memiliki wujud——jauh lebih muda darinya. Hal itu cukup membuat harga dirinya terluka.

“Baguslah! Jangan sampai aku berpikir kau bisa mendapatkan orgasme hanya dengan memandangi desain-desain rancanganmu. Sumpah, deh! Kau butuh wanita sungguhan,” balas Azazel.

Wajah Zev merona. “Sialan kau!” umpat pria itu——yang disambut dengan gelak tawa Azazel.

Ketika tawanya reda, Azazel terbang menghampiri Zev, kemudian mengintip dari balik bahu pria itu dan melihat buku sketsanya masih polos. “Kau yakin tidak mau kubantu?” tanyanya.

Zev mendengar ada kekhawatiran di dalam suara pemuda itu dan tak menyukainya. Dia tidak butuh dikasihani.

Pemuda itu menjentikkan jarinya, kemudian salah satu gumpalan kertas di tempat sampah melayang ke arahnya dan perlahan membuka——menampakkan desain sebuah gelang Selama beberapa saat, Azazel mengamati desain tersebut. Keningnya berkerut.

Tanpa sadar, Zev menahan napasnya. Entah mengapa, dia ingin tahu pendapat Azazel mengenai desainnya.

“Ya ampun, Zev! Bagaimana mungkin kau bisa membuat sampah seperti ini?”

Zev menutupi wajah dengan kedua tangan. “Aku tahu. Kau tidak perlu menegaskannya hanya untuk menghancurkan kepercayaan diriku,” gerutu Zev dengan suara teredam.

“Aku hanya mengutarakan pendapatku,” ujar Azazel. Suaranya lebih lembut daripada biasanya.
“Aku tidak merasakan nyawa di dalam desainmu ini. Entahlah. Aku tidak memungkiri kalau ini indah, tapi terasa hampa. Bahkan perhiasan yang desainnya dicuri itu menimbulkan kesan yang sama. Hanya indah, tapi tak berjiwa.”

Zev tertegun mendengar perkataan Azazel, karena memang itulah yang dia rasakan. Kekosongan itu.

“Kau tersesat, Zev. Kau kehilangan dirimu. Kenapa? Desain-desain itu, mereka tidak memiliki napasmu. Kau punya ciri khas. Kenapa meninggalkannya? Apa yang sebenarnya kau kejar? Apa yang kau inginkan?”

Zev menatap Azazel. Mata amethyst pemuda itu berkilauan. Begitu indah. Begitu memikat.

Bahu Zev terkulai. “Desain itu permintaan Ruelle,” ujar Zev pelan. Suaranya terdengar lelah——kalah. “Selama ini aku hanya membuat perhiasan untuk pria, tetapi Ruelle hanya mau menginvestasikan uangnya jika aku juga membuat perhiasan untuk wanita. Aku merasa tertantang dan harga diriku tak membiarkanku untuk mengakui kalau itu di luar kapasitasku. Aku tidak ingin mengakui bahwa aku tidak mampu. Dan aku ingin membuat D’Vereaux semakin besar, jadi aku terima permintaannya.”

Azazel terdiam sejenak. Ekspresinya begitu serius.

“Kenapa kau tidak membuat perhiasan yang bisa dipakai pria juga wanita?” Mata pemuda itu berbinar-binar. “Ya. Itu ide yang sangat brilian. Dengan begitu, kau bisa mengikuti keinginan Ruelle tanpa harus kehilangan jati diri dan ciri khas-mu.”

“Apa maksudmu?” tanya Zev bingung.

Azazel mencondongkan tubuh ke arah Zev sehingga wajah mereka sangat dekat. “Akan kujelaskan, Zev, tetapi biarkan aku membantumu,” ujar pemuda itu penuh semangat.

Saat melihat keraguan berkelebat di wajah Zev, Azazel berkata dengan nada mendesak, “Apa lagi yang kau khawatirkan? Perusahaanmu di ambang kehancuran. Aku mungkin satu-satunya yang bisa membantumu untuk menyelamatkannya. Kau mau hasil kerja kerasmu hancur begitu saja?”

Zev mengepalkan tangannya. “Tidak,” bisiknya. “Aku tidak bisa membiarkannya.”

“Lalu, apa lagi yang kau tunggu? Kau bilang ingin menjadi pesaing Lancelot Corporation dan membalas mereka karena sudah menolak dan mempermalukanmu. Bagaimana kau bisa mencapai tujuan itu kalau kau hancur? Tidakkah kau malu pada dirimu sendiri?” bujuk Azazel.

Zev teringat pertemuan pertamanya dengan Azazel berbulan-bulan yang lalu, serta penawaran yang diajukan pemuda itu dan ditolaknya mentah-mentah. Waktu itu, Zev bahkan menertawakan Azazel.

Dia menatap pemuda itu, kemudian berkata, “Hanya jika kau berjanji tidak akan meminta bayaran apa pun dariku.”

Azazel berdecak. “Bukankah aku sudah berkata begitu sejak awal? Kau saja yang bebal!” Dia menjentikkan jarinya. “Ulurkan tanganmu!” perintahnya.

Zev tidak langsung menuruti perkataan Azazel. Dia justru menatap pemuda itu curiga.

Azazel yang menyadari tatapan Zev mengembuskan napas, kemudian berkata, “Waktu yang kau miliki tinggal dua hari. Dengan kekuatanku yang sekarang, aku tidak bisa membuat perhiasan yang kau inginkan dalam waktu secepat itu. Kau harus ikut bekerja.”

Zev berusaha mencerna perkataan Azazel. Kemudian, dengan enggan mengulurkan tangan kanannya. Dia terkesiap ketika Azazel tiba-tiba mengeluarkan pisau berukuran sangat kecil dengan bilah amat tipis, lalu menorehkan bagian tajam senjata itu ke telapak tangannya. Gerakan pemuda itu begitu cepat sehingga Zev tidak sempat menghindar.

Zev menatap marah pada Azazel. “Apa yang kau——”

Azazel menempelkan telapak tangannya ke telapak tangan Zev. “Sudah kubilang, aku meminjam kekuatanmu. Jangan melawan ...”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro