Empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari berikutnya, ketika Sara berkunjung kembali ke apartemen Suho, lagi-lagi ia bertemu Lay.

Tik ... tok ... tik ... tok...

Hening.
Hanya denting jarum jam di dinding yang menggema di ruang tengah.
Sara duduk di ujung sofa sambil bersedekap dengan angkuh. Sementara Lay juga melakukan hal yang sama. Duduk bersedekap dengan angkuh namun di ujung sofa yang satunya.

Hampir 15 menit mereka berdiam diri. Sesekali mereka hanya akan melempar tatapan sinis, lalu kemudian sama-sama melengos dengan bibir berdecih.

Suho yang menelpon Sara untuk datang kembali ke apartemennya. Tapi setelah sampai di sini, pria itu justru malah masih berada di lokasi syuting. Ia baru saja mengirim pesan bahwa ia akan sampai di apartemen sekitar 10 menit lagi.

Sebetulnya tak masalah jika Sara harus menunggu kepulangannya.
Tapi ia tak percaya bahwa ia kembali berhadapan dengan makhluk ini. Ia bertemu lagi dengan Lay!

Berbeda dengan pertemuan pertama mereka beberapa waktu lalu yang diwarnai adu fisik di lantai kayu, pertemuan kali ini berlangsung damai.
Tapi tetap saja ini menyebalkan.

"Apa kau tak punya rumah hingga kau harus sering datang kemari?" Sindir Sara sambil melirik Lay dengan sorot mata berkilat.
Lay tersenyum sinis.
"Ck. Ini toh bukan rumahmu, kenapa kau harus repot? Lagipula Suho memperbolehkanku datang kemari sesukaku. Kau sendiri kenapa jadi sering ke sini?"
"Aku pacarnya!"
"Kau 'kan cuma pacar sewaan,"

Mendengar itu, Sara menggigit bibirnya dengan kejengkelan berlipat ganda. Tak menyangka bahwa Suho juga akan menceritakan perihal kontrak mereka pada lelaki ini.
Jadi sebenarnya hubungan mereka sedekat apa?

"Suho yang menyuruhku datang kemari!"
"Ya sudah, tunggu saja dia pulang. Jangan ribut," Lay melengos.

Gigi Sara bergemerutuk.
Jika saja Lay adalah perempuan, maka sudah sejak tadi ia menghambur ke arahnya kemudian menjambak rambutnya.

Ketegangan di antara mereka mencair ketika pintu terbuka dan Suho muncul. Segera lelaki itu melemparkan senyum hangat ke arah Sara.
"Maaf ya membuatmu menunggu lagi. Tiba-tiba ada beberapa hal yang harus ku selesaikan di lokasi syuting," sapanya.
Sara tersenyum dan menggeleng cepat.
"Tak apa-apa," jawabnya.
"Aku akan berganti baju lalu kita jalan-jalan."
"Oke," Sara mengangguk.

Sambil berjalan menuju kamarnya, Suho sempat mendaratkankan tangannya di atas kepala Lay, lalu mengacak rambutnya singkat.

Sara merengut. Eww.
Dosa apa ia hingga harus menyaksikan pasangan gay bermesraan di depannya, rutuknya.

Beberapa menit kemudian Suho kembali dengan baju yang lebih kasual. Celana jeans, jaket hoodie, dan topi.
Penyamaran yang sempurna untuk acara kencan artis.
Sara tersenyum ketika menyadari bahwa ia juga mengenakan baju yang hampir sama dengannya. Bahkan warnanya pun sama, biru tua.
Ah, mereka benar-benar seperti pasangan sekarang.

"Ke mana kalian akan jalan-jalan?" Lay bertanya dari tempat duduknya semula.
"Pantai," jawab Suho santai.
"Aku ikut," ia bangkit.

Hah?! Sara membelalak.
Lelaki tadi bilang apa? Ikut di acara kencan mereka?
"Kau bilang apa?!" Sara tak mampu menahan diri untuk tidak membentak.
"Aku ikut jalan-jalan," jawab Lay enteng sambil menatap langsung ke manik mata Sara.

Perempuan itu melebarkan matanya.
"Kenapa kau ingin ikut?" tanya Suho.
"Aku bosan, tak punya teman. Jadi biarkan aku ikut. Aku hanya akan jadi sopir, tidak akan menggangu kencan kalian."

"Tidak!" Kali ini Sara kembali berteriak.
Ia menatap Lay dengan sorot membara. Jika tatapan bisa membakar, maka lelaki itu sudah gosong seketika!

Yang benar saja? Dia mau ikut? Nimbrung di acara kencan dirinya dan Suho? Hah, apa-apaan ini?
Biasanya 'kan yang terjadi di drama, sosok wanita akan diperebutkan oleh dua orang pria?
Ini?
Ini kenapa seolah-olah Sara dan Lay sedang bersaing memperebutkan Suho?
Kampret.

"Kau 'kan bisa bermain ke rumah temanmu yang lain? Kenapa harus ikut kami?" dengus Sara lagi.
"Aku tak punya banyak teman dekat. Lagipula kenapa harus kau yang sewot?" Lay berjengit.
Dan keduanya kembali ribut.

Mencoba menengahi, Suho beranjak.
"Lay, ayo kita bicara dulu," Ia menarik lengan Lay, lalu mengajaknya ke kamar.
Ia menutup pintu, sebelum Sara sempat mencari tahu apa yang mereka bicarakan, atau yang mereka lakukan di kamar sana.

Apa Suho sedang berusaha membujuk Lay? Menenangkannya? Mengucapkan kata-kata manisnya, disertai pelukan? Ciuman?
Uhukk, Sara tersedak seketika membayangkan adegan itu.

Beberapa saat kemudian Suho keluar lalu segera menghampiri Sara.
"Ayo berangkat," ajaknya sambil menggandeng tangan Sara.
Tak memberi kesempatan padanya untuk menanyakan tentang Lay.

***

Malam ini cuaca cerah, jadi Suho berinisiatif untuk mengajak jalan-jalan ke pantai.
Selama dalam perjalanan ke sana, Sara menyadari bahwa sesekali Suho melirik ke arahnya sambil mengulum senyum.

"Sebentar. Apa kau sedang menertawakanku tuan Suho yang terhormat? Aku tahu kau mencuri pandang ke arahku lalu tersenyum tak jelas," tanya Sara kesal.

Dan Suho kembali tersenyum.
"Tidak. Aku tidak sedang menertawakanmu. Justru aku sedang kagum padamu," jawabnya.

"Kenapa kau kagum padaku?" Sara bertanya lagi.

Suho mengangkat bahu dengan tangan yang tetap berada di kemudi.
"Di luar imagemu di masyarakat, ternyata kau begitu lucu dan menggemaskan. Aku tak tahu kenapa dengan kepribadianmu itu kau bisa punya banyak haters," ucapnya.

Sara terkekeh lembut. Sesaat kemudian ia terlihat memikirkan sesuatu.
"Aku punya banyak haters karena ...," ia menimbang-nimbang sesaat. "Satu, aku aktris yang buruk. Dua, aku tak bisa menyanyi ataupun menari. Tiga, aku dikenal dengan image 'bitchy', liar, jalang, atau semacamnya. Media sering memberitakan sisi buruk dari diriku. Tentang diriku yang suka ke club malam, aku yang sering mabuk-mabukkan, aku yang beberapa kali pernah terlibat keributan dengan pengunjung bar, aku yang terlibat kisah cinta dengan banyak lelaki, maupun kabar bahwa aku menjual tubuhku dan punya hubungan gelap dengan petinggi partai politik."

"Apakah benar kau punya hubungan gelap dengan petinggi partai politik?" Di antara sekian banyak penjelasan Sara, entah kenapa Suho lebih tertarik untuk menanyakan itu.

Sara segera tertawa.
"Jika aku menjual tubuhku dan punya hubungan gelap dengan petinggi partai politik, aku tidak akan susah-susah terjun ke dunia keartisan. Aku akan lebih memilih menikmati kekayaan dari petinggi partai politik itu. Kenyataanya, aku tidak kaya, dan aku masih berjuang untuk mendapat tawaran iklan ataupun drama," jawabnya satir.

Suho manggut-manggut.
"Lalu dari sekian rumor itu, mana yang benar dan yang tidak?" Lelaki itu kembali bertanya.
"Apakah ini sesi perkenalan pribadi?" Sara ganti bertanya.
"Anggaplah begitu. Kita 'kan pacar, jadi kita harus saling mengenal. Ya, kan?"
Mendengar kalimat Suho, Sara manggut-manggut.

Lelaki ini benar, mereka adalah sepasang kekasih, dan saat ini ia adalah orang yang dibayar Suho, jadi apa susahnya menceritakan tentang dirinya pada dia?

Toh jika lelaki ini ada niat buruk, uang yang masuk ke rekeningnya sudah sedemikan besar. Dan ia bisa saja pindah ke negara lain jika hal buruk menimpanya di Korea.

"Okeii, yang tidak benar adalah, aku tidak pernah punya hubungan gelap dengan lelaki manapun. Aku juga tidak pernah berhubungan dengan banyak lelaki. Aku mungkin pernah punya kekasih, itupun tak banyak. Kami berpacaran, lalu putus. Begitulah," jelasnya.
"Sementara untuk rumor yang lainnya, itu benar. Aku memang sering ke night club, sesekali mabuk, sesekali terlibat keributan dengan pengunjung lain, dan___"

"Aku pernah baca berita kalau tahun lalu kau pernah menerima dua tuntutan karena memukul pengunjung bar," potong Suho.

Sara tergelak.
"Itu benar. Kami terlibat keributan. Tapi dia yang memulai duluan, bukan aku," kilahnya. "Tiba-tiba saja perempuan itu mendatangiku, memukul wajahku dan menuduhku menggoda pacarnya. Padahal pacarnya yang terang-terangan menggoda diriku. Oh, sialan sekali," lanjutnya.

Suho tertawa lirih mendengar Sara yang bercerita menggebu-gebu.
"Aku pikir kau sengaja menciptakan skandal itu?" Ia bertanya lagi.
"Sebagian besar memang sengaja kuciptakan. Kan aku sudah bilang, aku tak berbakat. Aku tak pandai berakting, tak pandai pula menyanyi. Dan satu-satunya cara agar aku dikenal publik, aku harus bikin onar. Dan hasilnya lumayan. Aku punya beberapa kontrak iklan, walau tak banyak. Aku juga sering diundang ke acara reality show. Lumayanlah," jelasnya enteng.

Suho sempat ternganga.
"Wow, kau ...,"

"Cuek? Aneh? Absurd? Begitulah cara mereka memandangku. I don't care. Bodo amat." Perempuan itu kembali terkekeh.

Selama dalam perjalanan, Sara tak henti-hentinya bercerita tentang berbagai skandal yang pernah ia buat. Dan walau Suho sudah pernah membacanya di berita, tetap saja ia antusias mendengarkan cerita Sara. Karena dari situ akhirnya ia tahu, berita yang beredar ada yang benar, ada pula yang tidak.
Media tak selamanya bisa dipercaya.

°°°

Sekitar 15 menit kemudian mereka sampai di pantai.
Melihat suasana pantai di malam hari yang begitu memesona, buru-buru Sara turun dari mobil dan berlari-lari kecil menuju bibir pantai.
Suho ikut keluar dari mobil dan segera bergabung dengannya.

Setelah sempat bermain sebentar dengan air, mereka memutuskan untuk berjalan perlahan menyusuri pinggir pantai dengan bertelanjang kaki. Sambil mengobrol, merasakan butiran-butiran pasir menggelitik telapak kaki mereka yang lembab.

"Suho, terima kasih ya," ucap Sara.
"Untuk?"
"Untuk memilihku menjadi pacarmu. Percayalah, aku akan menggunakan uangnya dengan baik."

Suho kembali tergelak mendengar ucapan perempuan tersebut.
"Terserah kau saja ingin kau apakan uang itu. Itu milikmu, tapi kuharap kau tidak menggunakannya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Kau tahulah maksudku."

"Sebagian untuk bersenang-senang, sebagian untuk kutabung. Kelak, aku ingin membangun sebuah mini market untuk uncle John. Agar kelak jika ia sudah menua, mini market itu bisa ia gunakan untuk menopang hidup," jelasnya lagi.

Suho menatapnya dengan takjub.
"Sepertinya kau punya hubungan yang dekat ya dengan manajermu?"

Sara mengangguk dengan pasti.
"Aku sudah menganggapnya sebagai keluarga, sebagai ayah, sebagai paman, pokoknya, ia segalanya." Kedua mata Sara berbinar manakala menceritakan hal itu. Membuat Suho merasa terpesona dengan mata unik itu.

"Bagaimana kalian saling mengenal?" tanya Suho lagi.

Sara terdiam sesaat, mencoba mengingat-ingat.
"Sekitar 8 tahun yang lalu. Ketika aku nyaris bunuh diri dengan terjun ke sungai Han, uncle John melihatku, dan menyelamatkan diriku. Sejak saat itulah, kami menjadi keluarga."

Suho terbelalak kaget, menyebabkan langkahnya terhenti tiba-tiba.
"Kau ... nyaris bunuh diri?" Ia mendesis tak percaya.

Sara mengangkat bahu, "Begitulah," jawabnya enteng. "Aku nyaris terjun ke sungai Han ketika pada akhirnya ia berhasil menarik tubuhku, mencengkeram erat bajuku sambil berteriak padaku : bahkan jika kau putus asa dan ingin mati, keadaan tidak akan berubah lebih baik. Bangkit, dan hiduplah. Perbaiki semua satu persatu, karena itulah yang akan dilakukan manusia," ucapnya, getir. Mengingat kembali bagaimana peristiwa itu terjadi beberapa tahun silam.

"Kenapa kau begitu putus asa? Masalah pacar? Bertengkar dengan orang tua? Lalu kabur dari rumah?" tanya Suho.

Sara tersenyum kecut.
"Aku tak punya orang tua," jawabnya.

Kedua mata Suho mengerjap.
"Bukankah orang tuamu ada di luar negeri? Aku sempat melihat wawancaramu di sebuah acara dan kau bilang orang tuamu tinggal di luar negeri."

"Aku bohong," jawab Sara lagi.

"Hah?" Suho terlihat kebingungan.

Sara memasukkan kedua tangannya ke saku celana.
"Aku tak punya orang tua. Aku bahkan tak tahu siapa orang tuaku. Sejak kecil aku dibesarkan di panti asuhan. Memasuki usia sekolah aku diadopsi oleh sebuah keluarga. Sayangnya mereka memperlakukanku dengan buruk. Aku pernah mencoba kabur, tapi gagal. Hingga suatu hari, aku sedang di rumah sendirian ketika mendengar berita itu. Kedua orang tua asuhku dan anak mereka mengalami kecelakaan. Mereka meninggal bersama di lokasi kecelakaan. Aku menangis, putus asa dan memutuskan mati. Bukan karena aku berduka dengan kematian mereka. Tapi aku putus asa karena merasa sebatang kara, sendirian, tak punya tempat berpijak. Hingga akhirnya uncle John menyelamatkan diriku."

Suho merasakan lidahnya kelu mendengar semua rangkaian cerita dari mulut Sara. Betapa sekarang perempuan ini terlihat begitu berbeda dari biasanya. Perempuan yang dikenal sebagai salah satu selebritis yang glamor, bitchy, ternyata menyimpan luka sedalam ini.

"Jangan terlalu percaya dengan apa yang kau lihat ataupun kau baca di media. Bisa jadi itu hanya tirai untuk menutupi apa yang ada di belakang layar," lanjutnya. Kali ini bibirnya mengerut masam.

"Ibaratnya kita sedang melakukan sebuah pertunjukkan, orang-orang akan fokus dengan apa yang kita tampilkan. Segala hal yang terjadi di belakang layar, cukup kita saja yang tahu. Lagipula, hampir semua orang menyimpan suatu rahasia dalam kehidupan mereka, akupun begitu. Aku menyembunyikan masa laluku karena merasa itu tak penting untuk dikenang. Itulah kenapa aku berbohong, tentang banyak hal sebetulnya. Bahkan jika suatu hari kebohonganku terbongkar, aku tak peduli." Suaranya getir.

Tiupan angin menerbangkan untaian rambutnya dari balik Hoodie hingga menyebabkan seraut wajah itu tampak rapuh.

Suho menatap sosok itu laksana patung. Ia tak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Manusia hanya akan menghakimi, menyimpulkan setiap apa yang mereka lihat, sesuka mereka. Bahkan jika tirai dibelakang panggung tersingkap, dan mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi di belakang layar, terkadang mereka akan tetap melakukannya. Menyimpulkan sesuatu, menghakimi sesuka mereka. Dan sampai matipun, mereka akan terus melakukannya. Menghakimi satu sama lain."
Sara menunduk dan memainkan jemari kakinya dengan canggung.

Sampai akhirnya ia merasakan Suho bergerak, menarik tangannya yang sejak tadi ia masukkan ke celana.
Lelaki itu yang berinisiatif menautkan jemari mereka lalu menggenggamnya erat.
Ia tersenyum.
"Sudahlah, tak perlu membicarakan itu lagi. Ayo kita nikmati malam ini." Ia menggandeng tangannya dan mereka berjalan kembali.

"Kenapa tiba-tiba kau menggandeng tanganku? Apa ada wartawan di sekitar sini?" tanya Sara.
Suho hanya tersenyum tanpa menjawab. Seolah mengiyakan dengan samar.

"Mau berciuman?" tanya Sara tiba-tiba.

Pertanyaan itu menyebabkan langkah Suho kembali terhenti tiba-tiba. Dan mau tak mau, langkah Sara juga terhenti.
Mereka berpandangan.
"Kenapa? Apa kau tak pernah berciuman ... dengan perempuan?" tanya Sara spontan.

Suho mendelik. "Eh?"

Sara meringis.
"Maksudku ... yang seperti ini?" Ia mendekatkan dirinya ke arah Suho, lalu dengan sedikit berjinjit, ia mencium bibirnya dengan lembut.

Awalnya Suho tampak terkejut dengan ciuman yang tak terduga tersebut. Tapi bibirnya yang responsif membuatnya membalas ciuman Sara.

Tangannya bergerak, meraih pinggang Sara yang ramping untuk lebih dekat dengan dirinya, hingga ciuman itu bisa terus mereka lakukan, lebih dalam.

***

to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro